Senin, 28 Februari 2022

SATU SIMETRIS


 

Assalamualaikum! Cerita apa kali ini kita?

Hmmm? 🤔

Apa ya?

Hmmm?

Ada, sih, satu tulisanku yang bergenre thriller. Tahun lalu, 2021, aku ikut event dan kelas menulis dari KMO Indonesia. Untuk novel, Alhamdulillah, udah terbit dan udah ku-share juga di blog kemarin.

 

Tulisan kali ini berupa antalogi dari tugas kelompok di Batch 37 yang aku ikuti. Seperti biasa, tulisanku tetap bercerita seputar gore-gore. 😅

 

Isinya udah diubah dikit. Dikit ajah! Ada adegan yang dilarang oleh pihak PJ KMO. Menurut beliau, adegan itu terlalu sadis.

 

Entahlah.

 

Kurasa setiap genre thriller yang kuusung di cerita tidak begitu banyak adegan sadis yang mengerikan. Paling hanya seputar benda tajam yang salah sasaran. Lagi pula, aku juga bingung, kenapa suka menulis yang berhubungan dengan kekejaman. Apa itu merupakan sisi gelapku ya? 🤭

 

Baeklah! Cukup cuap-cuapku. Kita baca aja tulisanku di antalogi LABIRIN ASA yang kuberi judul SATU SIMETRIS.

Cekidot eaaaa ....

 

 

 

 

“Aduh!”

Seseorang menyenggol bahu Jeni kasar. “Mana punyamu?”

“Apanya?”

“Gak usah pura-pura bodoh. Peer.”

Jeni memasang tampang lugu. “Yaaah, barusan kuletakkan di meja Miss Yuni.”

Pupil Dio membesar seketika. “Oalaaa.” Pemuda itu berlari menuju kelas, meninggalkan Jeni yang lebih menikmati langkah pelannya.

Beberapa teman juga mulai berlari dan berjalan cepat menuju kelas. Memang sudah kebiasaan jika Miss Yuni, guru bahasa Inggris memberi tugas. Dikumpulkan di meja beliau sebelum bel masuk berbunyi. Sudah pasti kelas menjadi riuh. Semua sibuk menyontek tugas bagi murid yang malas mengerjakan.

Jeni mulai melambatkan langkah. Enggan mencapai kelas dalam situasi seperti ini. Gadis itu memilih jalur memutar melewati koridor perpustakaan. Lebih baik berjalan jauh sedikit dari pada mendengar beberapa teman yang mengatakan dirinya pelit.

Tiba-tiba dari pintu perpustakaan keluar Pak Rusli, guru Biologi. Di belakang Beliau menyusul seorang murid laki-laki. Mereka berdua terperangah. Pak Rusli melongo. Wajah Jeni dan murid laki-laki itu bagai pinang di belah dua.

 

***

 

Bagaimana bisa?

“Jeri sudah lama ingin bertemu denganmu.” Seorang lelaki tua, mengaku ayah dari ayahnya, Kakek Sudi, tersenyum ramah mengusap puncak kepala gadis itu.

Pemuda di samping Kakek Sudi, yang berpapasan dengannya di depan ruang perpustakaan tadi pagi, menatapnya dengan tatapan aneh.

“Akhirnya kalian bertemu juga ya. Mungkin sebentar lagi Jefri akan sampai.” Mbah Wito, ayah ibunya, pria tua yang selama ini mengasuh Jeni, menyahut dari kursi tua di belakang mereka.

Siapa lagi Jefri?

Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Jeni. Sontak mereka semua menoleh ke seorang pemuda berkaca mata yang berdiri di depan pintu.

“Menungguku?” Seringainya sedikit aneh.

Wajahnya tidak jauh berbeda dari Jeri dan Jeni. Hanya kaca mata yang membuat mereka bertiga tidak terlihat sama.

Mbah Wito langsung berdiri dengan membawa tongkatnya. “Lama tidak bertemu, Jefri. Bagaimana keadaan Beirut? Lalu, kenapa kau tidak datang dengan ayah dan ibumu?”

Jefri tersenyum kecut. “Hentikanlah sandiwaramu, Kakek Tua. Katakan saja semua kebenaran itu pada mereka.” Suara pemuda itu tegas dan matanya menatap tajam ke arah Jeri dan Jeni.

“Apa maksudmu? Nggak seharusnya kau berkata kasar kepada Mbah!” Jeri maju selangkah menghalangi tubuh tinggi Jefri yang mencoba mendekati Mbah Wito.

Apa-apaan mereka!

“Kau nggak sadar sudah berapa lama dibodohi mereka?” Jefri menekan ujung telunjuknya ke dada Jeri.

Entah kecepatan yang bagaimana, tiba-tiba saja Kakek Sudi sudah berada di antara kedua pemuda itu. Jefri mundur beberapa langkah. Dengan cekatan tangan itu meraih sesuatu dari samping tas selempangnya. Stik dengan ukuran sejengkal orang dewasa sudah berada di genggamannya dan dengan sekali hentakkan ke depan, seketika ujungnya mengeluarkan cahaya biru panjang. Kemudian, benda itu secepat kilat mengarah ke batang leher Kakek Sudi.

“Aaargh!” Jeni memekik keras dan pupilnya membesar. Namun, Kakek Sudi berhasil menghindar dan hanya tergores di bagian lengan kirinya. Darah muncrat ke seluruh permukaan dinding dan lantai. Seluruh isi rumah tampak seperti kapal pecah.

Mbah Wito berdiri tegak dan mengacungkan tongkatnya ke wajah Jefri. Belum sempat Jefri maju selangkah, Jeri menarik tongkat Mbah Wito dengan kasar. Lelaki tua itu terpelanting ke belakang. Ujung benda berwarna biru itu sudah menancap di pelipis keriputnya.

Gila! Mereka gila!

Jeni masih memekik ketakutan. Sebelum semuanya menjadi gila, kakinya berlari menuju pintu. Tiba-tiba saja Jeri sudah berdiri di depan dan menghalangi langkahnya.

“Ap ....” Kata-kata Jeni berhenti di tenggorokan. Tadi siang setelah pulang sekolah, dia sempat bercerita kepada Mbah Wito tentang pertemuannya dengan Jeri di sekolah.

“Oh, sudah bertemu, tah? Dia abangmu yang lebih dulu keluar dua menit darimu. Kalian sebenarnya kembar tiga. Karena suatu alasan, kalian dibuat terpisah dan menjalani hidup layaknya orang biasa.”

Awalnya gadis itu tidak ingin percaya sama sekali dengan ucapan Mbah Wito. Sampai sore tadi pemuda itu datang ke rumah, lalu malam ini, hal gila ini, terjadi begitu saja.

Jefri menggenggam jemari Jeni. “Kau percaya apa yang dikatakan Kakek Tua itu?”

Wajah gadis itu membias. Dia hanya mengangguk.

“Aku dan Jeri sudah tahu. Kami pun membuat rencana. Aku sengaja membunuh kedua orang tua kita.”

Tiba-tiba saja air mata Jeni jatuh.

“Kita bukan kembar tiga. Kita adalah kloning buatan ayah dan ibu. Misi kita sama. Di garis yang sama. Seperti pesan ayah, ‘cari dan bunuh mereka semua yang berwajah seperti ayah’.”

Apa?!

Jeni terbangun karena ketukan di pintu. Jantungnya berdetak cepat. Lagi-lagi gadis itu ketiduran ketika sedang mengerjakan tugas matematika. Tangannya menggosok pipi yang berbekas pulpen. Mimpi tadi begitu nyata.

Ketukan di pintu terdengar lagi. “Jeni?”

Kakinya enggan menuju pintu. Dia pun dengan malas membukanya. “Ada apa, Mbah?”

“Jeri ingin bertemu denganmu.”

Deg!

Jeri itu benaran nyata atau hanya di mimpi saja?

 

***

 

“Buku kamu hilang atau memang tidak mengerjakan tugas?” Miss Yuni menatap tajam ke wajah Jeni yang menunduk.

Lima orang siswa berdiri dengan satu kaki di depan kelas karena tidak mengumpulkan tugas tadi pagi, termasuk Jeni.

“Biasanya kamu anak yang rajin. Tidak pernah absen dalam mengumpulkan tugas. Kaget saya ketika kamu ikut maju dan berdiri begini.”

Kelas terasa sunyi karena kekesalan guru bahasa Inggris mereka yang terkenal cerewet. Jeni masih tetap bungkam. Malas untuk mengemukakan alasannya. Sebisa mungkin menahan gejolak emosi di dada. Matanya memandang ke luar kelas. Tanpa sengaja Jeri melintas dan tersenyum sinis.

Bah! Lewat pula dia!

Kembali Jeni menekuni lantai. Keadaan memalukan ini dilihat oleh Jeri. Si biang masalah yang membuat tugas bahasa Inggris tidak dia kerjakan.

Sudah dua minggu pemuda itu tinggal bersama mereka, Jeni dan Mbah Wito. Sejak kedatangannya, Jeni selalu dihantui mimpi buruk.

Membicarakan masalah mimpi. Sama seperti di mimpi, Jeri adalah saudara kembarnya yang lebih dulu hadir dua menit sebelum gadis itu. Namun, selama dua minggu ini, tidak ada pembicaraan mengenai Jefri. Entah siapa pun dia. Kakek Sudi maupun Mbah Wito tidak pernah terlibat pembicaraan lebih lanjut.

Hanya saja, sikap Jeri terkadang menjengkelkan. Selain merasa paling cakep karena dia murid pindahan, di rumah pemuda itu tampak sangat angkuh. Pandangannya selalu meremehkan Jeni.

Lamunan Jeni terhenti ketika Miss Yuni menyuruh mereka berlima duduk. Tepat saat itu, Kepala Sekolah masuk dan berbisik di samping Miss Yuni.

“Baiklah. Pelajaran kita break dulu. Ada murid pindahan yang akan masuk ke kelas kita ya.” Miss Yuni kemudian mempersilahkan Kepala Sekolah untuk membawa siswa tersebut masuk ke dalam kelas.

Seketika pupil mata Jeni membesar. Pemuda jangkung itu melangkah ringan menuju sisi tengah antara Miss Yuni dan Kepala Sekolah. Mata pemuda itu menatap tajam ke arah Jeni dan tersenyum tipis sambil tangannya memperbaiki gagang kacamata.

Kaget?

Jeni tersentak. Pemuda di depan kelas seperti bisa membaca pikirannya.

Jeni yang baik! Tenang saja! Kami akan segera mengubahmu! Misi kita baru saja dimulai!

 

 

===FIN===

 

 

Gimana? Seperti biasa, kan, plot twist-nya selalu ambigu ya. Aku kurang begitu suka membuat ending yang jelas. Rasanya ceritaku bisa hambar. Kurang menggelitik pikiran pembaca kalau aku isi dengan ending yang langsung ketahuan ke arah mana.

 

Cerita SATU SIMETRIS sebenarnya menceritakan tentang tiga anak kembar yang memiliki bakat berbeda dan sengaja dipisah sejak mereka balita. Ada banyak rahasia yang belum terungkap tentang siapa mereka. Karena buku ini berupa antalogi, jadi jalan ceritanya gak bisa kulanjuti sedikit lebih panjang. Lain kali ku-share cerita tanpa akhir yang jelas, yang pasti bukan sinetron. 🤭

 

Terima kasih udah mampir di mari dan menyimak tulisanku kali ini. Semoga kisah ini pun dapat dinikmati dan membuat kita semua selalu melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang.

 

Wassalamualaikum!

16 komentar:

  1. Keren nihh ceritanya. Beda dari kebanyakan yg pernah saya baca. Plot twist-nya masih nyambung dengan jalan cerita. Apalagi setelah tahu mba Nuri punya background passion nulis genre gore. Makin keren laah, karena genre ini unik sih menurut saya, walaupun pastinya ada adegan yg bikin ngilu readers ketika baca ceritanya 😀👏 Sukses selalu mba 👏

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih bnyk, mbaa 🤗
      Sukses jg buat mba iin

      Hapus
  2. Bagus banget... Bikin emosi. Deg deg an dan mikir banget jadinya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Enaknya gini, minta pembaca yg neruskn cerita, mau gimana endingnya, bisa pembaca yg ngolah 😅

      Hapus
  3. Baca ulasannya aja udah deg2an gini. Thriller itu seru tapi bikin lemes 😆

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, thriller bikin lemes klo di-film-kan, klo baca cuma membayangkan

      Hapus
  4. Wah sya jg pernah ikut KMO kak. Tapi syg blm ada Novel. Mengumpulkan antologi terus. Semoga bisa segera punya solo book jg kak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Insyaa Allah, aamiin, semoga kesampaian ya, mbaa 🤗

      Hapus
  5. Wah keren bisa nulis tentang thriller gini. Aku pengen coba nulis kaya gini tapi belum pede huhu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Coba aja dulu, mbaa, siapa tahu bisa jadi best seller 🤗

      Hapus
  6. Waaah, ketemu sama penulis pro yang udah bnyk karyanya nih!

    Btw, kalo suka nulis thriller suka nonton film thriller juga gak mbak?

    BalasHapus
  7. Emang jenis movie thriller yg suka saya tonton, mbaa, lebih dapat aja refresh di otak, 😅

    BalasHapus
  8. mba, suka nonton film thriller kah? atau baca genre yg begitu?? keren banget ini

    BalasHapus

(FLASHBACK) DARI TANAH TANDUS

  Blurb: “Kak Ineee. Kepala Rubi pusing, Kak.” “Bertahanlah, Rubi! Bukan sekarang saatnya!” Ine dan Rubi, dua gadis kecil yang ter...