Assalamualaikum! Apa
kabar? Semoga selalu dalam keadaan sehat dan baik-baik saja ya.
Akhirnyaaa
....
Sampai
juga kita diakhir kisah Lara ya. Gimana nasibnya? Apakah berujung nestapa
ataukah menyayat hati penuh air mata kebahagiaan?
Gak
usah berlama-lama mengoceh ya. Kita lihat saja, yuuuk.
Cekidooot
....
Part V : Yang
Sakit Mesti Mati
Tubuh Lara remuk redam. Wanita
itu meringkuk menahan sakit lahir batinnya di atas ranjang. Dia berusaha
menolak napsu Radith yang tidak terkendali. Akibatnya seluruh tubuh Lara
menjadi pelampiasan emosi lelaki itu. Namun, dia merasa senang, karena berhasil
menjaga harga dirinya.
Pelan Lara turun dari ranjang,
bermaksud membasuh diri. Namun, belum sempat kakinya berdiri, Radith mendorong
tubuh wanita itu hingga terhempas kembali ke ranjang.
"Uugh!" Lara memegang
dadanya yang terasa sakit akibat tangan Radith yang mendorongnya sangat keras.
Dia berusaha bangkit kembali.
Radith tidak memberi kesempatan
wanita itu untuk bangkit. Kesal dan geram, tangannya mulai mengepal dan memukul
Lara dengan membabi buta. Tidak ada perlawanan dari Lara. Wanita itu membiarkan
perbuatan lelaki itu sampai dirasanya puas.
Lara memejamkan mata. Dia mulai
merasa pusing dan ingin merebahkan kepala.
"Bangun! Bangun!"
Radith menarik rambut Lara hingga wajahnya menyentuh wajah lelaki itu.
"Tidak usah pura-pura mengantuk." Tangannya mengelus wajah Lara, lalu
memukul tepat di hidungnya. "Wajah sok cantik ini tidak pantas untuk orang
lain, dia hanya pantas untukku. Dengar! Untukku! Jadi jangan pernah kau
pamerkan senyummu untuk orang lain. Paham!" Lelaki itu menghempaskan
kepala Lara ke ranjang.
Kepala Lara semakin berdenyut,
hidungnya mengeluarkan darah. Lelaki itu mondar mandir di depan pintu kamar
mandi dan entah mengatakan apa. Pendengarannya kembali seperti dulu, terkadang
kumat setelah mendapatkan hentakan dari benda tumpul. Lalu, tinju Radith datang
lagi dengan bertubi-tubi. Lara terduduk menutupi wajah dengan lengannya hingga
ke sudut ranjang.
Radith masih terus mengoceh
tentang kekesalannya.
"Ke-ke-ke-kenapa k-k-kau
lakukan ini padaku?" Lara memberanikan diri bersuara.
"Apa! Kau ingin tahu?"
Wajah Radith semakin terlihat bengis. Ditariknya kaki Lara ke tepi ranjang.
"Aaargh!" Lara menjerit
menahan tubuhnya.
Mereka bergumul di atas ranjang.
Lara menggigit telinga Radith sekuatnya.
"Aaaaaaaargghh!!"
Lara berhasil lepas dari tangan
dan kaki Radith, lalu turun dari ranjang dan berusaha keluar. Dengan menahan
sakitnya, Radith kembali meraih kaki Lara dan wanita itu tersungkur di samping
ranjang. Namun, Lara berhasil bangkit dan berlari menuju kursi kayu di dekat
pintu. Dia mengangkat kursi itu dan membantingnya sekuat tenaga hingga menjadi
potongan kayu. Lara meraih yang paling panjang dengan ujung yang sedikit
runcing. Lalu, mengarahkannya ke depan Radith yang baru keluar dari kamar.
"Wow! Sayang!" Lelaki
itu mengangkat tangannya ke atas. "Bukan begini caranya. Sayangku tidak
akan berani melakukannya. Sayangku seorang yang lemah lembut. Letakkan kayu itu,
Lara. Sayang?"
Lara semakin mempererat
genggamannya pada kayu itu. "Kenapa kau lakukan ini padaku.
Kenapaaaa!!" Lara berteriak.
"Hah? Kenapa? Hah....
Hahahahahahaha...." Lelaki itu memegang dagunya dan tertawa panjang. Lalu
dia berjalan menuju tas yang tersampir di dinding dekat televisi. Mengambil
sesuatu dan menunjukkannya di depan Lara. "Ini apa? Ini apa, hah?!"
Tangannya mengacung berkas itu di depan Lara dan menghamburkannya. Lelaki itu
berbalik dan meninju dinding.
Lara melihat sekilas judul besar
di berkas dekat kakinya. Panggilan Sidang Pengadilan Agama.
"Bisa-bisanya kau bermain di
belakangku. Apa yang kau ceritakan tentang kita kepada wanita itu, hah?!"
Radith mondar-mandir di depan pintu kamar.
"Aku tidak menceritakan apa
pun pada Jeni. Dia tahu sendiri ketika mengunjungiku."
Radith kembali meninju dinding
hingga membuat Lara terkejut dan mundur. Kayu semakin erat digenggamnya.
Wajah Radith menunjukkan
kebengisannya. Lelaki itu tersenyum. "Sekarang tidak perlu khawatir."
Dia melangkah mendekati Lara. Tangannya ingin menggapai wajah cantik istrinya.
Lara tetap mengacung kayu itu
hingga Radith mundur kembali. "Apa maksudmu?"
"Semua sudah kubereskan.
Mereka-mereka yang ingin memisahkan kita, tidak akan pernah selamat dari
pantauanku."
"Apa maksudmu? Apa yang kau
lakukan terhadap Jeni dan Bian?" Lara mulai khawatir.
"Jeni? Wanita lemah itu
tidak bisa apa-apa. Hmm? Bian? Dia tinggal nama sekarang." Radith
tersenyum penuh arti.
Tubuh Lara mulai bergetar. Air
matanya tumpah ruah seketika. "Mas, k-k-kau sakit!"
Radith tertawa tanpa henti.
***
"Jeni! Apa yang
kau lakukan?" Lara menutupi wajah dari kamera ponsel sahabatnya.
"Hanya untuk
jaga-jaga, untuk bukti atas apa yang sudah terjadi. Secepatnya harus kau
laporkan. Tanpa laporan darimu langsung tidak akan kuat. Sebaiknya kau bicara
terus terang dengan bang Bian. Aku akan minta padanya kau ditangani secara
khusus."
"Jen. Aku nggak
mau terjadi apa-apa dengan mas Radith."
Pupil Jeni langsung
membesar di depan Lara. "Gila kau! Apa yang sudah dia lakukan terhadapmu
ini, apa kau anggap nggak terjadi apa-apa? Dia sakit, Ra. Psikopat yang
pesakitan. Kau harus menjauh darinya."
"Tapi,
Jen....."
Jeni menggenggam erat
tangan Lara. "Kita tunggu sampai anak-anakmu satu tahun. Oke? Serahkan
padaku semuanya."
"Jeni. Aku juga
nggak mau terjadi sesuatu terhadap kalian berdua." Mata Lara mulai
berkaca-kaca.
"Nggak akan
terjadi apa-apa. Bang Bian pengacara handal. Kalaupun akan terjadi sesuatu, dia
tidak bodoh, Ra."
Itu pembicaraan mereka setahun
yang lalu. Sejak melahirkan, hampir setiap hari Jeni berkunjung ke rumahnya
saat Radith di kantor untuk memastikan setiap kondisi dan keadaan Lara. Walau
terkadang ayah dan saudaranya juga berkunjung, namun, mereka tidak pernah tahu
apa yang telah Radith perbuat padanya. Suaminya sangat pandai berkata-kata.
Jeni telah banyak membantunya. Lewat Jeni, Lara jadi tahu tentang masa lalu
Radith yang buruk. Seorang pesakitan, yang meraih segalanya dengan menghalalkan
segala cara.
Sialnya, Lara sangat
mencintainya. Radith mampu membuat seluruh harinya indah dan membuat Lara
menjadi wanita yang sempurna. Sampai segalanya berubah, yang membuat sedikit
demi sedikit terkikis rasa cintanya terhadap lelaki itu.
***
"Mereka tidak tahu apa-apa,
mereka tidak salah, Mas. Kenapa te...."
"Ada!"
Suara Radith yang berteriak
mengagetkan Lara. Dia mundur selangkah.
"Mereka ingin memisahkanmu
dariku. Kau milikku! Siapa pun yang bertujuan ingin memisahkan kita tidak akan
luput dari pantauanku, termasuk ibumu!"
"Apa maksudmu?" Bibir
Lara mulai bergetar.
Sudut bibir lelaki itu terangkat
sedikit. "Huh! Kau kira siapa yang membuat ibumu sampai seperti itu?"
Bibirnya mencibir dan mendengus kesal. "Aku tidak sengaja mendengar
pembicaraan mereka, ibumu dan Jeni. Tentu saja aku nggak mau segala rencana dan
perjuanganku kandas begitu saja."
Kaki Lara mulai limbung.
"Ja-ja-jadi? Ma-mas, kau...."
"Oooh, Lara, Sayang. Jangan
terlalu naif."
Lara terduduk. Kayu di tangannya
terlepas begitu saja.
Lara sampai terlebih
dahulu di rumah sakit sebelum Radith. Mereka janji bertemu di sana. Namun,
ketika Lara sampai di kamar, mata ibunya membesar dan tangannya menunjuk ke
arah infus. Wanita itu tidak begitu memperhatikannya, dia terlanjur panik
melihat kondisi ibunya yang mulai sekarat.
Dokter dan perawat
berdatangan karena jeritan Lara. Tepat saat itu, Radith merangkulnya dari
belakang. Menenangkannya dan menjauh dari aktivitas dokter serta perawat.
Wanita itu tidak sadar bahwa mata ibunya terus menatap tajam kepada Radith di
akhir hayatnya.
Lara tidak kuasa menahan air
matanya. Ini salahnya. Ini salahku! Karena aku, mama....
"Aaaaaaaargh!
Aaaaaaargh!" Lara berteriak dengan memukul-mukul dadanya. Ibunya meninggal
sebulan sebelum hari pernikahan Lara. Lalu, dia menikah dengan pembunuh ibunya.
Kejadian itu terus terbayang di pikiran. Rasa bersalah dan sakit hati membuat
tangis dan teriakkannya semakin menjadi.
Radith duduk memeluk istrinya,
mencoba menenangkan. "Sayang, bagaimana pun itu telah terjadi. Maafkan
aku, hmm?" Tangannya menghapus air mata di wajah cantik istrinya.
Air mata Lara terus bergulir,
namun, raut wajahnya tampak datar tak berekspresi.
"Uugh!" Radith mundur
dan meraba perut. Kayu runcing itu telah tertancap di bagian kiri bawah
perutnya. "La-la-lara...."
Wanita itu masih menatap wajah
Radith tanpa ekspresi. Air matanya terus bercucuran dan dia semakin mendorong
kayu itu. Lara mulai bangkit dan membiarkan Radith tersungkur. Tangan lelaki
itu meraih kaki Lara. Salah satunya mencoba mencabut kayu dari perutnya.
Lara berlari menuju kolong sofa,
meraih kunci yang dia sembunyikan di sana. Kemudian dia menuju pintu dan
membukanya. Sebelum beranjak, kakinya terhenti di depan.
"La-la-ra, Sa-sayang.
Ja-ja-jangan ti-tinggalkan aku. Aku sa-sa-sangat me-men-cintai-mu." Radith
masih sempat berdiri dan membawa kayu itu ke arah punggung Lara.
Lara menutup pintu dan
menguncinya kembali. Sengaja kunci itu tidak dia cabut. Lalu, dia beralih ke
samping teras. Menuangkan seluruh isi bensin di sekeliling gubuk. Kemarin, saat
berhasil melarikan diri, wanita itu sekilas melihat jeriken berisi bensin yang
biasa dipakai Radith untuk mobilnya.
"Lara! Laraa!" Radith
panik dan berteriak sambil memukul pintu.
Lara berdiri di depan teras.
Mengambil mancis dari saku celana dan melemparkannya ke depan.
BOOF!
Api langsung menjalar ke
sekeliling gubuk. Lara berjalan menuju double cabin. Secepat mungkin
meninggalkan teriakkan Radith dan nyala api yang semakin membara.
EPILOG
Lara terduduk dengan pandangan
kosong menatap gemerlap lampu kota dari balik jendela kamar rumah sakit.
Tubuhnya penat setelah sehari penuh tidak sadarkan diri. Wanita itu hanya ingat
saat belum separuh jalan, double cabin itu kehabisan bensin. Lalu, dia
berusaha berjalan dengan kondisi yang lemah dan setelah itu dia tidak ingat
lagi apa yang terjadi. Dari cerita perawat, sepasang suami istri, buruh
perkebunan yang menemukan Lara di jalan dan membawanya ke rumah sakit. Namun,
mereka langsung pulang karena tidak ingin terlibat lebih jauh.
Luka lembam di wajah dan tubuhnya
mulai terasa sakit. Sakit hatinya pun lebih dari pada itu. Tangan kirinya
terus-menerus mengusap perut dan matanya masih tetap kosong menatap gelapnya
malam dari balik jendela.
Bagaimana sekarang?
Apa yang harus aku lakukan, Nak? Kemudian, tanpa disadari, bulir-bulir bening itu terus berjatuhan di
wajahnya yang tanpa ekspresi.
Sementara itu, dari luar kamar
Lara, dari bagian UGD, sedari pagi beberapa dokter dan perawat disibukkan
dengan kedatangan pasien yang mengalami luka bakar serius. Penanganan ekstra
sampai kamar terisolasi pun terpenuhi untuk pasien tersebut.
"Baiklah. Saya pamit
dulu." Lelaki itu melihat arlogi di tangan kirinya. "Untuk
selanjutnya, saya serahkan wewenang penuh kesembuhan anda kepada ahlinya, Pak
Radith."
Radith memberi kode dengan
matanya lalu menoleh ke arah lain dan membiarkan orang kepercayaannya itu
pergi. Dari balik perban yang menutupi hampir seluruh wajah, lelaki itu menatap
salah satu kakinya yang digantung dengan perban juga, persis seperti mumi. Lara,
sayang. Aku tidak akan benar-benar mati. Aku milikmu dan kau milikku. Kau
belahan jiwaku.
_____
Gimana
akhirnya? Mau dilanjutkan, gak? Gantung lagi ya.
Sebenarnya
tulisan ini emang kupersiapkan untuk novelku yang dulu tertunda. Cuma
dikarenakan aku ikutan event novelet dari penerbit AutumnMapleMedia,
kuakhiri dengan plot twist yang ambigu.
Silahkan
kasih aku saran, manteman, bagaimana keterusan dari tulisan ini.
Oke
ya! Terima kasih, udah mampir di mari dan menyimak tulisanku kali ini. Semoga
kisah ini pun dapat dinikmati dan membuat kita semua selalu melihat sesuatu
dari berbagai sudut pandang.
Wassalamualaikum!