Jumat, 12 Maret 2021

Tidak Sadar Diri

Semakin ke sini banyak sekali makhluk Tuhan yang tidak sadar akan dirinya. Terkadang wajah baik pun tidak bisa mencerminkan hati yang baik. Begitu juga sebaliknya.

Terlebih lagi, jika hati kotor, aura wajah dan perbuatan pun ikut terlihat kotor. Hati manusia siapa yang tahu.

 

***

 

Perhatikan di setiap persimpangan, beberapa kendaraan melaju tanpa perduli traffic light masih merah, dan dari arah yang berlawanan sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi agar bisa melewati warna hijau yang tinggal sekian detik.

Lalu, terjadilah hal yang diinginkan, eeeh, hal yang tidak diinginkan, dalam sekejap mata persimpangan sudah berserak alias bergelimpangan manusia dan kendaraan yang hancur bersatu dengan genangan berwarna merah.

Terjadi tuding-menuding ketika imbas dari kecelakaan itu menyebabkan beberapa kendaraan di belakangnya mulai semwarut.

Kemudian, siapa yang mau disalahkan?

 

***

 

Senin pagi yang cerah. Burung-burung berkicau mesra. Namun, kita tidak membicarakan burung di sini. Kita membicarakan seorang pria yang sedang duduk di teras menikmati pagi dengan secangkir teh yang masih mengepul asapnya, buku tebal yang sedang dibaca dan sebatang rokok yang tinggal setengah.

Terlihat sang istri mondar mandir layaknya setrikaan yang semakin panas. Matanya terlihat gusar dan terus-menerus melihat jam di dinding. Sudah pukul tujuh lewat seperempat. Namun, si suami masih duduk manis dengan rokok yang masih menyala dan mata tetap membaca.

"Mau jam berapa lagi perginya? Belum lagi ke pasar, masak, jam sepuluh harus sudah di ruangan darma wanita. Awak nih, bukan The Flash!"

"Oh, iya, iya." Pria itu mematikan api rokoknya dan berjalan tergopoh-gopoh.

Agaknya sang istri punya jadwal tersendiri juga, sehingga dengan terpaksa begitulah caranya menegur si suami.

Apalagi jadwal mengajar si suami sudah terpajang di dinding, di atas meja kerjanya. Hanya karena tempat kerja yang dekat dengan rumah, terkadang membuat si suami santai tanpa memikirkan waktu. Sering kali sang istri menegur secara halus maupun sindiran, namun, tetap saja hal itu terjadi.

"Dosen nggak apa-apa terlambat, asal jangan mahasiswanya."

Beugh! Peraturan darimana itu! Kalimat itulah jawaban pamungkas si suami bila sang istri mencoba menegur. Bagaimana mau maju pemikiran bangsa ini jika pendidiknya saja punya pemikiran seperti itu?

Kalau sudah begini, siapa yang mau disalahkan?

 

***

 

Volume speaker dari dalam mobil di depan rumah Bu Hana, milik tetangganya, terdengar riuh. Jendela kaca dan pintu di rumah wanita itu sampai bergetar akibat kehebatan speakernya. Apakah karena ingin memamerkan jenis musiknya ataukah kehebatan speaker itu, atau bisa juga ingin memamerkan kerajinannya dalam mencuci mobil? Entahlah. Bisa jadi, 'kan?

Bu Hana hanya mengintip dari dalam rumah sambil menghela napas.

Beberapa menit kemudian, anaknya mulai bersiap-siap berangkat kerja. Bu Hana sengaja ikut keluar rumah, menyapu teras dan tepat saat itu si pemilik mobil pergi. Halaman depan Bu Hana yang tidak berpagar dipenuhi sampah plastik, tisu dan botol air kemasan yang sudah kosong.

"Bang, entar kalau sudah punya mobil jangan sombong ya. Sediakan tempat sampah atau kumpulkan sampah-sampah dari dalam mobil ke satu wadah, bukan dibuang begitu saja di halaman orang. Padahal, tempat sampah bukan jauh."

Anak lajang wanita itu hanya tersenyum. Pemuda itu tahu, ibunya sedang menyindir.

Lalu, tibalah saat rumah tetangga Bu Hana terjual. Mereka pindah tidak jauh dari sana. Entah suatu kebetulan atau bagaimana Tuhan punya kuasa, mereka bertetangga dengan sepupu Bu Hana. Dalam sebulan Bu Hana sudah beberapa kali menerima pengaduan sang sepupu. Ternyata mereka sering ribut karena masalah sampah.

"Cobalah kakak pikir. Tiap pagi puntung rokok, kotaknya dan entah apa lagi, berseeerak di depan halaman. Heh! Ini halaman bersama. Tolong sama-sama menjaga."

Bu Hana hanya tersenyum mendengar sepupunya mengomel melalui ponsel. Wanita itu tidak habis pikir, di mana pun seseorang berada, jika memang sudah buruk tabiatnya dan tidak mau berubah, sampai kapan pun susah juga ujung-ujungnya.

Beruntunglah dulu kalian bertetangga denganku, yang memaklumi segala perbuatan kalian, pikiran Bu Hana kembali sejenak ke masa-masa tidak enak itu.

Kalau sudah begini, apa bisa dikatakan tidak tahu diri? Bagaimana bisa untuk hal sesimple itu, seseorang tidak sadar akan perbuatannya?

 

***

 

Sudah pukul satu lebih lima belas menit. Panas terik membuat wanita muda itu mundur sedikit di balik bayangan gedung. Sesekali tali tas ranselnya dia mainkan. Membuang jenuh dan letih menunggu.

Akhirnya setelah setengah jam kemudian, si pemuda yang ditunggu datang dengan senyum semanis mungkin.

"Maaf, Dek. Tadi ada bahan tambahan untuk ujian minggu depan. Lalu, simpang di depan Mentel Plaza macetnya bukan main."

"Sudah! Langsung saja kita ke sana." Wanita itu mulai bergegas. Dia semakin malas meladeni omongan pacar salah kaprah di depannya itu.

Sepanjang jalan wanita muda itu sibuk memikirkan cara bagaimana bisa putus dengan pemuda yang berjalan di sampingnya. Bukan karena tidak sayang lagi, akan tetapi dari awal memang tidak punya perasaan.

Jahat? Bisa jadi. 😂

Mungkin karena si pemuda kuliah di jurusan paling bonafit, meriksa-meriksa orang sakit nantinya setelah tamat, sehingga wanita muda itu menerima saja curahan hati si pemuda. Biar terlihat keren, atau bisa saja karena terpaksa, daripada tidak ada pacar. Who knows, 'kan?

Hanya saja, banyak hal yang membuat wanita muda itu semakin acuh terhadap pacar salah kaprahnya ini. Seperti saat ini, mereka janji bertemu di dekat kampus wanita muda itu, dikarenakan dekat tempat tujuan mereka kencan.

"Dek. Kiriman abang sudah datang. Sekali-sekali abang yang traktir makan, masak kamu saja yang traktir abang. Besok kita ke Genit Plaza ya. Kamu tunggu di depan gedung kampusmu saja."

Itu percakapan mereka dua hari yang lalu dan paling absurd yang wanita muda itu dengar selama delapan bulan mereka pacaran atau selama wanita muda itu hidup di dunia ini. Begitulah. Ingin tertawa, tetapi takut muntah. Ingin memaki, nanti disumpahi cepat mati. Karena itu, dia memilih diam dan mengikuti saja apa yang dikatakan pemuda itu.

Beberapa menit setelah parade jalan cepat di bawah terik matahari, mereka duduk sebentar di meja paling pojok sebelum memesan menu. Lalu, si pemuda bertanya tentang pesanan kekasih tercintanya yang begitu manis meski tanpa senyuman.

Setengah jam berlalu. Entah salah di mana, saat itu tempat makan yang mereka kunjungi sangat ramai setelah mereka duduk di sana. Wanita muda itu melihat pacar salah kaprahnya sedikit berlari ke arahnya.

Di mana pesanannya? Mengapa Si Tolol ini nggak membawa baki berisi pesanan mereka? Wanita itu tampak bingung.

"Dek, uang abang kurang. Bisa tolong ditambahi?"

Lalu, beberapa minggu kemudian, karena suatu hal, mereka akhirnya resmi putus. Hmmm? Siapa yang memutuskan hubungan? Tanya saja sama Si Tolol itu.

 

***

 

Sambil menyelam, minum air. Itu hanya pepatah. Sama juga seperti, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Ibaratnya, segala sesuatu itu dikerjakan dalam satu waktu sekaligus.

Akan tetapi, kita bukan belajar bahasa indonesia, kita sedang melihat sepak terjang seseorang yang tidak penting, tidak terkenal dan tidak tahu siapa dia.

Sebut saja dia Mawar. Mawar suka membantu orang. Dia tidak punya apa-apa dari segi materi, tetapi untuk jasa, wanita itu tidak bisa dipandang sebelah mata. Langkahnya ringan jika untuk sebuah kebaikan.

Suatu hari, entah hari apa, mendung sudah terlihat di ujung langit sana. Balita adik ipar Mawar sakit. Sebut saja istri adik ipar Mawar itu Melati. Suami Melati sedang dinas di luar kota. Melati kelimpungan. Karena Mawar tidak punya mobil, mereka berkendara motor ke rumah sakit. Bukan rumah sakit terdekat, namun, rumah sakit bonafit pilihan kantor suami Melati. Lumayan jauh untuk ukuran langit mendung yang sewaktu-waktu airnya akan tumpah.

Setelah sejam Mawar menunggu Melati memeriksakan balitanya, ternyata obat yang akan ditebus tidak semuanya ada di apotik rumah sakit. Namun, mendung sudah di atas langit gedung rumah sakit. Melati menatap bingung ke arah parkiran.

"Kalian naik taxi saja ke rumah gadang. Entar kakak nyusul." Seakan mengerti akan risau hati Melati, Mawar memberi solusi.

"Obatnya?"

"Nanti kakak cari di apotik yang kakak lewati."

"Kalau begitu, Kak, sekalian titip gorengan ya. Enak nih, makan hujan-hujan begini."

"Insyaa Allah. Kakak usahakan."

Lalu, mereka berpisah di sana. Mawar segera melesat pergi sebelum hujan benar-benar turun. Di tengah jalan, tepat setelah obat dan gorengan sudah dibeli, hujan turun selebat-lebatnya. Bahkan mantel hujan Mawar saja kalah dengan derasnya hujan sehingga baju dan dalaman Mawar basah semua.

Sebelumnya, setelah keluar dari parkiran rumah sakit, Mawar tidak langsung pergi ke apotik. Jam pulang sekolah anak lajangnya yang kedua sudah lewat setengah jam yang lalu. Wanita itu menjemput dulu ke sekolah. Sedangkan anak lajangnya yang pertama kemungkinan sudah sampai di rumah, karena baik sekolahnya maupun rumah mereka, tidak terlalu jauh.

Terlanjur basah, ya sudah, mandi sekali. Begitu kata pepatah. Setidaknya, tas sekolah anak Mawar sudah diselamatkan terlebih dahulu. Mereka menerobos hujan sambil tertawa. Sesekali Mawar berteriak ketika petir dan gledek menggelegar menemani perjalanan eksotis mereka.

Hampir sejam, Mawar akhirnya tiba di rumah mertua dan terlihat Melati sudah aman di sana.

Mawar tidak ingin berlama-lama. Hanya mengantar obat dan gorengan lalu pulang.

"Kenapa lama sekali? Tidak lihat wajah Rehan semakin pucat. Seharusnya antar dulu obatnya baru jemput anakmu."

Mawar yang masih berdiri di depan teras terdiam ketika mertuanya merebut obat dari tangan dingin yang bergetar. Lalu, terlihat olehnya, Melati yang hanya diam sambil menggendong Rehan.

Anak lajang Mawar yang sedari tadi berada di belakang wanita itu, langsung melempar bungkusan gorengan ke punggung neneknya. Wajah pemuda itu merah padam dan langsung menarik tangan ibunya untuk segera menjauh dan pergi dari sana secepat mungkin.

Bagaimana pun, dia yang tahu persis atas apa yang sudah dilakukan oleh ibunya. Lalu, atas dasar apa, seorang nenek tua renta peyot, membentak ibunya? Kemudian, wanita tidak tahu diri di dalam sana hanya diam tanpa memberi penjelasan sedikit pun.

 

***

 

Hhhh! Masih banyak, sih, yang ingin kutulis. Tapi, terkadang ada beberapa yang biasa terjadi di depan mata atau lingkungan kita sendiri.

Pernahkah kalian mengalami fase atau menemukan manusia-manusia seperti di atas?

Atau, pernahkah kalian menemukan bahkan mengalami hal-hal yang di luar hati nurani?

Atau, kaliankah orang-orang dengan hati nurani mati?

Hmmm. Bisa jadi. 😂

Karena itu, sebaiknya kita sadar akan siapa diri kita, untuk apa dan untuk siapa kita hidup. Ke arah mana nantinya perjalanan hidup kita. Coba dipikirkan baik-baik.

 

View by google

(FLASHBACK) DARI TANAH TANDUS

  Blurb: “Kak Ineee. Kepala Rubi pusing, Kak.” “Bertahanlah, Rubi! Bukan sekarang saatnya!” Ine dan Rubi, dua gadis kecil yang ter...