Semakin ke sini banyak sekali makhluk
Tuhan yang tidak sadar
akan dirinya. Terkadang wajah baik pun tidak bisa mencerminkan hati
yang baik. Begitu juga sebaliknya.
Terlebih
lagi, jika hati kotor, aura wajah dan perbuatan pun ikut terlihat kotor. Hati
manusia siapa yang tahu.
***
Perhatikan di setiap persimpangan,
beberapa kendaraan melaju tanpa perduli traffic light masih merah, dan
dari arah yang berlawanan sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi agar bisa
melewati warna hijau yang tinggal sekian detik.
Lalu, terjadilah hal yang diinginkan,
eeeh, hal
yang tidak diinginkan,
dalam sekejap mata persimpangan sudah berserak alias bergelimpangan manusia dan
kendaraan yang hancur bersatu dengan genangan berwarna merah.
Terjadi
tuding-menuding ketika imbas dari kecelakaan itu menyebabkan beberapa kendaraan
di belakangnya mulai semwarut.
Kemudian,
siapa yang mau disalahkan?
***
Senin
pagi yang cerah. Burung-burung berkicau mesra. Namun, kita tidak membicarakan
burung di sini. Kita membicarakan seorang pria yang sedang duduk di teras
menikmati pagi dengan secangkir teh yang masih mengepul asapnya, buku tebal
yang sedang dibaca dan sebatang rokok yang tinggal setengah.
Terlihat
sang istri mondar mandir layaknya setrikaan yang semakin panas. Matanya
terlihat gusar dan terus-menerus melihat jam di dinding. Sudah pukul tujuh
lewat seperempat. Namun, si suami masih duduk manis dengan rokok yang masih
menyala dan mata tetap membaca.
"Mau
jam berapa lagi perginya? Belum lagi ke pasar, masak, jam sepuluh harus sudah
di ruangan darma wanita. Awak nih, bukan The Flash!"
"Oh,
iya, iya." Pria itu mematikan api rokoknya dan berjalan tergopoh-gopoh.
Agaknya
sang istri punya jadwal tersendiri juga, sehingga dengan terpaksa begitulah
caranya menegur si suami.
Apalagi
jadwal mengajar si suami sudah terpajang di dinding, di atas meja kerjanya.
Hanya karena tempat kerja yang dekat dengan rumah, terkadang membuat si suami
santai tanpa memikirkan waktu. Sering kali sang istri menegur secara halus
maupun sindiran, namun, tetap saja hal itu terjadi.
"Dosen
nggak apa-apa terlambat, asal jangan mahasiswanya."
Beugh!
Peraturan darimana itu! Kalimat itulah jawaban pamungkas si suami bila sang
istri mencoba menegur. Bagaimana mau maju pemikiran bangsa ini jika pendidiknya
saja punya pemikiran seperti itu?
Kalau
sudah begini, siapa yang mau disalahkan?
***
Volume speaker
dari dalam mobil di depan rumah Bu Hana, milik tetangganya, terdengar riuh.
Jendela kaca dan pintu di rumah wanita itu sampai bergetar akibat kehebatan speakernya.
Apakah karena ingin memamerkan jenis musiknya ataukah kehebatan speaker itu,
atau bisa juga ingin memamerkan kerajinannya dalam mencuci mobil? Entahlah.
Bisa jadi, 'kan?
Bu
Hana hanya mengintip dari dalam rumah sambil menghela napas.
Beberapa menit kemudian,
anaknya mulai bersiap-siap berangkat kerja. Bu Hana sengaja ikut keluar rumah,
menyapu teras dan tepat saat itu si pemilik mobil pergi. Halaman depan Bu Hana
yang tidak berpagar dipenuhi sampah plastik, tisu dan botol air kemasan yang
sudah kosong.
"Bang,
entar kalau sudah punya mobil jangan sombong ya. Sediakan tempat sampah atau
kumpulkan sampah-sampah dari dalam mobil ke satu wadah, bukan dibuang begitu
saja di halaman orang. Padahal, tempat sampah bukan jauh."
Anak
lajang wanita itu hanya tersenyum. Pemuda itu tahu, ibunya sedang menyindir.
Lalu, tibalah saat rumah
tetangga Bu Hana terjual. Mereka pindah tidak jauh dari sana. Entah suatu
kebetulan atau bagaimana Tuhan punya kuasa, mereka bertetangga dengan sepupu Bu
Hana. Dalam sebulan Bu Hana sudah beberapa kali menerima pengaduan sang sepupu.
Ternyata mereka sering ribut karena masalah sampah.
"Cobalah
kakak pikir. Tiap pagi puntung rokok, kotaknya dan entah apa lagi, berseeerak
di depan halaman. Heh! Ini halaman bersama. Tolong sama-sama menjaga."
Bu
Hana hanya tersenyum mendengar sepupunya mengomel melalui ponsel. Wanita itu
tidak habis pikir, di mana pun seseorang berada, jika memang sudah buruk
tabiatnya dan tidak mau berubah, sampai kapan pun susah juga ujung-ujungnya.
Beruntunglah
dulu kalian bertetangga denganku, yang memaklumi segala perbuatan kalian,
pikiran Bu Hana kembali sejenak ke masa-masa tidak enak itu.
Kalau
sudah begini, apa bisa dikatakan tidak tahu diri? Bagaimana bisa untuk hal
sesimple itu, seseorang tidak sadar akan perbuatannya?
***
Sudah
pukul satu lebih lima belas menit. Panas terik membuat wanita muda itu mundur
sedikit di balik bayangan gedung. Sesekali tali tas ranselnya dia mainkan.
Membuang jenuh dan letih menunggu.
Akhirnya
setelah setengah jam kemudian, si pemuda yang ditunggu datang dengan senyum
semanis mungkin.
"Maaf,
Dek. Tadi ada bahan tambahan untuk ujian minggu depan. Lalu, simpang di depan
Mentel Plaza macetnya bukan main."
"Sudah!
Langsung saja kita ke sana." Wanita itu mulai bergegas. Dia semakin malas
meladeni omongan pacar salah kaprah di depannya itu.
Sepanjang
jalan wanita muda itu sibuk memikirkan cara bagaimana bisa putus dengan pemuda
yang berjalan di sampingnya. Bukan karena tidak sayang lagi, akan tetapi dari
awal memang tidak punya perasaan.
Jahat?
Bisa jadi. 😂
Mungkin
karena si pemuda kuliah di jurusan paling bonafit, meriksa-meriksa orang sakit
nantinya setelah tamat, sehingga wanita muda itu menerima saja curahan hati si
pemuda. Biar terlihat keren, atau bisa saja karena terpaksa, daripada tidak ada
pacar. Who knows, 'kan?
Hanya
saja, banyak hal yang membuat wanita muda itu semakin acuh terhadap pacar salah
kaprahnya ini. Seperti saat ini, mereka janji bertemu di dekat kampus wanita
muda itu, dikarenakan dekat tempat tujuan mereka kencan.
"Dek.
Kiriman abang sudah datang. Sekali-sekali abang yang traktir makan, masak kamu
saja yang traktir abang. Besok kita ke Genit Plaza ya. Kamu tunggu di depan
gedung kampusmu saja."
Itu
percakapan mereka dua hari yang lalu dan paling absurd yang wanita muda
itu dengar selama delapan bulan mereka pacaran atau selama wanita muda itu
hidup di dunia ini. Begitulah. Ingin tertawa, tetapi takut muntah. Ingin
memaki, nanti disumpahi cepat mati. Karena itu, dia memilih diam dan mengikuti
saja apa yang dikatakan pemuda itu.
Beberapa
menit setelah parade jalan cepat di bawah terik matahari, mereka duduk sebentar
di meja paling pojok sebelum memesan menu. Lalu, si pemuda bertanya tentang
pesanan kekasih tercintanya yang begitu manis meski tanpa senyuman.
Setengah
jam berlalu. Entah salah di mana, saat itu tempat makan yang mereka kunjungi
sangat ramai setelah mereka duduk di sana. Wanita muda itu melihat pacar salah
kaprahnya sedikit berlari ke arahnya.
Di
mana pesanannya? Mengapa Si Tolol ini nggak membawa baki berisi pesanan mereka?
Wanita itu tampak bingung.
"Dek,
uang abang kurang. Bisa tolong ditambahi?"
Lalu,
beberapa minggu kemudian, karena suatu hal, mereka akhirnya resmi putus. Hmmm?
Siapa yang memutuskan hubungan? Tanya saja sama Si Tolol itu.
***
Sambil
menyelam, minum air. Itu hanya pepatah. Sama juga seperti, sekali mendayung dua
tiga pulau terlampaui. Ibaratnya, segala sesuatu itu dikerjakan dalam satu
waktu sekaligus.
Akan
tetapi, kita bukan belajar bahasa indonesia, kita sedang melihat sepak terjang
seseorang yang tidak penting, tidak terkenal dan tidak tahu siapa dia.
Sebut
saja dia Mawar. Mawar suka membantu orang. Dia tidak punya apa-apa dari segi
materi, tetapi untuk jasa, wanita itu tidak bisa dipandang sebelah mata.
Langkahnya ringan jika untuk sebuah kebaikan.
Suatu
hari, entah hari apa, mendung sudah terlihat di ujung langit sana. Balita adik
ipar Mawar sakit. Sebut saja istri adik ipar Mawar itu Melati. Suami Melati
sedang dinas di luar kota. Melati kelimpungan. Karena Mawar tidak punya mobil,
mereka berkendara motor ke rumah sakit. Bukan rumah sakit terdekat, namun,
rumah sakit bonafit pilihan kantor suami Melati. Lumayan jauh untuk ukuran
langit mendung yang sewaktu-waktu airnya akan tumpah.
Setelah
sejam Mawar menunggu Melati memeriksakan balitanya, ternyata obat yang akan
ditebus tidak semuanya ada di apotik rumah sakit. Namun, mendung sudah di atas
langit gedung rumah sakit. Melati menatap bingung ke arah parkiran.
"Kalian
naik taxi saja ke rumah gadang. Entar kakak nyusul." Seakan mengerti akan
risau hati Melati, Mawar memberi solusi.
"Obatnya?"
"Nanti
kakak cari di apotik yang kakak lewati."
"Kalau
begitu, Kak, sekalian titip gorengan ya. Enak nih, makan hujan-hujan
begini."
"Insyaa
Allah. Kakak usahakan."
Lalu,
mereka berpisah di sana. Mawar segera melesat pergi sebelum hujan benar-benar
turun. Di tengah jalan, tepat setelah obat dan gorengan sudah dibeli, hujan
turun selebat-lebatnya. Bahkan mantel hujan Mawar saja kalah dengan derasnya
hujan sehingga baju dan dalaman Mawar basah semua.
Sebelumnya,
setelah keluar dari parkiran rumah sakit, Mawar tidak langsung pergi ke apotik.
Jam pulang sekolah anak lajangnya yang kedua sudah lewat setengah jam yang
lalu. Wanita itu menjemput dulu ke sekolah. Sedangkan anak lajangnya yang
pertama kemungkinan sudah sampai di rumah, karena baik sekolahnya maupun rumah
mereka, tidak terlalu jauh.
Terlanjur
basah, ya sudah, mandi sekali. Begitu kata pepatah. Setidaknya, tas sekolah
anak Mawar sudah diselamatkan terlebih dahulu. Mereka menerobos hujan sambil
tertawa. Sesekali Mawar berteriak ketika petir dan gledek menggelegar menemani
perjalanan eksotis mereka.
Hampir
sejam, Mawar akhirnya tiba di rumah mertua dan terlihat Melati sudah aman di
sana.
Mawar
tidak ingin berlama-lama. Hanya mengantar obat dan gorengan lalu pulang.
"Kenapa
lama sekali? Tidak lihat wajah Rehan semakin pucat. Seharusnya antar dulu
obatnya baru jemput anakmu."
Mawar
yang masih berdiri di depan teras terdiam ketika mertuanya merebut obat dari
tangan dingin yang bergetar. Lalu, terlihat olehnya, Melati yang hanya diam
sambil menggendong Rehan.
Anak
lajang Mawar yang sedari tadi berada di belakang wanita itu, langsung melempar
bungkusan gorengan ke punggung neneknya. Wajah pemuda itu merah padam dan
langsung menarik tangan ibunya untuk segera menjauh dan pergi dari sana secepat
mungkin.
Bagaimana
pun, dia yang tahu persis atas apa yang sudah dilakukan oleh ibunya. Lalu, atas
dasar apa, seorang nenek tua renta peyot, membentak ibunya? Kemudian, wanita
tidak tahu diri di dalam sana hanya diam tanpa memberi penjelasan sedikit pun.
***
Hhhh!
Masih banyak, sih, yang ingin kutulis. Tapi, terkadang ada beberapa yang biasa
terjadi di depan mata atau lingkungan kita sendiri.
Pernahkah
kalian mengalami fase atau menemukan manusia-manusia seperti di atas?
Atau,
pernahkah kalian menemukan bahkan mengalami hal-hal yang di luar hati nurani?
Atau,
kaliankah orang-orang dengan hati nurani mati?
Hmmm.
Bisa jadi. 😂
Karena
itu, sebaiknya kita sadar akan siapa diri kita, untuk apa dan untuk siapa kita
hidup. Ke arah mana nantinya perjalanan hidup kita. Coba dipikirkan baik-baik.
View by google