No
caption!!
***
Suara
katak saling bersahutan. Beberapa ekor kelelawar terbang rendah di sisi jalan
yang lenggang. Ditambah suara langkah kaki yang sedang berjalan lambat. Tas
ranselnya tampak berat di punggungnya. Sepanjang dua ratus meter terbentang
sawah di setiap sisi kiri dan kanannya dari ujung jalan masuk menuju dusun ini.
Memang bukan jalan yang lebar tetapi masih bisa dilewati dengan kendaraan yang
lumayan besar. Penerangan yang kurang menambah kesan suram. Namun kerlap kerlip
lampu dari beberapa rumah warga di penghujung sawah terlihat bagai
kunang-kunang. Sepertinya tempat ini
baru selesai turun hujan. Udara lembabnya menyegarkan.
Dia
memeriksa waktu di pergelangan tangan kirinya. Mungkin ada yang salah atau dia
yang salah dusun. Dan dia belum terlalu malam ketika tiba di sini. Namun tidak
dilihatnya satu orang pun warga yang melintas.
Suara
kayuhan dari sepeda yang mulai reyot terdengar pelan dari arah belakang. Tanpa
ragu dia menoleh dan melihat lampu sorot sepeda yang sangat redup. Dia berhenti
sejenak untuk melihat siapa yang mengendarainya.
"Nak
Zi, tah? Baru tiba? Mau ke depan, tah?"
Ternyata
Wak No, kepala dusun terdahulu. Entah masih menjabat entah tidak, dia tidak
perduli.
"Nggih,
Wak."
"Ayuk
barengan. Pasti capek."
"Nggih."
Sebelum
Zainal menolak dan tanpa komentar apapun dia langsung duduk di bangku belakang
sepeda janda Wak No. Dia hanya ingin segera tiba di rumah. Jauhnya perjalanan
membuat tubuhnya lelah. Sepanjang perjalanan Wak No banyak bercerita tentang
apa saja. Bahkan diselingi dengan tawa khas beliau.
Rumahnya
mulai terlihat, rumah dengan pekarangan paling luas di dusun ini. Pagarnya
hanya ditumbuhi pohon kedondong laut, beberapa ada pohon kelapa rendah yang
lebat buahnya. Gazebo tua nampak tak terawat di sisi kiri halaman depan.
"Terima
kasih, Wak."
"Nggih.
Jangan kecil hati karena kehilangan pekerjaan. Di sini banyak yang bisa
dikerjakan, tah." Wak No tersenyum setelah mengatakan itu kemudian
berlalu.
Zainal
masih berdiri di depan pintu pagar rumahnya. Tidak ada satu pun keluarganya
yang tahu tentang kepulangannya ini. Namun dia heran mengapa Wak No bisa tahu.
***
Pelukan
Ummi begitu erat padanya. Abi menahan air matanya. Lima tahun tidak berjumpa
bukan waktu yang sebentar. Si Bungsu, Ino, menangis di lengan Ummi. Tidak
terasa dia sudah besar, sudah kelas satu sekolah menengah kejuruan. Sepertinya
banyak kejadian yang sudah dia lewati. Ummi terlihat lebih kurus. Wajah Abi pun
semakin menua, sudah banyak keriputnya di mana-mana. Kepulangannya ini adalah
pilihan yang tepat.
Selagi
Ummi menyiapkan makan malam buatnya. Zainal rebahan di atas kasur kapuknya.
Menerawang memandangi langit-langit kamarnya. Kamarnya masih sama seperti waktu
dia tinggalkan dulu, tidak ada yang berubah. Bahkan debu pun tidak ada. Sudah
pasti Ummi selalu membersihkannya. Sejak lulus kuliah dan memilih bekerja di
luar pulau, dia belum ada pulang satu waktu pun. Jelas sekali kerinduan mereka
tadi.
Tentang
Wak No tadi, Zainal terlupa menanyakannya kepada Abi. Nanti sajalah setelah
semuanya terkendali. Sebelum Ummi memanggilnya, Zainal mengemasi
barang-barangnya ke dalam lemari dan segera membersihkan diri.
***
Zainal
mengayuh sepeda tua Abi dengan santai. Angin malam yang sejuk membuat wajahnya
memerah. Sehabis isya tadi dia ngobrol sejenak dengan sesepuh di sana. Sudah
hampir sebulan dia menghabiskan malam bersama mereka. Bercerita tentang hidup
dan kehidupan. Zainal pun banyak belajar dari pengalaman mereka.
Semua
punya gambaran hidupnya seperti apa. Semua punya mimpi dan harapan. Ada yang
terwujud dan ada yang mengambang tidak tentu arahnya ke mana. Dan Zainal
menikmati setiap moment dari pengalaman mereka. Tidak hanya sesepuh saja,
namun, yang muda seperti dirinya, bahkan ada yang lebih muda darinya, bercerita
panjang lebar tentang impian dan segala pencapaian yang sudah diraih. Dan bagi
Zainal, inilah titik balik kehidupannya. Segala upaya sudah diusahakan, namun,
karena tanpa adanya restu keikhlasan dari orang tua segalanya percuma.
Suara
sepeda reyot yang dikenalnya terdengar semakin dekat. Zainal menghentikan
kayuhannya sejenak dan menunggu.
"Assalamualaikum,
Nak Zi."
"Waalaikumsalam,
Wak No. Tumben sudah malam begini baru pulang. Dari mana, Wak? Kok malam sekali
pulangnya?"
"Belum
terlalu malam ini. Baru juga jam sepuluh, tah." Wak No tertawa menampilkan
gigi ompongnya di sebelah kiri atas.
Mereka
mengayuh sepeda dengan lambat sambil Wak No bercerita tentang apa saja. Zainal
suka sekali dengan cerita Wak No. Selalu menarik untuk didengar.
"Jadi,
sudah beberapa malam ini Uwak selalu pulang malam, memangnya Uwak dari mana
saja?" Rasa penasaran Zainal terusik.
"Dari
mesjid, tah."
"Lho?
Saya juga dari sana. Sudah sebulan ini saya selalu pulang dari sana, Wak.
Kenapa kita ndak jumpa ya?" Kebingungan jelas terpancar dari wajah Zainal.
"Saya
ada kok, Nak Zi. Nak Zi saja yang ndak melihat saya duduk di sana, tah."
Zainal
bertambah bingung.
***
Hari
ini Zainal berniat menuntaskan pekerjaannya yang tertunda. Kemarin ba'da Dzuhur
dia ketiduran dan pekerjaannya menjadi terbengkala. Sesampai di halaman
belakang, Zainal dibuat melongo dengan pemandangan di depannya. Halaman Wak No
telah bersih dan sekitar rumahnya terlihat terang. Dilihatnya Wak No sedang
membakar sampah-sampah dahan dan dedaunan. Padahal kemarin Zainal benar-benar
melihat halaman belakang rumah Wak No yang tidak terawat, tidak kalah semaknya.
Belukar tumbuh di mana-mana. Pepohonan di sekitar rumahnya terlihat meninggi
dan rimbun dipenuhi dedaunan yang tumbuh subur. Rumah itu terilhat suram.
Padahal setahu Zainal, Wak No selalu rajin membersihkan kebunnya walau tidak
seberapa luas itu.
"Assalamualaikum,
Nak Ze."
"Waalaikumsalam,
Wak No. Mantap sekali. Hebat. Cepat sekali Uwak membersihkannya." Zainal
berdecak kagum.
"Waah,
jangan memuji, tah. Halaman saya kan ndak seluas halaman Abimu, jadi ndak
terlalu sulit membersihkannya."
"Tapi
benaran saya salut melihat kemampuan Uwak. Masih sehat, masih kuat, tah. Apa
nih rahasianya, Wak?"
Wak
No senyum-senyum saja. "Mari mampir."
"Terima
kasih, Wak, masih banyak pekerjaan saya ni." Zainal undur diri dan mulai
melakukan aktivitasnya kembali. Dalam hati dia terus bertanya-tanya, dari mana
tenaga Wak No sampai dalam sehari sudah terlihat hasilnya, bahkan lebih rapi
dan bersih dari pekerjaan Zainal yang masih muda. Mungkin ada tenaga bayaran
yang diupah oleh Wak No. Dan pikiran itu yang terbersit.
***
Sore
yang sejuk. Angin semilir. Ditemani Abi, secangkir teh dan singkong goreng
buatan Ummi, Zainal duduk bersandar di gajebo tua. Tidak lama Ummi datang
menyusul dan mereka ngobrol santai. Bagi Zainal inilah saatnya untuk dia
ceritakan perihal mangkirnya dari pekerjaan di pulau seberang.
Dengan
segala pencapaian yang Zainal peroleh wajar jika seorang atasan memilihnya
untuk ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Namun, ternyata hal tersebut menjadi
bibit dengki bagi sebagian yang sudah lebih dulu menjabat dari pada Zainal. Dua
tahun Zainal terbaring sakit, sembuh, sakit kembali, sembuh kembali, begitu
berulang-ulang.
Atas
saran sahabatnya semasa kuliah, Zainal pun undur diri dari perusahaan. Mulai
menata kembali di kantor pusat. Namun, hal serupa juga terjadi. Karena sudah
pengalaman atas apa yang telah terjadi terdahulu, sebelum segalanya semakin
parah, Zainal memilih mengundurkan diri.
Dan
di sinilah dia sekarang. Memilih menjaga kedua orang tuanya. Baginya hal ini
lebih mulia. Rejeki sudah ada aturannya. Lalu terbersit oleh Zainal akan
sesuatu yang menurutnya ganjil.
"Oh
iya, Bi, hampir tiap malam Ze pulang agak kemalaman setelah isya. Dan Ze selalu
berpapasan dengan Wak No. Kami sering mengobrol."
Wajah
Ummi memucat. Mata Abi merewang jauh ke langit.
"Tadi
pagi pun Ze melihat Wak No membersihkan kebun belakangnya. Kami bertegur sapa
sebentar. Sepertinya beliau ndak menjabat sebagai kepala dusun lagi ya,
Bi?"
Abi
menoleh sebentar kemudian memperhatikan langit kembali. Ummi permisi kembali ke
dalam rumah mengambil air putih.
"Iya.
Sudah lama beliau ndak menjabat lagi."
Kembali
mata Abi jauh menerawang ke langit. Entah apa yang dipikirkan. Terus-terusan
menghembuskan napas seperti ada beban yang berat di pundaknya.
"Syukurlah
beliau sehat-sehat saja ya, Bi. Terus, gimana kabar Reni, anak semata wayang
Wak No, Bi?"
Ummi
yang baru tiba menjatuhkan teko yang berisi air putih. Zainal dan Abi sampai
kaget dibuatnya.
"Aduuh,
Ummiii, syukurlah bukan beling." Abi membenahi teko yang jatuh.
"Sudah, sini, biar Abi saja yang ambil lagi."
Ummi
pun mengikuti langkah Abi yang masuk ke dalam rumah. Zainal dibuat bingung
dengan kelakuan orang tuanya.
***
Malam
ini tidak banyak yang hadir ketika sholat isya berjamaah. Kali ini Abi ikut
dengan Zainal. Tubuhnya sudah mulai sehat. Zainal memperhatikan setiap saf.
Tidak dilihatnya keberadaan Wak No. Abi memilih pulang lebih dulu bersama
beberapa sepuh. Zainal masih berbincang-bincang ringan dengan tiga teman
sebayanya dulu. Zainal berkali-kali melihat sekeliling. Hal ini membuat Raka,
teman kecilnya menegurnya.
"Ada
apa, Ze? Ada yang dicari?"
"Aku
kok ndak lihat Wak No di sekitar sini."
Ketiga
temannya terkejut dengan pernyataan Zainal. Mereka terlihat gelisah.
"Maksudmu?"
Deni memberanikan diri bertanya.
"Setiap
malam kalau aku pulang dari sini selalu disusul oleh Wak No. Bunyi sepeda
reyotnya itu, lho, kadang yang membuat aku sudah ndak asing lagi dengan
kehadirannya."
Raka,
Deni maupun Tito diam seribu bahasa.
Zainal
masih melanjutkan ceritanya. "Bahkan tadi pagi aku sempat melihatnya
sedang membersihkan kebun belakang rumahnya. Kami ngobrol sebentar. Aku lupa
menanyakan kabar Reni. Kudengar dia sudah menikah. Tentunya sudah punya anak,
tah."
"Ze..."
Raka menatap Zainal lama. Dipandanginya dua temannya yang lain. Seakan-akan
meminta bantuan.
"Ada
apa, Ka? Serius benar wajahmu?"
"Ze..."
Raka menahan napas. "Wak No sudah lama meninggal. Sudah tiga tahun lalu.
Reni juga sama, sudah meninggal."
Kemudian
cerita dilanjutkan oleh Tito. Pada saat hari naas itu terjadi, suami Reni
kalap, dia melihat Reni kedatangan tamu di rumah. Teman mereka juga, Beni. Dan
karena mereka terlihat akrab, itu membuat suaminya curiga. Sedangkan Beni ke
sana hanya menyampaikan wangsit ayahnya yang saat itu menjabat kepala dusun
setelah ayah Reni, Wak No.
Cekcok
tidak terhindari. Dan Wak No tidak di tempat saat itu terjadi. Sedang ada
urusan di kelurahan. Ketika pulang Wak No melihat cipratan darah di mana-mana.
Dan anaknya sudah terbujur kaku di samping meja makan. Di samping jasad Reni
duduk suaminya, masih dalam keadaan bersimbah darah.
Wak
No menangis di depan jasad anaknya dan mengata-ngatai suami anaknya itu. Hal
ini malah membuat suami Reni semakin kalap dan menikam Wak No secara membabi
buta.
Saat
itu memang secara kebetulan ada dua orang saksi. Wak No pulang bersama dua
orang pengurus dusun. Mereka sebelumnya menunggu di luar, tetapi dikarenakan
ada teriakkan dari dalam mereka segera masuk ke dalam rumah.
Zainal
terperangah mendengar cerita Tito. Mimik wajahnya tergambar jelas bahwa dia
tidak percaya dengan kejadian tersebut. Terutama terjadi di daerahnya, bahkan
di belakang rumahnya. Seakan-akan terdengar seperti berita dari televisi. Suara
Tito terdengar semakin jauh. Tubuhnya hampir limbung kalau saja tidak disanggah
oleh Deni.
"Jadi,
jadi, jadi selama ini siapa yang sering aku temui itu?" Wajah Zainal
berubah pucat.
"Mungkin
hanya kamu yang ndak tahu berita ini makanya beliau sering datang menemuimu.
Bukankah dulu kamu juga akrab dengan Wak No, kan." Raka menutup cerita
Tito sekalian menjawab pertanyaan Zainal.
Zainal
menatap Deni. Rumahnya sebelah kiri sebelum rumah Zainal. Malam ini dia tidak
ingin pulang sendiri. "Den, belum hendak pulang, kan?"
"Yang
benar saja. Dengar ceritamu ini mana mau aku pulang sendiri."
***
Deni
bertandang ke rumah Zainal. Sekedar melihat aktivitas baru teman kecilnya itu.
Tidak disangka malah disuruh bantuin menebang batang-batang pohon pisang yang
tidak berbuah. Walau mengomel, namun tetap dia lakukan dengan senang hati.
Dari
tempat Deni berdiri jelas sekali terlihat halaman belakang rumah mendiang Wak
No yang penuh dengan semak belukar serta pohon-pohon rimbun tidak terawat. Bulu
kuduknya meremang teringat cerita Zainal yang mengatakan tentang kebun belakang
Wak No yang sudah bersih dalam sekejap. Polos banget si Zainal, masak baru
kemarin masih penuh semak belukar tiba-tiba saja langsung bersih tidak bersisa.
Tidak takut apa dia, Deni membatin sendiri.
"Assalamualaikum."
Deni
menoleh. Siapa yang mengucapkan salam? Dilihatnya Zainal masih sibuk mengangkat
batang-batang pohon pisang yang sudah dipotong-potong.
"Assalamualaikum."
Sekali
lagi Deni mendengar suara itu. Namun, kali ini Zainal berhenti dari kegiatannya
sebentar dan memasang telinga. Jantung Zainal berpacu cepat. Walau tadi sempat samar
terdengar olehnya, namun, dia ingat siapa pemilik suara ini. Zainal memandang
Deni yang terdiam bak patung. Bahkan matanya tak berkedip.
"Assalamualaikum."
Sontak
mereka berdua menoleh ke arah suara. Terhalang oleh asap bakaran sampah, siluet
itu semakin lama semakin jelas terlihat. Dari balik pagar tanaman Wak No
memperlihatkan senyuman khasnya. Dan mungkin pada saat itu bagi Zainal dan Deni
merupakan seringai mengerikan yang muncul di siang bolong begini.
"Kenapa
salam saya ndak dijawab, Nak Ze, Nak Deni? Apakah karena kalian sudah tahu
siapa saya?"
Zainal
merasakan genggaman kuat tangan Deni di lengannya.
"Mari
mampir."