Senin, 30 Mei 2022

BELAHAN JIWA PART III

 

 

Assalamualaikum! Apa kabar? Semoga selalu dalam keadaan sehat dan baik-baik saja ya.

 

Akhirnyaaa ....

 

Sampai juga kita diakhir kisah Lara ya. Gimana nasibnya? Apakah berujung nestapa ataukah menyayat hati penuh air mata kebahagiaan?

 

Gak usah berlama-lama mengoceh ya. Kita lihat saja, yuuuk.

 

Cekidooot ....

 

 

 

 

Part V : Yang Sakit Mesti Mati

 

Tubuh Lara remuk redam. Wanita itu meringkuk menahan sakit lahir batinnya di atas ranjang. Dia berusaha menolak napsu Radith yang tidak terkendali. Akibatnya seluruh tubuh Lara menjadi pelampiasan emosi lelaki itu. Namun, dia merasa senang, karena berhasil menjaga harga dirinya.

Pelan Lara turun dari ranjang, bermaksud membasuh diri. Namun, belum sempat kakinya berdiri, Radith mendorong tubuh wanita itu hingga terhempas kembali ke ranjang.

"Uugh!" Lara memegang dadanya yang terasa sakit akibat tangan Radith yang mendorongnya sangat keras. Dia berusaha bangkit kembali.

Radith tidak memberi kesempatan wanita itu untuk bangkit. Kesal dan geram, tangannya mulai mengepal dan memukul Lara dengan membabi buta. Tidak ada perlawanan dari Lara. Wanita itu membiarkan perbuatan lelaki itu sampai dirasanya puas.

Lara memejamkan mata. Dia mulai merasa pusing dan ingin merebahkan kepala.

"Bangun! Bangun!" Radith menarik rambut Lara hingga wajahnya menyentuh wajah lelaki itu. "Tidak usah pura-pura mengantuk." Tangannya mengelus wajah Lara, lalu memukul tepat di hidungnya. "Wajah sok cantik ini tidak pantas untuk orang lain, dia hanya pantas untukku. Dengar! Untukku! Jadi jangan pernah kau pamerkan senyummu untuk orang lain. Paham!" Lelaki itu menghempaskan kepala Lara ke ranjang.

Kepala Lara semakin berdenyut, hidungnya mengeluarkan darah. Lelaki itu mondar mandir di depan pintu kamar mandi dan entah mengatakan apa. Pendengarannya kembali seperti dulu, terkadang kumat setelah mendapatkan hentakan dari benda tumpul. Lalu, tinju Radith datang lagi dengan bertubi-tubi. Lara terduduk menutupi wajah dengan lengannya hingga ke sudut ranjang.

Radith masih terus mengoceh tentang kekesalannya.

"Ke-ke-ke-kenapa k-k-kau lakukan ini padaku?" Lara memberanikan diri bersuara.

"Apa! Kau ingin tahu?" Wajah Radith semakin terlihat bengis. Ditariknya kaki Lara ke tepi ranjang.

"Aaargh!" Lara menjerit menahan tubuhnya.

Mereka bergumul di atas ranjang. Lara menggigit telinga Radith sekuatnya.

"Aaaaaaaargghh!!"

Lara berhasil lepas dari tangan dan kaki Radith, lalu turun dari ranjang dan berusaha keluar. Dengan menahan sakitnya, Radith kembali meraih kaki Lara dan wanita itu tersungkur di samping ranjang. Namun, Lara berhasil bangkit dan berlari menuju kursi kayu di dekat pintu. Dia mengangkat kursi itu dan membantingnya sekuat tenaga hingga menjadi potongan kayu. Lara meraih yang paling panjang dengan ujung yang sedikit runcing. Lalu, mengarahkannya ke depan Radith yang baru keluar dari kamar.

"Wow! Sayang!" Lelaki itu mengangkat tangannya ke atas. "Bukan begini caranya. Sayangku tidak akan berani melakukannya. Sayangku seorang yang lemah lembut. Letakkan kayu itu, Lara. Sayang?"

Lara semakin mempererat genggamannya pada kayu itu. "Kenapa kau lakukan ini padaku. Kenapaaaa!!" Lara berteriak.

"Hah? Kenapa? Hah.... Hahahahahahaha...." Lelaki itu memegang dagunya dan tertawa panjang. Lalu dia berjalan menuju tas yang tersampir di dinding dekat televisi. Mengambil sesuatu dan menunjukkannya di depan Lara. "Ini apa? Ini apa, hah?!" Tangannya mengacung berkas itu di depan Lara dan menghamburkannya. Lelaki itu berbalik dan meninju dinding.

Lara melihat sekilas judul besar di berkas dekat kakinya. Panggilan Sidang Pengadilan Agama.

"Bisa-bisanya kau bermain di belakangku. Apa yang kau ceritakan tentang kita kepada wanita itu, hah?!" Radith mondar-mandir di depan pintu kamar.

"Aku tidak menceritakan apa pun pada Jeni. Dia tahu sendiri ketika mengunjungiku."

Radith kembali meninju dinding hingga membuat Lara terkejut dan mundur. Kayu semakin erat digenggamnya.

Wajah Radith menunjukkan kebengisannya. Lelaki itu tersenyum. "Sekarang tidak perlu khawatir." Dia melangkah mendekati Lara. Tangannya ingin menggapai wajah cantik istrinya.

Lara tetap mengacung kayu itu hingga Radith mundur kembali. "Apa maksudmu?"

"Semua sudah kubereskan. Mereka-mereka yang ingin memisahkan kita, tidak akan pernah selamat dari pantauanku."

"Apa maksudmu? Apa yang kau lakukan terhadap Jeni dan Bian?" Lara mulai khawatir.

"Jeni? Wanita lemah itu tidak bisa apa-apa. Hmm? Bian? Dia tinggal nama sekarang." Radith tersenyum penuh arti.

Tubuh Lara mulai bergetar. Air matanya tumpah ruah seketika. "Mas, k-k-kau sakit!"

Radith tertawa tanpa henti.

 

***

 

"Jeni! Apa yang kau lakukan?" Lara menutupi wajah dari kamera ponsel sahabatnya.

"Hanya untuk jaga-jaga, untuk bukti atas apa yang sudah terjadi. Secepatnya harus kau laporkan. Tanpa laporan darimu langsung tidak akan kuat. Sebaiknya kau bicara terus terang dengan bang Bian. Aku akan minta padanya kau ditangani secara khusus."

"Jen. Aku nggak mau terjadi apa-apa dengan mas Radith."

Pupil Jeni langsung membesar di depan Lara. "Gila kau! Apa yang sudah dia lakukan terhadapmu ini, apa kau anggap nggak terjadi apa-apa? Dia sakit, Ra. Psikopat yang pesakitan. Kau harus menjauh darinya."

"Tapi, Jen....."

Jeni menggenggam erat tangan Lara. "Kita tunggu sampai anak-anakmu satu tahun. Oke? Serahkan padaku semuanya."

"Jeni. Aku juga nggak mau terjadi sesuatu terhadap kalian berdua." Mata Lara mulai berkaca-kaca.

"Nggak akan terjadi apa-apa. Bang Bian pengacara handal. Kalaupun akan terjadi sesuatu, dia tidak bodoh, Ra."

Itu pembicaraan mereka setahun yang lalu. Sejak melahirkan, hampir setiap hari Jeni berkunjung ke rumahnya saat Radith di kantor untuk memastikan setiap kondisi dan keadaan Lara. Walau terkadang ayah dan saudaranya juga berkunjung, namun, mereka tidak pernah tahu apa yang telah Radith perbuat padanya. Suaminya sangat pandai berkata-kata. Jeni telah banyak membantunya. Lewat Jeni, Lara jadi tahu tentang masa lalu Radith yang buruk. Seorang pesakitan, yang meraih segalanya dengan menghalalkan segala cara.

Sialnya, Lara sangat mencintainya. Radith mampu membuat seluruh harinya indah dan membuat Lara menjadi wanita yang sempurna. Sampai segalanya berubah, yang membuat sedikit demi sedikit terkikis rasa cintanya terhadap lelaki itu.

 

***

 

"Mereka tidak tahu apa-apa, mereka tidak salah, Mas. Kenapa te...."

"Ada!"

Suara Radith yang berteriak mengagetkan Lara. Dia mundur selangkah.

"Mereka ingin memisahkanmu dariku. Kau milikku! Siapa pun yang bertujuan ingin memisahkan kita tidak akan luput dari pantauanku, termasuk ibumu!"

"Apa maksudmu?" Bibir Lara mulai bergetar.

Sudut bibir lelaki itu terangkat sedikit. "Huh! Kau kira siapa yang membuat ibumu sampai seperti itu?" Bibirnya mencibir dan mendengus kesal. "Aku tidak sengaja mendengar pembicaraan mereka, ibumu dan Jeni. Tentu saja aku nggak mau segala rencana dan perjuanganku kandas begitu saja."

Kaki Lara mulai limbung. "Ja-ja-jadi? Ma-mas, kau...."

"Oooh, Lara, Sayang. Jangan terlalu naif."

Lara terduduk. Kayu di tangannya terlepas begitu saja.

 

Lara sampai terlebih dahulu di rumah sakit sebelum Radith. Mereka janji bertemu di sana. Namun, ketika Lara sampai di kamar, mata ibunya membesar dan tangannya menunjuk ke arah infus. Wanita itu tidak begitu memperhatikannya, dia terlanjur panik melihat kondisi ibunya yang mulai sekarat.

Dokter dan perawat berdatangan karena jeritan Lara. Tepat saat itu, Radith merangkulnya dari belakang. Menenangkannya dan menjauh dari aktivitas dokter serta perawat. Wanita itu tidak sadar bahwa mata ibunya terus menatap tajam kepada Radith di akhir hayatnya.

 

Lara tidak kuasa menahan air matanya. Ini salahnya. Ini salahku! Karena aku, mama....

"Aaaaaaaargh! Aaaaaaargh!" Lara berteriak dengan memukul-mukul dadanya. Ibunya meninggal sebulan sebelum hari pernikahan Lara. Lalu, dia menikah dengan pembunuh ibunya. Kejadian itu terus terbayang di pikiran. Rasa bersalah dan sakit hati membuat tangis dan teriakkannya semakin menjadi.

Radith duduk memeluk istrinya, mencoba menenangkan. "Sayang, bagaimana pun itu telah terjadi. Maafkan aku, hmm?" Tangannya menghapus air mata di wajah cantik istrinya.

Air mata Lara terus bergulir, namun, raut wajahnya tampak datar tak berekspresi.

"Uugh!" Radith mundur dan meraba perut. Kayu runcing itu telah tertancap di bagian kiri bawah perutnya. "La-la-lara...."

Wanita itu masih menatap wajah Radith tanpa ekspresi. Air matanya terus bercucuran dan dia semakin mendorong kayu itu. Lara mulai bangkit dan membiarkan Radith tersungkur. Tangan lelaki itu meraih kaki Lara. Salah satunya mencoba mencabut kayu dari perutnya.

Lara berlari menuju kolong sofa, meraih kunci yang dia sembunyikan di sana. Kemudian dia menuju pintu dan membukanya. Sebelum beranjak, kakinya terhenti di depan.

"La-la-ra, Sa-sayang. Ja-ja-jangan ti-tinggalkan aku. Aku sa-sa-sangat me-men-cintai-mu." Radith masih sempat berdiri dan membawa kayu itu ke arah punggung Lara.

Lara menutup pintu dan menguncinya kembali. Sengaja kunci itu tidak dia cabut. Lalu, dia beralih ke samping teras. Menuangkan seluruh isi bensin di sekeliling gubuk. Kemarin, saat berhasil melarikan diri, wanita itu sekilas melihat jeriken berisi bensin yang biasa dipakai Radith untuk mobilnya.

"Lara! Laraa!" Radith panik dan berteriak sambil memukul pintu.

Lara berdiri di depan teras. Mengambil mancis dari saku celana dan melemparkannya ke depan.

BOOF!

Api langsung menjalar ke sekeliling gubuk. Lara berjalan menuju double cabin. Secepat mungkin meninggalkan teriakkan Radith dan nyala api yang semakin membara.

 

EPILOG

 

Lara terduduk dengan pandangan kosong menatap gemerlap lampu kota dari balik jendela kamar rumah sakit. Tubuhnya penat setelah sehari penuh tidak sadarkan diri. Wanita itu hanya ingat saat belum separuh jalan, double cabin itu kehabisan bensin. Lalu, dia berusaha berjalan dengan kondisi yang lemah dan setelah itu dia tidak ingat lagi apa yang terjadi. Dari cerita perawat, sepasang suami istri, buruh perkebunan yang menemukan Lara di jalan dan membawanya ke rumah sakit. Namun, mereka langsung pulang karena tidak ingin terlibat lebih jauh.

Luka lembam di wajah dan tubuhnya mulai terasa sakit. Sakit hatinya pun lebih dari pada itu. Tangan kirinya terus-menerus mengusap perut dan matanya masih tetap kosong menatap gelapnya malam dari balik jendela.

Bagaimana sekarang? Apa yang harus aku lakukan, Nak? Kemudian, tanpa disadari, bulir-bulir bening itu terus berjatuhan di wajahnya yang tanpa ekspresi.

Sementara itu, dari luar kamar Lara, dari bagian UGD, sedari pagi beberapa dokter dan perawat disibukkan dengan kedatangan pasien yang mengalami luka bakar serius. Penanganan ekstra sampai kamar terisolasi pun terpenuhi untuk pasien tersebut.

"Baiklah. Saya pamit dulu." Lelaki itu melihat arlogi di tangan kirinya. "Untuk selanjutnya, saya serahkan wewenang penuh kesembuhan anda kepada ahlinya, Pak Radith."

Radith memberi kode dengan matanya lalu menoleh ke arah lain dan membiarkan orang kepercayaannya itu pergi. Dari balik perban yang menutupi hampir seluruh wajah, lelaki itu menatap salah satu kakinya yang digantung dengan perban juga, persis seperti mumi. Lara, sayang. Aku tidak akan benar-benar mati. Aku milikmu dan kau milikku. Kau belahan jiwaku.

 

_____

 

 


 

 

Gimana akhirnya? Mau dilanjutkan, gak? Gantung lagi ya.

 

Sebenarnya tulisan ini emang kupersiapkan untuk novelku yang dulu tertunda. Cuma dikarenakan aku ikutan event novelet dari penerbit AutumnMapleMedia, kuakhiri dengan plot twist yang ambigu.

 

Silahkan kasih aku saran, manteman, bagaimana keterusan dari tulisan ini.

 

Oke ya! Terima kasih, udah mampir di mari dan menyimak tulisanku kali ini. Semoga kisah ini pun dapat dinikmati dan membuat kita semua selalu melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang.

 

Wassalamualaikum! 

Sabtu, 14 Mei 2022

DARI SEGALA SUDUT ARAH ANGIN

view by Pinterest

 

 

Assalamualaikum, lama tak bersua.

Setelah libur panjang di hari raya, sepertinya aktivitas tetap HARUS berjalan lagi tanpa mengenal lelah. Yang bekerja, yaaa bekerja. Yang sekolah dan langsung dipertemukan dengan ujian akhir, yaaa terpaksa juga harus refresh kembali fungsi otak yang selama ini terbuai ponsel, makan dan bantal guling.

 

Setelah kedua anakku pergi merantau, gak banyak kegiatan yang aku lakukan. Sebenarnya menyenangkan setelah lama meliburkan diri dari pelototi ponsel dan memeras isi utak. Namun, ide-ide terkadang berseliweran di antara aliran nadi. Kalau kemarin aku harus membuka kotak ide dan langsung mengisinya, berarti sama saja aku gak ikut liburan dung.

 

Apa kata dunia? 🧐

 

Halaaah! Dunia baik-baik saja kok, walau aku gak menulis. Masalahnya aku sedang gak baik-baik saja. Bukan karena lagu Judika ya, tapi emang sedang gak enak hati untuk mulai menulis. Padahal ide sudah mulai mengetuk-ngetuk utak ini.

 

Ya, sutralah! Skip saza itu dulu. Aku datangkan antalogi cerpen selanjutnya, ARUNIKA BERCERITA. Event ini kuikuti secara iseng aja. Isi tulisan ini dibantu seseorang dan kupoles sesukaku. Awalnya memang untuk kuikutsertakan di lomba, namun, belum rejeki karena kelebihan kata. Lalu, ada lomba lagi dari penerbit lain, iseng juga kuikutsertakan, Alhamdulillah, masuk 100 besar dari 1300 naskah.

Dari 100 besar yang terpilih untuk dibukukan ada 13 naskah, dan naskahku tidak termasuk. Bagiku, sudah masuk dalam 100 besar saja membuat tubuhku melambung tinggi. Dan, karena bebas memilih ingin dibukukan atau tidak, kuputuskan untuk menarik naskahku. Event dari penerbit Aksara Cendikia inilah yang kuikuti.

Setelah beberapa lama mendem di sana, akhirnya keluar juga hasil dari penjurian mereka. Mimpi pun gak apalagi berhayal.

 

Kok bisa ya, aku dapat peringkat 3? 🤔

 

Yowes laa, gak usah berlama-lama. Kita intip langsung isi tulisannya. Cuuus, cekidot ....

 

 

 

 

 

Dari Segala Sudut Arah Angin

 

 

          "Lia? Liaaaa!!"

          Wajah Lintang pucat pasi. Di sampingnya tersandar tubuh Camelia. Jemari yang tadi digenggamnya kini lemah seperti tak bernadi. Lintang panik dan berteriak minta tolong.

          Tidak ada yang menyangka, siang itu, tempat mereka selalu duduk berdua menunggu padi yang menguning sambil mengusir kenakalan burung pipit, tidak terlihat seorang pun.

          Tubuh Camelia yang lemah dipanggul Lintang. Kaki jenjangnya berlari sebisa tenaganya menuju klinik tempat biasa warga mengadu sakit.

          "Lintang." Suara Camelia terdengar lemah. "Ikhlaskan aku, Lintang."

Lintang semakin mempererat pegangannya ke tubuh Camelia. Dia harus cepat sebelum semuanya terlambat.

 

***

 

          Beberapa orang berkumpul di saung dekat tembok samping rumah. Lintang melongokkan kepalanya. Sepertinya sudah mulai panen. Sawah di belakang rumah berbatasan dengan sawah milik Wak Rajab. Mereka juga mulai panen. Beberapa asik berbincang sambil menghisap rokok. Ada yang memasang alat perontok padi. Para ibu terlihat membuka bungkusan kain dan rantang lalu disusun di saung. Yang lain terlihat sedang memakai bedak dingin, yang katanya, bedak itu dipakai agar kulit wajah tidak legam menghitam.

          "Pintu pagar di depan sudah dikunci?" Wak Basri terlihat bersiap-siap menuju saung.

          "Sudah, Wak."

 

***

 

          Padi yang dipanen, diangkut ke bagian perontok padi. Yang lain bertugas mengumpulkan gabah yang sudah rontok dari malai, lalu dimasukkan ke goni. Sedangkan batang jerami biasanya ditumpukkan di tengah sawah, agar kemudian dibakar. Biar jadi pupuk.

          Semangat Lintang berbeda dari anak Wak Basri yang lain. Semenjak umur sepuluh tahun orang tuanya sudah meninggal. Lintang diasuh dan dibesarkan oleh Wak Basri, abang ibunya.

          "Lintang, tolong antarkan Camelia pulang ya."

          Lintang menoleh dan melihat Camelia. Dia tidak pernah tahu ada anak perempuan bernama Camelia di kampungnya. Mata Lintang tidak berkedip. Wajah putih pucat Camelia terlihat manis baginya. Banyak anak perempuan di kampung dan di sekolahnya, tapi yang ini berbeda.

          "Lintang?" Uwaknya menegur Lintang. "Belum pernah lihat Camelia ya?"

          Lintang mengangguk.

          "Camelia ini keponakan dari Wak Rajab. Baru datang seminggu yang lalu. Karena semua sibuk, jadi Uwak minta tolong sama kamu."

          Permintaan uwaknya tidak bisa ditolak. Lintang meninggalkan goni gabah yang dia pegang, menuju sepeda kumbang dan siap mengantar Camelia.

 

***

 

          Waktu menanam padi telah mulai kembali. Dua bulan waktu yang cukup untuk menyemai padi dan padi siap ditanam.

          Para petani menanamnya dengan cara manual. Bibit ditanamkan satu persatu dan dikerjakan bersama-sama. Mereka mengerjakannya secara keroyokan, termasuk Lintang di dalamnya. Begitu seterusnya sampai semua petak sawah tertanami.

          Selang beberapa waktu kemudian, keluarlah malai padi. Bagian padi yang kelak berisi biji padi. Dambaan para petani dari masa ke masa. Sesuatu yang dinantikan para pengepul gabah dan pengusaha beras.

          "Waktu malai ini keluar, tidak serta merta berisi biji padi. Tapi masih kopong. Seiring waktu, bulir ini mulai berisi. Namun, masih cair. Aku dan kawan-kawan menyebutnya masih 'susu'. Kalau kita ambil satu bulirnya, lalu dikupas kulitnya, yang keluar masih berupa cairan berwarna putih. Tapi kemudian 'susu' ini pun mengendap dan jadilah beras."

          Lintang tersenyum puas usai menyampaikan perihal tanaman padi yang sedang mereka jaga dari burung-burung. Mata Camelia selalu berbinar setiap kali Lintang bercerita. Lintang suka itu.

          "Kamu ingin menjadi petani ya?"

          Lintang menggeleng. "Tidak juga. Aku ingin mendirikan bengkel untuk alat-alat pertanian. Di kampung ini belum banyak alat yang memadai. Selain itu, suatu hari nanti, aku juga ingin memiliki sawah sendiri, agar aku bisa dekat dengan Uwak." Lintang menatap Camelia dan tersenyum.

          Sejak Lintang mengantar Camelia pulang, persahabatan mereka semakin dekat. Setiap hari Lintang membawa Camelia mengelilingi perkampungan. Jarak umur yang terpaut tujuh tahun tidak membuat Lintang gentar untuk mencintai Camelia.

          Camelia tidak menyelesaikan kuliahnya dikarenakan kondisi tubuh yang tidak memungkinkan. Orang tua Camelia membawanya ke kampung semata-mata untuk proses penyembuhan sakitnya.

          Lintang sangat senang ketika melihat Camelia tertawa lepas, saat dia membawa Camelia melihat pekerjaan awal mereka. Mereka membajak sawah. Ada yang pakai traktor, ada yang berpasangan dengan kerbau. Si kerbau pun diupah mandi lumpur dan perawatan dari burung ruwak-ruwak yang membersihkan punggung si kerbau dari kutu. Camelia terlihat bahagia.

 

***

 

          Lintang baru saja pulang dari sekolah ketika Camelia datang. Wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya.

          "Nanti aku akan menyusul ke sana. Ada yang harus kukerjakan dulu"

          Di sinilah Camelia. Menunggu Lintang di bawah saung yang terlindungi pohon mahoni. Sambil sesekali berteriak dan menggoyangkan kerincingan guna mengusir burung pipit.

          Selama di kampung, selain dengan sepupunya, Camelia hanya berteman dengan Lintang saja. Namun, sesekali Lintang selalu membawa teman-teman dan diperkenalkan kepadanya. Camelia merasa malu dengan kondisinya. Dia tidak sesehat kelihatannya. Belum lagi dengan umurnya yang lebih tua tujuh tahun dari Lintang. Semakin membuat Camelia rendah diri.

          Semangat Lintang terkadang membuatnya iri. Camelia juga punya keinginan dan cita-cita. Hanya saja, kanker kelenjar getah bening yang mulai menggerogotinya sejak lima tahun terakhir ini membuat fisiknya rentan terhadap apapun. Setelah tinggal di tempat uwaknya dan mengkonsumsi ramuan tradisional, kondisi tubuhnya tidak selemah dulu. Akan tetapi, bisa saja kumat sewaktu-waktu.

          "Lama nunggunya?" Tiba-tiba Lintang sudah duduk di samping Camelia.

          Camelia menggeleng dan tersenyum. "Maaf ya, aku tadi langsung ke rumahmu."

          "Nggak apa." Lintang menggenggam tangan Camelia. Lalu mulai bercerita tentang kehidupan setelah orang tuanya meninggal. Kehidupan selama tinggal dengan uwaknya, tempat dia sekarang menumpang hidup.

          Camelia ingin membesarkan hati Lintang, namun, tiba-tiba saja matanya sangat lelah dan dia seperti tidak bertenaga sama sekali. Camelia menyandarkan tubuhnya ke bahu Lintang. Suara Lintang semakin jauh terdengar.

 

***

 

          Lintang duduk di saung menikmati matahari sore dengan angin semilir, ditemani kicauan burung pipit dari pohon mahoni. Matanya memandang takjub hamparan hijau sawah yang terbentang di depan.

          Sudah lewat enam tahun dan telah banyak peristiwa yang terjadi. Lintang semakin dewasa. Masa-masa perkuliahan dulu, Lintang selingi dengan bekerja paruh waktu. Dia tidak ingin menyusahkan uwaknya. Sabarnya berbuah hasil. Dengan hasil kerjanya dia bisa membeli sawah Wak Rajab yang terjual dua tahun lalu.

          Tanah bagian depan di pinggir jalan dibangunnya usaha bengkel alat-alat pertanian. Sesuai dengan inginnya untuk menjadi seorang teknik mesin. Anak-anak Wak Basri memilih hidup merantau, meninggalkan orang tua mereka di kampung. Bagi Lintang, memilih tinggal dekat dengan Uwak merupakan harapannya. Agar sewaktu-waktu Lintang bisa dengan leluasa memperhatikan setiap kondisi uwaknya yang mulai uzur.

          Setahun setelah Lintang kuliah, Wak Rajab wafat. Sejak saat itu kabar tentang Camelia pun tidak terdengar lagi. Dia berharap Camelia tetap sehat, dan bukan pusara yang ingin Lintang temui jika harinya tiba.

          Mata Lintang memanas. Teringat kembali sehari setelah Lintang membawa Camelia ke klinik, keluarga Wak Rajab merawat Camelia ekstra ketat. Tidak ada seorang pun yang bisa menjenguk Camelia. Lintang pun mulai sibuk dengan ujian akhir sekolahnya. Mereka berdua hanya berkirim kabar lewat surat yang selalu dititipkan lewat Bik Narti, salah satu pekerja di rumah Wak Rajab yang masih saudara jauh dari istri Wak Rajab.

          Kini, Lintang menatap sawah hijau miliknya dan Uwak. Matahari sore mulai sedikit redup. Warna jingganya terlihat mempesona. Salah satu ciptaan paling indah dari Sang Maha Kuasa. Termasuk Camelia tentunya, batin Lintang.

          Seseorang memanggil dan melambaikan tangan ke arah Lintang dari seberang pematang sawah. Ternyata Bik Narti. Di belakangnya terlihat Wak Tati, istri Wak Basri. Lintang tidak mengenali wanita di belakang Wak Tati. Matahari sore menghalangi pandangannya.

          Namun, semakin dekat, semakin dia kenali pemilik wajah itu. Lintang berdiri dan matanya memanas lagi. Senyumnya merekah seketika, menatap lekat ke wajah putih pucat yang dia rindukan hadirnya.

 

 

====T A M A T====

 

 

 

 

Gimana? Apa ada gambaran tentang sawah? Eeee, kok sawah sih yaaaa, maksudnya tentang isi tulisan ini. 

 

Sekali lagi kuingatkan, kalau tulisan kita diikutsertakan dalam lomba maupun event tertentu, syarat dan ketentuan pun berlaku. Baik itu dalam jumlah kata maupun dalam jumlah halaman. Jadi, untuk beralih ke adegan selanjutnya bisa saja kupoles lewat alur mundur atau maju. Tergantung apa yang digantung. Eh? 🤪

 

Baeklah! Terima kasih ya, udah mampir di mari dan menyimak tulisanku kali ini. Semoga kisah ini pun dapat dinikmati dan membuat kita semua selalu melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang.

 

Wassalamualaikum!

(FLASHBACK) DARI TANAH TANDUS

  Blurb: “Kak Ineee. Kepala Rubi pusing, Kak.” “Bertahanlah, Rubi! Bukan sekarang saatnya!” Ine dan Rubi, dua gadis kecil yang ter...