Bagaimana caranya agar terus fokus
dan pikiran tidak lari
kemana-mana?
Begini...
Hmmmm.
Hmmmm.
Hmmmm.
Hmmmm.
Hmmmm.
Hmmmm.
Hmmmm.
Hmmmm.
Hmmmm.
Selamat! Anda sudah fokus.
Fokus menunggu! 😂
Baiklah. Terima kasih sudah
menunggu. Sekarang, mari kita masuk ke sesi berikutnya. Silahkan pasang sabuk
karate anda! Cekidot, yuuuk....
***
Louis
menguap lebar-lebar. Sudah pukul sebelas lebih sepuluh menit. Rasanya waktu
berjalan sangat lambat. Ataukah jalanan ini yang terlihat semakin panjang?
Entahlah.
Aku
terlalu baik. Harusnya tidak usah kuterima tugas dari Pak Genta tadi. Akhirnya,
di sinilah aku, masih di tengah jalan di tengah malam buta.
Lebih
menyebalkannya lagi, lampu jalanan tidak ada yang menyala sepanjang pria itu
berkendara. Matanya sesekali melihat spion tengah demi memastikan ada
pengendara lain selain dirinya. Kosong. Tumben-tumbenan juga jalanan kosong.
Louis
menghela napas panjang. Masih ada tiga lampu merah lagi untuk sampai di
rumahnya. Di setiap lampu merah, ada saja hal yang tidak enak untuk dilihat.
Seperti kali ini, seorang anak kecil, kira-kira berumur sebelas tahun, mengetuk
kaca mobil dengan wajah memelas.
Louis
membuka setengah kaca di samping kanan hingga terlihat mata bundar dan pipi
cekung si empunya wajah.
"Pulang
sana. Sudah malam, jangan berkeliaran."
"Paling
tidak, sampai lampu merah berikutnya, Om." Wajah hitam legam itu memelas.
"Lain
kali."
Louis
hampir menutup kaca, ketika wajah memelas itu menahannya dan berkata,
"Kakak itu kenapa boleh menumpang?"
Louis
melihat spion tengah lalu menoleh ke belakang. "Turun!" Matanya tajam
melotot.
Perempuan
berambut panjang dan berwajah pucat itu merengut, kemudian perlahan turun
menembus pintu.
Sebelum
mendengar mereka berdua ribut adu mulut, Louis menyetel musik dan menekan gas,
lalu sesegera mungkin meninggalkan tempat itu. Dasar, setan! Bikin nggak
fokus saja!
***
Ariq
ketiduran. Padahal besok deadline tugas dari Pak Sitepu. Ini karena ba'da
maghrib tadi temannya datang dan mereka nongki di cafe terdekat sampai
pukul sepuluh. Mau tak mau beberapa jam ke depan seluruh tugas harus sudah
selesai.
Setelah
melakukan panggilan malam sekejap, pemuda itu membuka layar laptop, meletakan
beberapa cemilan, memakai earphone, menyetel musiknya dan mulai fokus
menatap ke depan.
Pukul
dua lewat dini hari, hanya terdengar cetak-cetik dari tuts keaboard.
Pemuda itu benar-benar berkonsentrasi penuh. Kain gorden yang sedikit demi
sedikit tersibak pun tidak dia sadari. Bahkan seraut wajah yang berkali-kali
mengintip pun tidak pemuda itu hiraukan. Hingga wajah itu merasa gemas dan
mulai berani menampakkan wajah utuhnya.
"Nggak
usah kau nyengir di situ. Tahu aku, kau cari-cari perhatian dari tadi. Sudahlah
jelek, pesek, pendek, eneg aku lihatnya. Sana! Hilang konsentrasi aku gara-gara
kau!"
Wajah
itu berubah melankolis dan dengan langkah gontai berjalan menunduk menuju sudut
gazebo.
***
Mauri
duduk selonjoran menatap layar televisi. Hari ini anak-anaknya pulang sore
karena ada urusan di kampus. Katanya, sih. Jadi, ibu centil ini pun menghabiskan
waktunya dengan menonton lima episode terakhir dorama jepang.
Hal-hal
yang ditampilkan di sana begitu mengundang emosional. Wanita itu sampai
mengambil posisi jongkok meringkuk di atas sofa. Tangan terlipat di atas lutut.
Cemilan mulai enggan disentuh. Bahkan sekotak tisu mulai teronggok di
sampingnya.
Dua
orang bocah dan kakak berambut panjang berlari di depannya. Mereka tertawa
cekikikan. Hingga tiga episode terakhir, mereka masih berlarian di seputar
televisi dan di sekitar sofa.
Mauri
menghela napas panjang, mengambil remote dan menekan tombol pause.
Wanita itu mulai ikut berlarian dan ketika sudah tepat di belakang kakak
berambut panjang, Mauri menarik paksa rambut itu.
"Aaaaaaargh!"
Jeritannya melengking sampai membuat kedua bocah berkepala plontos itu lari
terkencing-kencing.
Mauri
mengambil gunting dari laci buffet sambil terus menarik rambut si kakak
hingga mencapai pintu teras samping.
"Ampuuuuunnn!"
Mauri
tidak perduli dengan ratapan dan mata memelasnya. Dengan perasaan tidak sabar,
Mauri membabat habis rambut panjang itu.
"Naaah!
Bawa itu." Wanita itu memberi rambut hasil tebasannya kepada si kakak yang
menangis pilu. "Jangan nangis! Nanti juga tumbuh lagi. Makanya jangan
reseh. Orang lagi fokus nonton malah diganggu."
Si
kakak melayang menuju pohon mangga tetangga dan menangis di sana.
***
Masih
hujan rintik-rintik ketika Rizqi pulang dari wakuncar, waktu kunjung pacar.
Untuk menghemat waktu dan berharap segera sampai di rumah, pemuda itu melewati
kawasan penghijauan. Pohon tua di tengah badan jalan maupun kiri kanannya
membuat lampu jalan minim penerangan. Suasananya jelas berbeda ketika
melewatinya siang hari.
Beberapa
masih buka warung-warung bandrek, kopi atau pun warung mie aceh di sepanjang
sisi jalan. Hujan membuat tempat-tempat tersebut semakin ramai.
Angin
yang berhembus sedikit kencang tidak membuat laju kendaraan pemuda itu
berkurang. Hingga melewati perlintasan jalur kereta api, suasana mulai sunyi.
Tidak ada toko atau warung karena sudah mulai memasuki kawasan rumah penduduk.
Lampu jalanan banyak tertutupi oleh dahan-dahan pohon yang rimbun.
Badan
jalan mulai bergelombang. Kawasan ini agak buruk untuk urusan pembuangan air
alias parit. Sehingga bila hujan datang, badan jalan sampai tergenang air satu
sampai dua jam lebih.
Rizqi
mengurangi laju kendaraan dan terkadang berjalan zig-zag guna menghindari
lubang atau cekungan. Dari samping kiri ada sesuatu berkain putih yang ikut
bergerak zig-zag ibarat menari poco-poco. Kendaraan pemuda itu hampir oleng.
Dengan kesal dia menendang sekuat tenaga kain putih yang melayang di samping
kirinya hingga mendarat selamat masuk ke got.
Aduuuh!!
Karena tangannya terikat, si abang cuma bisa pasrah dengan posisi nungging. Tolongin
dong, Baaang. Tega beneeer.
Siapa
suruh ganggu konsentrasi orang! Rizqi terus melajukan
kendaraannya setelah melewati beberapa lubang.
***
Mata
Hana menatap papan tulis di depan dan kemudian langsung menunduk, menulis apa
yang tertera di sana. Kelas telah sepi, sudah bubar lima belas menit yang lalu.
Yang lain tidak ada yang mau mencatat, semua ikutan bubar ketika mata kuliah
langsung selesai. Alasannya, nanti bisa minta fotocopy ke dosennya
langsung.
Hhhh.
Hana menghela napas panjang. Daripada mengeluarkan uang lagi, mending wanita
itu mencatatnya, mumpung dia sedang ada waktu luang.
Suasana
semakin sepi. Wanita itu melihat layar ponsel. Masih pukul tiga sore.
Kembali matanya menatap papan di depan dan mulai menulis.
Dari
ruang sebelah terdengar suara riuh kursi yang digeser. Pintu terbuka dan suara
tapak yang penuh beradu cepat di lantai.
Melalui
ekor mata Hana, tidak terlihat siapa pun yang melintas di koridor. Aneh.
Namun, wanita itu masih terus menulis.
Tiba-tiba
ada angin semilir menyibak hijab Hana. Wanita itu menoleh ke arah pintu keluar,
lalu melihat jendela. Tidak ada yang terbuka dan ruangan ini berada di lantai
dua.
Gubrak!!!
Ada
sesuatu yang jatuh di dekat meja dosen di depannya. Tapi apa?
Perasaan
Hana mulai tidak enak. Konsentrasinya juga mulai hilang. Buru-buru dia
berkemas. Dan...
Dia
sudah berdiri di kamarnya sendiri.
***
Rumput
di sekitar tanaman melati baru saja selesai Camelia bersihkan ketika ada bunyi
nyaring dari ponsel di saku cardigannya.
"Assalamualaikum."
"Dia
sudah tahu."
"Siapa
dia? Tahu apa?"
"Bang
Lintang sudah tahu kakak masih hidup dan juga tahu keberadaan kakak."
"Dari
siapa?" Ada kecemasan di wajah Camelia.
"Ng,
itu, anu, nggak sengaja bang Deri ketemu dengan bang Lintang. Bang Deri
keceplosan cerita."
Camelia
menahan napas.
"Katanya,
bang Lintang sudah dalam perjalanan ke tempat kakak."
"Hah?!"
Camelia berdiri dan menjatuhkan ponsel, lalu segera dipungutnya kembali.
"A-a-apa? Ng, sudah sampai mana?"
"Mana
tahu. Katanya, naik motor gedenya abang itu pergi."
"Yakin?"
Camelia seperti tersengat listrik. Pikirannya tidak fokus lagi. Bingung apa yang
akan dia lakukan.
"Kenapa?
Kakak mau pergi lagi?"
Camelia
terdiam. "Pergi ke mana?"
"Manalah
Dina tahu." Ada suara tertawa di seberang sana. "Sudahlah.
Tunggu saja dulu. Bicarakan baik-baik. Terus jadikan rencananya. Biar Dina
siap-siap juga untuk acara yang akan dibuat. Ohohoho."
Camelia
mematikan ponselnya. Pikirannya sedang bingung malah dijadikan lelucon oleh
sang adik.
Sudah
setahun lebih wanita itu melarikan diri dari Lintang. Mencoba melupakan
semuanya. Namun, kini semua berkelebat lagi di dalam pikirannya. Membayangkan
wajah pria itu sudah seperti apa? Bagaimana reaksi Camelia jika nanti pria itu
berdiri di depannya? Ah, jangan-jangan pria itu datang sambil marah-marah
karena dibohongi? Atau pura-pura pergi saja dulu, entah ke pasar atau
bertandang ke rumah tetangga?
"Maaaa!"
Camelia
gelagapan mendengar teriakan anak lajangnya. "Eh, apa?"
"Dari
tadi dipanggil-panggil, capek sudah teriak-teriak. Ada yang nyariin, tuh?"
Hah?!
Apa?! Nggak mungkin secepat itu? Camelia gemetar dan wajahnya
seperti orang linglung. Tangannya menggenggam erat lengan pemuda di sampingnya.
"Ma?
Kenapa? Gemetar sampai keringatan gitu. Sakit?"
Camelia
menggeleng. "Siapa yang datang, Dek?"
Ayolah!
Fokus! Fokus! Fokus! Sampai dikira pesakitan oleh anakmu!
"Itu,
pengunjung cafe. Mau beli tanaman mama."
Camelia
langsung berdiri tegak dan melotot. "Kenapa nggak bilang dari tadi."
Wanita itu berjalan cepat menuju belakang cafe.
Wajah
anaknya langsung berubah kuyu. 'Kan tadi sudah dibilang, tapi nggak dengar.
_____