Assalamualaikum! Cerita apa
kali ini kita?
Hmmm? 🤔
Apa ya?
Hmmm?
Ada, sih, satu tulisanku yang
bergenre thriller. Tahun lalu, 2021, aku ikut event dan kelas menulis
dari KMO Indonesia. Untuk novel, Alhamdulillah, udah terbit dan udah ku-share
juga di blog kemarin.
Tulisan kali ini berupa
antalogi dari tugas kelompok di Batch 37 yang aku ikuti. Seperti biasa,
tulisanku tetap bercerita seputar gore-gore. 😅
Isinya udah diubah dikit. Dikit
ajah! Ada adegan yang dilarang oleh pihak PJ KMO. Menurut beliau, adegan itu
terlalu sadis.
Entahlah.
Kurasa setiap genre thriller
yang kuusung di cerita tidak begitu banyak adegan sadis yang mengerikan.
Paling hanya seputar benda tajam yang salah sasaran. Lagi pula, aku juga
bingung, kenapa suka menulis yang berhubungan dengan kekejaman.
Apa itu merupakan sisi gelapku ya? ðŸ¤
Baeklah! Cukup cuap-cuapku.
Kita baca aja tulisanku di antalogi LABIRIN ASA yang kuberi judul SATU
SIMETRIS.
Cekidot eaaaa ....
“Aduh!”
Seseorang menyenggol bahu Jeni
kasar. “Mana punyamu?”
“Apanya?”
“Gak usah pura-pura bodoh.
Peer.”
Jeni memasang tampang lugu.
“Yaaah, barusan kuletakkan di meja Miss Yuni.”
Pupil Dio membesar seketika.
“Oalaaa.” Pemuda itu berlari menuju kelas, meninggalkan Jeni yang lebih
menikmati langkah pelannya.
Beberapa teman juga mulai
berlari dan berjalan cepat menuju kelas. Memang sudah kebiasaan jika Miss Yuni,
guru bahasa Inggris memberi tugas. Dikumpulkan di meja beliau sebelum bel masuk
berbunyi. Sudah pasti kelas menjadi riuh. Semua sibuk menyontek tugas bagi
murid yang malas mengerjakan.
Jeni mulai melambatkan langkah.
Enggan mencapai kelas dalam situasi seperti ini. Gadis itu memilih jalur
memutar melewati koridor perpustakaan. Lebih baik berjalan jauh sedikit dari
pada mendengar beberapa teman yang mengatakan dirinya pelit.
Tiba-tiba dari pintu
perpustakaan keluar Pak Rusli, guru Biologi. Di belakang Beliau menyusul
seorang murid laki-laki. Mereka berdua terperangah. Pak Rusli melongo. Wajah
Jeni dan murid laki-laki itu bagai pinang di belah dua.
***
Bagaimana bisa?
“Jeri sudah lama ingin bertemu
denganmu.” Seorang lelaki tua, mengaku ayah dari ayahnya, Kakek Sudi, tersenyum
ramah mengusap puncak kepala gadis itu.
Pemuda di samping Kakek Sudi,
yang berpapasan dengannya di depan ruang perpustakaan tadi pagi, menatapnya
dengan tatapan aneh.
“Akhirnya kalian bertemu juga
ya. Mungkin sebentar lagi Jefri akan sampai.” Mbah Wito, ayah ibunya, pria tua
yang selama ini mengasuh Jeni, menyahut dari kursi tua di belakang mereka.
Siapa lagi Jefri?
Suara ketukan pintu membuyarkan
lamunan Jeni. Sontak mereka semua menoleh ke seorang pemuda berkaca mata yang
berdiri di depan pintu.
“Menungguku?” Seringainya
sedikit aneh.
Wajahnya tidak jauh berbeda
dari Jeri dan Jeni. Hanya kaca mata yang membuat mereka bertiga tidak terlihat
sama.
Mbah Wito langsung berdiri
dengan membawa tongkatnya. “Lama tidak bertemu, Jefri. Bagaimana keadaan
Beirut? Lalu, kenapa kau tidak datang dengan ayah dan ibumu?”
Jefri tersenyum kecut.
“Hentikanlah sandiwaramu, Kakek Tua. Katakan saja semua kebenaran itu pada
mereka.” Suara pemuda itu tegas dan matanya menatap tajam ke arah Jeri dan
Jeni.
“Apa maksudmu? Nggak seharusnya
kau berkata kasar kepada Mbah!” Jeri maju selangkah menghalangi tubuh tinggi
Jefri yang mencoba mendekati Mbah Wito.
Apa-apaan mereka!
“Kau nggak sadar sudah berapa
lama dibodohi mereka?” Jefri menekan ujung telunjuknya ke dada Jeri.
Entah kecepatan yang bagaimana,
tiba-tiba saja Kakek Sudi sudah berada di antara kedua pemuda itu. Jefri mundur
beberapa langkah. Dengan cekatan tangan itu meraih sesuatu dari samping tas
selempangnya. Stik dengan ukuran sejengkal orang dewasa sudah berada di
genggamannya dan dengan sekali hentakkan ke depan, seketika ujungnya
mengeluarkan cahaya biru panjang. Kemudian, benda itu secepat kilat mengarah ke
batang leher Kakek Sudi.
“Aaargh!” Jeni memekik keras
dan pupilnya membesar. Namun, Kakek Sudi berhasil menghindar dan hanya tergores
di bagian lengan kirinya. Darah muncrat ke seluruh permukaan dinding dan
lantai. Seluruh isi rumah tampak seperti kapal pecah.
Mbah Wito berdiri tegak dan
mengacungkan tongkatnya ke wajah Jefri. Belum sempat Jefri maju selangkah, Jeri
menarik tongkat Mbah Wito dengan kasar. Lelaki tua itu terpelanting ke
belakang. Ujung benda berwarna biru itu sudah menancap di pelipis keriputnya.
Gila! Mereka gila!
Jeni masih memekik ketakutan.
Sebelum semuanya menjadi gila, kakinya berlari menuju pintu. Tiba-tiba saja
Jeri sudah berdiri di depan dan menghalangi langkahnya.
“Ap ....” Kata-kata Jeni
berhenti di tenggorokan. Tadi siang setelah pulang sekolah, dia sempat
bercerita kepada Mbah Wito tentang pertemuannya dengan Jeri di sekolah.
“Oh, sudah bertemu,
tah? Dia abangmu yang lebih dulu keluar dua menit darimu. Kalian sebenarnya
kembar tiga. Karena suatu alasan, kalian dibuat terpisah dan menjalani hidup
layaknya orang biasa.”
Awalnya gadis itu tidak ingin
percaya sama sekali dengan ucapan Mbah Wito. Sampai sore tadi pemuda itu datang
ke rumah, lalu malam ini, hal gila ini, terjadi begitu saja.
Jefri menggenggam jemari Jeni.
“Kau percaya apa yang dikatakan Kakek Tua itu?”
Wajah gadis itu membias. Dia
hanya mengangguk.
“Aku dan Jeri sudah tahu. Kami
pun membuat rencana. Aku sengaja membunuh kedua orang tua kita.”
Tiba-tiba saja air mata Jeni
jatuh.
“Kita bukan kembar tiga. Kita
adalah kloning buatan ayah dan ibu. Misi kita sama. Di garis yang sama. Seperti
pesan ayah, ‘cari dan bunuh mereka semua yang berwajah seperti ayah’.”
Apa?!
Jeni terbangun karena ketukan
di pintu. Jantungnya berdetak cepat. Lagi-lagi gadis itu ketiduran ketika
sedang mengerjakan tugas matematika. Tangannya menggosok pipi yang berbekas
pulpen. Mimpi tadi begitu nyata.
Ketukan di pintu terdengar
lagi. “Jeni?”
Kakinya enggan menuju pintu.
Dia pun dengan malas membukanya. “Ada apa, Mbah?”
“Jeri ingin bertemu denganmu.”
Deg!
Jeri itu benaran
nyata atau hanya di mimpi saja?
***
“Buku kamu hilang atau memang
tidak mengerjakan tugas?” Miss Yuni menatap tajam ke wajah Jeni yang menunduk.
Lima orang siswa berdiri dengan
satu kaki di depan kelas karena tidak mengumpulkan tugas tadi pagi, termasuk
Jeni.
“Biasanya kamu anak yang rajin.
Tidak pernah absen dalam mengumpulkan tugas. Kaget saya ketika kamu ikut maju
dan berdiri begini.”
Kelas terasa sunyi karena
kekesalan guru bahasa Inggris mereka yang terkenal cerewet. Jeni masih tetap
bungkam. Malas untuk mengemukakan alasannya. Sebisa mungkin menahan gejolak
emosi di dada. Matanya memandang ke luar kelas. Tanpa sengaja Jeri melintas dan
tersenyum sinis.
Bah! Lewat pula
dia!
Kembali Jeni menekuni lantai.
Keadaan memalukan ini dilihat oleh Jeri. Si biang masalah yang membuat tugas
bahasa Inggris tidak dia kerjakan.
Sudah dua minggu pemuda itu
tinggal bersama mereka, Jeni dan Mbah Wito. Sejak kedatangannya, Jeni selalu
dihantui mimpi buruk.
Membicarakan masalah mimpi.
Sama seperti di mimpi, Jeri adalah saudara kembarnya yang lebih dulu hadir dua
menit sebelum gadis itu. Namun, selama dua minggu ini, tidak ada pembicaraan
mengenai Jefri. Entah siapa pun dia. Kakek Sudi maupun Mbah Wito tidak pernah
terlibat pembicaraan lebih lanjut.
Hanya saja, sikap Jeri
terkadang menjengkelkan. Selain merasa paling cakep karena dia murid pindahan,
di rumah pemuda itu tampak sangat angkuh. Pandangannya selalu meremehkan Jeni.
Lamunan Jeni terhenti ketika
Miss Yuni menyuruh mereka berlima duduk. Tepat saat itu, Kepala Sekolah masuk
dan berbisik di samping Miss Yuni.
“Baiklah. Pelajaran kita break
dulu. Ada murid pindahan yang akan masuk ke kelas kita ya.” Miss Yuni kemudian
mempersilahkan Kepala Sekolah untuk membawa siswa tersebut masuk ke dalam
kelas.
Seketika pupil mata Jeni
membesar. Pemuda jangkung itu melangkah ringan menuju sisi tengah antara Miss
Yuni dan Kepala Sekolah. Mata pemuda itu menatap tajam ke arah Jeni dan
tersenyum tipis sambil tangannya memperbaiki gagang kacamata.
Kaget?
Jeni tersentak. Pemuda di depan
kelas seperti bisa membaca pikirannya.
Jeni yang baik!
Tenang saja! Kami akan segera mengubahmu! Misi kita baru saja dimulai!
===FIN===
Gimana? Seperti biasa, kan,
plot twist-nya selalu ambigu ya. Aku kurang begitu suka membuat ending yang
jelas. Rasanya ceritaku bisa hambar. Kurang menggelitik pikiran pembaca kalau
aku isi dengan ending yang langsung ketahuan ke arah mana.
Cerita SATU SIMETRIS
sebenarnya menceritakan tentang tiga anak kembar yang memiliki bakat berbeda
dan sengaja dipisah sejak mereka balita. Ada banyak rahasia yang belum
terungkap tentang siapa mereka. Karena buku ini berupa antalogi, jadi jalan
ceritanya gak bisa kulanjuti sedikit lebih panjang. Lain kali ku-share cerita
tanpa akhir yang jelas, yang pasti bukan sinetron. ðŸ¤
Terima kasih udah mampir di
mari dan menyimak tulisanku kali ini. Semoga kisah ini pun dapat dinikmati dan
membuat kita semua selalu melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang.
Wassalamualaikum!