Sabtu, 20 Mei 2023

(FLASHBACK) DARI TANAH TANDUS

 

Blurb:

“Kak Ineee. Kepala Rubi pusing, Kak.”

“Bertahanlah, Rubi! Bukan sekarang saatnya!”

Ine dan Rubi, dua gadis kecil yang terpaksa kuat untuk bisa melalui hari-hari.

Ditemani Jio, seorang pemuda tanggung yang merintis hidup demi diri sendiri dan kedua gadis yang mengikutinya. Mereka berjuang hidup untuk sekedar keluar dari jerat kelaparan.

Namun, sampai kapan mereka harus mengaluri hidup tanpa impian? Benarkah mereka tidak memiliki impian?

 

***

 

Alhamdulillah, berwujud buku juga akhirnya tulisan ini. Idenya sudah sangat sangat sangat lama, sih. Setiap kudengar lagu Pak Ebiet G. Ade yang berjudul KETEGARAN HATI SEORANG PENGEMIS DAN ANAKNYA, aku membayangkan bagaimana perjalanan hidup di jalanan. Hanya saja, eksekusinya kira-kira hampir tiga tahun untuk diselesaikan. Lalu, tanpa sengaja kuikutsertakan dalam lomba kategori novel yang diadakan oleh penerbit Ellunar.

 

Tak jauh-jauh dari judul lagu Pak Ebiet, aku memikirkan tentang seorang anak kecil yang dibuang ibunya. Tentang mirisnya kehidupan mapan seorang wanita dan harapan-harapannya untuk menemukan kembali sang anak. Di satu sisi, tipisnya harapan hidup seorang pemuda yang baru tumbuh remaja. Dia sampai mengesampingkan indahnya dunia sekolah dan persahabatan antar manusia.

 

Menilik cerita seputar masyarakat kalangan menengah ke bawah, cerita ini masuk dalam sepuluh terbaik. Sekali lagi, Alhamdulillah. Padahal biasanya tulisanku selalu bergenre horor thriller. Entah mengapa, tanganku gatel mengetik tentang kehidupan ala kadarnya, jalan berliku orang-orang susah di luar sana.

 

Tulisan ini mulai berproses saat aku membaca suatu ayat dalam Alquran,

 

(QS. Al Kahfi 103-104)

Katakanlah: Maukah Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?

(Yaitu) orang-orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.

 

Kemudian, ayat ini,

 

(QS. Al Araf 179)

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi) neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia.

Mereka mempunyai hati, (tetapi) tidak (dipergunakan untuk) memahami ayat-ayat (Allah),

Dan mereka mempunyai mata, (tetapi) tidak (dipergunakan untuk) melihat tanda-tanda kebesaran (Allah),

Dan mereka mempunyai telinga, (tetapi) tidak (dipergunakan untuk) mendengar ayat-ayat (Allah).

Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi, mereka itulah orang-orang yang lalai.

 

Dan ayat ini,

 

(QS. Ali Imran 185)

“Setiap yang berjiwa pasti akan mati.”

 


Sedikit tentang isi novel DARI TANAH TANDUS, tentang bagaimana setiap kematian itu datang.

 

Pada akhir chapter, aku suka ketika istri Kek Sidik mengatakan, Kalau kamu mau, pasti kamu temukan jalan. Kalau kamu tidak mau, pasti kamu temukan alasan. Tapi, kamu bisa memilih untuk punya akhir dengan cara yang buruk atau cara yang baik.

 

Tiap orang mungkin memiliki standar sendiri mengenai tolak ukur yang menjadi prioritas untuk menentukan apa yang penting, kurang penting dan tak penting dalam hidup. Tergantung nilai yang kita yakini. Jadi, sifatnya relatif.

 

Namun, sebagai orang beriman, kita punya garis tegas yang membatasi apa saja yang akan kita lakukan, yaitu kematian. Ketika ajal tiba, ia tak dapat dipercepat maupun ditunda. Datangnya pun tak terduga. Tak selalu ada tanda. Bisa sangat tiba-tiba. Karena itu, kita dituntut untuk selalu waspada.

 

Di antara bentuk kewaspadaan kita adalah dengan senantiasa berusaha mendahulukan amal shalih di setiap kesempatan yang ada. Sebab, bisa saja saat seseorang sedang menunda kebaikan, dia keburu dihampiri kematian. Jika itu terjadi, dia rugi telah membuang satu kesempatan.

 

Allah mengingatkan kita, “Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu. Maka, apabila telah datang waktunya, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (QS. Al A’raf 34)

 

Namun, seringkali kita terlalu percaya diri mengira bahwa batas waktu (maut) masih belum bakal menghampiri dalam waktu dekat ini. Padahal, tak seorang pun tahu, kapan Allah tetapkan saat itu.

 

Berapa banyak diantara kita yang serius mempersiapkan diri jika ternyata Allah takdirkan mati muda?

 

Optimisme hidup memang mesti dipelihara. Hanya saja, merasa aman dari maut adalah tanda jiwa kurang waspada.

 

Baeklah! Ini ada gambaran sedikit dari isi novel DARI TANAH TANDUS. Tak lupa di dalam tulisan itu kusematkan isi dari lagu Pak Ebiet tadi.

 

 

“Apa kau sudah gila?” Air mata Zahara mengalir begitu saja. “Nggak bisakah kau titipkan ke rumah kakak jika kau nggak sanggup menjaganya? Bukankah selama ini juga begitu?”

“Kak, udahlah! Nggak ada gunanya diperpanjang lagi. Sekarang yang penting mencarinya.” Bara berusaha mengontrol emosi kakak kandungnya.

Vika menangis senggugukan di samping suaminya. Sepertinya Zahara sudah mendapat kabar itu dari sang ibu tentang pencaharian Rubi. Paginya wanita itu langsung datang meminta penjelasan Bara dan Vika.

Wanita itu tersungkur di sofa dengan raut wajah  tidak percaya. Matanya bias menatap sekitar. “Dia masih sangat kecil.” Suara Zahara begitu lirih dengan air mata yang terus mengalir. “Apa yang bisa dia lakukan di luar sana? Apa kalian yakin dia baik-baik aja sampai saat ini? Bagaiman kalau Rubi yang kalian cari udah lama mati tanpa ada yang perduli.”

“Kak!” Bara memekik lirih.

Vika menjerit histeris. “Aah!! Aku minta maaf! Aku minta maaf!”

Zahara menunduk sambil menangkup telapak tangan di wajahnya. Wanita itu menghapus air matanya dengan punggung tangan. “Kakak harap ini bisa menjadi ujian atas kariermu yang selalu kau bangga-banggakan itu. Rasa bangga pada pencapaian diri memang manusiawi, tetapi jika nggak terkendali akan menjelma ‘ujub yang rentan membakar diri. Mana kala pencapaian itu sampai mengorbankan hal lain, maka nantikanlah datangnya rasa sesalmu. Semoga Allah masih berbaik hati terhadap hidupmu.”

Setelah Zahara pergi, Vika masih terus menangis. Tanpa kakak iparnya jelaskan semua pun, dia tetap meratapi kesedihan dan penyesalan yang mendalam. Setidaknya, sebagai pendakwah, kakak iparnya masih tetap santun berkata-kata, tidak seperti kakak maupun mamanya yang selalu memaki dan merendahkannya.

Bara membujuk istrinya untuk tetap tegar. Bagaimanapun semua sudah terjadi. Tuhan pasti punya maksud atas apa-apa yang telah kita kerjakan baik yang disengaja maupun tidak sengaja kita lalukan. Hanya saja, kita harus siap menerima setiap konsekuensi atas perbuatan kita.

Menilik setiap kejadian hari kemarin dan tadi pagi, Bara pun meminta izin cuti selama tiga hari ke depan untuk menjaga kondisi psikis istrinya.

 

***

 

“Kakek bilang, kita harus bersikap bodo amat. Jadi aku buat begitu terhadap Rubi. Kan, dia juga udah dapat duit dari membantu berjualan gorengan.” Tabiat keras kepala Ine mulai datang sehabis subuh tadi ketika Sidik sibuk berbenah untuk mencari Rubi.

Jio yang baru selesai mengaji terkejut dengan pernyataan Ine. “Ine! Kau, tuh, ....”

Sidik memberi kode dengan telapak tangannya ke arah Jio. Pria tua itu menarik napas panjang. “Sikap bodo amat bukan untuk membuat kita berpikir bahwa orang lain nggak penting. Sikap bodo amat mengajarkan kita untuk melupakan hal-hal di luar kendali kita dan lebih mengusahakan hal-hal yang ada di dalam kendali diri.” Sidik menatap Ine. “Ine, manusia itu tempatnya khilaf dan salah. Tapi nggak serta merta harus terus berbuat khilaf dan salah. Pahami itu. Jika ada temanmu yang berbuat salah atau berbuat semena-mena kepadamu, apa kau senang? Kau nggak marah?”

“Yaah, marah lah, Kek!”

Kembali Sidik menarik napas panjang. “Kalau temanmu nggak perduli dan membiarkanmu sendiri karena nggak mau bermain denganmu, apa kau pun bersikap bodo amat?”

Ine terdiam. Matanya menatap Jio dan Sidik bergantian, lalu menunduk serta menggeleng.

Sidik mendengus pelan. “Ine. Kita hidup itu harus saling tolong-menolong. Nggak ada yang percuma di dunia ini. Setiap orang yang singgah di kehidupan kita, meski hanya sebentar, itu juga membawa hikmah dan pelajaran. Nggak mungkin mereka hanya sebatas singgah tanpa Tuhan buat ada maksudnya. Sama seperti Kakek, Jio, Rubi, teman-temanmu, mereka singgah di kehidupanmu agar kau bisa belajar dari segala hal. Entah itu sikap kami, perkataan kami. Gitu juga sebaliknya. Kakek, Jio, Rubi, semua ikut belajar. Belajar bukan hanya di sekolah. Di rumah juga bisa, bersama orang tua, tetangga, teman bermain, bahkan dengan hewan pun kita belajar.”

Musala kembali hening. Hanya terdengar bunyi jarum jam yang berdetak di dinding.

“Semua langkah yang kita buat meninggalkan jejak di bumi. Semua napas yang kita hirup membawa kristal kehidupan. Artinya, apa pun yang lahir dan yang kita perbuat di dunia ini semua ada artinya. Tuhan nggak menciptakan sesuatu yang sia-sia, semuanya berguna. Sampai di situ kau udah paham, hmm?”

Ine masih menunduk, lalu mengangguk.

“Ya, udah. Ayok, kita cari Rubi.”

 

 

Jadi, cara yang bagaimana yang kita inginkan? Bukankah hidup ini sangat berharga untuk dijalani? Karenanya, pergunakanlah sebaik-baiknya, apalagi jika tujuan akhir kita adalah bertemu Allah di jannah yang sudah dijanjikan oleh-Nya.

 

Terakhir! Jangan lupa beli novelnya yaa. 🤗

 


Selasa, 09 Mei 2023

MENENTUKAN PILIHAN

 

Assalamualaikum!

 

Alhamdulillah, ada tulisan yang sedang proses untuk novel baruku dengan judul ASA UNTUK ANAK NEGERI PEDALAMAN. Ide awalnya hanya iseng ketika mengikuti event di IG @pro_kreatif untuk menulis selama 30 hari di bulan September.

 

Bercerita tentang Yusuf, seorang guru di pedalaman di tengah kebun-kebun kopi, yang mengalami ritme kehidupan tak biasa. Berjuang tanpa perduli suasana dan kondisi alam yang berubah-ubah. Bersabar meski banyak hambatan menghadang. Inilah risiko pilihan yang sedang berjalan.

 

Selain ide, untuk proses risetnya terbentur dengan berbagai masalah yang sedang kuhadapi. Dan mau tak mau, selama hampir 3 bulan aku benar-benar menghadapi alam yang tak bersahabat sama sekali.

 

Baeklah!

 

Aku bocorkan sedikit dari pertengahan chapter ya, bagaimana sampai Yusuf memilih jalan hidupnya. 


>>>>

 

“Gimana usaha kita? Aman?”

 

Abi dan Yusuf duduk santai di balkon hotel.

 

“Insyaa Allah, sejauh ini masih aman.”

 

“Ngajarmu?”

 

“Alhamdulillah. Menyenangkan.”

 

“Nggak ada niat pindah ke kota? Dari pada jauh ke pelosok sana.”

 

Yusuf mendesah pelan.

 

“Kamu masih bisa memilih, kok. Masih terbuka jalanmu untuk ikut Abang kerja ke luar negeri. Usaha di dalam negeri biar orang lain yang urus.” Abi masih berusaha meyakinkan adiknya untuk beralih pilihan.

 

Yusuf masih diam. Ingatannya kembali ke masa saat dia dan beberapa temannya sedang menunggu antrian pendaftaran CPNS.

 

“Yakin?” Rio tampak ragu-ragu sambil memeluk map merah miliknya.

 

“Kenapa nggak yakin?” Yusuf merasa heran dengan tingkah Rio.

 

“Kau yakin dengan pilihan ini? Bukankah yang ditawari Bang Abi lebih baik? Kalau aku yang ditawari, tentu aku nggak akan ada di sini.” Rio mulai terlihat lesu.

 

“Bro.” Yusuf meletakkan lengannya di pundak Rio. “Kita masih muda, kita memilih yang memang harus kita pilih. Bukan orang lain yang memilih.”

 

“Karena kita masih muda lah, makanya kita pilih yang terbaik. Kau sudah istikharah belum?”

 

Sambil menyeringai, Yusuf ragu-ragu menjawabnya. “Ng? Sudah.”

 

<<<<


Sepintas percakapan ini tampak sepele. Tapi ketahuilah, tak ada yang sia-sia di setiap pilihan yang kita ambil. Semua mengandung hikmah di dalamnya. Hanya saja, salah memilih bisa membuatmu berujung nestapa, karena kurangnya ridho dari Sang Maha Kuasa.

 

Itulah gunanya kita shalat istikharah. Jika kita sudah menentukan pilihan dan shalat istikharah, maka tugas kita selanjutnya adalah melakukan pilihan tersebut. Karena jawaban istikharah akan kita tahu ketika telah menjalankan pilihan itu.

Jika Allah mudahkan, maka pilihan itu adalah yang terbaik. Tapi jika Allah persulit, maka pilihan kita tadi bukanlah yang terbaik.

Karena isi doa istikharah garis besarnya adalah meminta kemudahan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala jika pilihan kita adalah yang terbaik untuk dunia dan akhirat kita.

 

Wallahualam.

 

Nanti, jika takdir menempatkanmu pada sebuah pilihan, maka libatkanlah Allah selalu. Agar ketika pilihanmu salah, maka Allah pula lah yang akan menuntunmu saat kau kehilangan arah.

 

Hmmm?

 

Sama seperti ketika aku memilih untuk mulai menetap di suatu daerah. Ternyata pilihanku salah. Sungguh banyak kesulitan selama di sana. Walau tentu saja tetap ada kemudahan di dalamnya. Namun, sampai sekarang aku masih merinding disko jika membayangkan kembali.

 

Dan hikmah dibalik kesulitanku selama di sana, banyak riset yang telah kulakukan untuk tulisan ini. Jadi, di dalam kesulitan tetap ada hal-hal baik yang bisa kita dapat.

 

Betul tidak?!

 

Ok lah kalau begitu. Nanti kita kembali lagi untuk bercerita tentang apa-apa saja yang terjadi di sana. 🤗

 

Jadi, pilihan Yusuf ini, apakah yang terbaik atau bukanlah yang terbaik?

 

Menurut kalian gimana? Mumpung scene-nya belum dituntaskan. 😅

 


(FLASHBACK) DARI TANAH TANDUS

  Blurb: “Kak Ineee. Kepala Rubi pusing, Kak.” “Bertahanlah, Rubi! Bukan sekarang saatnya!” Ine dan Rubi, dua gadis kecil yang ter...