Minggu, 16 Agustus 2020

Cerita Sembarangan

Cerita Sembarangan Dulu, Dulu Sembarangan Cerita

 

#sepatahkataku

 

Kata orang, mulutmu harimaumu. Kata orang, jaga omonganmu. Kata orang, sedikit bicara lebih banyak diam. Kata orang, jangan besar pasak dari pada tiang. Kata orang, diam itu emas. Kata orang... Kata orang... Katamu bagaimana? Lalu kataku? Hmmm? Jangan lihat siapa bicara, tapi dengar apa katanya...

 

Setiap orang punya keahliannya masing-masing. Kemampuannya masing-masing. Ada karakteristik tersendiri yang selalu dan sangat unik dari tiap individu. Dan itu berbeda-beda, tidak pernah sama. Bahkan bagi anak kembar indentik sekali pun. Jika dikatakan dan dilihat orang sama, itu hanya kemiripan semata. Tuhan menciptakan setiap makhluknya tidak pernah sama. Contoh yang paling dasar itu, sidik jari.

 

Yaak! Kita tidak membahas itu sekarang, lain kali saja.

 

Membicarakan tentang keahlian, kemampuan, mungkin sudah dari dulu aku lakukan, BERCERITA, tentang apa saja. Bahkan yang mendengar pun kadang terbodoh dengan ceritaku. 😂  Maaf ya bagi yang merasa sudah terbodohi dengan cerita-ceritaku. Tidak disengaja dan tidak ada unsur kesengajaan. Hmmm? Sepertinya sama saja ya kata-katanya.

 

Jadi sangking sukanya bercerita, sempat terpikir untuk sesuatu yang lebih, sesuatu yang bisa dilakukan untuk menuangkan isi pikiran, isi hati, mungkin isi dunia (yang ini gak kali yee), sesuatu paling purba, MENULIS.

 

Sebenarnya niat menulis sudah cukup lama terpendam. Terpendam. Dari katanya saja sudah tahu, TERPENDAM. Otomatis masih di dasar, butuh waktu yang sangat lama untuk bisa muncul ke permukaan.

 

Ada sih pernah muncul sebentar, sebentar ya, mungkin dikarenakan ketiadaan waktu dan ada hal-hal tertentu yang membuat niat itu kembali ke dasar. Mati suri. Gitu la kata orang. Masih tetap kata orang.

 

Kira-kira terpikir buat blog, kapan? Hmmm?

 

Tidak pernah terpikir sekalipun. 😂

 

Hanya atas saran seorang teman yang baik hati, tidak sombong serta rajin menabung dan tidak pantang mundur memberi nasehat ini itu. Tidak usah aku sebut ya mereknya. Semoga beliau tetap dalam keadaan sehat-sehat dan selalu dilindungi Allah SWT. Aamiin aamiin aamiin ya Rabbal'alamiin. (Kurasa beliau baca ini sambil senyum-senyum)

 

Alhamdulillah, sudah beberapa tulisan yang nongol. Walau kadang judul dan isi tidak semua sinkron ya. Ditambah juga gaya penulisanku yang berujung ambigu. Tapi aku senang melakukannya. Seolah-olah separuh beban di pundak lepas sedikit demi sedikit. Memang belum banyak, karena masih baru, masih bau kencur, masih belajar, masih minim pengalaman. Jadi mungkin masih banyak kekurangan di sana sini. Wajar ya.

 

Jadi tolong juga buat teman-teman yang mau dan sudi mampir kemari untuk sekiranya memberikan saran atau masukkan apapun itu buatku agar bisa lebih lagi dalam berkarya, lebih bagus lagi, lebih banyak lagi menuangkan segala macam bentuk ide, cerita atau apa pun itu. Tidak untuk apapun, hanya untuk menghilangkan jenuh, untuk peluh yang belum sepenuhnya luruh.

 

Ada kutipan dari Pak Ebiet G. Ade yang paling kusuka,

"...tugas kita masih sangat banyak,

menyelesaikan hidup dengan benar..."

(BilaKitaIkhlas)

"...semua langkah yang kita buat meninggalkan jejak di bumi,

semua napas yang kita hirup membawa kristal kehidupan..."

(KetegaranHatiSeorangPengemisDanAnaknya)

"...mengakhiri cerita kusam,

salin dengan cerita indah..."

"...jangan lihat siapa bicara,

tapi dengar apa katanya..."

(CatataanSeorangPenyair)

"...pemahaman makna yang maha sulit, menerjemahkan khayalan,

melengkapi semua kenyataan hidup di alam semesta..."

"...perjalanan yang tak pernah selesai,

kecuali atas kehendakNya,

memahami inti kehidupan, keletihan pun tak terasa..."

(KembaraLintasPanjang)

 

Jadi, apapun yang kita lakukan, yang kita kerjakan, selesaikanlah dengan benar. Bukan sekedar karena ada timbal balik jasa di sana, bukan sekedar karena gaji dan upah di sana, bukan karena ada pamrih yang lain menanti di sana, namun lakukan dengan sepenuh hati, lakukanlah dengan benar. Apapun itu. Walau begitu banyak onak dan duri, berbesar hatilah. Bukankah setelah gelap akan timbul terang?

 

Karena apa yang akan kita tinggalkan nanti benar-benar akan berjejak di kemudian hari. Tidak hari ini. Tidak saat ini. Suatu hari nanti langkah dan napasmu pun bernilai harganya. Setiap langkah banyak makna, setiap tarikan napas banyak rasa. Tinggal bagaimana engkau memahaminya. Sedikit demi sedikit.

 

Dan isilah hidup ini dengan caramu sendiri, warnai dengan caramu sendiri, penuhi ruangnya dengan caramu sendiri. Namun pada akhirnya engkau pasti ingin akhir yang happy ending, bukan? Perjalanan hidup kita tidak akan pernah selesai kecuali atas kehendakNya. Jadi, jangan pernah engkau lupakan Penciptamu. Hiduplah dengan mengikutsertakanNya. Apapun cara yang engkau pilih, apapun warna yang engkau pilih,  sertakanlah Dia Yang Maha Segalanya, niscaya engkau dapati akhir yang engkau inginkan.

 

Dan aku pun masih belajar.

Belajar pada kehidupan yang memberiku hidup.

Belajar pada udara yang kuhirup.

Belajar pada angin yang membawa rinduku padanya.

Belajar pada awan yang sering melukis garis-garis tebal dan tipis.

Belajar pada bunga yang indah dan sering kuajak berbicara.

Belajar pada matahari yang sinarnya lebih terang dari lampu pijar di langit-langit rumah.

Belajar pada hujan yang selalu berbisik tentang raut wajah yang suka muncul di kepala.

Belajar pada tanah tempatku berpijak.

Belajar pada api yang membawaku pada jamuan-jamuan penggugah selera.

Belajar pada air tempatku membasuh peluh dan bersuci untuk bertemu denganNYA.

Belajar pada tokek yang kadang diam-diam mengintipku.

Belajar pada burung yang selalu menemaniku menyambut pagi.

Belajar pada mereka yang dulu pernah singgah dan memandangku sebelah mata.

Belajar pada tetangga yang berkicau tak jemu-jemu.

Belajar pada mereka, teman, sahabat, kawan beradu argumen yang senantiasa kurindu hadirnya.

Belajar pada keluarga, saudari-saudariku yang selalu hadir dan mendukungku setiap saat kurapuh.

Belajar pada darah dan dagingku yang menjelma dalam dua bentuk tubuh tamvan rupawan.

Belajar pada dia yang telah mengetuk dan membuka pintu rahasiaku, yang semula tertutup amat sangat rapat. Terima kasih. Terima kasih karena telah membawanya muncul ke permukaan. Terima kasih karena telah banyak dukungan dan saran. Terutama terima kasih atas rasa yang sama terbagi, diberi dan memberi. Semoga segalanya menjadi awal kebaikan untukmu, untukku, bagimu, bagiku, bagi kita yang belum sepenuhnya menjadi kita.

 

 

#formyseLf

Sabtu, 15 Agustus 2020

Yang Adil, Yang Andil

#seriallimakawanankera

 

Eh.... Eh.... Tentang Miko lagi nih. Aku suka buat cerita tentang Miko. Aku membayangkan bisa ke sana ke mari. Bebas. Gak terikat oleh siapa atau apapun. Sayangnya aku bukan Miko, jadi beberapa cerita tentang Miko belum kelar-kelar. Aku ngerjai yang lain. Masak misalnya. Miko kan gak bisa masak.

Omong-omong, apa kabarnya Miko ya? Hmm? Kalau ke kebun binatang, coba sekali-sekali sapa Miko yang ada di sana ya. Mana tahu bisa jadi sahabat. 😂

Cekidot aja, yuuuk....

 

***

 

Sepi yang damai. Sesekali jangkrik lembah bersuara. Matanya berkedip-kedip. Bukan main mata. Bukan juga sakit mata. Cuma ingin berkedip saja. Dia tidak sendiri. Ada sahutan atas suaranya di sisi lain lembah. Keriuhan yang begitu sepi. Damai.

Pepohonan yang menjulang tinggi. Bercampur dengan pinus yang buahnya bergelutuk berjatuhan. Desau angin menyibak masuk di antara dedaunan. Sejuk. Bergemuruh lirih. Suara aliran sungai yang deras dengan curuk yang tidak begitu terjal. Cipratannya mengenai Dennis, kera pendiam yang sedang menjalani masa remajanya.

Tidak banyak yang dilakukan Dennis. Wajahnya muram. Tadi pagi orang tuanya ribut lagi. Walau pun kediaman mereka sedikit berjauhan dari pemukiman kera-kera yang lain, namun, Dennis tetap saja merasa malu untuk berbaur dengan teman sebayanya. Teman-teman yang lain sudah punya kelompok sendiri. Dennis tidak ingin bergabung atau pun berniat membuat kelompok. Dennis lebih senang sendiri.

Tiga ekor kera betina dewasa turun dari dahan dan berjalan ke pinggir sungai. Apakah di pikiran kalian mereka hendak mencuci? Oooh, tentu saja bukan! Mereka bercengkerama. Melepas dahaga. Yang lebih pasti lagi, mereka mengghibah. Sepertinya untuk hal yang satu itu, hampir semua pada suka ya. 😂

Adalah Ini, Inu dan Ina. Mereka akrab, selain karena adanya kesamaan nama, hobi mereka juga sama, mengghibah. Hari ini apa lagi yang jadi sasaran mereka ya?

"Eh, lihat dia tuh?"

"Emang kenapa dia?"

"Setiap kali aku lewat daerah sini, selalu aja ada dia."

"Emang kenapa dia?"

"Duduk di situ, termenung."

"Emang kenapa dia?"

"Kayaknya pertanyaannya itu-itu aja ya."

"Jadi, emangnya kenapa dia."

"Entah. Mungkin dia seperti yang pernah kubaca di majalah Monty, sejenis introvert gitu. Tipe yang suka menyendiri."

"Oooo."

"Jadi apa hubungannya dengan dia sering di sana?"

"Entah."

"Tapi abangnya keren lho. Itu, si Deden. Kan kepala kelompok Pakar, Panjat Akar. Jago banget."

"Iya, udah lihat belum waktu dia panjat pohon meranti yang terkenal paling angker itu? Di daerah lain pohon merantinya gak ada yang sebesar pohon meranti di daerah kita kan. Duuh, keren banget. Kalah Kepala Wilayah kita, Master Dion."

"Tapi kok bisa ya adiknya beda gitu sama dia. Iiih, kasian ya."

"Sudah ah. Kita pindah aja ngobrolnya. Kurang asyik di sini."

Dan dikarenakan mereka bertiga sama, jadi tidak tahu yang mana perkataan Ini, yang mana perkataan Inu, mau pun perkataan Ina. 😂

 

***

 

Dennis memajukan bibir bawahnya, guna menampung air dari curuk di sampingnya. Dia tahu tiga betina di sana sedang membicarakan. Namun, dia tidak perduli. Sudah biasa. Dia tetap asyik dengan pikiran dan aktivitasnya. Menyendiri. Benarkah? Sepertinya tidak. Ada beberapa kupu-kupu berterbangan di sekitarnya. Juga ada Green dan Semah yang berenang di sekitar kakinya. Saling bercengkrama satu sama yang lain. Perlukah untuk tahu apa yang mereka bicarakan? Tidak usah ya, tidak penting.

Sepeninggal tiga betina tadi, ada dua kelompok lagi menuju sungai. Kelompok yang lebih dari dua puluh ekor. Tidak ingin terlibat, Dennis segera beranjak dari sana. Dennis menuju hutan yang berlawanan arah dengan mereka. Lembah itu ditutupi dedaunan yang lebat sehingga tampak gelap dan selalu basah. Matahari sebenarnya pun cukup terik. Hanya sedikit bias cahaya yang masuk melalui celah-celah daunnya.

Dennis mengitari hutan dari dahan satu ke dahan yang lain. Suara ribut dua kelompok tadi semakin menjauh. Dari lembah, Dennis naik menuju daerah yang lebih tinggi. Ada tempat favoritnya di sana. Wilayah selatan ini adalah surga pepohonan di wilayah kekuasaan Master Miko selain wilayah yang lain. Dennis beruntung orang tuanya berada di wilayah selatan ini. Banyak tempat favoritnya yang jarang dikunjungi kelompok yang lain.

Pinus Jangkung, begitu istilah Dennis, pinus paling tinggi di antara pepohonan yang lain. Dennis duduk di atasnya. Dari sana semua bisa terlihat. Sambil mengunyah pisang sembarang yang diambilnya di lembah tadi, Dennis menikmati desau angin gunung. Sesekali lewat jalak di antara pinus-pinus di sekitar Dennis. Angin yang melewati helaian rambutnya membuat mata Dennis mengantuk. Padahal dia masih mengunyah pisangnya. Sekejap terdengar suara 'krek' yang agak nyaring. Dennis tidak perduli. Mungkin tupai atau bajing yang berlomba-lomba mencari makan.

Mata Dennis sudah setengah terpicing ketika ada kera lain berdiri di samping duduknya. Kera dewasa menjelang tua itu melihatnya lalu pandangannya kembali ke depan. Tubuhnya besar dan jangkung. Caranya melihat Dennis membuat nyali Dennis ciut seketika.

"Ngapain?" Suaranya berat dan parau.

Dennis terdiam. Dia kenal suara ini, tapi di mana. "Ngapain?"

"Lho? Kok malah bertanya balik. Kamu ngapain di sini?"

"Anda sendiri ngapain di sini? Ini tempatku, Pak."

Kera dewasa menjelang tua itu tertawa. Bahkan suara tawanya pun enak didengar, batin Dennis.

"Ini tempatku juga, Nak. Dari sini aku bisa memantau semuanya."

Dennis terperangah. "Master Dion?"

"Ternyata kamu mengenali saya juga ya, Nak." Master Dion tersenyum. "Mengapa kamu suka di sini?"

"Karena saya suka, Master."

"Mengapa kamu suka?"

"Apa kalau suka harus ada alasannya, Master?"

"Waah. Saya suka jawaban kamu." Master Dion tersenyum lagi. Sembari duduk, dia melihat Dennis. "Apa yang kamu lihat di sana?"

"Tidak ada."

"Benar, tidak ada?"

Dennis akhirnya menoleh dan melihat semua yang terjadi di wilayah selatan ini. "Hanya sekumpulan kera-kera bodoh, beberapa ingin berkuasa, beberapa ingin dipuji dan dipuja, beberapa hanya ingin hidup biasa, dan beberapa ingin hal yang lainnya."

Master Dion memandangi wilayahnya. "Mengapa kamu tidak bergabung di antara kelompok yang ada di sungai itu?"

"Tidak ada gunanya. Toh siapapun pengganti Master sudah pasti harus lebih kuat dari Master, bukan?"

"Jangan membuatku tertawa, Nak. Pantas atau tidak pantas hanya kita yang bisa memimpin diri kita sendiri. Saya berada di posisi ini hanya sebuah keberuntungan. Dan dari pada membicarakan hal yang tidak penting, saya ingin membawamu ke suatu tempat."

Alis Dennis tertaut. "Saya? Master? Saya, Master?" Dennis mempertegas pertanyaannya.

Master Dion mengangguk.

"Ke mana?"

"Lihat saja nanti sore. Siang ini saya hanya ingin menikmati hari."

 

***

 

Senam mulai berakhir. Master Dion membawa Dennis menyusup di antara barisan kera yang lain. Lalu mulai jingkrak ke sana ke mari mengikuti irama. Dennis malu-malu untuk memulai. Namun melihat Master Dion yang begitu menikmati, kaki dan tangannya serta merta ikut bergerak.

"... turn your magic on, to me she'd say, everything you want's a dream away, under this pressure, under this weight, we are diamonds taking shape, we are diamonds taking shape, wooo hooo, wooo hooo..."

Angin membawa jiwa Dennis menyatu dengan alam. Master Dion tersenyum padanya. Tiba-tiba ada tepukan di bahu Dennis dan Master Dion. Dennis bergeser ke kanan dan Master Dion bergeser ke kiri. Master Miko! Dennis tidak percaya ini. Master Miko, sang legenda sedang senam bersamanya, di sampingnya.

Senyum Master Dion dan Master Miko begitu sumringah. Gerakan mereka semakin mantap seiring berakhirnya senam. Dennis tidak ingin ketinggalan. Suaranya pun ikut membahana bersama kera-kera yang lain.

"... Wooo hooo... Wooo hoooo...  Wooo hooo.... Wooo hooo.... Wooo hooo... Wooo hooo... "

 

***

 

"Well, ada cerita apa ini, Anak Muda?" Master Miko membuka percakapan setelah usai senam. Pohon kersen tempat mereka duduk di bawahnya, yang mengitari seluruh sisi-sisi pohon trembesi teramat asri. Dipadupadankan dengan pohon beringin di setiap sudutnya. Berguna sebagai benteng pemukiman. Agak berbeda dengan wilayah selatan. Namun begitu, seluruh wilayah dalam naungan Master Miko, dan Master Dion dibebani tugas untuk wilayah selatan.

Dennis glagapan. Tidak mengerti maksud Master Miko.

"Bro. Aku yang membawanya ikut ke mari." Master Dion menepuk pundak Master Miko. "Gak ada urusan dia denganmu."

"Waah, menarik." Master Miko memperhatikan Dennis sejenak.

Dennis menunduk. Sorot mata Master Miko seakan-akan ingin menelannya.

"Anak Muda. Kamu tahu apa yang terjadi jika sahabatku, Dion, membawa anak muda sepertimu menemuiku?"

Dennis menggeleng. Dilihatnya Master Miko menahan napas. Master Dion cuma tersenyum.

"Kamu harus kuat, Anak Muda. Dion memberi kepercayaannya kepadamu. Kamu terpilih sebagai anak didiknya. Selamat."

Dennis terperangah dengan ucapan Master Miko. Sang Legenda yang membumi. Ditambah lagi dengan Master Dion, Sang Legenda yang terkenal dengan tangan kanannya Master Miko, yang akan membawanya guna membimbingnya. Berarti secara tidak langsung, Dennis yang seperti ini, tidak berguna, tidak mengerti tentang kekuatan, kekuasaan, dibawa dan di bawah arahan langsung oleh lima legenda yang berkuasa. Paling tidak Dennis tahu akan hal itu. Setiap kera berupaya untuk menunjukkan keahliannya agar terpilih sebagai yang dipilih oleh para legenda. Termasuk abangnya. Dennis tidak percaya ini malah terjadi padanya.

"Ada apa, Anak Muda?"

"A-a-aku tidak percaya," Dennis glagapan. "A-a-aku tidak mengerti apa-apa, Master. A-a-aku...." Dennis menunduk. Air matanya seperti akan tumpah.

"Tenanglah, Nak. Tidak apa-apa. Aku melihatnya dengan instingku. Kelak kamu akan mengerti." Master Dion menepuk pundak Dennis.

Master Miko bertepuk tangan. Matanya menatap tajam ke arah Dennis kemudian menjotos bahu Master Dion. "Bro. Tidak kusangka setelah Frans, lalu kamu. Sekarang kita tunggu bagaimana dengan Roli dan Tedi. Sungguh, aku tidak sabar dengan apa yang akan kita lakukan nanti."

 

 

---> nanti lagi....

Rabu, 12 Agustus 2020

BLANK

Blanko? Blanke? Blankblank? Blankkolam? Blanksak? Blanktiga? Blanket? Blanknga? Blankgu?

Aaaahh!!!???? Hantahlaahhh. Cekidot aja, yuuuukk...

 

***

 

Sepi. Semua pintu terkunci. Kemana semua orang? Tidak mungkin, kan, dia sedang syuting film zombie. Atau jangan-jangan dialah sang zombie itu. Kepala, dada dan seluruh tubuhnya diraba keseluruhan mencari sepenggal logika. Otaknya kembali ke alam nyata.

Diraihnya dompet dari belakang saku celananya. Sang penyelamat dia pegang erat dan diputar ke arah handle pintu. Hawa sejuk menyeruak. Salam pun terucap lirih. Aroma khas ruangan tiap rumah ini dihirupnya kuat-kuat. Lalu berjalan bak adegan lambat di beberapa film aksi, ke arah kamarnya. Demikian juga dengan meletakkan tas punggungnya. Bahkan ketika mengganti setelan baju kerja ke baju rumah pun penuh adegan lambat.

Berlebihan alias lebay? Jelas!

Sudah sore hari. Di kantor tadi dia secepatnya berbenah. Niat lembur dibatalkannya. Berharap di rumah sudah ada sajian menggugah selera di meja. Kotak makan siangnya ketinggalan. Padahal isinya semua jenis favoritnya. Seharian ini sungguh-sungguh hari yang tidak bersahabat baginya. Salah satunya yaaa itu tadi, kotak makan siangnya yang tertinggal.

 

***

 

Subuh biasa yang tidak biasa. Hujan deras, petir menggelegar. Suara azan pun nyaris tak terdengar. Bangunnya terhalang kantuk yang teramat sangat. Udara dingin menyeruak ketika selimut tersibak. Perut pun ikut mengulah.

Matanya samar-samar melihat bayangan di depannya yang kian membesar. Sebuah pukulan empuk mendarat di kepalanya. Tidak ketinggalan terjangan maut dari sebuah kaki mungil.

"Melek yang bener. Kamar mandi di sebelah sana."

Suara kakak dan tendangannya semakin mempercepat gejolak emosi isi perutnya. Sepertinya sudah mulai waktu setoran. Secepat kilat dia berkutat dalam diam dan penghayatan yang hakiki.

"Cepetaaaann!!" Suara cempreng kakaknya menghilangkan konsentrasinya. Baru juga mulai. Hhh.

"Kamar mandi mama aja sana."

"Ada papa."

Dengan enggan dia pun menyudahi setorannya dan secepat kilat membersihkan diri serta mandi. Tidak ingin mendengar lebih jauh lagi omelan kakaknya.

 

***

 

Meja makan penuh jamuan pagi. Seperti biasa kotak makan siangnya sudah stand by di sudut meja. Hari ini cukup spesial. Hampir semua makanan kesukaannya yang tampil di sana. Dia bingung ingin memulai dari makanan yang mana. Dicomotnya roti bakar keju coklat. Dikunyahnya dengan penuh penghayatan. Matanya pun ikutan merem melek menikmati keju coklatnya yang lumer di mulut. Tidak cukup satu, tangannya meraih sekeping lagi. Kemudian karena merasa perutnya masih ada ruang, diambilnya sepiring nasi uduk lengkap dengan onderdilnya.

"Yo. Tunggu diusir atau gimana? Gak lihat udah jam berapa ini? Gak ngomel bos kamu kalau kamu telat, apa?"

Dio tersadar dari lamunannya. Kebiasaan memang kakaknya yang satu ini. Kagak senang lihat orang lain senang. Lagian penyakit habis makan yaa begini, mengantuk. Dio enggan berjalan ke motornya. Agak sedikit menyesal karena banyak terisi ruang perutnya.

"Buruan, Yooo, entar gue terlambat."

"Ribut mulu, sih. Sabar. Ni juga sedang diengkol."

Pagi-pagi sudah ngomel saja nih kakak sebiji. Sudah rutin selama setahun ini bagi Dio untuk pergi mengantar kakaknya ke kampus. Demi menjadi wanita karir, kakaknya mulai kuliah lagi mengambil gelar masternya. Tua-tua di kampus. Padahal Mas Aris sudah kasih kode untuk melamarnya. Dio merasa kasihan melihat Mas Aris jika akhirnya menikah dengan kakaknya. Entah apa jadinya dunia ini.

 

***

 

Mata Dio terpaku menatap layar laptop. Desain grafis yang dia tangani mesti kelar dalam dua hari ke depan. Dia berencana lembur hari ini. Mama sudah dikabari tentang maksudnya sehingga tidak perlu menunggu kepulangannya. Belum ada dua jam dia duduk menatap layar laptopnya, perutnya mengulah. Ada gejolak emosi di sana. Yang dia ingat, tadi pagi belum rampung benar setoran awalnya. Ditambah lagi dengan sarapannya yang lumayan rakus.

Ditutupnya layar laptop. Dio berjalan cepat menuju tandas. Di lorong dia bertemu dengan pujaan hati, namun tetap berusaha tampil ok. Bulu lengannya meremang menahan gejolak emosi jiwa yang terjadi di dalam perutnya. Sial benar. Si pujaan hati senyum-senyum, entah apa maksud dari senyumnya. Dio salah tingkah tapi tetap bersikap cool.

Di dalam toilet Dio mencari tempat yang dirasanya cukup nyaman. Ada tiga bilik di sana, tapi semua pada menyalah. Entah apa yang terjadi. Ke mana semua gayung dan satu bilik malah mampet air pembuangannya. Dengan terpaksa Dio berjalan ke lantai satu, dan sekarang dia berada di lantai tiga. Ada apa sebenarnya dengan arsitek bangunan kantor ini. Mengapa lantai dua tidak ada toilet. Hanya pantry dan ruang olahraga serta ruang rapat yang memang didesain lebar.

Sungguh malang nasib perutnya yang masih meronta-ronta. Lain kali besok-besok dia akan bangun lebih cepat dan bisa lebih lama mendominasi kamar mandi tanpa gangguan kakaknya. Hanya rencana. Pada akhirnya rencananya selalu kacau jikalau berhubungan dengan kakaknya.

Perjalanan menuju lantai satu butuh perjuangan darah dan air mata. Eh? Maksudnya butuh perjuangan keringat dan air mata. Keringat, karena sungguh luar biasa menahan sesuatu yang memang sudah seharusnya pergi jauh keluar dari tempatnya berada. Air mata, karena meringis berkali-kali untuk menahan rasa agar tidak keluar yang tidak pada tempatnya.

Akhirnya tempat yang dituju berhasil dicapai. Sayangnya air di dalam ember tinggal separuhnya. Dan Dio sudah tidak perduli lagi. Dia harus menyetornya saat itu juga.

 

***

 

Pantry sepi. Dio membuka lemari gantung tempat menyimpan aneka merek kopi. Habis semua. Bahkan sesendok pun tidak tersisa.

Eko masuk membawa baki gelas-gelas kotor.

"Mas. Kopi pada ke mana ya?"

"Baru habis tadi, Mas. Baru saja Mas Dedi pergi membeli kopi baru. Kemarin lupa dibelinya karena kehujanan. Motornya masuk ke selokan."

"Innalillahi, jadi sekarang gimana?"

"Motornya?"

"Yaaa, Mas Dedinya laaa."

"Ooo, tidak apa-apa, Mas. Kan sudah pergi beli kopi tadi."

"Ya sudah, Mas, saya tunggu saja Mas Dedi balik."

Lebih sejam Dio melongo di pantry. Akhirnya dia meminta tolong Mas Eko membeli kopi kalengan di mini market di depan kantor mereka. Dia harus buru-buru menyiapkan kerjaannya. Waktunya hilang percuma selama tiga jam hanya gara-gara setoran dan kopi.

Ketika telah lewat istirahat siang, saat perut sudah merintih, Dio tersadar bekalnya tertinggal di rumah. Isi yang tadi pagi sudah habis disetornya. Cuma terisi kopi. Pantaslah merintih. Sekali lagi Dio pergi ke pantry, berharap keajaiban, misalnya ada sepiring cemilan di atas meja, pikirnya.

Lagi-lagi pantry kosong. Pada ke mana semua? Meja yang diharapkannya ada sepiring cemilan pun bersih, tidak ada satu benda pun di sana. Dio mengubek-ubek isi lemari gantung. Duuuh! Tadi katanya Mas Dedi pergi belanja, tapi pada ke mana yang sudah dibelanjakan tadi. Wafer gitu, kek, yang penting bisa dikunyah. Namun, tidak ada juga.

Dio kembali ke mejanya. Hari ini puasa saja, batinnya. Pikirannya masih simpang siur, antara lembur atau tidak. Akhirnya diputuskannya tidak jadi lembur. Sebaiknya dikerjakan di rumah saja. Terbayang olehnya sajian-sajian pelengkap lemburnya yang disiapkan mama.

 

***

 

Dan di sinilah Dio sekarang. Sendiri di rumah yang sepi, sunyi. Entah pada ke mana semua manusia penunggu rumah ini. Setelah melepaskan baju dinasnya dan berganti baju dinas yang lain, Dio bersungut-sungut menuju dapur. Teringat ada yang terlupa, dia kembali ke kamar dan mengambil ponselnya. Padam. Entah dari kapan.

Sambil menunggu nyawa ponselnya berisi, Dio menyalakan stereonya. Rasa laparnya hilang sejenak. Sambil menikmati lagu-lagunya, Dio memeriksa isi ponsel. Ternyata banyak panggilan tak terjawab dari mama dan kak Diah. Dio manggut-manggut membaca chat kakaknya. Mereka hanya mengabarkan akan menginap di rumah uwaknya dan papa akan menyusul. Seingat Dio, uwaknya memang sudah uzur. Anak-anaknya pun pada berjauhan semua tinggalnya.

Rasa lapar mulai terasa. Dio berjalan sempoyongan menuju dapur. Dilihatnya meja makan yang kosong. Tumben? Biasa selalu ada tudung saji di situ dan berisi macam-macam santapan. Oiya, mama menginap, Dio hampir lupa. Dilihatnya lagi sesuatu di atas kompor. Biasanya ada panci atau apa gitu, karena mama selalu buat cemilan, semisal bubur atau sejenisnya. Dan sekarang kosong. Oiya, mama menginap, lagi-lagi Dio hampir lupa.

Pintu kulkas dibuka Dio perlahan, berharap ada yang bisa dikunyah. Hanya ada sayuran. Karena mama menginap dan tidak ada seorang pun di rumah, tidak ada sedikit pun makanan yang tertinggal. Takutnya busuk, berbau, berjamur, atau apalah. Dio terduduk di depan pintu kulkas yang terbuka. Mulutnya menganga. Melongo dalam waktu yang lama. Rasa lapar membuat pikirannya kosong. Seperti perutnya yang sedang kosong.

 

Senin, 03 Agustus 2020

Pulang

No caption!!

 

***

 

Suara katak saling bersahutan. Beberapa ekor kelelawar terbang rendah di sisi jalan yang lenggang. Ditambah suara langkah kaki yang sedang berjalan lambat. Tas ranselnya tampak berat di punggungnya. Sepanjang dua ratus meter terbentang sawah di setiap sisi kiri dan kanannya dari ujung jalan masuk menuju dusun ini. Memang bukan jalan yang lebar tetapi masih bisa dilewati dengan kendaraan yang lumayan besar. Penerangan yang kurang menambah kesan suram. Namun kerlap kerlip lampu dari beberapa rumah warga di penghujung sawah terlihat bagai kunang-kunang.  Sepertinya tempat ini baru selesai turun hujan. Udara lembabnya menyegarkan.

Dia memeriksa waktu di pergelangan tangan kirinya. Mungkin ada yang salah atau dia yang salah dusun. Dan dia belum terlalu malam ketika tiba di sini. Namun tidak dilihatnya satu orang pun warga yang melintas.

Suara kayuhan dari sepeda yang mulai reyot terdengar pelan dari arah belakang. Tanpa ragu dia menoleh dan melihat lampu sorot sepeda yang sangat redup. Dia berhenti sejenak untuk melihat siapa yang mengendarainya.

"Nak Zi, tah? Baru tiba? Mau ke depan, tah?"

Ternyata Wak No, kepala dusun terdahulu. Entah masih menjabat entah tidak, dia tidak perduli.

"Nggih, Wak."

"Ayuk barengan. Pasti capek."

"Nggih."

Sebelum Zainal menolak dan tanpa komentar apapun dia langsung duduk di bangku belakang sepeda janda Wak No. Dia hanya ingin segera tiba di rumah. Jauhnya perjalanan membuat tubuhnya lelah. Sepanjang perjalanan Wak No banyak bercerita tentang apa saja. Bahkan diselingi dengan tawa khas beliau.

Rumahnya mulai terlihat, rumah dengan pekarangan paling luas di dusun ini. Pagarnya hanya ditumbuhi pohon kedondong laut, beberapa ada pohon kelapa rendah yang lebat buahnya. Gazebo tua nampak tak terawat di sisi kiri halaman depan.

"Terima kasih, Wak."

"Nggih. Jangan kecil hati karena kehilangan pekerjaan. Di sini banyak yang bisa dikerjakan, tah." Wak No tersenyum setelah mengatakan itu kemudian berlalu.

Zainal masih berdiri di depan pintu pagar rumahnya. Tidak ada satu pun keluarganya yang tahu tentang kepulangannya ini. Namun dia heran mengapa Wak No bisa tahu.

 

***

 

Pelukan Ummi begitu erat padanya. Abi menahan air matanya. Lima tahun tidak berjumpa bukan waktu yang sebentar. Si Bungsu, Ino, menangis di lengan Ummi. Tidak terasa dia sudah besar, sudah kelas satu sekolah menengah kejuruan. Sepertinya banyak kejadian yang sudah dia lewati. Ummi terlihat lebih kurus. Wajah Abi pun semakin menua, sudah banyak keriputnya di mana-mana. Kepulangannya ini adalah pilihan yang tepat.

Selagi Ummi menyiapkan makan malam buatnya. Zainal rebahan di atas kasur kapuknya. Menerawang memandangi langit-langit kamarnya. Kamarnya masih sama seperti waktu dia tinggalkan dulu, tidak ada yang berubah. Bahkan debu pun tidak ada. Sudah pasti Ummi selalu membersihkannya. Sejak lulus kuliah dan memilih bekerja di luar pulau, dia belum ada pulang satu waktu pun. Jelas sekali kerinduan mereka tadi.

Tentang Wak No tadi, Zainal terlupa menanyakannya kepada Abi. Nanti sajalah setelah semuanya terkendali. Sebelum Ummi memanggilnya, Zainal mengemasi barang-barangnya ke dalam lemari dan segera membersihkan diri.

 

***

 

Zainal mengayuh sepeda tua Abi dengan santai. Angin malam yang sejuk membuat wajahnya memerah. Sehabis isya tadi dia ngobrol sejenak dengan sesepuh di sana. Sudah hampir sebulan dia menghabiskan malam bersama mereka. Bercerita tentang hidup dan kehidupan. Zainal pun banyak belajar dari pengalaman mereka.

Semua punya gambaran hidupnya seperti apa. Semua punya mimpi dan harapan. Ada yang terwujud dan ada yang mengambang tidak tentu arahnya ke mana. Dan Zainal menikmati setiap moment dari pengalaman mereka. Tidak hanya sesepuh saja, namun, yang muda seperti dirinya, bahkan ada yang lebih muda darinya, bercerita panjang lebar tentang impian dan segala pencapaian yang sudah diraih. Dan bagi Zainal, inilah titik balik kehidupannya. Segala upaya sudah diusahakan, namun, karena tanpa adanya restu keikhlasan dari orang tua segalanya percuma.

Suara sepeda reyot yang dikenalnya terdengar semakin dekat. Zainal menghentikan kayuhannya sejenak dan menunggu.

"Assalamualaikum, Nak Zi."

"Waalaikumsalam, Wak No. Tumben sudah malam begini baru pulang. Dari mana, Wak? Kok malam sekali pulangnya?"

"Belum terlalu malam ini. Baru juga jam sepuluh, tah." Wak No tertawa menampilkan gigi ompongnya di sebelah kiri atas.

Mereka mengayuh sepeda dengan lambat sambil Wak No bercerita tentang apa saja. Zainal suka sekali dengan cerita Wak No. Selalu menarik untuk didengar.

"Jadi, sudah beberapa malam ini Uwak selalu pulang malam, memangnya Uwak dari mana saja?" Rasa penasaran Zainal terusik.

"Dari mesjid, tah."

"Lho? Saya juga dari sana. Sudah sebulan ini saya selalu pulang dari sana, Wak. Kenapa kita ndak jumpa ya?" Kebingungan jelas terpancar dari wajah Zainal.

"Saya ada kok, Nak Zi. Nak Zi saja yang ndak melihat saya duduk di sana, tah."

Zainal bertambah bingung.

 

***

 

Hari ini Zainal berniat menuntaskan pekerjaannya yang tertunda. Kemarin ba'da Dzuhur dia ketiduran dan pekerjaannya menjadi terbengkala. Sesampai di halaman belakang, Zainal dibuat melongo dengan pemandangan di depannya. Halaman Wak No telah bersih dan sekitar rumahnya terlihat terang. Dilihatnya Wak No sedang membakar sampah-sampah dahan dan dedaunan. Padahal kemarin Zainal benar-benar melihat halaman belakang rumah Wak No yang tidak terawat, tidak kalah semaknya. Belukar tumbuh di mana-mana. Pepohonan di sekitar rumahnya terlihat meninggi dan rimbun dipenuhi dedaunan yang tumbuh subur. Rumah itu terilhat suram. Padahal setahu Zainal, Wak No selalu rajin membersihkan kebunnya walau tidak seberapa luas itu.

"Assalamualaikum, Nak Ze."

"Waalaikumsalam, Wak No. Mantap sekali. Hebat. Cepat sekali Uwak membersihkannya." Zainal berdecak kagum.

"Waah, jangan memuji, tah. Halaman saya kan ndak seluas halaman Abimu, jadi ndak terlalu sulit membersihkannya."

"Tapi benaran saya salut melihat kemampuan Uwak. Masih sehat, masih kuat, tah. Apa nih rahasianya, Wak?"

Wak No senyum-senyum saja. "Mari mampir."

"Terima kasih, Wak, masih banyak pekerjaan saya ni." Zainal undur diri dan mulai melakukan aktivitasnya kembali. Dalam hati dia terus bertanya-tanya, dari mana tenaga Wak No sampai dalam sehari sudah terlihat hasilnya, bahkan lebih rapi dan bersih dari pekerjaan Zainal yang masih muda. Mungkin ada tenaga bayaran yang diupah oleh Wak No. Dan pikiran itu yang terbersit.

 

***

 

Sore yang sejuk. Angin semilir. Ditemani Abi, secangkir teh dan singkong goreng buatan Ummi, Zainal duduk bersandar di gajebo tua. Tidak lama Ummi datang menyusul dan mereka ngobrol santai. Bagi Zainal inilah saatnya untuk dia ceritakan perihal mangkirnya dari pekerjaan di pulau seberang.

Dengan segala pencapaian yang Zainal peroleh wajar jika seorang atasan memilihnya untuk ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Namun, ternyata hal tersebut menjadi bibit dengki bagi sebagian yang sudah lebih dulu menjabat dari pada Zainal. Dua tahun Zainal terbaring sakit, sembuh, sakit kembali, sembuh kembali, begitu berulang-ulang.

Atas saran sahabatnya semasa kuliah, Zainal pun undur diri dari perusahaan. Mulai menata kembali di kantor pusat. Namun, hal serupa juga terjadi. Karena sudah pengalaman atas apa yang telah terjadi terdahulu, sebelum segalanya semakin parah, Zainal memilih mengundurkan diri.

Dan di sinilah dia sekarang. Memilih menjaga kedua orang tuanya. Baginya hal ini lebih mulia. Rejeki sudah ada aturannya. Lalu terbersit oleh Zainal akan sesuatu yang menurutnya ganjil.

"Oh iya, Bi, hampir tiap malam Ze pulang agak kemalaman setelah isya. Dan Ze selalu berpapasan dengan Wak No. Kami sering mengobrol."

Wajah Ummi memucat. Mata Abi merewang jauh ke langit.

"Tadi pagi pun Ze melihat Wak No membersihkan kebun belakangnya. Kami bertegur sapa sebentar. Sepertinya beliau ndak menjabat sebagai kepala dusun lagi ya, Bi?"

Abi menoleh sebentar kemudian memperhatikan langit kembali. Ummi permisi kembali ke dalam rumah mengambil air putih.

"Iya. Sudah lama beliau ndak menjabat lagi."

Kembali mata Abi jauh menerawang ke langit. Entah apa yang dipikirkan. Terus-terusan menghembuskan napas seperti ada beban yang berat di pundaknya.

"Syukurlah beliau sehat-sehat saja ya, Bi. Terus, gimana kabar Reni, anak semata wayang Wak No, Bi?"

Ummi yang baru tiba menjatuhkan teko yang berisi air putih. Zainal dan Abi sampai kaget dibuatnya.

"Aduuh, Ummiii, syukurlah bukan beling." Abi membenahi teko yang jatuh. "Sudah, sini, biar Abi saja yang ambil lagi."

Ummi pun mengikuti langkah Abi yang masuk ke dalam rumah. Zainal dibuat bingung dengan kelakuan orang tuanya.

 

***

 

Malam ini tidak banyak yang hadir ketika sholat isya berjamaah. Kali ini Abi ikut dengan Zainal. Tubuhnya sudah mulai sehat. Zainal memperhatikan setiap saf. Tidak dilihatnya keberadaan Wak No. Abi memilih pulang lebih dulu bersama beberapa sepuh. Zainal masih berbincang-bincang ringan dengan tiga teman sebayanya dulu. Zainal berkali-kali melihat sekeliling. Hal ini membuat Raka, teman kecilnya menegurnya.

"Ada apa, Ze? Ada yang dicari?"

"Aku kok ndak lihat Wak No di sekitar sini."

Ketiga temannya terkejut dengan pernyataan Zainal. Mereka terlihat gelisah.

"Maksudmu?" Deni memberanikan diri bertanya.

"Setiap malam kalau aku pulang dari sini selalu disusul oleh Wak No. Bunyi sepeda reyotnya itu, lho, kadang yang membuat aku sudah ndak asing lagi dengan kehadirannya."

Raka, Deni maupun Tito diam seribu bahasa.

Zainal masih melanjutkan ceritanya. "Bahkan tadi pagi aku sempat melihatnya sedang membersihkan kebun belakang rumahnya. Kami ngobrol sebentar. Aku lupa menanyakan kabar Reni. Kudengar dia sudah menikah. Tentunya sudah punya anak, tah."

"Ze..." Raka menatap Zainal lama. Dipandanginya dua temannya yang lain. Seakan-akan meminta bantuan.

"Ada apa, Ka? Serius benar wajahmu?"

"Ze..." Raka menahan napas. "Wak No sudah lama meninggal. Sudah tiga tahun lalu. Reni juga sama, sudah meninggal."

Kemudian cerita dilanjutkan oleh Tito. Pada saat hari naas itu terjadi, suami Reni kalap, dia melihat Reni kedatangan tamu di rumah. Teman mereka juga, Beni. Dan karena mereka terlihat akrab, itu membuat suaminya curiga. Sedangkan Beni ke sana hanya menyampaikan wangsit ayahnya yang saat itu menjabat kepala dusun setelah ayah Reni, Wak No.

Cekcok tidak terhindari. Dan Wak No tidak di tempat saat itu terjadi. Sedang ada urusan di kelurahan. Ketika pulang Wak No melihat cipratan darah di mana-mana. Dan anaknya sudah terbujur kaku di samping meja makan. Di samping jasad Reni duduk suaminya, masih dalam keadaan bersimbah darah.

Wak No menangis di depan jasad anaknya dan mengata-ngatai suami anaknya itu. Hal ini malah membuat suami Reni semakin kalap dan menikam Wak No secara membabi buta.

Saat itu memang secara kebetulan ada dua orang saksi. Wak No pulang bersama dua orang pengurus dusun. Mereka sebelumnya menunggu di luar, tetapi dikarenakan ada teriakkan dari dalam mereka segera masuk ke dalam rumah.

Zainal terperangah mendengar cerita Tito. Mimik wajahnya tergambar jelas bahwa dia tidak percaya dengan kejadian tersebut. Terutama terjadi di daerahnya, bahkan di belakang rumahnya. Seakan-akan terdengar seperti berita dari televisi. Suara Tito terdengar semakin jauh. Tubuhnya hampir limbung kalau saja tidak disanggah oleh Deni.

"Jadi, jadi, jadi selama ini siapa yang sering aku temui itu?" Wajah Zainal berubah pucat.

"Mungkin hanya kamu yang ndak tahu berita ini makanya beliau sering datang menemuimu. Bukankah dulu kamu juga akrab dengan Wak No, kan." Raka menutup cerita Tito sekalian menjawab pertanyaan Zainal.

Zainal menatap Deni. Rumahnya sebelah kiri sebelum rumah Zainal. Malam ini dia tidak ingin pulang sendiri. "Den, belum hendak pulang, kan?"

"Yang benar saja. Dengar ceritamu ini mana mau aku pulang sendiri."

 

***

 

Deni bertandang ke rumah Zainal. Sekedar melihat aktivitas baru teman kecilnya itu. Tidak disangka malah disuruh bantuin menebang batang-batang pohon pisang yang tidak berbuah. Walau mengomel, namun tetap dia lakukan dengan senang hati.

Dari tempat Deni berdiri jelas sekali terlihat halaman belakang rumah mendiang Wak No yang penuh dengan semak belukar serta pohon-pohon rimbun tidak terawat. Bulu kuduknya meremang teringat cerita Zainal yang mengatakan tentang kebun belakang Wak No yang sudah bersih dalam sekejap. Polos banget si Zainal, masak baru kemarin masih penuh semak belukar tiba-tiba saja langsung bersih tidak bersisa. Tidak takut apa dia, Deni membatin sendiri.

"Assalamualaikum."

Deni menoleh. Siapa yang mengucapkan salam? Dilihatnya Zainal masih sibuk mengangkat batang-batang pohon pisang yang sudah dipotong-potong.

"Assalamualaikum."

Sekali lagi Deni mendengar suara itu. Namun, kali ini Zainal berhenti dari kegiatannya sebentar dan memasang telinga. Jantung Zainal berpacu cepat. Walau tadi sempat samar terdengar olehnya, namun, dia ingat siapa pemilik suara ini. Zainal memandang Deni yang terdiam bak patung. Bahkan matanya tak berkedip.

"Assalamualaikum."

Sontak mereka berdua menoleh ke arah suara. Terhalang oleh asap bakaran sampah, siluet itu semakin lama semakin jelas terlihat. Dari balik pagar tanaman Wak No memperlihatkan senyuman khasnya. Dan mungkin pada saat itu bagi Zainal dan Deni merupakan seringai mengerikan yang muncul di siang bolong begini.

"Kenapa salam saya ndak dijawab, Nak Ze, Nak Deni? Apakah karena kalian sudah tahu siapa saya?"

Zainal merasakan genggaman kuat tangan Deni di lengannya.

"Mari mampir."


(FLASHBACK) DARI TANAH TANDUS

  Blurb: “Kak Ineee. Kepala Rubi pusing, Kak.” “Bertahanlah, Rubi! Bukan sekarang saatnya!” Ine dan Rubi, dua gadis kecil yang ter...