Sabtu, 06 Februari 2021

Pusatkan Pikiran

Bagaimana caranya agar terus fokus dan pikiran tidak lari kemana-mana?

Begini...

Hmmmm.

Hmmmm.

Hmmmm.

Hmmmm.

Hmmmm.

Hmmmm.

Hmmmm.

Hmmmm.

Hmmmm.

 

Selamat! Anda sudah fokus. Fokus menunggu! 😂

Baiklah. Terima kasih sudah menunggu. Sekarang, mari kita masuk ke sesi berikutnya. Silahkan pasang sabuk karate anda! Cekidot, yuuuk....

 

***

 

Louis menguap lebar-lebar. Sudah pukul sebelas lebih sepuluh menit. Rasanya waktu berjalan sangat lambat. Ataukah jalanan ini yang terlihat semakin panjang? Entahlah.

Aku terlalu baik. Harusnya tidak usah kuterima tugas dari Pak Genta tadi. Akhirnya, di sinilah aku, masih di tengah jalan di tengah malam buta.

Lebih menyebalkannya lagi, lampu jalanan tidak ada yang menyala sepanjang pria itu berkendara. Matanya sesekali melihat spion tengah demi memastikan ada pengendara lain selain dirinya. Kosong. Tumben-tumbenan juga jalanan kosong.

Louis menghela napas panjang. Masih ada tiga lampu merah lagi untuk sampai di rumahnya. Di setiap lampu merah, ada saja hal yang tidak enak untuk dilihat. Seperti kali ini, seorang anak kecil, kira-kira berumur sebelas tahun, mengetuk kaca mobil dengan wajah memelas.

Louis membuka setengah kaca di samping kanan hingga terlihat mata bundar dan pipi cekung si empunya wajah.

"Pulang sana. Sudah malam, jangan berkeliaran."

"Paling tidak, sampai lampu merah berikutnya, Om." Wajah hitam legam itu memelas.

"Lain kali."

Louis hampir menutup kaca, ketika wajah memelas itu menahannya dan berkata, "Kakak itu kenapa boleh menumpang?"

Louis melihat spion tengah lalu menoleh ke belakang. "Turun!" Matanya tajam melotot.

Perempuan berambut panjang dan berwajah pucat itu merengut, kemudian perlahan turun menembus pintu.

Sebelum mendengar mereka berdua ribut adu mulut, Louis menyetel musik dan menekan gas, lalu sesegera mungkin meninggalkan tempat itu. Dasar, setan! Bikin nggak fokus saja!

 

***

 

Ariq ketiduran. Padahal besok deadline tugas dari Pak Sitepu. Ini karena ba'da maghrib tadi temannya datang dan mereka nongki di cafe terdekat sampai pukul sepuluh. Mau tak mau beberapa jam ke depan seluruh tugas harus sudah selesai.

Setelah melakukan panggilan malam sekejap, pemuda itu membuka layar laptop, meletakan beberapa cemilan, memakai earphone, menyetel musiknya dan mulai fokus menatap ke depan.

Pukul dua lewat dini hari, hanya terdengar cetak-cetik dari tuts keaboard. Pemuda itu benar-benar berkonsentrasi penuh. Kain gorden yang sedikit demi sedikit tersibak pun tidak dia sadari. Bahkan seraut wajah yang berkali-kali mengintip pun tidak pemuda itu hiraukan. Hingga wajah itu merasa gemas dan mulai berani menampakkan wajah utuhnya.

"Nggak usah kau nyengir di situ. Tahu aku, kau cari-cari perhatian dari tadi. Sudahlah jelek, pesek, pendek, eneg aku lihatnya. Sana! Hilang konsentrasi aku gara-gara kau!"

Wajah itu berubah melankolis dan dengan langkah gontai berjalan menunduk menuju sudut gazebo.

 

***

 

Mauri duduk selonjoran menatap layar televisi. Hari ini anak-anaknya pulang sore karena ada urusan di kampus. Katanya, sih. Jadi, ibu centil ini pun menghabiskan waktunya dengan menonton lima episode terakhir dorama jepang.

Hal-hal yang ditampilkan di sana begitu mengundang emosional. Wanita itu sampai mengambil posisi jongkok meringkuk di atas sofa. Tangan terlipat di atas lutut. Cemilan mulai enggan disentuh. Bahkan sekotak tisu mulai teronggok di sampingnya.

Dua orang bocah dan kakak berambut panjang berlari di depannya. Mereka tertawa cekikikan. Hingga tiga episode terakhir, mereka masih berlarian di seputar televisi dan di sekitar sofa.

Mauri menghela napas panjang, mengambil remote dan menekan tombol pause. Wanita itu mulai ikut berlarian dan ketika sudah tepat di belakang kakak berambut panjang, Mauri menarik paksa rambut itu.

"Aaaaaaargh!" Jeritannya melengking sampai membuat kedua bocah berkepala plontos itu lari terkencing-kencing.

Mauri mengambil gunting dari laci buffet sambil terus menarik rambut si kakak hingga mencapai pintu teras samping.

"Ampuuuuunnn!"

Mauri tidak perduli dengan ratapan dan mata memelasnya. Dengan perasaan tidak sabar, Mauri membabat habis rambut panjang itu.

"Naaah! Bawa itu." Wanita itu memberi rambut hasil tebasannya kepada si kakak yang menangis pilu. "Jangan nangis! Nanti juga tumbuh lagi. Makanya jangan reseh. Orang lagi fokus nonton malah diganggu."

Si kakak melayang menuju pohon mangga tetangga dan menangis di sana.

 

***

 

Masih hujan rintik-rintik ketika Rizqi pulang dari wakuncar, waktu kunjung pacar. Untuk menghemat waktu dan berharap segera sampai di rumah, pemuda itu melewati kawasan penghijauan. Pohon tua di tengah badan jalan maupun kiri kanannya membuat lampu jalan minim penerangan. Suasananya jelas berbeda ketika melewatinya siang hari.

Beberapa masih buka warung-warung bandrek, kopi atau pun warung mie aceh di sepanjang sisi jalan. Hujan membuat tempat-tempat tersebut semakin ramai.

Angin yang berhembus sedikit kencang tidak membuat laju kendaraan pemuda itu berkurang. Hingga melewati perlintasan jalur kereta api, suasana mulai sunyi. Tidak ada toko atau warung karena sudah mulai memasuki kawasan rumah penduduk. Lampu jalanan banyak tertutupi oleh dahan-dahan pohon yang rimbun.

Badan jalan mulai bergelombang. Kawasan ini agak buruk untuk urusan pembuangan air alias parit. Sehingga bila hujan datang, badan jalan sampai tergenang air satu sampai dua jam lebih.

Rizqi mengurangi laju kendaraan dan terkadang berjalan zig-zag guna menghindari lubang atau cekungan. Dari samping kiri ada sesuatu berkain putih yang ikut bergerak zig-zag ibarat menari poco-poco. Kendaraan pemuda itu hampir oleng. Dengan kesal dia menendang sekuat tenaga kain putih yang melayang di samping kirinya hingga mendarat selamat masuk ke got.

Aduuuh!! Karena tangannya terikat, si abang cuma bisa pasrah dengan posisi nungging. Tolongin dong, Baaang. Tega beneeer.

Siapa suruh ganggu konsentrasi orang! Rizqi terus melajukan kendaraannya setelah melewati beberapa lubang.

 

***

 

Mata Hana menatap papan tulis di depan dan kemudian langsung menunduk, menulis apa yang tertera di sana. Kelas telah sepi, sudah bubar lima belas menit yang lalu. Yang lain tidak ada yang mau mencatat, semua ikutan bubar ketika mata kuliah langsung selesai. Alasannya, nanti bisa minta fotocopy ke dosennya langsung.

Hhhh. Hana menghela napas panjang. Daripada mengeluarkan uang lagi, mending wanita itu mencatatnya, mumpung dia sedang ada waktu luang.

Suasana semakin sepi. Wanita itu melihat layar ponsel. Masih pukul tiga sore. Kembali matanya menatap papan di depan dan mulai menulis.

Dari ruang sebelah terdengar suara riuh kursi yang digeser. Pintu terbuka dan suara tapak yang penuh beradu cepat di lantai.

Melalui ekor mata Hana, tidak terlihat siapa pun yang melintas di koridor. Aneh. Namun, wanita itu masih terus menulis.

Tiba-tiba ada angin semilir menyibak hijab Hana. Wanita itu menoleh ke arah pintu keluar, lalu melihat jendela. Tidak ada yang terbuka dan ruangan ini berada di lantai dua.

Gubrak!!!

Ada sesuatu yang jatuh di dekat meja dosen di depannya. Tapi apa?

Perasaan Hana mulai tidak enak. Konsentrasinya juga mulai hilang. Buru-buru dia berkemas. Dan...

Dia sudah berdiri di kamarnya sendiri.

 

***

 

Rumput di sekitar tanaman melati baru saja selesai Camelia bersihkan ketika ada bunyi nyaring dari ponsel di saku cardigannya.

"Assalamualaikum."

"Dia sudah tahu."

"Siapa dia? Tahu apa?"

"Bang Lintang sudah tahu kakak masih hidup dan juga tahu keberadaan kakak."

"Dari siapa?" Ada kecemasan di wajah Camelia.

"Ng, itu, anu, nggak sengaja bang Deri ketemu dengan bang Lintang. Bang Deri keceplosan cerita."

Camelia menahan napas.

"Katanya, bang Lintang sudah dalam perjalanan ke tempat kakak."

"Hah?!" Camelia berdiri dan menjatuhkan ponsel, lalu segera dipungutnya kembali. "A-a-apa? Ng, sudah sampai mana?"

"Mana tahu. Katanya, naik motor gedenya abang itu pergi."

"Yakin?" Camelia seperti tersengat listrik. Pikirannya tidak fokus lagi. Bingung apa yang akan dia lakukan.

"Kenapa? Kakak mau pergi lagi?"

Camelia terdiam. "Pergi ke mana?"

"Manalah Dina tahu." Ada suara tertawa di seberang sana. "Sudahlah. Tunggu saja dulu. Bicarakan baik-baik. Terus jadikan rencananya. Biar Dina siap-siap juga untuk acara yang akan dibuat. Ohohoho."

Camelia mematikan ponselnya. Pikirannya sedang bingung malah dijadikan lelucon oleh sang adik.

Sudah setahun lebih wanita itu melarikan diri dari Lintang. Mencoba melupakan semuanya. Namun, kini semua berkelebat lagi di dalam pikirannya. Membayangkan wajah pria itu sudah seperti apa? Bagaimana reaksi Camelia jika nanti pria itu berdiri di depannya? Ah, jangan-jangan pria itu datang sambil marah-marah karena dibohongi? Atau pura-pura pergi saja dulu, entah ke pasar atau bertandang ke rumah tetangga?

"Maaaa!"

Camelia gelagapan mendengar teriakan anak lajangnya. "Eh, apa?"

"Dari tadi dipanggil-panggil, capek sudah teriak-teriak. Ada yang nyariin, tuh?"

Hah?! Apa?! Nggak mungkin secepat itu? Camelia gemetar dan wajahnya seperti orang linglung. Tangannya menggenggam erat lengan pemuda di sampingnya.

"Ma? Kenapa? Gemetar sampai keringatan gitu. Sakit?"

Camelia menggeleng. "Siapa yang datang, Dek?"

Ayolah! Fokus! Fokus! Fokus! Sampai dikira pesakitan oleh anakmu!

"Itu, pengunjung cafe. Mau beli tanaman mama."

Camelia langsung berdiri tegak dan melotot. "Kenapa nggak bilang dari tadi." Wanita itu berjalan cepat menuju belakang cafe.

Wajah anaknya langsung berubah kuyu. 'Kan tadi sudah dibilang, tapi nggak dengar.

 

 

_____

(FLASHBACK) DARI TANAH TANDUS

  Blurb: “Kak Ineee. Kepala Rubi pusing, Kak.” “Bertahanlah, Rubi! Bukan sekarang saatnya!” Ine dan Rubi, dua gadis kecil yang ter...