Senin, 07 Februari 2022

KEMBARA LINTAS DUA JIWA


Ini antalogi yang kesekian di tahun 2021 kemarin. Memang tidak masuk kategori juara, akan tetapi
 Alhamdulillah, tulisan ini terpilih dalam nominasi juara. Event lomba ini diadakan oleh penerbit PROKREATIF yang sedang merayakan hari jadi berdirinya penerbit tersebut.


Rasanya tidak rugi mengikuti event ini. Asli! semua tulisan sesama teman literasi keren semua. Aku merasa isi tulisanku yang malah kurang berbobot. Dan aku tidak tahu, bagaimana juri menilainya sehingga tulisan ini bisa masuk kategori dan kontribusi. ^,^

Mengusung tema DUA dan JULI, event ini bertema bebas. Entah kenapa aku memilih genre yang agak melenceng dari tulisanku yang biasa, horor-thriller. Aku mengambil tema DUA. Mungkin karena anak lajangku dua orang ya Ehehehe. Mudah-mudahan masih bisa dicerna ya isinya. 🤭


Yowes la! Cukup cuap-cuapnya. Kita cek aja gimana isi tulisanku kali ini eaaaaa ....
Cekidot, yuuk ....


====>

"Sakit, Ma. Huhuhuuu."

Rahang Lia mengeras. Masih ada rasa kesal di dada. Tangan itu belum ingin berhenti dari kaki putranya.

"Sudahlah, Li." Ibunya kembali dari arah dapur. Tidak tahan dengan tangis si cucu. "Baru sekali dia bolos mengaji. Jangan terlalu juga dibawa emosi."

"Kalau tidak dicubit, nanti malah bolos lagi."

"Nggak, Maa. Nggaaak."

Neneknya langsung mengangkat pria kecil yang masih terisak itu. "Sudah. Urus saja dulu kerjaanmu. Genta biar sama ibu."

Lia menahan bendungan di pelupuk mata dan kembali menuju tokonya.

 

***

 

Amplop coklat panjang di atas meja dipandangi Lia dengan tatapan kosong, sedang pikiran dan hati entah ke mana-mana.

Bagaimana bisa?

Hal itu yang pertama kali terbersit di pikiran. Selama ini dia merasa baik-baik saja. Hanya karena mengikuti pemeriksaan rutin di rumah sakit atas undangan teman sekolah dulu, dunia Lia menjadi terbalik.

Sejak itu, didikan Lia terhadap Genta semakin keras. Dia merasa tidak banyak waktu tersisa. Karenanya, kejadian tadi siang benar-benar kekalutan yang luar biasa bagi wanita itu. Meskipun malamnya Lia menangis memeluk putranya, mengobati kaki kecil yang mulai membiru bekas cubitannya. Namun, hal itu pun tidak membantu meredakan risau hati.

"Ayah Genta nggak bakal balik. Sebaiknya kau menikah saja lagi."

"Untuk apa setia terhadap pria nggak bertanggung jawab. Hidup ini masih panjang."

"Kau berhak bahagia, Li. Masih banyak lelaki yang bisa membahagiakanmu. Cobalah untuk membuka hati."

"Genta butuh ayah, meskipun kau nggak begitu butuh."

"Jangan terlalu menyalahkan diri sendiri atas apa yang terjadi pada hidupmu. Nggak semua kesalahan terjadi karena diri kita. Bisa jadi ini cara Tuhan membuatmu menjadi seseorang yang tinggi derajatnya."

Kalimat terakhir dari sahabatnya itu membuat mata hati Lia terbuka.

Memang benar, sejak wanita itu bertemu dengan Dino Satrio, hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Segalanya telah dia berikan.

Apalah daya dirinya yang hanya gadis kampung, lugu, polos dan tidak memiliki apa-apa. Setelah hamil dua bulan, Dino meninggalkannya begitu saja. Tanpa pesan apapun. Dada Lia selalu bergemuruh jika mengingat semua itu. Akan tetapi, dia harus melanjutkan hidup. Demi anak yang dikandungnya.

Namun, hasil roentgen rumah sakit ....

 

***

 

"Coba katakanlah padaku. Aku masih sahabatmu, 'kan?

Lia terduduk melamun. Dini sampai tersentak kaget melihat perubahan sahabatnya ketika wanita itu mengunjungi toko. Seingat Dini, sejak pulang dari rumah sakit, Lia cukup lama 'bersembunyi'. Garis wajahnya berubah, tidak seperti dulu. Murung dan tidak bergairah. Kehilangan sinar dan binar.

"Nggak bisakah kau cerita padaku, Li, apa yang sedang kau alami?"

Lalu, terlihat buku jari Lia mulai terkepal, entah genggam apa. Katup mulutnya pun terkunci, entah simpan apa. Bola mata wanita itu juga terlihat dingin serta pudar, diam tidak terbaca. Desah napas menjadi tersumbat. Tanpa bisa dihentikan air matanya tumpah begitu saja.

Dini meraih pundak dan merengkuh tubuh ringkih Lia. "Sampai kapan seperti ini, hmm?"

Lia masih terus menangis. Dini tidak ingin mengatakan apa-apa lagi.

 

***

 

"Lia. Setidaknya kau udah bahagia di sana, 'kan? Ada Ginta yang menemani." Dini tertunduk menahan bendungan yang dari tadi akan tumpah. Masing-masing tangannya memegang nisan Lia dan Ginta, abang Genta yang dua menit lebih dulu lahir darinya.

Ternyata tangis Lia dua tahun lalu itu dikarenakan risau hatinya untuk Genta. Ada beban yang teramat sulit untuk dikatakan. Dia hanya ingin melihat putranya tumbuh besar. Mengajarinya tentang hidup dan kehidupan. Menjalani hari-hari dengan tenang serta menjadi imam yang baik. Namun, kanker otak yang diderita wanita itu, membuat kebersamaan mereka hanya bisa dinikmatinya sampai umur Genta sepuluh tahun.

Pagi engkau berangkat, Li.

Diakhir harimu pun, kau masih sempat mengatakan kepada Genta untuk menjaga diri, jangan bolos mengaji, jangan tinggalkan sembahyang lima waktu, patuh dan dengar setiap perkataan orang tua.

Pria kecil yang tidak mengerti apa-apa itu hanya mengangguk di pelukan ibunya. Dini tidak kuasa menahan tangis. Juga wanita paruh baya yang duduk di samping Lia. Air mata seorang ibu itu tidak henti-hentinya terjatuh.

Seperti pesan dan saran Dini pada Lia dua tahun lalu, "memang bukan karena cinta, cinta Genta sepertinya sudah cukup bagimu, 'kan."

Rasa putus asa dan kehilangan percaya diri membuat sahabatnya ini kehilangan tempat berpegang. Dini mengajak Lia untuk meraih sesuatu yang paling dalam, yang mungkin sejenak terlupakan, iman.

"Jangan takut. Semua yang kita miliki ini sebenarnya milik Allah. Bahkan kau pun milik Allah, aku, Genta, Ibu, semua pasti diambil Allah lagi. Hanya waktunya saja yang tidak tentu."

Dini masih mengusap bahu Lia, menenangkan dan mencoba membangkitkan gairah hidupnya kembali.

"Untuk Genta, kau pun jangan takut. Karena Allah otomatis 'kan selalu menjaga hambanya."

"Tapi aku takut dia kehilangan diri dan menjadi pribadi yang jahat." Lia mengangkat tubuhnya dari rengkuhan Dini sambil mengusap air mata.

"Insyaa Allah, tidak akan. Doa-doamu untuknya 'kan selalu kau panjatkan." Dini menggenggam jemari sahabatnya sambil tersenyum. "Aku percaya. Kau seorang ibu yang baik, Li. Kau hidup memang untuk kedua anakmu."

Lalu, sejak itu, Lia semakin banyak tersenyum. Menikmati hari hingga waktu membawanya pergi.

Sampai jumpa, Li.

 





Di tulisan ini, aku membayangkan sebagai Camelia. Mencoba menyadari masa hidupku yang kian menipis. Meninggalkan anak yang masih teramat kecil untuk mencari tahu sendiri arti kehidupan. Akhirnya mewek sendiri. Sambil menyelesaikan naskah ini, air mataku pun ikut meluncur. 

^,^

Ide ceritanya terinspirasi dari kisah seorang teman, yang ditinggal pergi lebih dulu oleh ibunya ketika berusia sepuluh tahun. Mudah-mudahkan Beliau membaca tulisanku ini. 🤗

Jadi, semoga kisah ini pun dapat dinikmati ya, dan membuat kita semua selalu melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang.

Wassalamualaikum!




37 komentar:

  1. Ceritanya amat menarik, gaya bahasanya bagus sekali

    BalasHapus
  2. sepertinya saya baca di atas genrenya horror thriller, kok baca ceritanya jadi termehek-mehek saya

    keren ceritanya mbak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maksudnya, saya biasa bikin cerita genre horor-thriller, mbaa,
      Sedangkan yang saya ikut sertakan dalam lomba ini jauh dari genre yang selalu saya bikin 🤗

      Makasih, udah mampir ya, mbaa 👏👏

      Hapus
  3. mudah2an dengan sering baca cerpen seperti ini, saya bisa ketularan mahir juga menyusun katayang mengalir. thank you mba for sharing.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya malah gak bisa nulis artikel, mbaaa 😫

      Hapus
  4. Ceritanya bagus sekali mba, ngalir dan terperinci.Mudah-mudahan suatu saat aku juga bisa nulis bukuku sendiri.

    BalasHapus
  5. Insyaa Allah, aamiin,

    Berjuang, mbaa 👏👏👏🔥🔥🔥

    BalasHapus
  6. Ceritanya menarik dan memberi inspirasi. Semoga dapat mengikuti jejaknya, Mbak.

    BalasHapus
  7. So sad 💔. Sangat menyentuh, apalagi ketika tahu endingnya si tokoh utama yg akhirnya meninggal dunia... Sedihnya bukan main...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya aja yang mendengar ceritanya langsung masih terpikir-pikir gimana perasaan wanita itu, mbaa 😅

      Hapus
  8. Menjadi ibu bukanlah hal yang mudah :( menanggung beban amanah anak

    BalasHapus
  9. Jadi auto mewek nih MB bacanya .... Segitu sedihnya... Tapi ini realita

    BalasHapus
  10. Saya merasa tulisan ini dari hati Mb ya g terdalam.
    Saat saya membacanya saya jadi iku menangis dan tersentuh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, mbaa, aku membayangkan menjadi ibu anak itu yang akan meninggalkannya di umur yang masih sangat kecil, 🥺

      Hapus
  11. Cerita sendu.. jadi ingat kisah anak2 yang ditinggalkan orang tua. Belum bisa menetukan nasib sendiri, hanya bisa pasrah dengan takdir.. jadi terbawa haru..🙄

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener, mbaa, terbawa arus tanpa ada sentuhan kasih seorang ibu

      Hapus
  12. Bacanya beneran bisa merasakan perasaan tokoh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Karena begitulah seorang wanita ya, mbaa 🤗

      Hapus
  13. Camelia....aku ikut sedih bacanya. Dutinggal suami, ditinggal anak diapun harus meninggalkan genta karena kanker otak huhuhu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau terjadi di kita, udah gak sanggup x ya, mbaa 😭

      Hapus
  14. Kok jadi sedih, ternyata Camelia ini keras sama Genta karena merasa nggak bisa jaga untuk selamanya ya :")

    BalasHapus
  15. Gitulah, mbaa, kadang perasaan gundah seorang ibu sulit dicerna akal sehat 🥺

    BalasHapus
  16. masyaallah... ceritanya bikin pilu 🥺 btw, barakallah mba antologinya masuk nominasi.. ceritanya emang kereenn

    BalasHapus
  17. Sedih mbak 😭😭

    Aku tim ibu2 yg gampang mewek kalo ngomongin anak sama perpisahan.

    BalasHapus
  18. Ceritanya bagus dan ngalir, thanks utk sharingnya mba..

    BalasHapus
  19. pemilihan katanya bagus kak, alami cerita kehidupan sehari-hari

    BalasHapus
  20. Sad.. Kalau tahu waktunya tidak lama lagi, bukankah lebih baik digunakan untuk melimpahkan kasih sayang, bukan sebaliknya? Pasti bersyukur sekali seorang ibu menahan sakit sendiri

    BalasHapus
  21. Menarik mbak... mantap. Jangan berhenti berkarya... lanjutkan

    BalasHapus
  22. Ceritanya inspiratif sekali, Mbak. Semangat terus berkarya ya.

    BalasHapus
  23. Menarik sekali kak ceritanya. Melihat covernya estetik simple gitu. Semangat berkarya terus kak.

    BalasHapus
  24. Kok sedih bacanya. Masyaallah, barokallah antologinya keren kak.

    BalasHapus

(FLASHBACK) DARI TANAH TANDUS

  Blurb: “Kak Ineee. Kepala Rubi pusing, Kak.” “Bertahanlah, Rubi! Bukan sekarang saatnya!” Ine dan Rubi, dua gadis kecil yang ter...