Senin, 26 April 2021

One 4 All, All 4 One

Ini bukan judul lagu film Three Musketeers yang dinyanyikan oleh Bryan Adam, Sting en Rod Steward, ini antalogi noveletku yang pertama. 😂

Okeh! Langsung saja kita simak dan intip sedikit isinya. Cekidot, yuuk....

 

 

RETAK

 

Blurb:

"Apa harus ada pernikahan?"

Sekali lagi Yuswaningtyas harus menggadaikan kebahagiaan dirinya demi kehidupan putri semata wayang, Aluna. Menikah lagi bukan rencana yang akan direalisasikan dalam waktu dekat.

Apa yang harus kulakukan? Oh, Tuhan ....

 

 

RUMAH KAKEK

 

Blurb: 

“Langit menjadi saksi, tetesan darah perawan mengalir menandakan keabadian. Dalam riuhnya ritual, kembali setan tertawa mendapat kemenangan."

 

 

BELAHAN JIWA

 

Blurb:

Bagaimana ini?

Lara berhasil melarikan diri dan malah terjebak di kebun karet yang gelap. Si penculik pun tidak berputus asa mencarinya. Berhasilkah Lara menyelamatkan dirinya sekali lagi? Lalu, apa motif si penculik sampai Lara disekap?

 

 

JALAN KITA

 

Blurb:

Jantungku kenapa berulah lagi, sih? Gumamku dalam hati. Apa jangan-jangan? Ah, tidak mungkin. Aku menggeleng saat pikiranku mulai konslet.

 

 

Akhir kata nih, terima kasih banyak untuk yang sudi mampir dimari dan membeli buku kami ini. 🙏

Semoga selalu sehat dan diberikan rejeki yang berlimpah. Aamiin ya Rabbal'alamiin. 😘

Sabtu, 10 April 2021

Dirajai Kepenatan

 

Bubur kacang hijau di atas meja hanya dipandangi dengan lesu. Wajah Maisaroh tampak pucat seperti mayat. Pikirannya tidak di sana.

Ke mana aku setelah ini? Lalu, bagaimana dengan anakku? Barang-barang ini ingin saja kubuang!

Berbagai macam pikiran wanita itu menari-nari di ujung lelah. Matanya memandang muak setiap membayangkan apa yang akan dilakukan selanjutnya.

"Berkas kemarin salah, coba buat ulang, kalau bisa sesuai yang saya lampirkan kemarin, sehingga ibu tidak perlu bolak-balik mengurusnya. Lakukan saja sesuai prosedur."

Bibir notaris itu agak sedikit monyong ketika menjelaskannya. Lalu, pandangan Maisaroh teralih ke adiknya, Suriyem dan Juminten. Mereka saling berpandangan. Ingin menyalahkan bapak, tetapi sadar, bukan saatnya.

Setelah basa basi dan permisi, mereka bertiga diskusi dan mencoba memberi pemahaman kepada orang tua yang tinggal satu-satunya. Ternyata cukup sulit. Akhirnya tiga kepala menelpon dua kepala di daerah yang berbeda, Ponirah dan Halimah.

Atas dasar hati nurani, Maisaroh melapangkan waktu untuk mengurus sendiri berkas yang harus mereka penuhi untuk kepentingan penjualan rumah.

Sudah seminggu dan Maisaroh kembali lagi untuk memastikan kesiapan berkas. Lelah seharian yang telah wanita itu lalui tadi, membuat tubuhnya letih. Namun begitu, semua sudah terselesaikan.

Mata sipit Maisaroh masih mendua dari bubur kacang hijau di depan saat tangannya mulai beranjak ingin menikmati bubur hangat di atas meja. Tidak sampai jemari itu menyentuh sendok di samping mangkok, gelap pekat membuat wanita itu mendengus kesal.

Kampret! Mati lampu!

 

***

 

Panas dengan debu dari berbagai kendaraan menemani perjalanan pulang. Rasanya lima hari berada di rumah Ponirah tidaklah cukup. Namun, urusan di sana untuk sementara telah usai, masih ada urusan lain yang tengah menanti mereka.

Waktu memang bergulir dengan cepat. Tinggal menghitung hari untuk Maisaroh dan anaknya bernaung di bawah rumah nyaman yang selama ini jadi tempat mereka pulang. Setelah itu? Dia tidak memikirkan apa-apa. Hanya pasrah bagaimana Tuhan membawa arah perjalanan hidupnya.

Ponsel Maisaroh berdering.

"Sore, Bu?"

"Sore."

"Jadi begini, Bu. Ada huruf yang salah pada nama Ponirah di salah satu berkas. Kesalahan nama sedkit saja bisa fatal. Ibu minta buat ulang lagi ke camat, bs, Bu? Kalau tidak, kita undur hari untuk tanda tangan. Tidak bisa besok."

Rahang Maisaroh mengeras, menahan geram yang hampir ke ubun-ubun.

"Mengapa tidak dari awal ibu kabari? Pagi tadi atau siang? 'Kan berkas sudah kami masukkan dari sepuluh hari yang lalu." Maisaroh berusaha berkata lembut.

Halimah mencoba mendengar dari belakang kemudi, sedangkan Ponirah terus melihat kakaknya dengan wajah ingin tahu.

"Ibu jangan ngomong begitu. Kami baru menangani berkas ibu. Yang biasa menangani berkas ini sedang sakit, jadi kami baru tahu kalau ada yang kurang dan salah."

Maisaroh memberi jeda untuk membiarkan segala penjelasan pengurus notaris di sana.

"Ibu buat ulang lagi atau minta surat keterangan dari kelurahan tempat Ibu Ponirah yang salah namanya tadi. Kalau tidak, kita undur ke hari senin saja."

Maisaroh menarik napas. "Maaf, Bu. Kami sudah separuh jalan untuk jadwal tanda tangan besok. Apa tidak bisa berkas yang salah itu menyusul saja, Bu?'

Ada kesunyian sekejap di seberang sana.

"Saya tanya dulu sama Sampeyan ya, Bu."

Telepon terputus. Maisaroh dicecar berbagai pertanyaan dari Ponirah dan Halimah.

 

***

 

Satu masalah selesai. Tempat tujuan tinggal tiga jam lagi. Seakan tidak ingin sepi dan merasa harus unjuk gigi, masalah baru muncul lagi. Bapak yang sudah dijemput lebih dulu oleh Suriyem dan Juminten, ternyata lupa membawa berkas asli. Muncung Ponirah mulai berkicau. Maisaroh hanya bisa mengutuk dalam hati.

Setidaknya, berkas yang akan dibenahi dan tertinggal masih bisa diupayakan sebelum sampai tujuan. Tuhan masih ingin menguji dan memudahkan rentetan kejadian sore menjelang malam itu.

Namun, tidak esok paginya. Halimah mengabarkan Maisaroh, kalau kartu tanda pengenal Bapak ternyata juga tertinggal. Sumpah serapah dari bibir Maisaroh akhirnya terucap juga.

"Kenapa pula tadi malam nggak diserahkan sekalian?" Nada suara wanita itu meninggi. Ingin sekali membanting ponsel yang sedang digenggamnya.

Pagi itu sudah pukul delapan lebih sedikit. Jadwal tanda tangan pukul sepuluh. Maisaroh tidak ingin menyia-nyiakan jadwal kerja Ponirah dan Halimah yang sudah mengambil cuti untuk hari yang mereka tunggu ini. Batinnya marah, kesal dan gundah sudah hampir mencapai ubun-ubun. Hanya karena kepandiran seseorang yang merasa pandai, semua hal yang sudah berjalan sesuai rencana dan prosedur, seketika buyar dan kembali terlihat kabur.

"Memaki nggak akan menyelesaikan masalah. Aku juga kesal karena kita sudah jauh-jauh kemari untuk hari ini." Halimah menenangkan batin kakaknya, walau sebenarnya batinnya pun gundah.

Maisaroh harus berpikir cepat. Waktu bergulir tanpa mau tahu urusan manusia yang tertimpa masalah. Akhirnya jasa dan bantuan dari pihak sepupu pun dikerahkan. Meminta langsung untuk diantar ke tempat tujuan.

Tibalah saat yang ditunggu. Pencairan tahap pertama dengan tanda tangan semua yang berkepentingan di sana. Lalu, setelah berbagai macam cengkunek, berkas-berkas disusun rapi di atas meja panjang. Kecuali tanda pengenal Bapak yang masih dalam perjalanan.

Jantung Maisaroh berdetak hebat juga wajah berubah pucat, isi dompet dan tas sudah dibongkar berkali-kali. Namun, giliran kartu tanda pengenalnya yang lari entah ke mana.

 

***

 

Senin itu tidak panas dan juga tidak mendung. Angin sepoi menemani dua insan yang sedang duduk di anak tangga di depan kantor notaris. Entah membicarakan tentang apa.

Maisaroh baru saja menyerahkan berkas yang menyusul kemarin. Urusan belum usai, masih ada pekerjaan yang paling wanita itu benci, mengemasi barang.

Sebulan lebih dua minggu adalah waktu yang diberikan untuk segera meratakan bangunan rumah. Sedangkan waktu lebih dari dua minggu bisa digunakan Maisaroh untuk menyicil pengemasan barang-barang yang ada. Namun, bukankah lebih cepat lebih baik? Hanya saja, kenangan yang dulu pernah ada di rumah itu belum mampu membuat dia bersikap sewajarnya. Masa kecil anak-anaknya, merawat sakit emaknya, kesusahan, senang, semua ada di rumah itu.

Di sisi lain, rasa untuk segera meninggalkan rumah dan kota itu semakin membuncah. Setidaknya, Tuhan ingin melihat prosesnya bukan hasil. Sehingga wanita itu tetap berusaha sabar menghadapi semua yang akan terjadi nantinya.

Benarkah?

 

***

 

Tubuh penat. Batin terlanjur lelah. Hampir seminggu Maisaroh melangsir barang ke tempat anaknya mulai bernaung. Tidak tanggung-tanggung, langsung menuju lantai dua.

Bayangkan dalam sehari turun naik tangga sebanyak sepuluh kali dengan memikul beban barang yang tidak ringan. Sampai-sampai terbersit di pikiran wanita itu, dia jatuh menggelinding dari atas karena kaki tersandung. 😂

Hingga ada hari di mana semua dimulai untuk mengakhiri lelah. Hari di mana semua pekerja datang untuk menghancurkan bangunan rumah. Ada insiden kecil antara Maisaroh dan anaknya. Lalu, wanita itu memilih menjauh dan mencari waktu berdiam diri untuk sementara. Mencari tahu, ke arah mana Tuhan ingin membawa hidup wanita itu selanjutnya.

Tidak ada hal yang mudah untuk dilakukan. Apalagi jika berkaitan dengan anak. Bagi Maisaroh, anak-anak adalah barang berharganya. Tuhan memberi mereka bukan tanpa sebab.

Lalu, sekarang, Maisaroh mulai nyaman menikmati hidupnya sendiri. Penat yang dirasakannya kemarin perlahan lenyap dan mulai senyap. Tinggal aktivitas biasa yang tertunda yang seharusnya dia lakoni, mengejar deadline tulisan.

 

*

(FLASHBACK) DARI TANAH TANDUS

  Blurb: “Kak Ineee. Kepala Rubi pusing, Kak.” “Bertahanlah, Rubi! Bukan sekarang saatnya!” Ine dan Rubi, dua gadis kecil yang ter...