"Sakit, Ma.
Huhuhuuu."
Rahang Lia mengeras. Masih ada rasa kesal di
dada. Tangan itu belum ingin berhenti dari kaki putranya.
"Sudahlah, Li." Ibunya kembali dari arah
dapur. Tidak tahan dengan tangis si cucu. "Baru sekali dia bolos mengaji. Jangan terlalu juga
dibawa emosi."
"Kalau tidak dicubit, nanti
malah bolos lagi."
"Nggak, Maa.
Nggaaak."
Neneknya langsung mengangkat pria kecil yang
masih terisak itu.
"Sudah. Urus saja dulu kerjaanmu. Genta biar sama ibu."
Lia
menahan bendungan di pelupuk mata dan kembali menuju tokonya.
***
Amplop
coklat panjang di atas meja dipandangi Lia dengan tatapan kosong, sedang
pikiran dan hati entah ke mana-mana.
Bagaimana
bisa?
Hal
itu yang pertama kali terbersit di pikiran. Selama ini dia merasa baik-baik
saja. Hanya karena mengikuti pemeriksaan rutin di rumah sakit atas undangan
teman sekolah dulu, dunia Lia menjadi terbalik.
Sejak
itu, didikan Lia terhadap Genta semakin keras. Dia merasa tidak banyak waktu
tersisa. Karenanya, kejadian tadi siang benar-benar kekalutan yang luar biasa
bagi wanita itu. Meskipun malamnya Lia menangis memeluk putranya, mengobati
kaki kecil yang mulai membiru bekas cubitannya. Namun, hal itu pun tidak
membantu meredakan risau hati.
"Ayah Genta nggak bakal balik.
Sebaiknya kau menikah saja lagi."
"Untuk apa setia terhadap pria
nggak bertanggung jawab. Hidup ini masih panjang."
"Kau berhak bahagia, Li. Masih
banyak lelaki yang bisa membahagiakanmu. Cobalah untuk membuka hati."
"Genta butuh ayah, meskipun kau
nggak begitu butuh."
"Jangan terlalu menyalahkan diri
sendiri atas apa yang terjadi pada hidupmu. Nggak semua kesalahan terjadi
karena diri kita. Bisa jadi ini cara Tuhan membuatmu menjadi seseorang yang
tinggi derajatnya."
Kalimat
terakhir dari sahabatnya itu membuat mata hati Lia terbuka.
Memang
benar, sejak wanita itu bertemu dengan Dino Satrio, hidupnya tidak akan pernah
sama lagi. Segalanya telah dia berikan.
Apalah
daya dirinya yang hanya gadis kampung, lugu, polos dan tidak memiliki apa-apa.
Setelah hamil dua bulan, Dino meninggalkannya begitu saja. Tanpa pesan apapun.
Dada Lia selalu bergemuruh jika mengingat semua itu. Akan tetapi, dia harus
melanjutkan hidup. Demi anak yang dikandungnya.
Namun,
hasil roentgen rumah sakit
....
***
"Coba
katakanlah padaku. Aku masih sahabatmu, 'kan?
Lia
terduduk melamun. Dini sampai tersentak kaget melihat perubahan sahabatnya
ketika wanita itu mengunjungi toko. Seingat Dini, sejak pulang dari rumah
sakit, Lia cukup lama 'bersembunyi'. Garis wajahnya berubah, tidak seperti
dulu. Murung dan tidak bergairah. Kehilangan sinar dan binar.
"Nggak
bisakah kau cerita padaku, Li, apa yang sedang kau alami?"
Lalu,
terlihat buku jari Lia mulai terkepal, entah genggam apa. Katup mulutnya pun
terkunci, entah simpan apa. Bola mata wanita itu juga terlihat dingin serta
pudar, diam tidak terbaca. Desah napas menjadi tersumbat. Tanpa bisa dihentikan
air matanya tumpah begitu saja.
Dini
meraih pundak dan merengkuh tubuh ringkih Lia. "Sampai kapan seperti ini,
hmm?"
Lia
masih terus menangis. Dini tidak ingin mengatakan apa-apa lagi.
***
"Lia.
Setidaknya kau udah bahagia di sana, 'kan? Ada Ginta yang menemani." Dini
tertunduk menahan bendungan yang dari tadi akan tumpah. Masing-masing tangannya
memegang nisan Lia dan Ginta, abang Genta yang dua menit lebih dulu lahir darinya.
Ternyata
tangis Lia dua tahun lalu itu dikarenakan risau hatinya untuk Genta. Ada beban
yang teramat sulit untuk dikatakan. Dia hanya ingin melihat putranya tumbuh
besar. Mengajarinya tentang hidup dan kehidupan. Menjalani hari-hari dengan
tenang serta menjadi imam yang baik. Namun, kanker otak yang diderita wanita
itu, membuat kebersamaan mereka hanya bisa dinikmatinya sampai umur Genta
sepuluh tahun.
Pagi
engkau berangkat, Li.
Diakhir
harimu pun, kau masih sempat mengatakan kepada Genta untuk menjaga diri, jangan
bolos mengaji, jangan tinggalkan sembahyang lima waktu, patuh dan dengar setiap
perkataan orang tua.
Pria
kecil yang tidak mengerti apa-apa itu hanya mengangguk di pelukan ibunya. Dini
tidak kuasa menahan tangis. Juga wanita paruh baya yang duduk di samping Lia.
Air mata seorang ibu itu tidak henti-hentinya terjatuh.
Seperti
pesan dan saran Dini pada Lia dua tahun lalu, "memang bukan karena cinta,
cinta Genta sepertinya sudah cukup bagimu, 'kan."
Rasa
putus asa dan kehilangan percaya diri membuat sahabatnya ini kehilangan tempat
berpegang. Dini mengajak Lia untuk meraih sesuatu yang paling dalam, yang
mungkin sejenak terlupakan, iman.
"Jangan
takut. Semua yang kita miliki ini sebenarnya milik Allah. Bahkan kau pun milik
Allah, aku, Genta, Ibu, semua pasti diambil Allah lagi. Hanya waktunya saja
yang tidak tentu."
Dini
masih mengusap bahu Lia, menenangkan dan mencoba membangkitkan gairah hidupnya
kembali.
"Untuk
Genta, kau pun jangan takut. Karena Allah otomatis 'kan selalu menjaga
hambanya."
"Tapi
aku takut dia kehilangan diri dan menjadi pribadi yang jahat." Lia
mengangkat tubuhnya dari rengkuhan Dini sambil mengusap air mata.
"Insyaa
Allah, tidak akan. Doa-doamu untuknya 'kan selalu kau panjatkan." Dini
menggenggam jemari sahabatnya sambil tersenyum. "Aku percaya. Kau seorang
ibu yang baik, Li. Kau hidup memang untuk kedua anakmu."
Lalu,
sejak itu, Lia semakin banyak tersenyum. Menikmati hari hingga waktu membawanya
pergi.
Sampai jumpa, Li.
Ceritanya amat menarik, gaya bahasanya bagus sekali
BalasHapusMakasih, mbaa, udah mampir di mari 🤗
Hapussepertinya saya baca di atas genrenya horror thriller, kok baca ceritanya jadi termehek-mehek saya
BalasHapuskeren ceritanya mbak
Maksudnya, saya biasa bikin cerita genre horor-thriller, mbaa,
HapusSedangkan yang saya ikut sertakan dalam lomba ini jauh dari genre yang selalu saya bikin 🤗
Makasih, udah mampir ya, mbaa 👏👏
mudah2an dengan sering baca cerpen seperti ini, saya bisa ketularan mahir juga menyusun katayang mengalir. thank you mba for sharing.
BalasHapusSaya malah gak bisa nulis artikel, mbaaa 😫
HapusCeritanya bagus sekali mba, ngalir dan terperinci.Mudah-mudahan suatu saat aku juga bisa nulis bukuku sendiri.
BalasHapusInsyaa Allah, aamiin,
BalasHapusBerjuang, mbaa 👏👏👏🔥🔥🔥
Ceritanya menarik dan memberi inspirasi. Semoga dapat mengikuti jejaknya, Mbak.
BalasHapusMakasih, mbaa, udh mampir 🙏🏻
HapusSo sad 💔. Sangat menyentuh, apalagi ketika tahu endingnya si tokoh utama yg akhirnya meninggal dunia... Sedihnya bukan main...
BalasHapusSaya aja yang mendengar ceritanya langsung masih terpikir-pikir gimana perasaan wanita itu, mbaa 😅
Hapusjadi ikutan sedih
BalasHapusApalagi membayangkannya ya, mbaa
HapusMenjadi ibu bukanlah hal yang mudah :( menanggung beban amanah anak
BalasHapusIya, mbaa, sampai kapan pun
HapusJadi auto mewek nih MB bacanya .... Segitu sedihnya... Tapi ini realita
BalasHapusSaya merasa tulisan ini dari hati Mb ya g terdalam.
BalasHapusSaat saya membacanya saya jadi iku menangis dan tersentuh.
Iya, mbaa, aku membayangkan menjadi ibu anak itu yang akan meninggalkannya di umur yang masih sangat kecil, 🥺
HapusCerita sendu.. jadi ingat kisah anak2 yang ditinggalkan orang tua. Belum bisa menetukan nasib sendiri, hanya bisa pasrah dengan takdir.. jadi terbawa haru..🙄
BalasHapusBener, mbaa, terbawa arus tanpa ada sentuhan kasih seorang ibu
HapusBacanya beneran bisa merasakan perasaan tokoh
BalasHapusKarena begitulah seorang wanita ya, mbaa 🤗
HapusCamelia....aku ikut sedih bacanya. Dutinggal suami, ditinggal anak diapun harus meninggalkan genta karena kanker otak huhuhu
BalasHapusKalau terjadi di kita, udah gak sanggup x ya, mbaa 😭
HapusKok jadi sedih, ternyata Camelia ini keras sama Genta karena merasa nggak bisa jaga untuk selamanya ya :")
BalasHapusGitulah, mbaa, kadang perasaan gundah seorang ibu sulit dicerna akal sehat 🥺
BalasHapusTragis jadi ikut sedih
BalasHapusmasyaallah... ceritanya bikin pilu 🥺 btw, barakallah mba antologinya masuk nominasi.. ceritanya emang kereenn
BalasHapusSedih mbak 😭😭
BalasHapusAku tim ibu2 yg gampang mewek kalo ngomongin anak sama perpisahan.
Ceritanya bagus dan ngalir, thanks utk sharingnya mba..
BalasHapuspemilihan katanya bagus kak, alami cerita kehidupan sehari-hari
BalasHapusSad.. Kalau tahu waktunya tidak lama lagi, bukankah lebih baik digunakan untuk melimpahkan kasih sayang, bukan sebaliknya? Pasti bersyukur sekali seorang ibu menahan sakit sendiri
BalasHapusMenarik mbak... mantap. Jangan berhenti berkarya... lanjutkan
BalasHapusCeritanya inspiratif sekali, Mbak. Semangat terus berkarya ya.
BalasHapusMenarik sekali kak ceritanya. Melihat covernya estetik simple gitu. Semangat berkarya terus kak.
BalasHapusKok sedih bacanya. Masyaallah, barokallah antologinya keren kak.
BalasHapus