Jumat, 27 November 2020

Mimpi Basah

 

Airnya beriak ketika kukibaskan kaki ini di kolam yang berisi ganggang dan ikan sepat kecil-kecil. Sesekali tangan kanan ini pun menabur remah roti yang sedang kukunyah. Tangan kiriku sedang digenggam erat dan diletakkan di atas pahanya yang kekar. Dia, pujaanku, tersenyum manis, senyum yang selalu kusuka darinya. Kami bersenandung entah lagu apa.

Langit mendung saat itu. Aku mulai beranjak dan menelusuri tepi kolam. Seorang ibu sedang menemani anaknya bermain di tengah kolam. Tertawa bahagia dengan ikan-ikan berlompatan di sekeliling mereka. Aku juga ikut tertawa. Moment indah buat mereka berdua. Lalu aku menoleh saat dia mulai menggenggam tangan dan mengecup keningku mesra. Seketika hujan setengah lebat mulai menaungi suasana.

Aku mengerang dan tiba-tiba sudah terduduk di pinggiran pemecah ombak. Hanya aku sendiri di sana. Gemuruh dan juga kilat di langit serta suara ombak saling bertautan. Ada relief jingga di sudut angkasa di depanku. Lengkap dengan gerombolan burung camar.

Dari jauh, dari ujung antara ombak dan pemecahnya tampak seseorang sedang mengendarai motor traktor mini dan melambaikan tangannya ke arahku. Aku tidak tahu siapa dia. Pandanganku kabur tertutup air hujan yang mulai tumpah dari langit. Aku membiarkan airnya membasahi tubuh. Aneh. Aku tidak merasa kedinginan.

Motor traktor mini itu semakin mendekat. Kemudian mulai terlihat jelas dia dengan senyumnya. Ada rasa rindu yang luar biasa. Aku berdiri dan berlari ke arahnya tanpa perduli batu yang kupijak goyah. Aku oleng dan terjatuh menimpa buah...-- maaf -- 'adik kecil' dia. Pujaanku itu meringis dengan wajah membiru. Aku berkali-kali minta maaf lalu pergi berlari, tertawa menelusuri buih-buih ombak. Dia mengejarku di belakang. Ikut tertawa dan mensejajari langkahku. Aku manatapnya manja, dan kemudian beralih ke bawah. Kuharap 'adik kecil' itu tidak pecah.

Lelah berjalan di bawah hujan dan kami pun pulang. Aku heran, mengapa kami jadi terpisah di beda kendaraan? Seseorang di depanku bukan dia, tetapi mantanku. Tidak! Aku tidak sudi! Apalagi ketika lelaki itu ingin menggenggam tanganku. Berkali-kali kutepis. Rasanya ingin lompat saja dari atas motor itu. Lalu aku berteriak. "Berhentiiii!!!" 

Tanganku ditarik dia, pujaanku. Kami berlari seperti menjauhi sesuatu. Aku tidak ingin menoleh ke belakang. Perasaanku tidak karuan. Aku hanya memandangi punggung dia yang masih saja berlari sambil menggenggam tangan ini. Ibarat menonton film drama di adegan slow motion, begitulah yang terjadi. Hujan deras yang ikut menambah detailnya suasana haru membuat aku terkesima dengan segalanya. Dia memelukku erat. Matanya menatapku mesra. Lalu bibirnya mengecup keningku dan beralih ke bi....

Tanganku terhentak. Aku kaget. Kemudian terhentak kembali, bahkan lebih kuat dari yang tadi.

Mataku mengerjap-ngerjap, perih, karena air hujan yang masuk. Baju trainingku basah. Kulihat tangan Wak Dela yang menarik tangan ini dan Wak Tini yang menatap dengan pandangan iba. Mereka berdua pun basah kuyup dan mata mereka merah. Aku bingung, mengapa para tetanggaku ada di sini?

Tidak butuh waktu lama untuk pikiranku yang buntu kembali utuh. Aku duduk kemudian berdiri setelah melepaskan tangan Wak Dela.

"Periksa semua surat-surat penting dan ijazah." Wak Dela membantuku berdiri.

"Iya, Wak." Aku tergopoh-gopoh membuka lemari, dibantu dengan Wak Tini.

"Sudah setengah jam kami menggedor-gedor pintu rumahmu, Jeng. Ndak ada sahutan. Jadi, maaf, kami dobrak. Hujan deras dengan angin kencang menerbangkan beberapa atap rumah warga termasuk rumahmu. Syukur kamu ndak apa-apa." Wak Dela menjelaskan yang terjadi sambil berjalan ke luar, diikuti Wak Tini.

Aku mengikuti langkah mereka. Gigi bergeletuk dan tubuhku menggigil sambil memeluk map plastik yang berisi surat dan ijazah.

 

View by: Pinterest

Sabtu, 14 November 2020

Para Lajangku

Hening. Sepi di sekelilingku. Hanya terdengar nyanyian angin malam. Betapa damai tinggal di dusun ini. Mengalirlah segala cinta kasih. Sesekali ingin kuajak engkau datang menikmati rembulan bersinar.

Bening. Polos bola matamu membasuh segala luka di dalam jiwa. Engkau yang hadir bersama kesegaran seperti salju yang turun di musim dingin. Segera engkau dapat dengar nyanyian alam. Di dusun ini semua indah, tenteram.

 

Maukah kalian mendengar sepenggal ceritaku? Ceritaku ada liku terselip sembilu. Tapi ini bukan tentangku, ini tentang hartaku yang paling berharga, para lajangku. Rasanya baru kemarin aku timang. Dan cerita ini terkhusus buat dua lanang.

Yap! Kanak-kanak mereka berirama. Pasang surut yang kadang sering singgah menggoda. Bagiku biasa. Memang masanya bermain dan bercengkerama. Kadang terbawa ke dimensiku. Mengajak ke masa yang telah jauh lebih dulu kutempuh. Kening mereka berkerut ingin tahu. Salah satu sisi yang kusuka selalu.

Yap! Remaja mereka banyak luka. Sering kubawa ke arah yang tidak pernah terduga. Mengarungi bukit-bukit kecil serta pantai berombak agar sejenak terlupa. Kami sama. Bertahan dan berusaha menjaga. Menjaga perasaan yang lain tanpa kami tahu perasaan kami pun terluka. Ingin mereka begini. Inginku begitu. Tetap saja, tujuan kami sama. Dan itu semua bukan kemauan diri. Keadaan yang memaksa.

 

Kisah yang ingin kulupa. Saat di mana luka mereka menganga. Entah aku bisa apa. Mereka bernaung di bawah kediktatoran. Hanya bertahan dan tertahan, tanpa mampu melawan. Saat itu mereka tawanan yang jika melawan segera mendapat kepalan tangan.

Iyap! Kini usia mereka mulai beranjak. Namun, bagiku sosok mereka tetap kanak. Hingga mereka berhasil melewati segala onak. Berdiri bersama mereka saat ini dengan rasa haru sampai dagu mendongak. Dan mereka sadari bersama, saatnya bersorak. Karena telah melewati liku yang berserak.

Hhhh! Kali ini aku bagikan bahagia karena Allah yang berperan. Walau masih jauh perjalanan. Dan mungkin bukan berharap happy ending. Namun, insyaa Allah buat mereka bisa menjadi awal yang happier beginning.

Dan di sinilah kami bertiga. Menjalani hidup dengan segala versi yang kami punya. Menuju arah legawa. Karena memang begitulah seharusnya.

 

Senyap bagai dibasuh embun, musik pepohonan mengiringi istirah. Marilah bersamaku pecahkan makna. Memgembara hanya sekedar pertimbangan. Kembali dan peluklah tanah pusakamu. Di dusun ini mestinya bersemi cintamu.

Cintaku terhadap negeri ini 'kan kuturunkan padamu. Semburat sinar merah keemasan, gugusan senja di batas cakrawala. Marilah kutunjukkan agung tanah leluhur, Anakku.

Untuk anakku tercinta!

(EGA) 


Minggu, 08 November 2020

Melawan Rapuhku

Cerita ini hanya sepenggal dari kisahku. Sedikit pilu disertai sembilu. Agar kau pun tahu, saat itu terjadi aku masih penuh dengan doa dan harap.

Terkadang ada saat aku merasa gelisah menunggu kepulanganmu dari tugas harian. Gelisah karena aku sangat berharap kepulanganmu tinggal nama. Bahkan tidak jarang aku berharap engkau tidak akan pernah pulang.

Mengapa? Karena selama kau di rumah, kami seperti tinggal di neraka.

 

***

 

"Papa bisa saja menggugat Mama kembali dengan gugatan membawa barang-barang rumah tangga tanpa ijin dari Papa."

Nggak apa-apa. Yang penting aku sudah lepas dari kehidupanmu."

Wajahmu terdiam ketika aku mengatakannya. Entah apa yang ada di dalam hati dan pikiranmu saat kukatakan itu. Aku sudah tidak perduli. Sudah terlalu banyak dosa yang kuperbuat, aku tidak ingin menambah dosa lagi.

Itu percakapan kita di depan ruang meditasi kantor pengadilan agama. Sudah begitu lama kau terlalu merendahkanku. Aku juga tidak tahu mengapa kau selalu begitu. Alasanmu karena aku sebagai istri, harus patuh terhadap suami, akan tetapi, suami yang bagaimana dulu.

Sebagai seorang istri memang sudah seharusnya patuh terhadap perintah suami dan itu adalah salah satu jalan ke surga bagi kami, kaum istri. Namun, ternyata aku salah memilih partner perjalanan. Walau aku berusaha menikmati keseluruhan proses perjalanannya, akan tetapi, nakhkoda telah salah memilih tujuan.

Ketika kau melontarkan sesuatu di setiap kemarahanmu, kata-katamu itu meninggalkan bekas dan luka karena kata-kata sama buruknya dengan luka berdarah. Cemburumu yang tidak beralasan pun sangat mengganggu batinku.

Ada ketakutan yang berlebihan setiap kali orang tua atau adik-adikku datang mengunjungiku. Karena setelah mereka pulang, keributan pasti terjadi. Aku tidak tahu apa yang membuatmu jengkel.

Lalu, kejadian yang sangat mengiris batinku, adalah ketika para lajang pun merasakan hal yang sama seperti yang kurasakan..

"Nggak tahu terima kasih, kalian, sudah kukasih makan pun banyak tingkah!"

Deg! Jantungku mendidih mendengar kata-kata kasar yang keluar dari mulut seorang pemimpin. Sedangkan dua lajangku sedang duduk bersila, menunduk tak punya kuasa atas luapan emosi bapaknya.

"Kalian ada di dunia ini hanya jadi beban aku! Kelahiran kalian nggak ada manfaatnya buatku!"

Deg! Kali ini batinku yang mendidih. Ya, Allah, kalau saja bukan karena ingin menggapai ridhoMu, sudah kujawab kata-kata kasar itu dan pergi jauh membawa anak-anakku.

BUG!

Hantaman keras diterima oleh wajah lajangku yang pertama. Tubuh kecilnya terhempas mundur ke belakang.

Aku maju dan tidak terima. "Nggak perlu pakai dipukul segala, Pa!" aku berteriak, batinku berontak, "cukup katakan saja kesalahannya dan nasehati."

"Nggak perlu dinasehati. Mereka sudah mengerti. Harus dihajar sekali-sekali."

Dan aku berusaha ribut denganmu saat itu, agar engkau tidak lagi mengotori mulut dan tanganmu untuk para lajangku.

Sepeninggalmu kemudian, aku secara khusus meminta maaf kepada para lajang. Mereka hartaku yang paling berharga. Tanpa mereka aku rapuh. Tanpa mereka aku bukan apa-apa. Aku meminta maaf karena telah membawa mereka hadir di dunia ini.

 

***

 

Masih ada sepenggal kisah lain yang tidak ingin kukisahkan, karena ada banyak luka yang masih basah. Asa yang ingin kugapai adalah karena seringnya aku meminta kepadaNya untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Begitu juga dengan garis takdir rumah tanggaku, Allah membuatnya menjadi lebih mudah. Karena tidak semua di dalam kendaliku dan aku harus lebih menghargai hidup.

Aku yang sekarang sudah berbeda. Walau masih ada sedikit trauma. Bodoh yang dulu kau duplikatkan padaku, membuatku menyadari bahwa ternyata menjadi bodoh terasa menyakitkan. Mengetahui keadaan diriku yang bodoh adalah sebuah langkah awal untuk melakukan perubahan.

Kali ini aku benar-benar mengharap hanya kepada Yang Maha Kuasa. Yang memberiku kesempatan untuk berubah dan mencoba. Kecemasanku yang dulu sempat meraja, kini kubagi hanya pada Dia yang lebih kupuja

Aku berterima kasih kepadamu. Karenamu, aku bisa menjadi diriku yang sekarang ini. Karenamu, aku memiliki para lajang. Namun, aku lebih banyak berterima kasih kepada Rabb-ku, yang telah membuatmu datang kepadaku dan singgah di hidupku.

Paling banyak berterimakasih kepada Rabb-ku, karena telah Dia karuniai aku anak, para lajang, yang mengajariku banyak hal, yang membuka hatiku, bahwa mengasuh dan mendidik mereka adalah tentang memperbaiki diriku dengan sebaik-baiknya.

(FLASHBACK) DARI TANAH TANDUS

  Blurb: “Kak Ineee. Kepala Rubi pusing, Kak.” “Bertahanlah, Rubi! Bukan sekarang saatnya!” Ine dan Rubi, dua gadis kecil yang ter...