Sabtu, 15 Agustus 2020

Yang Adil, Yang Andil

#seriallimakawanankera

 

Eh.... Eh.... Tentang Miko lagi nih. Aku suka buat cerita tentang Miko. Aku membayangkan bisa ke sana ke mari. Bebas. Gak terikat oleh siapa atau apapun. Sayangnya aku bukan Miko, jadi beberapa cerita tentang Miko belum kelar-kelar. Aku ngerjai yang lain. Masak misalnya. Miko kan gak bisa masak.

Omong-omong, apa kabarnya Miko ya? Hmm? Kalau ke kebun binatang, coba sekali-sekali sapa Miko yang ada di sana ya. Mana tahu bisa jadi sahabat. 😂

Cekidot aja, yuuuk....

 

***

 

Sepi yang damai. Sesekali jangkrik lembah bersuara. Matanya berkedip-kedip. Bukan main mata. Bukan juga sakit mata. Cuma ingin berkedip saja. Dia tidak sendiri. Ada sahutan atas suaranya di sisi lain lembah. Keriuhan yang begitu sepi. Damai.

Pepohonan yang menjulang tinggi. Bercampur dengan pinus yang buahnya bergelutuk berjatuhan. Desau angin menyibak masuk di antara dedaunan. Sejuk. Bergemuruh lirih. Suara aliran sungai yang deras dengan curuk yang tidak begitu terjal. Cipratannya mengenai Dennis, kera pendiam yang sedang menjalani masa remajanya.

Tidak banyak yang dilakukan Dennis. Wajahnya muram. Tadi pagi orang tuanya ribut lagi. Walau pun kediaman mereka sedikit berjauhan dari pemukiman kera-kera yang lain, namun, Dennis tetap saja merasa malu untuk berbaur dengan teman sebayanya. Teman-teman yang lain sudah punya kelompok sendiri. Dennis tidak ingin bergabung atau pun berniat membuat kelompok. Dennis lebih senang sendiri.

Tiga ekor kera betina dewasa turun dari dahan dan berjalan ke pinggir sungai. Apakah di pikiran kalian mereka hendak mencuci? Oooh, tentu saja bukan! Mereka bercengkerama. Melepas dahaga. Yang lebih pasti lagi, mereka mengghibah. Sepertinya untuk hal yang satu itu, hampir semua pada suka ya. 😂

Adalah Ini, Inu dan Ina. Mereka akrab, selain karena adanya kesamaan nama, hobi mereka juga sama, mengghibah. Hari ini apa lagi yang jadi sasaran mereka ya?

"Eh, lihat dia tuh?"

"Emang kenapa dia?"

"Setiap kali aku lewat daerah sini, selalu aja ada dia."

"Emang kenapa dia?"

"Duduk di situ, termenung."

"Emang kenapa dia?"

"Kayaknya pertanyaannya itu-itu aja ya."

"Jadi, emangnya kenapa dia."

"Entah. Mungkin dia seperti yang pernah kubaca di majalah Monty, sejenis introvert gitu. Tipe yang suka menyendiri."

"Oooo."

"Jadi apa hubungannya dengan dia sering di sana?"

"Entah."

"Tapi abangnya keren lho. Itu, si Deden. Kan kepala kelompok Pakar, Panjat Akar. Jago banget."

"Iya, udah lihat belum waktu dia panjat pohon meranti yang terkenal paling angker itu? Di daerah lain pohon merantinya gak ada yang sebesar pohon meranti di daerah kita kan. Duuh, keren banget. Kalah Kepala Wilayah kita, Master Dion."

"Tapi kok bisa ya adiknya beda gitu sama dia. Iiih, kasian ya."

"Sudah ah. Kita pindah aja ngobrolnya. Kurang asyik di sini."

Dan dikarenakan mereka bertiga sama, jadi tidak tahu yang mana perkataan Ini, yang mana perkataan Inu, mau pun perkataan Ina. 😂

 

***

 

Dennis memajukan bibir bawahnya, guna menampung air dari curuk di sampingnya. Dia tahu tiga betina di sana sedang membicarakan. Namun, dia tidak perduli. Sudah biasa. Dia tetap asyik dengan pikiran dan aktivitasnya. Menyendiri. Benarkah? Sepertinya tidak. Ada beberapa kupu-kupu berterbangan di sekitarnya. Juga ada Green dan Semah yang berenang di sekitar kakinya. Saling bercengkrama satu sama yang lain. Perlukah untuk tahu apa yang mereka bicarakan? Tidak usah ya, tidak penting.

Sepeninggal tiga betina tadi, ada dua kelompok lagi menuju sungai. Kelompok yang lebih dari dua puluh ekor. Tidak ingin terlibat, Dennis segera beranjak dari sana. Dennis menuju hutan yang berlawanan arah dengan mereka. Lembah itu ditutupi dedaunan yang lebat sehingga tampak gelap dan selalu basah. Matahari sebenarnya pun cukup terik. Hanya sedikit bias cahaya yang masuk melalui celah-celah daunnya.

Dennis mengitari hutan dari dahan satu ke dahan yang lain. Suara ribut dua kelompok tadi semakin menjauh. Dari lembah, Dennis naik menuju daerah yang lebih tinggi. Ada tempat favoritnya di sana. Wilayah selatan ini adalah surga pepohonan di wilayah kekuasaan Master Miko selain wilayah yang lain. Dennis beruntung orang tuanya berada di wilayah selatan ini. Banyak tempat favoritnya yang jarang dikunjungi kelompok yang lain.

Pinus Jangkung, begitu istilah Dennis, pinus paling tinggi di antara pepohonan yang lain. Dennis duduk di atasnya. Dari sana semua bisa terlihat. Sambil mengunyah pisang sembarang yang diambilnya di lembah tadi, Dennis menikmati desau angin gunung. Sesekali lewat jalak di antara pinus-pinus di sekitar Dennis. Angin yang melewati helaian rambutnya membuat mata Dennis mengantuk. Padahal dia masih mengunyah pisangnya. Sekejap terdengar suara 'krek' yang agak nyaring. Dennis tidak perduli. Mungkin tupai atau bajing yang berlomba-lomba mencari makan.

Mata Dennis sudah setengah terpicing ketika ada kera lain berdiri di samping duduknya. Kera dewasa menjelang tua itu melihatnya lalu pandangannya kembali ke depan. Tubuhnya besar dan jangkung. Caranya melihat Dennis membuat nyali Dennis ciut seketika.

"Ngapain?" Suaranya berat dan parau.

Dennis terdiam. Dia kenal suara ini, tapi di mana. "Ngapain?"

"Lho? Kok malah bertanya balik. Kamu ngapain di sini?"

"Anda sendiri ngapain di sini? Ini tempatku, Pak."

Kera dewasa menjelang tua itu tertawa. Bahkan suara tawanya pun enak didengar, batin Dennis.

"Ini tempatku juga, Nak. Dari sini aku bisa memantau semuanya."

Dennis terperangah. "Master Dion?"

"Ternyata kamu mengenali saya juga ya, Nak." Master Dion tersenyum. "Mengapa kamu suka di sini?"

"Karena saya suka, Master."

"Mengapa kamu suka?"

"Apa kalau suka harus ada alasannya, Master?"

"Waah. Saya suka jawaban kamu." Master Dion tersenyum lagi. Sembari duduk, dia melihat Dennis. "Apa yang kamu lihat di sana?"

"Tidak ada."

"Benar, tidak ada?"

Dennis akhirnya menoleh dan melihat semua yang terjadi di wilayah selatan ini. "Hanya sekumpulan kera-kera bodoh, beberapa ingin berkuasa, beberapa ingin dipuji dan dipuja, beberapa hanya ingin hidup biasa, dan beberapa ingin hal yang lainnya."

Master Dion memandangi wilayahnya. "Mengapa kamu tidak bergabung di antara kelompok yang ada di sungai itu?"

"Tidak ada gunanya. Toh siapapun pengganti Master sudah pasti harus lebih kuat dari Master, bukan?"

"Jangan membuatku tertawa, Nak. Pantas atau tidak pantas hanya kita yang bisa memimpin diri kita sendiri. Saya berada di posisi ini hanya sebuah keberuntungan. Dan dari pada membicarakan hal yang tidak penting, saya ingin membawamu ke suatu tempat."

Alis Dennis tertaut. "Saya? Master? Saya, Master?" Dennis mempertegas pertanyaannya.

Master Dion mengangguk.

"Ke mana?"

"Lihat saja nanti sore. Siang ini saya hanya ingin menikmati hari."

 

***

 

Senam mulai berakhir. Master Dion membawa Dennis menyusup di antara barisan kera yang lain. Lalu mulai jingkrak ke sana ke mari mengikuti irama. Dennis malu-malu untuk memulai. Namun melihat Master Dion yang begitu menikmati, kaki dan tangannya serta merta ikut bergerak.

"... turn your magic on, to me she'd say, everything you want's a dream away, under this pressure, under this weight, we are diamonds taking shape, we are diamonds taking shape, wooo hooo, wooo hooo..."

Angin membawa jiwa Dennis menyatu dengan alam. Master Dion tersenyum padanya. Tiba-tiba ada tepukan di bahu Dennis dan Master Dion. Dennis bergeser ke kanan dan Master Dion bergeser ke kiri. Master Miko! Dennis tidak percaya ini. Master Miko, sang legenda sedang senam bersamanya, di sampingnya.

Senyum Master Dion dan Master Miko begitu sumringah. Gerakan mereka semakin mantap seiring berakhirnya senam. Dennis tidak ingin ketinggalan. Suaranya pun ikut membahana bersama kera-kera yang lain.

"... Wooo hooo... Wooo hoooo...  Wooo hooo.... Wooo hooo.... Wooo hooo... Wooo hooo... "

 

***

 

"Well, ada cerita apa ini, Anak Muda?" Master Miko membuka percakapan setelah usai senam. Pohon kersen tempat mereka duduk di bawahnya, yang mengitari seluruh sisi-sisi pohon trembesi teramat asri. Dipadupadankan dengan pohon beringin di setiap sudutnya. Berguna sebagai benteng pemukiman. Agak berbeda dengan wilayah selatan. Namun begitu, seluruh wilayah dalam naungan Master Miko, dan Master Dion dibebani tugas untuk wilayah selatan.

Dennis glagapan. Tidak mengerti maksud Master Miko.

"Bro. Aku yang membawanya ikut ke mari." Master Dion menepuk pundak Master Miko. "Gak ada urusan dia denganmu."

"Waah, menarik." Master Miko memperhatikan Dennis sejenak.

Dennis menunduk. Sorot mata Master Miko seakan-akan ingin menelannya.

"Anak Muda. Kamu tahu apa yang terjadi jika sahabatku, Dion, membawa anak muda sepertimu menemuiku?"

Dennis menggeleng. Dilihatnya Master Miko menahan napas. Master Dion cuma tersenyum.

"Kamu harus kuat, Anak Muda. Dion memberi kepercayaannya kepadamu. Kamu terpilih sebagai anak didiknya. Selamat."

Dennis terperangah dengan ucapan Master Miko. Sang Legenda yang membumi. Ditambah lagi dengan Master Dion, Sang Legenda yang terkenal dengan tangan kanannya Master Miko, yang akan membawanya guna membimbingnya. Berarti secara tidak langsung, Dennis yang seperti ini, tidak berguna, tidak mengerti tentang kekuatan, kekuasaan, dibawa dan di bawah arahan langsung oleh lima legenda yang berkuasa. Paling tidak Dennis tahu akan hal itu. Setiap kera berupaya untuk menunjukkan keahliannya agar terpilih sebagai yang dipilih oleh para legenda. Termasuk abangnya. Dennis tidak percaya ini malah terjadi padanya.

"Ada apa, Anak Muda?"

"A-a-aku tidak percaya," Dennis glagapan. "A-a-aku tidak mengerti apa-apa, Master. A-a-aku...." Dennis menunduk. Air matanya seperti akan tumpah.

"Tenanglah, Nak. Tidak apa-apa. Aku melihatnya dengan instingku. Kelak kamu akan mengerti." Master Dion menepuk pundak Dennis.

Master Miko bertepuk tangan. Matanya menatap tajam ke arah Dennis kemudian menjotos bahu Master Dion. "Bro. Tidak kusangka setelah Frans, lalu kamu. Sekarang kita tunggu bagaimana dengan Roli dan Tedi. Sungguh, aku tidak sabar dengan apa yang akan kita lakukan nanti."

 

 

---> nanti lagi....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

(FLASHBACK) DARI TANAH TANDUS

  Blurb: “Kak Ineee. Kepala Rubi pusing, Kak.” “Bertahanlah, Rubi! Bukan sekarang saatnya!” Ine dan Rubi, dua gadis kecil yang ter...