Eh....
Eh.... Tentang Miko lagi nih. Aku suka buat cerita tentang Miko. Aku
membayangkan bisa ke sana ke mari. Bebas. Gak terikat oleh siapa atau apapun.
Sayangnya aku bukan Miko, jadi beberapa cerita tentang Miko belum kelar-kelar.
Aku ngerjai yang lain. Masak misalnya. Miko kan gak bisa masak.
Omong-omong,
apa kabarnya Miko ya? Hmm? Kalau ke kebun binatang, coba sekali-sekali sapa
Miko yang ada di sana ya. Mana tahu bisa jadi sahabat. 😂
Cekidot
aja, yuuuk....
***
Sepi
yang damai. Sesekali jangkrik lembah bersuara. Matanya berkedip-kedip. Bukan
main mata. Bukan juga sakit mata. Cuma ingin berkedip saja. Dia tidak sendiri.
Ada sahutan atas suaranya di sisi lain lembah. Keriuhan yang begitu sepi.
Damai.
Pepohonan
yang menjulang tinggi. Bercampur dengan pinus yang buahnya bergelutuk
berjatuhan. Desau angin menyibak masuk di antara dedaunan. Sejuk. Bergemuruh
lirih. Suara aliran sungai yang deras dengan curuk yang tidak begitu terjal.
Cipratannya mengenai Dennis, kera pendiam yang sedang menjalani masa remajanya.
Tidak
banyak yang dilakukan Dennis. Wajahnya muram. Tadi pagi orang tuanya ribut
lagi. Walau pun kediaman mereka sedikit berjauhan dari pemukiman kera-kera yang
lain, namun, Dennis tetap saja merasa malu untuk berbaur dengan teman
sebayanya. Teman-teman yang lain sudah punya kelompok sendiri. Dennis tidak
ingin bergabung atau pun berniat membuat kelompok. Dennis lebih senang sendiri.
Tiga
ekor kera betina dewasa turun dari dahan dan berjalan ke pinggir sungai. Apakah
di pikiran kalian mereka hendak mencuci? Oooh, tentu saja bukan! Mereka
bercengkerama. Melepas dahaga. Yang lebih pasti lagi, mereka mengghibah.
Sepertinya untuk hal yang satu itu, hampir semua pada suka ya. 😂
Adalah
Ini, Inu dan Ina. Mereka akrab, selain karena adanya kesamaan nama, hobi mereka
juga sama, mengghibah. Hari ini apa lagi yang jadi sasaran mereka ya?
"Eh,
lihat dia tuh?"
"Emang
kenapa dia?"
"Setiap
kali aku lewat daerah sini, selalu aja ada dia."
"Emang
kenapa dia?"
"Duduk
di situ, termenung."
"Emang
kenapa dia?"
"Kayaknya
pertanyaannya itu-itu aja ya."
"Jadi,
emangnya kenapa dia."
"Entah.
Mungkin dia seperti yang pernah kubaca di majalah Monty, sejenis introvert
gitu. Tipe yang suka menyendiri."
"Oooo."
"Jadi
apa hubungannya dengan dia sering di sana?"
"Entah."
"Tapi
abangnya keren lho. Itu, si Deden. Kan kepala kelompok Pakar, Panjat Akar. Jago
banget."
"Iya,
udah lihat belum waktu dia panjat pohon meranti yang terkenal paling angker
itu? Di daerah lain pohon merantinya gak ada yang sebesar pohon meranti di
daerah kita kan. Duuh, keren banget. Kalah Kepala Wilayah kita, Master
Dion."
"Tapi
kok bisa ya adiknya beda gitu sama dia. Iiih, kasian ya."
"Sudah
ah. Kita pindah aja ngobrolnya. Kurang asyik di sini."
Dan
dikarenakan mereka bertiga sama, jadi tidak tahu yang mana perkataan Ini, yang
mana perkataan Inu, mau pun perkataan Ina. 😂
***
Dennis
memajukan bibir bawahnya, guna menampung air dari curuk di sampingnya. Dia tahu
tiga betina di sana sedang membicarakan. Namun, dia tidak perduli. Sudah biasa.
Dia tetap asyik dengan pikiran dan aktivitasnya. Menyendiri. Benarkah?
Sepertinya tidak. Ada beberapa kupu-kupu berterbangan di sekitarnya. Juga ada
Green dan Semah yang berenang di sekitar kakinya. Saling bercengkrama satu sama
yang lain. Perlukah untuk tahu apa yang mereka bicarakan? Tidak usah ya, tidak
penting.
Sepeninggal
tiga betina tadi, ada dua kelompok lagi menuju sungai. Kelompok yang lebih dari
dua puluh ekor. Tidak ingin terlibat, Dennis segera beranjak dari sana. Dennis
menuju hutan yang berlawanan arah dengan mereka. Lembah itu ditutupi dedaunan
yang lebat sehingga tampak gelap dan selalu basah. Matahari sebenarnya pun
cukup terik. Hanya sedikit bias cahaya yang masuk melalui celah-celah daunnya.
Dennis
mengitari hutan dari dahan satu ke dahan yang lain. Suara ribut dua kelompok
tadi semakin menjauh. Dari lembah, Dennis naik menuju daerah yang lebih tinggi.
Ada tempat favoritnya di sana. Wilayah selatan ini adalah surga pepohonan di
wilayah kekuasaan Master Miko selain wilayah yang lain. Dennis beruntung orang
tuanya berada di wilayah selatan ini. Banyak tempat favoritnya yang jarang
dikunjungi kelompok yang lain.
Pinus
Jangkung, begitu istilah Dennis, pinus paling tinggi di antara pepohonan yang
lain. Dennis duduk di atasnya. Dari sana semua bisa terlihat. Sambil mengunyah
pisang sembarang yang diambilnya di lembah tadi, Dennis menikmati desau angin
gunung. Sesekali lewat jalak di antara pinus-pinus di sekitar Dennis. Angin
yang melewati helaian rambutnya membuat mata Dennis mengantuk. Padahal dia
masih mengunyah pisangnya. Sekejap terdengar suara 'krek' yang agak nyaring.
Dennis tidak perduli. Mungkin tupai atau bajing yang berlomba-lomba mencari
makan.
Mata
Dennis sudah setengah terpicing ketika ada kera lain berdiri di samping
duduknya. Kera dewasa menjelang tua itu melihatnya lalu pandangannya kembali ke
depan. Tubuhnya besar dan jangkung. Caranya melihat Dennis membuat nyali Dennis
ciut seketika.
"Ngapain?"
Suaranya berat dan parau.
Dennis
terdiam. Dia kenal suara ini, tapi di mana. "Ngapain?"
"Lho?
Kok malah bertanya balik. Kamu ngapain di sini?"
"Anda
sendiri ngapain di sini? Ini tempatku, Pak."
Kera
dewasa menjelang tua itu tertawa. Bahkan suara tawanya pun enak didengar, batin
Dennis.
"Ini
tempatku juga, Nak. Dari sini aku bisa memantau semuanya."
Dennis
terperangah. "Master Dion?"
"Ternyata
kamu mengenali saya juga ya, Nak." Master Dion tersenyum. "Mengapa
kamu suka di sini?"
"Karena
saya suka, Master."
"Mengapa
kamu suka?"
"Apa
kalau suka harus ada alasannya, Master?"
"Waah.
Saya suka jawaban kamu." Master Dion tersenyum lagi. Sembari duduk, dia
melihat Dennis. "Apa yang kamu lihat di sana?"
"Tidak
ada."
"Benar,
tidak ada?"
Dennis
akhirnya menoleh dan melihat semua yang terjadi di wilayah selatan ini.
"Hanya sekumpulan kera-kera bodoh, beberapa ingin berkuasa, beberapa ingin
dipuji dan dipuja, beberapa hanya ingin hidup biasa, dan beberapa ingin hal
yang lainnya."
Master
Dion memandangi wilayahnya. "Mengapa kamu tidak bergabung di antara
kelompok yang ada di sungai itu?"
"Tidak
ada gunanya. Toh siapapun pengganti Master sudah pasti harus lebih kuat dari
Master, bukan?"
"Jangan
membuatku tertawa, Nak. Pantas atau tidak pantas hanya kita yang bisa memimpin
diri kita sendiri. Saya berada di posisi ini hanya sebuah keberuntungan. Dan
dari pada membicarakan hal yang tidak penting, saya ingin membawamu ke suatu
tempat."
Alis
Dennis tertaut. "Saya? Master? Saya, Master?" Dennis mempertegas
pertanyaannya.
Master
Dion mengangguk.
"Ke
mana?"
"Lihat
saja nanti sore. Siang ini saya hanya ingin menikmati hari."
***
Senam
mulai berakhir. Master Dion membawa Dennis menyusup di antara barisan kera yang
lain. Lalu mulai jingkrak ke sana ke mari mengikuti irama. Dennis malu-malu
untuk memulai. Namun melihat Master Dion yang begitu menikmati, kaki dan
tangannya serta merta ikut bergerak.
"...
turn your magic on, to me she'd say, everything you want's a dream away, under
this pressure, under this weight, we are diamonds taking shape, we are diamonds
taking shape, wooo hooo, wooo hooo..."
Angin
membawa jiwa Dennis menyatu dengan alam. Master Dion tersenyum padanya.
Tiba-tiba ada tepukan di bahu Dennis dan Master Dion. Dennis bergeser ke kanan
dan Master Dion bergeser ke kiri. Master Miko! Dennis tidak percaya ini. Master
Miko, sang legenda sedang senam bersamanya, di sampingnya.
Senyum
Master Dion dan Master Miko begitu sumringah. Gerakan mereka semakin mantap
seiring berakhirnya senam. Dennis tidak ingin ketinggalan. Suaranya pun ikut
membahana bersama kera-kera yang lain.
"...
Wooo hooo... Wooo hoooo... Wooo hooo....
Wooo hooo.... Wooo hooo... Wooo hooo... "
***
"Well,
ada cerita apa ini, Anak Muda?" Master Miko membuka percakapan setelah
usai senam. Pohon kersen tempat mereka duduk di bawahnya, yang mengitari
seluruh sisi-sisi pohon trembesi teramat asri. Dipadupadankan dengan pohon
beringin di setiap sudutnya. Berguna sebagai benteng pemukiman. Agak berbeda
dengan wilayah selatan. Namun begitu, seluruh wilayah dalam naungan Master
Miko, dan Master Dion dibebani tugas untuk wilayah selatan.
Dennis
glagapan. Tidak mengerti maksud Master Miko.
"Bro.
Aku yang membawanya ikut ke mari." Master Dion menepuk pundak Master Miko.
"Gak ada urusan dia denganmu."
"Waah,
menarik." Master Miko memperhatikan Dennis sejenak.
Dennis
menunduk. Sorot mata Master Miko seakan-akan ingin menelannya.
"Anak
Muda. Kamu tahu apa yang terjadi jika sahabatku, Dion, membawa anak muda
sepertimu menemuiku?"
Dennis
menggeleng. Dilihatnya Master Miko menahan napas. Master Dion cuma tersenyum.
"Kamu
harus kuat, Anak Muda. Dion memberi kepercayaannya kepadamu. Kamu terpilih
sebagai anak didiknya. Selamat."
Dennis
terperangah dengan ucapan Master Miko. Sang Legenda yang membumi. Ditambah lagi
dengan Master Dion, Sang Legenda yang terkenal dengan tangan kanannya Master
Miko, yang akan membawanya guna membimbingnya. Berarti secara tidak langsung,
Dennis yang seperti ini, tidak berguna, tidak mengerti tentang kekuatan,
kekuasaan, dibawa dan di bawah arahan langsung oleh lima legenda yang berkuasa.
Paling tidak Dennis tahu akan hal itu. Setiap kera berupaya untuk menunjukkan
keahliannya agar terpilih sebagai yang dipilih oleh para legenda. Termasuk
abangnya. Dennis tidak percaya ini malah terjadi padanya.
"Ada
apa, Anak Muda?"
"A-a-aku
tidak percaya," Dennis glagapan. "A-a-aku tidak mengerti apa-apa,
Master. A-a-aku...." Dennis menunduk. Air matanya seperti akan tumpah.
"Tenanglah,
Nak. Tidak apa-apa. Aku melihatnya dengan instingku. Kelak kamu akan
mengerti." Master Dion menepuk pundak Dennis.
Master
Miko bertepuk tangan. Matanya menatap tajam ke arah Dennis kemudian menjotos
bahu Master Dion. "Bro. Tidak kusangka setelah Frans, lalu kamu. Sekarang
kita tunggu bagaimana dengan Roli dan Tedi. Sungguh, aku tidak sabar dengan apa
yang akan kita lakukan nanti."
---> nanti lagi....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar