Sabtu, 26 Juni 2021

MENDONGENG SEPULUH HARI

Iseng-iseng aku mah, ikutan event menulis sepuluh hari di instagram. Di antara hari-hari itu, ada dua hari dengan ketentuan tema, hari keempat dan hari terakhir.

 

Beberapa isi tulisanku karena males mikir. Beberapa karena kebanyakan mikir. Dipikir-pikir yaaa, Alhamdulillah, masih dikasih kepala yang ada pikirannya. Gimana yaaa, yang nggak ada pikirannya?

 

Omong-omong, ngapain juga mikir pikiran-pikiran itu! Huh!

 

Langsung aja dah!

 

😝

 

Harike01

 


PERJALANAN

Siang ini luar biasa panasnya sampai menusuk kulit. Jaket, masker, sarung tangan, kaus kaki pun tak kuasa menahan teriknya. Tas ransel yang mulai miring kubenahi sejenak. Kemudian, kutekan kopling, mulai melakukan perpindahan gigi dan perlahan lepas kopling sekaligus menaikkan gas. Motorku melesat cepat melewati truk FUSO yang cukup panjang.

Sial!

Ada becak dari arah yang berlawanan baru keluar dari jalan kecil dan langsung masuk ke jalur kiri. Mendadak kaki kanan ini menginjak rem. Sedikit mengumpat, aku pun meliukkan motor ke arah kanan dan kembali melesat.

Jalanan masih terbilang lengang. Aku serasa raja jalanan. Seratus sepuluh kilometer per jam yang tertera pada jarum speedometer. Mantap ah! Aku pun bersenandung entah lagu apa.

Memasuki jalanan sempit, di depanku berjejer tiga truk barang, empat mobil pribadi dan satu truk minyak. Sedangkan sisi yang berlawanan ada dua truk kontainer panjang yang berjalan lambat. Dua kendaraan pribadi yang mengekor di belakangnya, diikuti satu bus antar lintas. Masih dari arah yang berlawanan, beberapa motor mulai tak sabar ingin menikung. Dari jalur perjalananku, ada dua motor bebek dan tiga motor matic juga sama niatnya. Mereka mulai mepet di bagian belakang truk, berharap ada celah dan kesempatan untuk mendahului.

Menit-menit penuh kesabaran akhirnya usai. Motorku melaju di urutan pertama melewati rentetan kendaraan di depan.

I am the winner!

"Diooooo! Dari tadi disuruh mandi bukannya mandi." Wanita paruh baya itu tampak melotot, berdiri di depan pintu kamar sambil berkacak pinggang.

"Iya. Iya, Mak!" Dio meletakkan stik sega, meraih handuk dan bergegas.

 

😝

 

Harike02

 


KEBUN TETANGGA 

Misteri tentang mengapa rumput tetangga lebih hijau dari rumput sendiri, masih belum terpecahkan. Konon lagi mengapa kebun tetangga lebih subur dari kebun sendiri.

Namun, ini bukan tentang lebih hijau atau lebih subur, ini tentang sesuatu yang tinggal di kebun tetangga.

Jauh dong sama paragraf di atas tadi ya? Yaaa, kagak apa-apa. Namanya juga pembuka wacana. Ohohoho.

Jadi ceritanya begini. Kebun tetangga yang luasnya hampir satu hektar itu banyak sekali ditumbuhi pohon buah-buahan. Ada mangga, kedondong, jambu batu, jambu air, pepaya dan alpukat. Tetangga sekitar mengatakan kalau pohonnya tidak pernah berhenti berbuah. Pemiliknya tidak tinggal di kampung sini. Mereka tinggal di kota. Tetapi, ada waktu tertentu mereka pulang dan terkadang menginap di sana.

Yang menjadi masalah tetangga sekitar adalah gubuk sederhana yang berada tepat di tengahnya. Apalagi terdengar kabar kalau tiap malam ada lampu yang menyala di sana. Masalah besar pun terjadi setelah seorang warga meminta anaknya memeriksa dan seminggu tidak kunjung terlihat lagi batang hidungnya.

Si ibu dilanda gundah dan menangis seharian mengutuki perbuatannya.

"Huhuhuuuu.... Gimana ini? Anakkuuu.... Huhuhu...."

"Sabar, toh, Lik. Kita sudah hubungi Pak Haji Restu."

"Mudah-mudahan Eko segera ditemukan."

Ibu-ibu pengajian mencoba menguatkan hati Lilik, sang ibu yang anaknya hilang.

"Ada apa ini? Ngapain kumpul-kumpul di sini?"

Semua menoleh ke arah pintu pagar. Melotot dan melongo.

"Ealaaah! Kampreeet!"

 

😝

 

Harike03

  


KARENA GAGAL PANEN

"Nggak usah semeter muncung* kau itu!"

"Tapi, Bun, Iwi sudah kepingin banget beli baju itu. Modelnya belum ada yang punya."

"Sudahlah. Kau 'kan tahu, hasil tambak udang, sawah dan sayuran tidak memadai. Sudah, sana. Bantu abangmu mengepel dulu."

Sudah dua hari air laut pasang menggenangi pemukiman warga. Ini hari ketiga dan air mulai surut seluruhnya.

"Belanja online lagi?"

"Nggak apa 'kan, Yah. Wajar dong anak gadis kita tampil gaya. Cantiknya nggak ada yang menyamai di kampung kita."

"Tapi kita 'kan bukan orang berada, Bun. Tambak udang dan lahan sayuran pun masih menyewa. Kurangilah gaya hidup mewah. Paling tidak, tolong dijual dulu kalung Bunda itu untuk membeli lahan dan bangun rumah."

"Eh, enak saja! Ayah saja yang kurang usahanya. Kalau perlu, ikuti cara Wak Luki, yang cari nafkah ke pulau seberang sana."

"Jadi TKI bukan solusi lho, Bun. Ki...."

"Halaaah! Nggak usah banyak alesan! Sebelum...bla...bla...bla...."

"Yah, temani Didi beli makanan bebek, yok? Sudah habis."

"Ayok." Pak Solekan bergegas menghampiri motor yang sudah dikeluarkan Didi.

"Heh! Jangan lari dari tanggung jawab kalian berdua! Ini rumah belum beres!"

"Giliran Bunda sm Wiwit. Jangan asyik main hape aja." Didi berteriak sambil melajukan motor sebelum sapu lidi itu terbang dari tangan ibunya.

 

*muncung semeter = manyun/merajuk

(janganditiruyapemirsaaah!)

 

😝

 

Harike04

 


KEMBALILAH PADAKU 

Sudah hampir dua tahun sejak aku putus dengannya. Lalu, tiba-tiba dia datang dan seenaknya mengatakan,

 

"Abang tahu kamu udah punya pacar. Abang juga udah punya. Tapi Abang rela putuskan pacar Abang kalau kamu minta balik."

 

APA?! AKU YANG MINTA BALIK?!

Hiiiiii!!

 

Seketika aku merinding. Aku memutuskannya karena dia tipe pacar penjajah.

 

Aku memasang wajah datar dan berharap dia segera bergegas keluar. Tapi aku lupa, dia juga tipe manusia yang diusir dulu baru antenanya nyala.

 

Lalu, terbersit olehku, dia menerjang dan memelukku erat. Hiiiiii! Posisiku siap sedia untuk lari.

 

😝

 

Harike05

 


DEMI APA? 

"Satu! Dua! Satu! Dua! Yak! Mundur ke belakang dua langkah! Yak! Tarik tangan ke atas! Satu! Dua!"

Napas Una mulai ngos-ngosan. Namun, semangat untuk terus berlatih semakin membara. Apalagi bila mengingat kejadian dua minggu silam.

"Eh, lihat cewek itu! Sepertinya dia naksir kamu, Rey. Sering kali curi-curi pandang ke arahmu."

"Ish! Berkaca dulu. Lihat tuh body, gempal juga berlemak." Matanya sinis ketika mengatakan itu.

Walau sayup terdengar oleh Una, tetapi kata-kata itu menusuk relung hatinya.

Reynold, pemuda kalem semester lima fakultas ekonomi, tidak disangka bermulut tajam. Bodoh sekali untuk seorang Una jatuh hati kepadanya.

Lalu, di sinilah sekarang dia, menikmati latihan-latihan yang cukup menyiksa.

Hari demi hari dan tidak terasa sudah seratus hari, Una merasakan hasilnya. Tubuhnya ramping dan wajahnya imut berseri.

Hingga suatu hari di kampus....

"Kamu ya, yang namanya Una?"

Dede, teman si Reynold bedebah ini datang dan menghampiriku!

Una mengangguk.

"Itu...Reynold kirim salam. Sebenarnya aku ju...."

"Sore, Una. Maaf ya, lama nunggunya?" Seorang lelaki macho (macamcoro 😂) meraih tangan wanita itu dan direkatkan di dadanya yang bidang.

Seketika Dede ngacir entah ke mana. Una tersenyum tipis dan berbisik ke arah Dedi, "biasa aja kaleeee, kagak usah lebaiii." Una melepaskan tangannya.

"Biar lebih meyakinkan lho, Markonah!"

"Aah! Diem lu!"

Una berjalan santai menuju parkiran mobil dan membiarkan instruktur senamnya terus mengoceh.

 

 

===bersambung===

Minggu, 06 Juni 2021

MENUNGGU

Ada hal yang paling menyebalkan dari menunggu. Biasanya apa? Menahan kantuk. Apa lagi? Lapar. 😒

Akan tetapi, ada juga beberapa hal yang sering kita lakukan ketika menunggu.

Hmmm.

...menunggu ada kalanya terasa mengasyikan, banyak waktu kita miliki untuk berpikir...

Namun,

...menunggu lebih terasa beban yang membosankan, banyak waktu kita terbuang tergilas cuaca...

Begitu kata Pak Ebiet G. Ade di lagunya Tatkala Letih Menunggu.

Jika memungkinkan, bisa saja bolak-balik scroll ponsel demi membuang kebosanan. Mungkin juga sekedar bermain game, menamatkan level atau menikmati panen online di ponsel. Atau bahkan, ada juga yang sekedar ber-say hello dengan entah siapa di ruang chating ponselnya. (Aku kenal dengan orang yang tipe begini soalnye) 😂

Ayoklah kita lihat aja apa isi cerita ini.

 

***

 

Aroma khas menyeruak ketika Nuri melangkah masuk ke ruang tunggu puskesmas. Dandanan asri yang terpampang di depan sedikit mengobati jenuh hati.

Setelah mencuci tangan dan meletakkan kartu di bagian administrasi, Nuri memilih duduk di pojok. Hari ini tidak begitu ramai. Cuaca mendung, yang seharusnya lebih nyaman jika berada di balik selimut, melanjutkan mimpi yang tertunda tadi malam.

Terusik dari lamunan, Nuri menghela napas sekuatnya. Di depannya seorang pria jompo duduk termenung. Sendiri. Menatap sendu lalu lalang yang berlalu dengan waktu. Entah apa yang ada dipikirannya. Mungkin sekedar mencetus ketus tentang si sehat yang berjalan jumawa.

Di sampingnya duduk pula seorang pria paruh baya, yang sedari tadi asyik menatap layar ponsel. Sesekali sudut bibirnya miring ke atas, antara tersenyum dan mencibir.

Beberapa terduduk menunduk, menunggu sampai terkantuk-kantuk. Gerimis di luar semakin liar. Nuri menutup mulut, menguap. Kardigan tipisnya tidak mampu menghangatkan tubuh kurus itu.

Hampir dua jam menunggu, akhirnya tiba giliran wanita itu duduk menghadap seorang dokter yang matanya sedikit sayu.

"Mau dirujuk ke mana ini, Bu?" Matanya tetap melihat berkas di meja dan sesekali jari gemuk itu menelusuri layar laptop.

"Yang terdekat saja dengan alamat rumah, Dok."

"Hmmm. Baiklah. Ibu bisa menunggu kembali untuk waktu sejam atau dua jam?"

"Kenapa, Dok?"

"Jaringan kita sedang lelet hari ini, Bu. Kalau Ibu keberatan menunggu, bisa diambil besok saja suratnya. Bagaimana?"

Akhirnya setelah berbasa-basi sedikit, Nuri pulang dengan dongkol hati. Rencana hari ini tidak sesuai dengan ekspektasi. Ya, sudahlah! Begitu kata Bondan Prakoso. 😂

 

***

 

Hari ini kembali Nuri menunggu di depan counter costumer service di sebuah bank terkemuka. Agak berbeda di dua hari sebelumnya, hari ini lumayan ramai. Nomor antrian juga cukup jauh. Pendingin ruangan yang dingin semakin dingin. Apalagi ditambah udara dan cuaca di luar yang masih dingin setelah hujan semalaman.

Seperti biasa, beberapa nasabah tertunduk, tekun menatap layar ponselnya. Seakan-akan sedang serius menjawab seluruh soal pilihan berganda. Nuri pun tak mau kalah. Dengan segala macam pikiran, jarinya mulai merajut kata.

Hmmm? Sialnya, pendingin ruangan membuat konsentrasinya pecah. Dinginnya semakin dirasa jadi masalah. Antara lain, jari tangan mengkerut juga mati rasa, perut bersuara tanda sudah waktunya, ditambah lagi dengan air putih yang diminum setengah liter tadi pagi mulai tercerna.

Tidaaaak! Tahan dulu! Bukan waktunya untuk semua itu. Hhhh! Syukurlah cuma buat isi cerita. Kalau tidak, sulit ah membayangkannya. 😂

Namun, tidak untuk seorang yang menunggu di sudut dekat tangga. Sepertinya wanita itu terlihat gelisah. Berkali-kali menatap ponsel dan memainkan kedua kakinya. Kemudian, mulai memeriksa isi tas sandangnya. Setidaknya ada hal yang bisa membuat seluruh tubuh itu sedikit bergerak.

Empat lima orang telah berlalu dan pulang. Masih ada banyak yang tergantikan. Nuri duduk di tengah counter, sedang memberi penjelasan tentang alamat yang perlu diubah.

"Harus sesuai dengan kode pos, Bu. Kalau tidak, server di sini tidak mau menerima."

"Saya tidak ingat berapa kode posnya. Tetapi, kemarin anak saya ketik nama kelurahan, otomatis muncul dengan sendirinya tuh kode pos."

"Kalau gitu kita coba lagi ya, Bu." Mbak costumer service itu pun menggeser layar PC di depannya agar terlihat oleh Nuri.

Ada banyak pilihan dan lokasi tempat tinggal Nuri tercantum di sana.

"Itu ada, Mbak."

"Oh, iya, Bu. Kemarin tidak muncul karena ketik kecamatannya saja. Ternyata ada beberapa di sini. Jadi, yang mana yang mau dipakai, Bu?"

Nuri menunjuk tiga kata terakhir dari bawah. Tidak sampai lima menit, buku rekening baru pun telah wanita itu terima. Sambil tersenyum manis, entah untuk siapa, dia melangkah keluar dan berjalan dengan santainya.

 

***

 

Kantor imigrasi terlihat lengang. Padahal sebelum virus mengerikan datang meraja, tempat ini seperti ikan pepes. Berdesak-desakan ingin segera sampai di barisan terdepan. Seperti yamaha, selalu terdepan. Kasihan yang lainnya. 😂

Okelah! Kali ini Nuri duduk manis menunggu yang terkasih berjuang sendiri. Pelan dan pasti, wanita itu harus merelakan anaknya melakukan semuanya sendiri. Pikirannya kembali ke satu sisi.

Mengingat kenangan indah juga lucu masa kecil mereka, Nuri tersenyum membayangkannya. Masa itu semakin jauh dan dia sangat rindu menggapai tubuh-tubuh mungil anak lelakinya. Sifat nekat wanita itu yang membawa mereka menggunakan motor ke kampung halamannya cukup membuat jantung berdesir. Walau jarak tempuh sampai dua jam, namun, rasanya sangat menyenangkan.

"Abang kalau ngantuk bilang ya? Biar mama berhenti sebentar."

"Iya."

"Pegang pinggang mama kuat-kuat ya."

"Iya."

Namun, saat itu, demi keamanan mereka bertiga, Nuri membawa kain panjang dan mengikat tubuh anak-anaknya ke pinggang.

Bukan hanya itu saja. Nuri terkadang membawa mereka liburan ke pantai. Menikmati deburan ombak dan berlari ketika dikejar buihnya.

Aaah! Waktu berjalan begitu cepat.

Ma, disuruh ke dalam. Langsung ke teler 4.

Tergopoh-gopoh Nuri menelusuri koridor setelah melihat pesan dari ponselnya. Sekedar bertegur sapa dan menjaga kesopanan bertanya tentang arah. Lalu, tampak di depan wanita itu, seorang pemuda rupawan yang siap menggapai seluruh mimpi-mimpinya. Dengan latar yang sama, seorang pemuda gagah yang ikut andil membawa mimpi-mimpi masa depan mereka. Apalagi yang kupunya, kalian berdualah hartaku yang paling berharga. Cepat sekali waktu membuat kalian tumbuh menjadi dewasa.

 

***

 


 

====

(FLASHBACK) DARI TANAH TANDUS

  Blurb: “Kak Ineee. Kepala Rubi pusing, Kak.” “Bertahanlah, Rubi! Bukan sekarang saatnya!” Ine dan Rubi, dua gadis kecil yang ter...