Bubur kacang hijau di atas meja hanya
dipandangi dengan lesu. Wajah Maisaroh tampak pucat seperti mayat.
Pikirannya tidak di sana.
Ke mana aku setelah ini? Lalu,
bagaimana dengan anakku? Barang-barang ini ingin saja kubuang!
Berbagai
macam pikiran wanita itu menari-nari di ujung lelah. Matanya memandang muak
setiap membayangkan apa yang akan dilakukan selanjutnya.
"Berkas
kemarin salah, coba buat ulang, kalau bisa sesuai yang saya lampirkan kemarin,
sehingga ibu tidak perlu bolak-balik mengurusnya. Lakukan saja sesuai
prosedur."
Bibir
notaris itu agak sedikit monyong ketika menjelaskannya. Lalu, pandangan
Maisaroh teralih ke adiknya, Suriyem dan Juminten. Mereka saling berpandangan.
Ingin menyalahkan bapak, tetapi sadar, bukan saatnya.
Setelah
basa basi dan permisi, mereka bertiga diskusi dan mencoba memberi pemahaman
kepada orang tua yang tinggal satu-satunya. Ternyata cukup sulit. Akhirnya tiga
kepala menelpon dua kepala di daerah yang berbeda, Ponirah dan Halimah.
Atas
dasar hati nurani, Maisaroh melapangkan waktu untuk mengurus sendiri berkas
yang harus mereka penuhi untuk kepentingan penjualan rumah.
Sudah
seminggu dan Maisaroh kembali lagi untuk memastikan kesiapan berkas. Lelah
seharian yang telah wanita itu lalui tadi, membuat tubuhnya letih. Namun
begitu, semua sudah terselesaikan.
Mata
sipit Maisaroh masih mendua dari bubur kacang hijau di depan saat tangannya
mulai beranjak ingin menikmati bubur hangat di atas meja. Tidak sampai jemari
itu menyentuh sendok di samping mangkok, gelap pekat membuat wanita itu
mendengus kesal.
Kampret!
Mati lampu!
***
Panas
dengan debu dari berbagai kendaraan menemani perjalanan pulang. Rasanya lima
hari berada di rumah Ponirah tidaklah cukup. Namun, urusan di sana untuk
sementara telah usai, masih ada urusan lain yang tengah menanti mereka.
Waktu
memang bergulir dengan cepat. Tinggal menghitung hari untuk Maisaroh dan
anaknya bernaung di bawah rumah nyaman yang selama ini jadi tempat mereka
pulang. Setelah itu? Dia tidak memikirkan apa-apa. Hanya pasrah bagaimana Tuhan
membawa arah perjalanan hidupnya.
Ponsel
Maisaroh berdering.
"Sore,
Bu?"
"Sore."
"Jadi
begini, Bu. Ada huruf yang salah pada nama Ponirah di salah satu berkas.
Kesalahan nama sedkit saja bisa fatal. Ibu minta buat ulang lagi ke camat, bs,
Bu? Kalau tidak, kita undur hari untuk tanda tangan. Tidak bisa besok."
Rahang
Maisaroh mengeras, menahan geram yang hampir ke ubun-ubun.
"Mengapa
tidak dari awal ibu kabari? Pagi tadi atau siang? 'Kan berkas sudah kami
masukkan dari sepuluh hari yang lalu." Maisaroh berusaha berkata lembut.
Halimah
mencoba mendengar dari belakang kemudi, sedangkan Ponirah terus melihat
kakaknya dengan wajah ingin tahu.
"Ibu
jangan ngomong begitu. Kami baru menangani berkas ibu. Yang biasa menangani
berkas ini sedang sakit, jadi kami baru tahu kalau ada yang kurang dan
salah."
Maisaroh memberi jeda untuk
membiarkan segala penjelasan pengurus notaris di sana.
"Ibu
buat ulang lagi atau minta surat keterangan dari kelurahan tempat Ibu Ponirah
yang salah namanya tadi. Kalau tidak, kita undur ke hari senin saja."
Maisaroh
menarik napas. "Maaf, Bu. Kami sudah separuh jalan untuk jadwal tanda
tangan besok. Apa tidak bisa berkas yang salah itu menyusul saja, Bu?'
Ada
kesunyian sekejap di seberang sana.
"Saya
tanya dulu sama Sampeyan ya, Bu."
Telepon
terputus. Maisaroh dicecar berbagai pertanyaan dari Ponirah dan Halimah.
***
Satu
masalah selesai. Tempat tujuan tinggal tiga jam lagi. Seakan tidak ingin sepi
dan merasa harus unjuk gigi, masalah baru muncul lagi. Bapak yang sudah dijemput
lebih dulu oleh Suriyem dan Juminten, ternyata lupa membawa berkas asli.
Muncung Ponirah mulai berkicau. Maisaroh hanya bisa mengutuk dalam hati.
Setidaknya,
berkas yang akan dibenahi dan tertinggal masih bisa diupayakan sebelum sampai
tujuan. Tuhan masih ingin menguji dan memudahkan rentetan kejadian sore
menjelang malam itu.
Namun,
tidak esok paginya. Halimah mengabarkan Maisaroh, kalau kartu tanda pengenal
Bapak ternyata juga tertinggal. Sumpah serapah dari bibir Maisaroh akhirnya
terucap juga.
"Kenapa
pula tadi malam nggak diserahkan sekalian?" Nada suara wanita itu
meninggi. Ingin sekali membanting ponsel yang sedang digenggamnya.
Pagi
itu sudah pukul delapan lebih sedikit. Jadwal tanda tangan pukul sepuluh.
Maisaroh tidak ingin menyia-nyiakan jadwal kerja Ponirah dan Halimah yang sudah
mengambil cuti untuk hari yang mereka tunggu ini. Batinnya marah, kesal dan
gundah sudah hampir mencapai ubun-ubun. Hanya karena kepandiran seseorang yang
merasa pandai, semua hal yang sudah berjalan sesuai rencana dan prosedur,
seketika buyar dan kembali terlihat kabur.
"Memaki
nggak akan menyelesaikan masalah. Aku juga kesal karena kita sudah jauh-jauh
kemari untuk hari ini." Halimah menenangkan batin kakaknya, walau
sebenarnya batinnya pun gundah.
Maisaroh
harus berpikir cepat. Waktu bergulir tanpa mau tahu urusan manusia yang
tertimpa masalah. Akhirnya jasa dan bantuan dari pihak sepupu pun dikerahkan.
Meminta langsung untuk diantar ke tempat tujuan.
Tibalah
saat yang ditunggu. Pencairan tahap pertama dengan tanda tangan semua yang
berkepentingan di sana. Lalu, setelah berbagai macam cengkunek, berkas-berkas
disusun rapi di atas meja panjang. Kecuali tanda pengenal Bapak yang masih
dalam perjalanan.
Jantung
Maisaroh berdetak hebat juga wajah berubah pucat, isi dompet dan tas sudah
dibongkar berkali-kali. Namun, giliran kartu tanda pengenalnya yang lari entah
ke mana.
***
Senin
itu tidak panas dan juga tidak mendung. Angin sepoi menemani dua insan yang
sedang duduk di anak tangga di depan kantor notaris. Entah membicarakan tentang
apa.
Maisaroh
baru saja menyerahkan berkas yang menyusul kemarin. Urusan belum usai, masih
ada pekerjaan yang paling wanita itu benci, mengemasi barang.
Sebulan
lebih dua minggu adalah waktu yang diberikan untuk segera meratakan bangunan rumah.
Sedangkan waktu lebih dari dua minggu bisa digunakan Maisaroh untuk menyicil
pengemasan barang-barang yang ada. Namun, bukankah lebih cepat lebih baik?
Hanya saja, kenangan yang dulu pernah ada di rumah itu belum mampu membuat dia
bersikap sewajarnya. Masa kecil anak-anaknya, merawat sakit emaknya, kesusahan,
senang, semua ada di rumah itu.
Di
sisi lain, rasa untuk segera meninggalkan rumah dan kota itu semakin membuncah.
Setidaknya, Tuhan ingin melihat prosesnya bukan hasil. Sehingga wanita itu tetap
berusaha sabar menghadapi semua yang akan terjadi nantinya.
Benarkah?
***
Tubuh
penat. Batin terlanjur lelah. Hampir seminggu Maisaroh melangsir barang ke
tempat anaknya mulai bernaung. Tidak tanggung-tanggung, langsung menuju lantai
dua.
Bayangkan
dalam sehari turun naik tangga sebanyak sepuluh kali dengan memikul beban
barang yang tidak ringan. Sampai-sampai terbersit di pikiran wanita itu, dia
jatuh menggelinding dari atas karena kaki tersandung. 😂
Hingga
ada hari di mana semua dimulai untuk mengakhiri lelah. Hari di mana semua
pekerja datang untuk menghancurkan bangunan rumah. Ada insiden kecil antara
Maisaroh dan anaknya. Lalu, wanita itu memilih menjauh dan mencari waktu
berdiam diri untuk sementara. Mencari tahu, ke arah mana Tuhan ingin membawa hidup
wanita itu selanjutnya.
Tidak
ada hal yang mudah untuk dilakukan. Apalagi jika berkaitan dengan anak. Bagi
Maisaroh, anak-anak adalah barang berharganya. Tuhan memberi mereka bukan tanpa
sebab.
Lalu,
sekarang, Maisaroh mulai nyaman menikmati hidupnya sendiri. Penat yang
dirasakannya kemarin perlahan lenyap dan mulai senyap. Tinggal aktivitas biasa
yang tertunda yang seharusnya dia lakoni, mengejar deadline tulisan.
*