Sabtu, 20 Mei 2023

(FLASHBACK) DARI TANAH TANDUS

 

Blurb:

“Kak Ineee. Kepala Rubi pusing, Kak.”

“Bertahanlah, Rubi! Bukan sekarang saatnya!”

Ine dan Rubi, dua gadis kecil yang terpaksa kuat untuk bisa melalui hari-hari.

Ditemani Jio, seorang pemuda tanggung yang merintis hidup demi diri sendiri dan kedua gadis yang mengikutinya. Mereka berjuang hidup untuk sekedar keluar dari jerat kelaparan.

Namun, sampai kapan mereka harus mengaluri hidup tanpa impian? Benarkah mereka tidak memiliki impian?

 

***

 

Alhamdulillah, berwujud buku juga akhirnya tulisan ini. Idenya sudah sangat sangat sangat lama, sih. Setiap kudengar lagu Pak Ebiet G. Ade yang berjudul KETEGARAN HATI SEORANG PENGEMIS DAN ANAKNYA, aku membayangkan bagaimana perjalanan hidup di jalanan. Hanya saja, eksekusinya kira-kira hampir tiga tahun untuk diselesaikan. Lalu, tanpa sengaja kuikutsertakan dalam lomba kategori novel yang diadakan oleh penerbit Ellunar.

 

Tak jauh-jauh dari judul lagu Pak Ebiet, aku memikirkan tentang seorang anak kecil yang dibuang ibunya. Tentang mirisnya kehidupan mapan seorang wanita dan harapan-harapannya untuk menemukan kembali sang anak. Di satu sisi, tipisnya harapan hidup seorang pemuda yang baru tumbuh remaja. Dia sampai mengesampingkan indahnya dunia sekolah dan persahabatan antar manusia.

 

Menilik cerita seputar masyarakat kalangan menengah ke bawah, cerita ini masuk dalam sepuluh terbaik. Sekali lagi, Alhamdulillah. Padahal biasanya tulisanku selalu bergenre horor thriller. Entah mengapa, tanganku gatel mengetik tentang kehidupan ala kadarnya, jalan berliku orang-orang susah di luar sana.

 

Tulisan ini mulai berproses saat aku membaca suatu ayat dalam Alquran,

 

(QS. Al Kahfi 103-104)

Katakanlah: Maukah Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?

(Yaitu) orang-orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.

 

Kemudian, ayat ini,

 

(QS. Al Araf 179)

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi) neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia.

Mereka mempunyai hati, (tetapi) tidak (dipergunakan untuk) memahami ayat-ayat (Allah),

Dan mereka mempunyai mata, (tetapi) tidak (dipergunakan untuk) melihat tanda-tanda kebesaran (Allah),

Dan mereka mempunyai telinga, (tetapi) tidak (dipergunakan untuk) mendengar ayat-ayat (Allah).

Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi, mereka itulah orang-orang yang lalai.

 

Dan ayat ini,

 

(QS. Ali Imran 185)

“Setiap yang berjiwa pasti akan mati.”

 


Sedikit tentang isi novel DARI TANAH TANDUS, tentang bagaimana setiap kematian itu datang.

 

Pada akhir chapter, aku suka ketika istri Kek Sidik mengatakan, Kalau kamu mau, pasti kamu temukan jalan. Kalau kamu tidak mau, pasti kamu temukan alasan. Tapi, kamu bisa memilih untuk punya akhir dengan cara yang buruk atau cara yang baik.

 

Tiap orang mungkin memiliki standar sendiri mengenai tolak ukur yang menjadi prioritas untuk menentukan apa yang penting, kurang penting dan tak penting dalam hidup. Tergantung nilai yang kita yakini. Jadi, sifatnya relatif.

 

Namun, sebagai orang beriman, kita punya garis tegas yang membatasi apa saja yang akan kita lakukan, yaitu kematian. Ketika ajal tiba, ia tak dapat dipercepat maupun ditunda. Datangnya pun tak terduga. Tak selalu ada tanda. Bisa sangat tiba-tiba. Karena itu, kita dituntut untuk selalu waspada.

 

Di antara bentuk kewaspadaan kita adalah dengan senantiasa berusaha mendahulukan amal shalih di setiap kesempatan yang ada. Sebab, bisa saja saat seseorang sedang menunda kebaikan, dia keburu dihampiri kematian. Jika itu terjadi, dia rugi telah membuang satu kesempatan.

 

Allah mengingatkan kita, “Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu. Maka, apabila telah datang waktunya, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (QS. Al A’raf 34)

 

Namun, seringkali kita terlalu percaya diri mengira bahwa batas waktu (maut) masih belum bakal menghampiri dalam waktu dekat ini. Padahal, tak seorang pun tahu, kapan Allah tetapkan saat itu.

 

Berapa banyak diantara kita yang serius mempersiapkan diri jika ternyata Allah takdirkan mati muda?

 

Optimisme hidup memang mesti dipelihara. Hanya saja, merasa aman dari maut adalah tanda jiwa kurang waspada.

 

Baeklah! Ini ada gambaran sedikit dari isi novel DARI TANAH TANDUS. Tak lupa di dalam tulisan itu kusematkan isi dari lagu Pak Ebiet tadi.

 

 

“Apa kau sudah gila?” Air mata Zahara mengalir begitu saja. “Nggak bisakah kau titipkan ke rumah kakak jika kau nggak sanggup menjaganya? Bukankah selama ini juga begitu?”

“Kak, udahlah! Nggak ada gunanya diperpanjang lagi. Sekarang yang penting mencarinya.” Bara berusaha mengontrol emosi kakak kandungnya.

Vika menangis senggugukan di samping suaminya. Sepertinya Zahara sudah mendapat kabar itu dari sang ibu tentang pencaharian Rubi. Paginya wanita itu langsung datang meminta penjelasan Bara dan Vika.

Wanita itu tersungkur di sofa dengan raut wajah  tidak percaya. Matanya bias menatap sekitar. “Dia masih sangat kecil.” Suara Zahara begitu lirih dengan air mata yang terus mengalir. “Apa yang bisa dia lakukan di luar sana? Apa kalian yakin dia baik-baik aja sampai saat ini? Bagaiman kalau Rubi yang kalian cari udah lama mati tanpa ada yang perduli.”

“Kak!” Bara memekik lirih.

Vika menjerit histeris. “Aah!! Aku minta maaf! Aku minta maaf!”

Zahara menunduk sambil menangkup telapak tangan di wajahnya. Wanita itu menghapus air matanya dengan punggung tangan. “Kakak harap ini bisa menjadi ujian atas kariermu yang selalu kau bangga-banggakan itu. Rasa bangga pada pencapaian diri memang manusiawi, tetapi jika nggak terkendali akan menjelma ‘ujub yang rentan membakar diri. Mana kala pencapaian itu sampai mengorbankan hal lain, maka nantikanlah datangnya rasa sesalmu. Semoga Allah masih berbaik hati terhadap hidupmu.”

Setelah Zahara pergi, Vika masih terus menangis. Tanpa kakak iparnya jelaskan semua pun, dia tetap meratapi kesedihan dan penyesalan yang mendalam. Setidaknya, sebagai pendakwah, kakak iparnya masih tetap santun berkata-kata, tidak seperti kakak maupun mamanya yang selalu memaki dan merendahkannya.

Bara membujuk istrinya untuk tetap tegar. Bagaimanapun semua sudah terjadi. Tuhan pasti punya maksud atas apa-apa yang telah kita kerjakan baik yang disengaja maupun tidak sengaja kita lalukan. Hanya saja, kita harus siap menerima setiap konsekuensi atas perbuatan kita.

Menilik setiap kejadian hari kemarin dan tadi pagi, Bara pun meminta izin cuti selama tiga hari ke depan untuk menjaga kondisi psikis istrinya.

 

***

 

“Kakek bilang, kita harus bersikap bodo amat. Jadi aku buat begitu terhadap Rubi. Kan, dia juga udah dapat duit dari membantu berjualan gorengan.” Tabiat keras kepala Ine mulai datang sehabis subuh tadi ketika Sidik sibuk berbenah untuk mencari Rubi.

Jio yang baru selesai mengaji terkejut dengan pernyataan Ine. “Ine! Kau, tuh, ....”

Sidik memberi kode dengan telapak tangannya ke arah Jio. Pria tua itu menarik napas panjang. “Sikap bodo amat bukan untuk membuat kita berpikir bahwa orang lain nggak penting. Sikap bodo amat mengajarkan kita untuk melupakan hal-hal di luar kendali kita dan lebih mengusahakan hal-hal yang ada di dalam kendali diri.” Sidik menatap Ine. “Ine, manusia itu tempatnya khilaf dan salah. Tapi nggak serta merta harus terus berbuat khilaf dan salah. Pahami itu. Jika ada temanmu yang berbuat salah atau berbuat semena-mena kepadamu, apa kau senang? Kau nggak marah?”

“Yaah, marah lah, Kek!”

Kembali Sidik menarik napas panjang. “Kalau temanmu nggak perduli dan membiarkanmu sendiri karena nggak mau bermain denganmu, apa kau pun bersikap bodo amat?”

Ine terdiam. Matanya menatap Jio dan Sidik bergantian, lalu menunduk serta menggeleng.

Sidik mendengus pelan. “Ine. Kita hidup itu harus saling tolong-menolong. Nggak ada yang percuma di dunia ini. Setiap orang yang singgah di kehidupan kita, meski hanya sebentar, itu juga membawa hikmah dan pelajaran. Nggak mungkin mereka hanya sebatas singgah tanpa Tuhan buat ada maksudnya. Sama seperti Kakek, Jio, Rubi, teman-temanmu, mereka singgah di kehidupanmu agar kau bisa belajar dari segala hal. Entah itu sikap kami, perkataan kami. Gitu juga sebaliknya. Kakek, Jio, Rubi, semua ikut belajar. Belajar bukan hanya di sekolah. Di rumah juga bisa, bersama orang tua, tetangga, teman bermain, bahkan dengan hewan pun kita belajar.”

Musala kembali hening. Hanya terdengar bunyi jarum jam yang berdetak di dinding.

“Semua langkah yang kita buat meninggalkan jejak di bumi. Semua napas yang kita hirup membawa kristal kehidupan. Artinya, apa pun yang lahir dan yang kita perbuat di dunia ini semua ada artinya. Tuhan nggak menciptakan sesuatu yang sia-sia, semuanya berguna. Sampai di situ kau udah paham, hmm?”

Ine masih menunduk, lalu mengangguk.

“Ya, udah. Ayok, kita cari Rubi.”

 

 

Jadi, cara yang bagaimana yang kita inginkan? Bukankah hidup ini sangat berharga untuk dijalani? Karenanya, pergunakanlah sebaik-baiknya, apalagi jika tujuan akhir kita adalah bertemu Allah di jannah yang sudah dijanjikan oleh-Nya.

 

Terakhir! Jangan lupa beli novelnya yaa. 🤗

 


Selasa, 09 Mei 2023

MENENTUKAN PILIHAN

 

Assalamualaikum!

 

Alhamdulillah, ada tulisan yang sedang proses untuk novel baruku dengan judul ASA UNTUK ANAK NEGERI PEDALAMAN. Ide awalnya hanya iseng ketika mengikuti event di IG @pro_kreatif untuk menulis selama 30 hari di bulan September.

 

Bercerita tentang Yusuf, seorang guru di pedalaman di tengah kebun-kebun kopi, yang mengalami ritme kehidupan tak biasa. Berjuang tanpa perduli suasana dan kondisi alam yang berubah-ubah. Bersabar meski banyak hambatan menghadang. Inilah risiko pilihan yang sedang berjalan.

 

Selain ide, untuk proses risetnya terbentur dengan berbagai masalah yang sedang kuhadapi. Dan mau tak mau, selama hampir 3 bulan aku benar-benar menghadapi alam yang tak bersahabat sama sekali.

 

Baeklah!

 

Aku bocorkan sedikit dari pertengahan chapter ya, bagaimana sampai Yusuf memilih jalan hidupnya. 


>>>>

 

“Gimana usaha kita? Aman?”

 

Abi dan Yusuf duduk santai di balkon hotel.

 

“Insyaa Allah, sejauh ini masih aman.”

 

“Ngajarmu?”

 

“Alhamdulillah. Menyenangkan.”

 

“Nggak ada niat pindah ke kota? Dari pada jauh ke pelosok sana.”

 

Yusuf mendesah pelan.

 

“Kamu masih bisa memilih, kok. Masih terbuka jalanmu untuk ikut Abang kerja ke luar negeri. Usaha di dalam negeri biar orang lain yang urus.” Abi masih berusaha meyakinkan adiknya untuk beralih pilihan.

 

Yusuf masih diam. Ingatannya kembali ke masa saat dia dan beberapa temannya sedang menunggu antrian pendaftaran CPNS.

 

“Yakin?” Rio tampak ragu-ragu sambil memeluk map merah miliknya.

 

“Kenapa nggak yakin?” Yusuf merasa heran dengan tingkah Rio.

 

“Kau yakin dengan pilihan ini? Bukankah yang ditawari Bang Abi lebih baik? Kalau aku yang ditawari, tentu aku nggak akan ada di sini.” Rio mulai terlihat lesu.

 

“Bro.” Yusuf meletakkan lengannya di pundak Rio. “Kita masih muda, kita memilih yang memang harus kita pilih. Bukan orang lain yang memilih.”

 

“Karena kita masih muda lah, makanya kita pilih yang terbaik. Kau sudah istikharah belum?”

 

Sambil menyeringai, Yusuf ragu-ragu menjawabnya. “Ng? Sudah.”

 

<<<<


Sepintas percakapan ini tampak sepele. Tapi ketahuilah, tak ada yang sia-sia di setiap pilihan yang kita ambil. Semua mengandung hikmah di dalamnya. Hanya saja, salah memilih bisa membuatmu berujung nestapa, karena kurangnya ridho dari Sang Maha Kuasa.

 

Itulah gunanya kita shalat istikharah. Jika kita sudah menentukan pilihan dan shalat istikharah, maka tugas kita selanjutnya adalah melakukan pilihan tersebut. Karena jawaban istikharah akan kita tahu ketika telah menjalankan pilihan itu.

Jika Allah mudahkan, maka pilihan itu adalah yang terbaik. Tapi jika Allah persulit, maka pilihan kita tadi bukanlah yang terbaik.

Karena isi doa istikharah garis besarnya adalah meminta kemudahan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala jika pilihan kita adalah yang terbaik untuk dunia dan akhirat kita.

 

Wallahualam.

 

Nanti, jika takdir menempatkanmu pada sebuah pilihan, maka libatkanlah Allah selalu. Agar ketika pilihanmu salah, maka Allah pula lah yang akan menuntunmu saat kau kehilangan arah.

 

Hmmm?

 

Sama seperti ketika aku memilih untuk mulai menetap di suatu daerah. Ternyata pilihanku salah. Sungguh banyak kesulitan selama di sana. Walau tentu saja tetap ada kemudahan di dalamnya. Namun, sampai sekarang aku masih merinding disko jika membayangkan kembali.

 

Dan hikmah dibalik kesulitanku selama di sana, banyak riset yang telah kulakukan untuk tulisan ini. Jadi, di dalam kesulitan tetap ada hal-hal baik yang bisa kita dapat.

 

Betul tidak?!

 

Ok lah kalau begitu. Nanti kita kembali lagi untuk bercerita tentang apa-apa saja yang terjadi di sana. 🤗

 

Jadi, pilihan Yusuf ini, apakah yang terbaik atau bukanlah yang terbaik?

 

Menurut kalian gimana? Mumpung scene-nya belum dituntaskan. 😅

 


Sabtu, 01 April 2023

ATAS NAMA JANDA


“Apa seburuk itu?”

 

Aku hanya tertegun di sisi gawai. Sesenggukan Kakak membuatku terdiam lama, tak bisa berkata apa-apa. “Kan, bukan mau kakak.” Akhirnya aku berucap lirih agar suasana tak terlalu hening.

 

Benar kata suamiku. Seharusnya tak perlu ada acara kumpul sepupu seperti kemarin itu. Kalaupun ada, tak perlu diadakan di rumah Kakak.

 

“Gimana kita duduknya? Kemana ni kursinya?”

 

“Namanya datangi rumah janda, yaaa, tau sendiri laa.”

 

Mereka tertawa.

 

Sungguh! Ketika mendengar suamiku bercerita tentang kejadian malam itu, darahku pun mendidih. Entah apa hubungan kursi dengan janda. 😤

Dan ketika kuceritakan lagi padamu, Kak, tak kulihat reaksi Kakak. Kakak hanya tersenyum simpul.

 

Namun, hari ini, Kakak menangis di seberang sana.

 

“Sehina itukah status Kakak, Nah?”

 

Aku hanya diam. Tak mampu berkata-kata.

 

“Mendengar perkataan itu dari mereka, rasanya ....”

 

Kakak makin terisak. Dan akhirnya kutahu, inilah jawaban atas senyum simpulmu tanpa tahu isi gemuruh di dada. Padahal acara malam itu sudah lewat beberapa hari lalu. Ternyata Kakak begitu lama memendam rasa tak enak akan kata-kata tersebut.

 

Dulu Kakak meringis senyum ketika mendengar lagu MENJANDA dari Rita Effendy.

 

“Kok, bisa ada lagu janda ya?” Matamu menatapku nanar. “Pasti berat ya?”

 

Itu Kakak ucapkan saat masih memiliki suami. Aku tahu, Kakak pasti berpikir tentang bagaimana kehidupan menjadi seorang janda. Apakah karena itu, begitu lama Kakak mempertahankan rumah tangga yang sudah tak sehat lagi? Kakak takut akan komentar orang, cibiran orang, bahkan perlakuan orang terhadap Kakak bila hal itu terjadi.

 

Dan ternyata, dengan berat hati Kakak pun akhirnya  mengambil keputusan pisah. Aku juga tahu trauma yang Kakak hadapi. Setahun, dua tahun, bukan, selama beberapa tahun ini Kakak menutup diri dan berusaha membentengi diri sendiri. Aku juga tahu, keadaan susah dan sulit Kakak simpan sendiri.

 

Ku seka air mata yang hampir tumpah.

 

Status Kakak rawan celaka. Dan bapak kita sungguh telah buta karena membiarkan Kakak hidup sendiri tanpa wali. Apalagi di saat anak-anak Kakak pergi merantau.

 

Lalu, lelaki itu datang. Lelaki yang katanya ingin menikahi Kakak, tak kunjung serius dengan ucapannya. 

Tak bertanggung jawab! 

Pengecut!

Meskipun kami tak begitu setuju Kakak menikah, tapi kami tetap menghargai keputusan Kakak jika menikah dengannya.

 

Dan kemana lelaki itu? Kalau tak mencintai Kakak jangan beri kakak kami harapan. Kakak kami memang tak memiliki pekerjaan juga tak memiliki keahlian, tapi bagi kami, Kakak seseorang yang berharga untuk selalu kami jaga. Jika penjagaan itu pindah ke pundakmu, kami menghormati itu.

 

Jadi, di mana dia sekarang?

 

“Hanah.”

 

Aku tersadar saat masih mendengar isak Kakak. “Hmm?”

 

“Jangan katakan ini sama yang lain ya?”

 

Aku menggumam tak jelas. Ingin sekali memaki abang sepupu yang mengatakan itu. Ingin juga memaki lelaki yang seharusnya sudah menikahi Kakak. Atau, ingin memaki mulutku sendiri yang tanpa sadar kembali menceritakan apa yang didengar suamiku perihal kejadian malam itu.

 

Aku tahu, Kakak adalah perempuan yang kuat. Dan kuharap terus kuat.

 

Saat ini, aku pun bertanya. Apakah menjadi janda seburuk itu?

 

Persepsi atau stigma tentang janda dalam lingkungan masyarakat relatif lebih banyak buruknya daripada sisi positifnya.. Di mana posisi janda masih dianggap aib yang harus dibatasi ruang geraknya. Menjadi janda bukanlah sebuah kondisi yang nyaman bagi hampir semua perempuan.

 

Fenomena janda terjadi di seluruh dunia. Baik janda akibat perceraian ataupun janda ditinggal mati pasangan. Namun, pola kehidupan di Indonesia, pemikiran dan pandangan masyarakatnya kurang menghargai terhadap hak-hak orang lain. Janda juga merupakan anggota masyarakat yang memiliki hak untuk hidup berdampingan dengan individu atau keluarga lain serta memiliki kebebasan untuk berkreasi. Namun, akibat dari konstruk budaya yang membebankan kesalahan pada janda dan fenomena tersebut tak dianggap sebagai proses kehidupan, maka kebebasan janda terbelenggu.

 

Semakin maju zaman dan pendidikan tak membuat stigma status janda membaik. Seorang janda sering diperlihatkan sebagai wanita penggoda, perempuan murahan yang tak punya harga diri, rendah, lemah, tak berdaya dan membutuhkan belas kasih alias kesepian. Lebih parah lagi dianggap sebagai penggoda suami orang, ‘gampangan’, mudah dibawa ke ranjang, bahkan tak memiliki etika dan batas-batas kesusilaan. Akhirnya, di masyarakat dalam kondisi sosial budaya seringkali mendapat ketidakadilan.

 

Menjadi janda itu sangat rentan dari segala permasalahan dan pandangan masyarakat sehingga banyak dari mereka yang sedikit berlebihan dalam menanggapi status itu. Bahkan, sangat banyak yang mengasumsikan bahwa seorang janda adalah makhluk yang paling rendah. Baik perkataan dan perlakuan anak muda maupun orang dewasa, tanpa mereka sadari sangat menyakitkan hati janda.

 

Padahal mereka tak pernah tahu, apa yang dialami dan apa yang dirasakan perempuan tersebut sebelum mendapat predikat JANDAnya.

 

Banyak hal yang harus dihadapi seorang perempuan ketika menjadi janda. Perubahan ekonomi, kondisi psikis dan trauma yang dialami. Tak hanya sampai di situ, seorang janda tak akan pernah mudah memulai hubungan yang baru. Mengingat banyak di antara janda tersebut yang mengalami trauma oleh sebab perceraiannya.

 

Tak ada perempuan di dunia ini yang ingin rumah tangganya hancur berantakan. Kita tak pernah tahu apa yang menjadi alasan ketika seorang perempuan memutuskan untuk berpisah. Oleh karena itu, hargai dan hormati perempuan yang berstatus janda. Pikirkan juga perasaan anak-anak yang berstatus janda. Janganlah kita menambah rasa sakit pada perempuan yang sudah sakit dan kecewa karena perpisahan.

 

Tak semua janda mudah untuk diperdaya. Bahkan sebenarnya yang terpedaya di sini adalah para lelaki, yang selama ini terbuai oleh male chauvinisme yang membalut budaya patriarki dan meyakini cerita-cerita bernuansa stigma atas status dan keberadaan para janda.

 

Mereka adalah para perempuan kuat yang tak punya pilihan lain selain menjalani hidupnya sendiri bersama anak-anaknya.

 

Untuk para janda, hargai diri kalian sendiri. Jangan menganggap status yang melekat pada diri merupakan status yang hina. Menjadi janda bukanlah hal yang diinginkan oleh kalian, kan?

 

Semoga kita semua bisa bersikap bijak dalam menilai, karena janda juga manusia.

 

===






Terima kasih telah mampir dan membaca kisah ini. 🙏🏻

Wassalamualaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.


Senin, 30 Mei 2022

BELAHAN JIWA PART III

 

 

Assalamualaikum! Apa kabar? Semoga selalu dalam keadaan sehat dan baik-baik saja ya.

 

Akhirnyaaa ....

 

Sampai juga kita diakhir kisah Lara ya. Gimana nasibnya? Apakah berujung nestapa ataukah menyayat hati penuh air mata kebahagiaan?

 

Gak usah berlama-lama mengoceh ya. Kita lihat saja, yuuuk.

 

Cekidooot ....

 

 

 

 

Part V : Yang Sakit Mesti Mati

 

Tubuh Lara remuk redam. Wanita itu meringkuk menahan sakit lahir batinnya di atas ranjang. Dia berusaha menolak napsu Radith yang tidak terkendali. Akibatnya seluruh tubuh Lara menjadi pelampiasan emosi lelaki itu. Namun, dia merasa senang, karena berhasil menjaga harga dirinya.

Pelan Lara turun dari ranjang, bermaksud membasuh diri. Namun, belum sempat kakinya berdiri, Radith mendorong tubuh wanita itu hingga terhempas kembali ke ranjang.

"Uugh!" Lara memegang dadanya yang terasa sakit akibat tangan Radith yang mendorongnya sangat keras. Dia berusaha bangkit kembali.

Radith tidak memberi kesempatan wanita itu untuk bangkit. Kesal dan geram, tangannya mulai mengepal dan memukul Lara dengan membabi buta. Tidak ada perlawanan dari Lara. Wanita itu membiarkan perbuatan lelaki itu sampai dirasanya puas.

Lara memejamkan mata. Dia mulai merasa pusing dan ingin merebahkan kepala.

"Bangun! Bangun!" Radith menarik rambut Lara hingga wajahnya menyentuh wajah lelaki itu. "Tidak usah pura-pura mengantuk." Tangannya mengelus wajah Lara, lalu memukul tepat di hidungnya. "Wajah sok cantik ini tidak pantas untuk orang lain, dia hanya pantas untukku. Dengar! Untukku! Jadi jangan pernah kau pamerkan senyummu untuk orang lain. Paham!" Lelaki itu menghempaskan kepala Lara ke ranjang.

Kepala Lara semakin berdenyut, hidungnya mengeluarkan darah. Lelaki itu mondar mandir di depan pintu kamar mandi dan entah mengatakan apa. Pendengarannya kembali seperti dulu, terkadang kumat setelah mendapatkan hentakan dari benda tumpul. Lalu, tinju Radith datang lagi dengan bertubi-tubi. Lara terduduk menutupi wajah dengan lengannya hingga ke sudut ranjang.

Radith masih terus mengoceh tentang kekesalannya.

"Ke-ke-ke-kenapa k-k-kau lakukan ini padaku?" Lara memberanikan diri bersuara.

"Apa! Kau ingin tahu?" Wajah Radith semakin terlihat bengis. Ditariknya kaki Lara ke tepi ranjang.

"Aaargh!" Lara menjerit menahan tubuhnya.

Mereka bergumul di atas ranjang. Lara menggigit telinga Radith sekuatnya.

"Aaaaaaaargghh!!"

Lara berhasil lepas dari tangan dan kaki Radith, lalu turun dari ranjang dan berusaha keluar. Dengan menahan sakitnya, Radith kembali meraih kaki Lara dan wanita itu tersungkur di samping ranjang. Namun, Lara berhasil bangkit dan berlari menuju kursi kayu di dekat pintu. Dia mengangkat kursi itu dan membantingnya sekuat tenaga hingga menjadi potongan kayu. Lara meraih yang paling panjang dengan ujung yang sedikit runcing. Lalu, mengarahkannya ke depan Radith yang baru keluar dari kamar.

"Wow! Sayang!" Lelaki itu mengangkat tangannya ke atas. "Bukan begini caranya. Sayangku tidak akan berani melakukannya. Sayangku seorang yang lemah lembut. Letakkan kayu itu, Lara. Sayang?"

Lara semakin mempererat genggamannya pada kayu itu. "Kenapa kau lakukan ini padaku. Kenapaaaa!!" Lara berteriak.

"Hah? Kenapa? Hah.... Hahahahahahaha...." Lelaki itu memegang dagunya dan tertawa panjang. Lalu dia berjalan menuju tas yang tersampir di dinding dekat televisi. Mengambil sesuatu dan menunjukkannya di depan Lara. "Ini apa? Ini apa, hah?!" Tangannya mengacung berkas itu di depan Lara dan menghamburkannya. Lelaki itu berbalik dan meninju dinding.

Lara melihat sekilas judul besar di berkas dekat kakinya. Panggilan Sidang Pengadilan Agama.

"Bisa-bisanya kau bermain di belakangku. Apa yang kau ceritakan tentang kita kepada wanita itu, hah?!" Radith mondar-mandir di depan pintu kamar.

"Aku tidak menceritakan apa pun pada Jeni. Dia tahu sendiri ketika mengunjungiku."

Radith kembali meninju dinding hingga membuat Lara terkejut dan mundur. Kayu semakin erat digenggamnya.

Wajah Radith menunjukkan kebengisannya. Lelaki itu tersenyum. "Sekarang tidak perlu khawatir." Dia melangkah mendekati Lara. Tangannya ingin menggapai wajah cantik istrinya.

Lara tetap mengacung kayu itu hingga Radith mundur kembali. "Apa maksudmu?"

"Semua sudah kubereskan. Mereka-mereka yang ingin memisahkan kita, tidak akan pernah selamat dari pantauanku."

"Apa maksudmu? Apa yang kau lakukan terhadap Jeni dan Bian?" Lara mulai khawatir.

"Jeni? Wanita lemah itu tidak bisa apa-apa. Hmm? Bian? Dia tinggal nama sekarang." Radith tersenyum penuh arti.

Tubuh Lara mulai bergetar. Air matanya tumpah ruah seketika. "Mas, k-k-kau sakit!"

Radith tertawa tanpa henti.

 

***

 

"Jeni! Apa yang kau lakukan?" Lara menutupi wajah dari kamera ponsel sahabatnya.

"Hanya untuk jaga-jaga, untuk bukti atas apa yang sudah terjadi. Secepatnya harus kau laporkan. Tanpa laporan darimu langsung tidak akan kuat. Sebaiknya kau bicara terus terang dengan bang Bian. Aku akan minta padanya kau ditangani secara khusus."

"Jen. Aku nggak mau terjadi apa-apa dengan mas Radith."

Pupil Jeni langsung membesar di depan Lara. "Gila kau! Apa yang sudah dia lakukan terhadapmu ini, apa kau anggap nggak terjadi apa-apa? Dia sakit, Ra. Psikopat yang pesakitan. Kau harus menjauh darinya."

"Tapi, Jen....."

Jeni menggenggam erat tangan Lara. "Kita tunggu sampai anak-anakmu satu tahun. Oke? Serahkan padaku semuanya."

"Jeni. Aku juga nggak mau terjadi sesuatu terhadap kalian berdua." Mata Lara mulai berkaca-kaca.

"Nggak akan terjadi apa-apa. Bang Bian pengacara handal. Kalaupun akan terjadi sesuatu, dia tidak bodoh, Ra."

Itu pembicaraan mereka setahun yang lalu. Sejak melahirkan, hampir setiap hari Jeni berkunjung ke rumahnya saat Radith di kantor untuk memastikan setiap kondisi dan keadaan Lara. Walau terkadang ayah dan saudaranya juga berkunjung, namun, mereka tidak pernah tahu apa yang telah Radith perbuat padanya. Suaminya sangat pandai berkata-kata. Jeni telah banyak membantunya. Lewat Jeni, Lara jadi tahu tentang masa lalu Radith yang buruk. Seorang pesakitan, yang meraih segalanya dengan menghalalkan segala cara.

Sialnya, Lara sangat mencintainya. Radith mampu membuat seluruh harinya indah dan membuat Lara menjadi wanita yang sempurna. Sampai segalanya berubah, yang membuat sedikit demi sedikit terkikis rasa cintanya terhadap lelaki itu.

 

***

 

"Mereka tidak tahu apa-apa, mereka tidak salah, Mas. Kenapa te...."

"Ada!"

Suara Radith yang berteriak mengagetkan Lara. Dia mundur selangkah.

"Mereka ingin memisahkanmu dariku. Kau milikku! Siapa pun yang bertujuan ingin memisahkan kita tidak akan luput dari pantauanku, termasuk ibumu!"

"Apa maksudmu?" Bibir Lara mulai bergetar.

Sudut bibir lelaki itu terangkat sedikit. "Huh! Kau kira siapa yang membuat ibumu sampai seperti itu?" Bibirnya mencibir dan mendengus kesal. "Aku tidak sengaja mendengar pembicaraan mereka, ibumu dan Jeni. Tentu saja aku nggak mau segala rencana dan perjuanganku kandas begitu saja."

Kaki Lara mulai limbung. "Ja-ja-jadi? Ma-mas, kau...."

"Oooh, Lara, Sayang. Jangan terlalu naif."

Lara terduduk. Kayu di tangannya terlepas begitu saja.

 

Lara sampai terlebih dahulu di rumah sakit sebelum Radith. Mereka janji bertemu di sana. Namun, ketika Lara sampai di kamar, mata ibunya membesar dan tangannya menunjuk ke arah infus. Wanita itu tidak begitu memperhatikannya, dia terlanjur panik melihat kondisi ibunya yang mulai sekarat.

Dokter dan perawat berdatangan karena jeritan Lara. Tepat saat itu, Radith merangkulnya dari belakang. Menenangkannya dan menjauh dari aktivitas dokter serta perawat. Wanita itu tidak sadar bahwa mata ibunya terus menatap tajam kepada Radith di akhir hayatnya.

 

Lara tidak kuasa menahan air matanya. Ini salahnya. Ini salahku! Karena aku, mama....

"Aaaaaaaargh! Aaaaaaargh!" Lara berteriak dengan memukul-mukul dadanya. Ibunya meninggal sebulan sebelum hari pernikahan Lara. Lalu, dia menikah dengan pembunuh ibunya. Kejadian itu terus terbayang di pikiran. Rasa bersalah dan sakit hati membuat tangis dan teriakkannya semakin menjadi.

Radith duduk memeluk istrinya, mencoba menenangkan. "Sayang, bagaimana pun itu telah terjadi. Maafkan aku, hmm?" Tangannya menghapus air mata di wajah cantik istrinya.

Air mata Lara terus bergulir, namun, raut wajahnya tampak datar tak berekspresi.

"Uugh!" Radith mundur dan meraba perut. Kayu runcing itu telah tertancap di bagian kiri bawah perutnya. "La-la-lara...."

Wanita itu masih menatap wajah Radith tanpa ekspresi. Air matanya terus bercucuran dan dia semakin mendorong kayu itu. Lara mulai bangkit dan membiarkan Radith tersungkur. Tangan lelaki itu meraih kaki Lara. Salah satunya mencoba mencabut kayu dari perutnya.

Lara berlari menuju kolong sofa, meraih kunci yang dia sembunyikan di sana. Kemudian dia menuju pintu dan membukanya. Sebelum beranjak, kakinya terhenti di depan.

"La-la-ra, Sa-sayang. Ja-ja-jangan ti-tinggalkan aku. Aku sa-sa-sangat me-men-cintai-mu." Radith masih sempat berdiri dan membawa kayu itu ke arah punggung Lara.

Lara menutup pintu dan menguncinya kembali. Sengaja kunci itu tidak dia cabut. Lalu, dia beralih ke samping teras. Menuangkan seluruh isi bensin di sekeliling gubuk. Kemarin, saat berhasil melarikan diri, wanita itu sekilas melihat jeriken berisi bensin yang biasa dipakai Radith untuk mobilnya.

"Lara! Laraa!" Radith panik dan berteriak sambil memukul pintu.

Lara berdiri di depan teras. Mengambil mancis dari saku celana dan melemparkannya ke depan.

BOOF!

Api langsung menjalar ke sekeliling gubuk. Lara berjalan menuju double cabin. Secepat mungkin meninggalkan teriakkan Radith dan nyala api yang semakin membara.

 

EPILOG

 

Lara terduduk dengan pandangan kosong menatap gemerlap lampu kota dari balik jendela kamar rumah sakit. Tubuhnya penat setelah sehari penuh tidak sadarkan diri. Wanita itu hanya ingat saat belum separuh jalan, double cabin itu kehabisan bensin. Lalu, dia berusaha berjalan dengan kondisi yang lemah dan setelah itu dia tidak ingat lagi apa yang terjadi. Dari cerita perawat, sepasang suami istri, buruh perkebunan yang menemukan Lara di jalan dan membawanya ke rumah sakit. Namun, mereka langsung pulang karena tidak ingin terlibat lebih jauh.

Luka lembam di wajah dan tubuhnya mulai terasa sakit. Sakit hatinya pun lebih dari pada itu. Tangan kirinya terus-menerus mengusap perut dan matanya masih tetap kosong menatap gelapnya malam dari balik jendela.

Bagaimana sekarang? Apa yang harus aku lakukan, Nak? Kemudian, tanpa disadari, bulir-bulir bening itu terus berjatuhan di wajahnya yang tanpa ekspresi.

Sementara itu, dari luar kamar Lara, dari bagian UGD, sedari pagi beberapa dokter dan perawat disibukkan dengan kedatangan pasien yang mengalami luka bakar serius. Penanganan ekstra sampai kamar terisolasi pun terpenuhi untuk pasien tersebut.

"Baiklah. Saya pamit dulu." Lelaki itu melihat arlogi di tangan kirinya. "Untuk selanjutnya, saya serahkan wewenang penuh kesembuhan anda kepada ahlinya, Pak Radith."

Radith memberi kode dengan matanya lalu menoleh ke arah lain dan membiarkan orang kepercayaannya itu pergi. Dari balik perban yang menutupi hampir seluruh wajah, lelaki itu menatap salah satu kakinya yang digantung dengan perban juga, persis seperti mumi. Lara, sayang. Aku tidak akan benar-benar mati. Aku milikmu dan kau milikku. Kau belahan jiwaku.

 

_____

 

 


 

 

Gimana akhirnya? Mau dilanjutkan, gak? Gantung lagi ya.

 

Sebenarnya tulisan ini emang kupersiapkan untuk novelku yang dulu tertunda. Cuma dikarenakan aku ikutan event novelet dari penerbit AutumnMapleMedia, kuakhiri dengan plot twist yang ambigu.

 

Silahkan kasih aku saran, manteman, bagaimana keterusan dari tulisan ini.

 

Oke ya! Terima kasih, udah mampir di mari dan menyimak tulisanku kali ini. Semoga kisah ini pun dapat dinikmati dan membuat kita semua selalu melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang.

 

Wassalamualaikum! 

(FLASHBACK) DARI TANAH TANDUS

  Blurb: “Kak Ineee. Kepala Rubi pusing, Kak.” “Bertahanlah, Rubi! Bukan sekarang saatnya!” Ine dan Rubi, dua gadis kecil yang ter...