Senin, 28 Februari 2022

SATU SIMETRIS


 

Assalamualaikum! Cerita apa kali ini kita?

Hmmm? 🤔

Apa ya?

Hmmm?

Ada, sih, satu tulisanku yang bergenre thriller. Tahun lalu, 2021, aku ikut event dan kelas menulis dari KMO Indonesia. Untuk novel, Alhamdulillah, udah terbit dan udah ku-share juga di blog kemarin.

 

Tulisan kali ini berupa antalogi dari tugas kelompok di Batch 37 yang aku ikuti. Seperti biasa, tulisanku tetap bercerita seputar gore-gore. 😅

 

Isinya udah diubah dikit. Dikit ajah! Ada adegan yang dilarang oleh pihak PJ KMO. Menurut beliau, adegan itu terlalu sadis.

 

Entahlah.

 

Kurasa setiap genre thriller yang kuusung di cerita tidak begitu banyak adegan sadis yang mengerikan. Paling hanya seputar benda tajam yang salah sasaran. Lagi pula, aku juga bingung, kenapa suka menulis yang berhubungan dengan kekejaman. Apa itu merupakan sisi gelapku ya? 🤭

 

Baeklah! Cukup cuap-cuapku. Kita baca aja tulisanku di antalogi LABIRIN ASA yang kuberi judul SATU SIMETRIS.

Cekidot eaaaa ....

 

 

 

 

“Aduh!”

Seseorang menyenggol bahu Jeni kasar. “Mana punyamu?”

“Apanya?”

“Gak usah pura-pura bodoh. Peer.”

Jeni memasang tampang lugu. “Yaaah, barusan kuletakkan di meja Miss Yuni.”

Pupil Dio membesar seketika. “Oalaaa.” Pemuda itu berlari menuju kelas, meninggalkan Jeni yang lebih menikmati langkah pelannya.

Beberapa teman juga mulai berlari dan berjalan cepat menuju kelas. Memang sudah kebiasaan jika Miss Yuni, guru bahasa Inggris memberi tugas. Dikumpulkan di meja beliau sebelum bel masuk berbunyi. Sudah pasti kelas menjadi riuh. Semua sibuk menyontek tugas bagi murid yang malas mengerjakan.

Jeni mulai melambatkan langkah. Enggan mencapai kelas dalam situasi seperti ini. Gadis itu memilih jalur memutar melewati koridor perpustakaan. Lebih baik berjalan jauh sedikit dari pada mendengar beberapa teman yang mengatakan dirinya pelit.

Tiba-tiba dari pintu perpustakaan keluar Pak Rusli, guru Biologi. Di belakang Beliau menyusul seorang murid laki-laki. Mereka berdua terperangah. Pak Rusli melongo. Wajah Jeni dan murid laki-laki itu bagai pinang di belah dua.

 

***

 

Bagaimana bisa?

“Jeri sudah lama ingin bertemu denganmu.” Seorang lelaki tua, mengaku ayah dari ayahnya, Kakek Sudi, tersenyum ramah mengusap puncak kepala gadis itu.

Pemuda di samping Kakek Sudi, yang berpapasan dengannya di depan ruang perpustakaan tadi pagi, menatapnya dengan tatapan aneh.

“Akhirnya kalian bertemu juga ya. Mungkin sebentar lagi Jefri akan sampai.” Mbah Wito, ayah ibunya, pria tua yang selama ini mengasuh Jeni, menyahut dari kursi tua di belakang mereka.

Siapa lagi Jefri?

Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Jeni. Sontak mereka semua menoleh ke seorang pemuda berkaca mata yang berdiri di depan pintu.

“Menungguku?” Seringainya sedikit aneh.

Wajahnya tidak jauh berbeda dari Jeri dan Jeni. Hanya kaca mata yang membuat mereka bertiga tidak terlihat sama.

Mbah Wito langsung berdiri dengan membawa tongkatnya. “Lama tidak bertemu, Jefri. Bagaimana keadaan Beirut? Lalu, kenapa kau tidak datang dengan ayah dan ibumu?”

Jefri tersenyum kecut. “Hentikanlah sandiwaramu, Kakek Tua. Katakan saja semua kebenaran itu pada mereka.” Suara pemuda itu tegas dan matanya menatap tajam ke arah Jeri dan Jeni.

“Apa maksudmu? Nggak seharusnya kau berkata kasar kepada Mbah!” Jeri maju selangkah menghalangi tubuh tinggi Jefri yang mencoba mendekati Mbah Wito.

Apa-apaan mereka!

“Kau nggak sadar sudah berapa lama dibodohi mereka?” Jefri menekan ujung telunjuknya ke dada Jeri.

Entah kecepatan yang bagaimana, tiba-tiba saja Kakek Sudi sudah berada di antara kedua pemuda itu. Jefri mundur beberapa langkah. Dengan cekatan tangan itu meraih sesuatu dari samping tas selempangnya. Stik dengan ukuran sejengkal orang dewasa sudah berada di genggamannya dan dengan sekali hentakkan ke depan, seketika ujungnya mengeluarkan cahaya biru panjang. Kemudian, benda itu secepat kilat mengarah ke batang leher Kakek Sudi.

“Aaargh!” Jeni memekik keras dan pupilnya membesar. Namun, Kakek Sudi berhasil menghindar dan hanya tergores di bagian lengan kirinya. Darah muncrat ke seluruh permukaan dinding dan lantai. Seluruh isi rumah tampak seperti kapal pecah.

Mbah Wito berdiri tegak dan mengacungkan tongkatnya ke wajah Jefri. Belum sempat Jefri maju selangkah, Jeri menarik tongkat Mbah Wito dengan kasar. Lelaki tua itu terpelanting ke belakang. Ujung benda berwarna biru itu sudah menancap di pelipis keriputnya.

Gila! Mereka gila!

Jeni masih memekik ketakutan. Sebelum semuanya menjadi gila, kakinya berlari menuju pintu. Tiba-tiba saja Jeri sudah berdiri di depan dan menghalangi langkahnya.

“Ap ....” Kata-kata Jeni berhenti di tenggorokan. Tadi siang setelah pulang sekolah, dia sempat bercerita kepada Mbah Wito tentang pertemuannya dengan Jeri di sekolah.

“Oh, sudah bertemu, tah? Dia abangmu yang lebih dulu keluar dua menit darimu. Kalian sebenarnya kembar tiga. Karena suatu alasan, kalian dibuat terpisah dan menjalani hidup layaknya orang biasa.”

Awalnya gadis itu tidak ingin percaya sama sekali dengan ucapan Mbah Wito. Sampai sore tadi pemuda itu datang ke rumah, lalu malam ini, hal gila ini, terjadi begitu saja.

Jefri menggenggam jemari Jeni. “Kau percaya apa yang dikatakan Kakek Tua itu?”

Wajah gadis itu membias. Dia hanya mengangguk.

“Aku dan Jeri sudah tahu. Kami pun membuat rencana. Aku sengaja membunuh kedua orang tua kita.”

Tiba-tiba saja air mata Jeni jatuh.

“Kita bukan kembar tiga. Kita adalah kloning buatan ayah dan ibu. Misi kita sama. Di garis yang sama. Seperti pesan ayah, ‘cari dan bunuh mereka semua yang berwajah seperti ayah’.”

Apa?!

Jeni terbangun karena ketukan di pintu. Jantungnya berdetak cepat. Lagi-lagi gadis itu ketiduran ketika sedang mengerjakan tugas matematika. Tangannya menggosok pipi yang berbekas pulpen. Mimpi tadi begitu nyata.

Ketukan di pintu terdengar lagi. “Jeni?”

Kakinya enggan menuju pintu. Dia pun dengan malas membukanya. “Ada apa, Mbah?”

“Jeri ingin bertemu denganmu.”

Deg!

Jeri itu benaran nyata atau hanya di mimpi saja?

 

***

 

“Buku kamu hilang atau memang tidak mengerjakan tugas?” Miss Yuni menatap tajam ke wajah Jeni yang menunduk.

Lima orang siswa berdiri dengan satu kaki di depan kelas karena tidak mengumpulkan tugas tadi pagi, termasuk Jeni.

“Biasanya kamu anak yang rajin. Tidak pernah absen dalam mengumpulkan tugas. Kaget saya ketika kamu ikut maju dan berdiri begini.”

Kelas terasa sunyi karena kekesalan guru bahasa Inggris mereka yang terkenal cerewet. Jeni masih tetap bungkam. Malas untuk mengemukakan alasannya. Sebisa mungkin menahan gejolak emosi di dada. Matanya memandang ke luar kelas. Tanpa sengaja Jeri melintas dan tersenyum sinis.

Bah! Lewat pula dia!

Kembali Jeni menekuni lantai. Keadaan memalukan ini dilihat oleh Jeri. Si biang masalah yang membuat tugas bahasa Inggris tidak dia kerjakan.

Sudah dua minggu pemuda itu tinggal bersama mereka, Jeni dan Mbah Wito. Sejak kedatangannya, Jeni selalu dihantui mimpi buruk.

Membicarakan masalah mimpi. Sama seperti di mimpi, Jeri adalah saudara kembarnya yang lebih dulu hadir dua menit sebelum gadis itu. Namun, selama dua minggu ini, tidak ada pembicaraan mengenai Jefri. Entah siapa pun dia. Kakek Sudi maupun Mbah Wito tidak pernah terlibat pembicaraan lebih lanjut.

Hanya saja, sikap Jeri terkadang menjengkelkan. Selain merasa paling cakep karena dia murid pindahan, di rumah pemuda itu tampak sangat angkuh. Pandangannya selalu meremehkan Jeni.

Lamunan Jeni terhenti ketika Miss Yuni menyuruh mereka berlima duduk. Tepat saat itu, Kepala Sekolah masuk dan berbisik di samping Miss Yuni.

“Baiklah. Pelajaran kita break dulu. Ada murid pindahan yang akan masuk ke kelas kita ya.” Miss Yuni kemudian mempersilahkan Kepala Sekolah untuk membawa siswa tersebut masuk ke dalam kelas.

Seketika pupil mata Jeni membesar. Pemuda jangkung itu melangkah ringan menuju sisi tengah antara Miss Yuni dan Kepala Sekolah. Mata pemuda itu menatap tajam ke arah Jeni dan tersenyum tipis sambil tangannya memperbaiki gagang kacamata.

Kaget?

Jeni tersentak. Pemuda di depan kelas seperti bisa membaca pikirannya.

Jeni yang baik! Tenang saja! Kami akan segera mengubahmu! Misi kita baru saja dimulai!

 

 

===FIN===

 

 

Gimana? Seperti biasa, kan, plot twist-nya selalu ambigu ya. Aku kurang begitu suka membuat ending yang jelas. Rasanya ceritaku bisa hambar. Kurang menggelitik pikiran pembaca kalau aku isi dengan ending yang langsung ketahuan ke arah mana.

 

Cerita SATU SIMETRIS sebenarnya menceritakan tentang tiga anak kembar yang memiliki bakat berbeda dan sengaja dipisah sejak mereka balita. Ada banyak rahasia yang belum terungkap tentang siapa mereka. Karena buku ini berupa antalogi, jadi jalan ceritanya gak bisa kulanjuti sedikit lebih panjang. Lain kali ku-share cerita tanpa akhir yang jelas, yang pasti bukan sinetron. 🤭

 

Terima kasih udah mampir di mari dan menyimak tulisanku kali ini. Semoga kisah ini pun dapat dinikmati dan membuat kita semua selalu melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang.

 

Wassalamualaikum!

Rabu, 16 Februari 2022

LAST SPARKLE




Assalamualaikum. Apa kabar? Ketemu lagi kita di cerita berikutnya.

Kebetulan kita sekeluarga baru kembali dari liburan di tepi danau. Akhir tahun kemarin KM Aksara mengadakan event menulis tentang "Keindahan Indonesia". Antalogi ini pun kuisi dengan tulisan seputar keindahan danau. Meski menceritakan keindahan alam Indonesia, tapi ceritaku kagak ada indah-indahnya. Entah bijimana juri menilai tulisanku hingga masuk sebagai tulisan terpilih untuk dibukukan. 🤭

Yaah, meski begitu, aku senang. Ternyata tulisanku masih bisa diterima dan dicerna.

Jadi, penulis diminta bercerita apa pun tentang kenangan liburan, atau mengingat kembali sebuah kisah yang terselip dibalik makanan saat pulang kampung, atau cinta yang belum tamat sejak pertemuan di pesta rakyat, atau sekedar khayalan yang ingin disampaikan tentang indahnya Indonesia. Intinya menulis cerita pendek berlatar belakang keindahan budaya dan panorama Indonesia. Terserah wilayah mana saja, asal jangan berupa jurnal.

Begitulah. Aku pun iseng-iseng mengikuti event ini. Event terakhir di tahun kemarin sebelum aku hibernasi. 

Baeklah kalau begitu, cukuplah cuap-cuapku ya. Langsung aja kita intip sepenggal kisahku yang berjudul LAST SPARKLE dari antalogi yang dikasih judul ROMANSA NAGARI ini. Cekidot beh ....





21.25 WIB

 

“Lihat, tuh! Cantik banget, Cal. Kerlap-kerlip.”

“Bener, kan, cantik.”

“Makasih ya, udah bawa aku ke mari.” Gadis itu memeluk pinggang kekasihnya dari belakang.

1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 .... Akhirnya ....

Lengan si gadis terlepas begitu saja. Sementara itu, dengan cekatan si pemuda mengambil sarung mukena dari dalam tas, membungkus tubuh tidak berdaya itu dan mulai mengikatnya.

Pintu terbuka tiba-tiba. Pemuda itu terperanjat.

“Apa yang kau lakukan pada Dini?!” Mata gadis itu terbelalak dan mencoba membuka bungkusan di depannya.

“Sstt!”

“Kau gila!”

“Sssttt!! Diamlah!” Pemuda itu berbisik lirih sambil sesekali melihat pintu yang masih terbuka.

“Dini! Dini! Sadarlah!” Gadis itu menampar pipi dan mengguncang-guncangkan tubuh Dini. “Ada ap ....”

BUGH!

Gadis itu belum sempat menoleh ketika sebatang benda tumpul mendarat di tengkuknya. Seketika tubuhnya terkulai di atas tubuh Dini.

Pemuda itu melempar tongkat kayu tersebut ke atas ranjang. Raut wajahnya datar. Bukan salahku. Siapa yang suruh kau ikut campur urusanku.

 

TIGA BELAS JAM SEBELUMNYA

 

7.45 WIB

 

“Ya, ampuuun! Danaunya berkilau, kayak ada emas naik ke permukaan.” Dini berlari menuju tepi danau.

“Kamu belum pernah ke mari, Din?”

Dini menoleh dan mengangguk dengan senyum sumringah. “Kamu?”

“Baru dua kali sama ini.” Rida duduk di pinggir pagar pembatas sisi danau. “Beruntung kita dapat penginapan di tepi danau. Apalagi Uki booking-nya sudah jauh-jauh hari.”

Guys! Kita nggak banyak waktu. Beres-beres, makan, mandi, terus ke tempat acara. Buruan!” Uki berteriak dari depan pintu cotage.

Kedua gadis itu menoleh. “Iya, bentar lagi.” Mereka menjawab bersamaan, kemudian saling pandang dan tertawa.

 

9.55 WIB

 

Hembusan angin dingin tidak mampu menahan teriknya matahari di lapangan H. M. Hasan Gayo. Uki dan Zainal berdiri dengan kamera terus diarahkan ke para joki cilik.

Kegiatan pacuan kuda tradisional Gayo ini diadakan dalam rangka HUT kota Takengon. Tradisi ini merupakan salah satu rutinitas dan budaya masyarakat Gayo yang sudah ada sejak dahulu kala, yang menunjukkan atraksi unik serta joki cilik dengan menunggang kuda tanpa pelana. Selain itu, pacuan kuda Gayo ini pun merupakan salah satu event yang sifatnya mempererat silaturahmi masyarakat.

Sorak-sorai penonton semakin menambah panas suasana lapangan. Rida berbisik kepada Uki. Meminta izin undur diri dan menunggu di cafe tempat Dini dan Faisal yang telah lebih dulu duduk di sana. Namun, Rida tidak melihat Dini di samping Faisal. Gadis itu pun melangkah menuju kamar kecil di belakang cafe. Dia tertegun ketika melihat raut wajah Dini yang baru saja ke luar dari sana.

“Aku nggak mau melakukannya.” Dini menghempaskan sesuatu di meja di depan Faisal.

Melakukan apa?

Pemuda itu mendengus kasar. “Ini untuk kebaikan kita. Masa depan kita. Pikirkan itu baik-baik.”

“Waktu kamu melakukannya, kenapa nggak dipikirkan baik-baik?”

Faisal bangkit dari kursinya. Rida mundur selangkah dan lebih merapatkan tubuh ke dinding tempatnya menguping.

“Kita melakukannya atas dasar suka sama suka. Anak ini ....”

“Anak kita!”

Pupil mata Rida membesar seketika. Napasnya tercekat.

Faisal mendengus kesal. “Iya, anak kita. Setahun lagi kita wisuda, Din. Kita harus fokus dulu di situ. Oke?”

“Kandungan ini akan membesar.”

“Iya, aku akan tetap bertanggung jawab. Sudah ya? Jangan ngambek. Ini, kan, liburan kita.” Pemuda itu mencubit pipi kekasihnya dengan gemas.

 

17.12 WIB

 

Mereka berlima duduk di warung mie aceh Mangat That, di dekat penginapan. Menikmati hawa dingin pinggiran danau dengan secangkir kopi gayo serta sepiring mie aceh pedas dan panas. Udara yang semakin dingin bekas hujan siang tadi menambah aroma kopi yang sangat kuat.

Rida duduk di sudut warung menghadap danau. Sesekali matanya melirik aktivitas Dini dan Faisal di seberang meja mereka. Di depannya, Uki dan Zainal lebih asyik meng-eksplor kembali isi kamera yang siang tadi belum sempat mereka benahi.

Dari pantauan Rida, tampak jelas sikap Faisal yang berlebihan terhadap Dini. Seperti ada sesuatu yang ditutupi pemuda berjambang itu. Kilauan mata Dini lebih aneh lagi, seakan-akan ada pancaran cahaya yang mulai redup. Rida membuang muka, berharap instingnya salah.

Jenuh dan jemu, Rida pergi menuju balkon di lantai dua. Matahari mengintip dari balik awan yang mulai tampak jingga.

“Lagi ngapain?”

Rida menoleh. “Biasa. Menikmati senja.”

“Cantik ya. Rasanya tidak ingin pulang.”

Rida mengangguk. “He-eh.”

“Ini obat apa, Da?”

Rida menerima diam-diam uluran tangan Dini dari balik jaketnya. Pupil matanya membesar dan dia menatap Dini tidak percaya. “Dari mana kamu dapatkan ini?”

“Dari dompet Faisal.”

Deg! Dugaan Rida tidak pernah salah. Faisal pasti merencanakan sesuatu.

“Obat apa itu, Da?” Sekali lagi Dini bertanya dan ingin memastikannya lewat Farida yang sudah di semester lima jurusan farmasi. “Apa obat penggugur kandungan?” Menurut Dini, obat itu berbeda dengan obat yang diberikan Faisal pagi tadi.

Rida memutuskan untuk tidak mengatakan tentang obat itu. Itu bukan obat pengggugur kandungan, akan tetapi itu obat untuk membunuh. Reaksinya timbul secara perlahan lewat minuman ataupun makanan. Kemudian, gadis itu menatap lekat tepat di manik mata Dini. “Apa kamu benar-benar ingin menggugurkannya?”

Dini tidak terkejut dengan pertanyaan Rida. Saat insiden pagi tadi, dia sempat melihat kepala gadis itu yang mengintip mereka. “Simpan! Dia menuju ke mari!”

Rida menyelipkan benda itu di saku jaketnya dan mereka berbicara sembarang sambil tertawa-tawa.

 

21.58 WIB

 

Suara riak air dan cipratan yang mengenai wajah membuat Rida tersadar. Tengkuknya terasa nyeri. Pandangannya kabur dan berwarna hitam. Hitamnya langit yang dihiasi banyak bintang.

Bintang? Rida langsung terduduk di atas perahu yang bergoyang. Seseorang sedang membawanya menuju tengah danau. Seseorang? Rida menoleh ke belakang. Faisal sedang mengayuh dayung dengan posisi membelakangi Rida dan tubuh Dini yang masih terbalut mukena.

Seingat Rida, selesai isya, karena udara yang semakin dingin, Dini pamit pergi ke kamar mengambil jaket, akan tetapi gadis itu tidak muncul. Meskipun obat mengerikan itu sudah aman di saku jaketnya, batin Rida masih tetap tidak enak.

Ada yang tidak beres. Ada potongan yang terlewatkan, teringat pembicaraannya dan Faisal sore tadi sebelum kedatangan rombongan lain dari Medan.

“Kau selalu memperhatikan kami? Apa kau tertarik padaku?”

Rida sengaja tidak menjawab. Dia bersandar di sisi balkon dan membalas senyum Dini sebelum gadis itu turun menuju lantai bawah cafe.

“Sepertinya Uki masih berharap cinta Dini. Aku ikhlas menyerahkannya untuk Uki jika memang kau tertarik padaku.”

Cih! Mati saja kau di dalam danau itu!

Instingnya benar. Dia memutuskan menuju ke kamar, lalu semua terjadi begitu saja.

Rida berjongkok dan berjalan mengendap untuk mencoba mendekati Faisal. Tangannya menggeser tubuh Dini sedikit ke kiri. Maaf, Din!

Sialnya, Faisal menoleh, lalu berdiri dan berbalik. Namun, keseimbangannya oleng. Pemuda itu tercebur ke dalam danau. Jemarinya langsung sigap dan meraih pinggiran perahu, sementara tangan yang lain meraih lengan jaket Rida dan menariknya hingga tubuh gadis itu ikut tercebur ke dalam danau.

“Aaargh!” Rida langsung memekik setelah menyentuh dinginnya air danau. Tangannya mencoba meraih pinggiran perahu.

Faisal langsung menepisnya. Mereka pun mulai bergelut untuk saling menenggelamkan dan terus mencoba meraih pinggiran perahu.

Air mulai terasa masuk ke paru-paru. Rida terus berusaha berenang meraih perahu yang semakin menjauh karena riak air yang mereka timbulkan. Ya, Tuhan! Tolong! Gadis itu menggapai-gapai udara dingin di atas danau.

Sementara itu, dari belakang, Faisal menarik topi jaket Rida dan memasuki kepala gadis itu lagi ke dalam air. Tangan Rida menahan genggaman tangan Faisal, tetapi tenaga gadis itu tidak sekuat Faisal. Untuk terakhir kalinya Rida pun mencoba menendang bagian vital pemuda itu.

Berhasil! Tangan pemuda itu merenggang. Rida langsung meluncur menuju perahu yang tidak jauh dari sisi kirinya. Pupil mata gadis itu membesar. Begitu juga dengan Faisal yang saat itu sudah berhasil meraih kembali kepala Rida, raut wajahnya terkejut luar biasa melihat sesuatu di atas perahu.

“Dini?”

Gadis itu berdiri dengan wajah tanpa ekspresi. Tangannya langsung menghentakkan dayung yang dipegang ke arah kepala Faisal. Bunyi ngilu yang terdengar cukup membuat telinga Rida berdenging. Tangan Faisal terlepas dari kepala Rida dan tubuh pemuda itu langsung menukik ke dasar danau.

Rida langsung menoleh ke arah perahu. Hah?! Tidak ada siapa pun di sana! Gadis itu pun segera meraih pinggiran perahu dan melihat tubuh Dini yang masih terbalut mukena.

 

====Tamat===


Bagaimana? Benar, kan, kagak ada indah-indahnya ceritaku? Setidaknya, masih bisa menghibur bagi yang galau ya.

Semoga kisah ini pun dapat dinikmati dan membuat kita semua selalu melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang.

Wassalamualaikum!

Senin, 07 Februari 2022

KEMBARA LINTAS DUA JIWA


Ini antalogi yang kesekian di tahun 2021 kemarin. Memang tidak masuk kategori juara, akan tetapi
 Alhamdulillah, tulisan ini terpilih dalam nominasi juara. Event lomba ini diadakan oleh penerbit PROKREATIF yang sedang merayakan hari jadi berdirinya penerbit tersebut.


Rasanya tidak rugi mengikuti event ini. Asli! semua tulisan sesama teman literasi keren semua. Aku merasa isi tulisanku yang malah kurang berbobot. Dan aku tidak tahu, bagaimana juri menilainya sehingga tulisan ini bisa masuk kategori dan kontribusi. ^,^

Mengusung tema DUA dan JULI, event ini bertema bebas. Entah kenapa aku memilih genre yang agak melenceng dari tulisanku yang biasa, horor-thriller. Aku mengambil tema DUA. Mungkin karena anak lajangku dua orang ya Ehehehe. Mudah-mudahan masih bisa dicerna ya isinya. 🤭


Yowes la! Cukup cuap-cuapnya. Kita cek aja gimana isi tulisanku kali ini eaaaaa ....
Cekidot, yuuk ....


====>

"Sakit, Ma. Huhuhuuu."

Rahang Lia mengeras. Masih ada rasa kesal di dada. Tangan itu belum ingin berhenti dari kaki putranya.

"Sudahlah, Li." Ibunya kembali dari arah dapur. Tidak tahan dengan tangis si cucu. "Baru sekali dia bolos mengaji. Jangan terlalu juga dibawa emosi."

"Kalau tidak dicubit, nanti malah bolos lagi."

"Nggak, Maa. Nggaaak."

Neneknya langsung mengangkat pria kecil yang masih terisak itu. "Sudah. Urus saja dulu kerjaanmu. Genta biar sama ibu."

Lia menahan bendungan di pelupuk mata dan kembali menuju tokonya.

 

***

 

Amplop coklat panjang di atas meja dipandangi Lia dengan tatapan kosong, sedang pikiran dan hati entah ke mana-mana.

Bagaimana bisa?

Hal itu yang pertama kali terbersit di pikiran. Selama ini dia merasa baik-baik saja. Hanya karena mengikuti pemeriksaan rutin di rumah sakit atas undangan teman sekolah dulu, dunia Lia menjadi terbalik.

Sejak itu, didikan Lia terhadap Genta semakin keras. Dia merasa tidak banyak waktu tersisa. Karenanya, kejadian tadi siang benar-benar kekalutan yang luar biasa bagi wanita itu. Meskipun malamnya Lia menangis memeluk putranya, mengobati kaki kecil yang mulai membiru bekas cubitannya. Namun, hal itu pun tidak membantu meredakan risau hati.

"Ayah Genta nggak bakal balik. Sebaiknya kau menikah saja lagi."

"Untuk apa setia terhadap pria nggak bertanggung jawab. Hidup ini masih panjang."

"Kau berhak bahagia, Li. Masih banyak lelaki yang bisa membahagiakanmu. Cobalah untuk membuka hati."

"Genta butuh ayah, meskipun kau nggak begitu butuh."

"Jangan terlalu menyalahkan diri sendiri atas apa yang terjadi pada hidupmu. Nggak semua kesalahan terjadi karena diri kita. Bisa jadi ini cara Tuhan membuatmu menjadi seseorang yang tinggi derajatnya."

Kalimat terakhir dari sahabatnya itu membuat mata hati Lia terbuka.

Memang benar, sejak wanita itu bertemu dengan Dino Satrio, hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Segalanya telah dia berikan.

Apalah daya dirinya yang hanya gadis kampung, lugu, polos dan tidak memiliki apa-apa. Setelah hamil dua bulan, Dino meninggalkannya begitu saja. Tanpa pesan apapun. Dada Lia selalu bergemuruh jika mengingat semua itu. Akan tetapi, dia harus melanjutkan hidup. Demi anak yang dikandungnya.

Namun, hasil roentgen rumah sakit ....

 

***

 

"Coba katakanlah padaku. Aku masih sahabatmu, 'kan?

Lia terduduk melamun. Dini sampai tersentak kaget melihat perubahan sahabatnya ketika wanita itu mengunjungi toko. Seingat Dini, sejak pulang dari rumah sakit, Lia cukup lama 'bersembunyi'. Garis wajahnya berubah, tidak seperti dulu. Murung dan tidak bergairah. Kehilangan sinar dan binar.

"Nggak bisakah kau cerita padaku, Li, apa yang sedang kau alami?"

Lalu, terlihat buku jari Lia mulai terkepal, entah genggam apa. Katup mulutnya pun terkunci, entah simpan apa. Bola mata wanita itu juga terlihat dingin serta pudar, diam tidak terbaca. Desah napas menjadi tersumbat. Tanpa bisa dihentikan air matanya tumpah begitu saja.

Dini meraih pundak dan merengkuh tubuh ringkih Lia. "Sampai kapan seperti ini, hmm?"

Lia masih terus menangis. Dini tidak ingin mengatakan apa-apa lagi.

 

***

 

"Lia. Setidaknya kau udah bahagia di sana, 'kan? Ada Ginta yang menemani." Dini tertunduk menahan bendungan yang dari tadi akan tumpah. Masing-masing tangannya memegang nisan Lia dan Ginta, abang Genta yang dua menit lebih dulu lahir darinya.

Ternyata tangis Lia dua tahun lalu itu dikarenakan risau hatinya untuk Genta. Ada beban yang teramat sulit untuk dikatakan. Dia hanya ingin melihat putranya tumbuh besar. Mengajarinya tentang hidup dan kehidupan. Menjalani hari-hari dengan tenang serta menjadi imam yang baik. Namun, kanker otak yang diderita wanita itu, membuat kebersamaan mereka hanya bisa dinikmatinya sampai umur Genta sepuluh tahun.

Pagi engkau berangkat, Li.

Diakhir harimu pun, kau masih sempat mengatakan kepada Genta untuk menjaga diri, jangan bolos mengaji, jangan tinggalkan sembahyang lima waktu, patuh dan dengar setiap perkataan orang tua.

Pria kecil yang tidak mengerti apa-apa itu hanya mengangguk di pelukan ibunya. Dini tidak kuasa menahan tangis. Juga wanita paruh baya yang duduk di samping Lia. Air mata seorang ibu itu tidak henti-hentinya terjatuh.

Seperti pesan dan saran Dini pada Lia dua tahun lalu, "memang bukan karena cinta, cinta Genta sepertinya sudah cukup bagimu, 'kan."

Rasa putus asa dan kehilangan percaya diri membuat sahabatnya ini kehilangan tempat berpegang. Dini mengajak Lia untuk meraih sesuatu yang paling dalam, yang mungkin sejenak terlupakan, iman.

"Jangan takut. Semua yang kita miliki ini sebenarnya milik Allah. Bahkan kau pun milik Allah, aku, Genta, Ibu, semua pasti diambil Allah lagi. Hanya waktunya saja yang tidak tentu."

Dini masih mengusap bahu Lia, menenangkan dan mencoba membangkitkan gairah hidupnya kembali.

"Untuk Genta, kau pun jangan takut. Karena Allah otomatis 'kan selalu menjaga hambanya."

"Tapi aku takut dia kehilangan diri dan menjadi pribadi yang jahat." Lia mengangkat tubuhnya dari rengkuhan Dini sambil mengusap air mata.

"Insyaa Allah, tidak akan. Doa-doamu untuknya 'kan selalu kau panjatkan." Dini menggenggam jemari sahabatnya sambil tersenyum. "Aku percaya. Kau seorang ibu yang baik, Li. Kau hidup memang untuk kedua anakmu."

Lalu, sejak itu, Lia semakin banyak tersenyum. Menikmati hari hingga waktu membawanya pergi.

Sampai jumpa, Li.

 





Di tulisan ini, aku membayangkan sebagai Camelia. Mencoba menyadari masa hidupku yang kian menipis. Meninggalkan anak yang masih teramat kecil untuk mencari tahu sendiri arti kehidupan. Akhirnya mewek sendiri. Sambil menyelesaikan naskah ini, air mataku pun ikut meluncur. 

^,^

Ide ceritanya terinspirasi dari kisah seorang teman, yang ditinggal pergi lebih dulu oleh ibunya ketika berusia sepuluh tahun. Mudah-mudahkan Beliau membaca tulisanku ini. 🤗

Jadi, semoga kisah ini pun dapat dinikmati ya, dan membuat kita semua selalu melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang.

Wassalamualaikum!




(FLASHBACK) DARI TANAH TANDUS

  Blurb: “Kak Ineee. Kepala Rubi pusing, Kak.” “Bertahanlah, Rubi! Bukan sekarang saatnya!” Ine dan Rubi, dua gadis kecil yang ter...