Minggu, 17 April 2022

BELAHAN JIWA PART II

view by Pinterest

 

 

Assalamualaikum! Apa kabar? Semoga selalu dalam keadaan sehat dan baik-baik saja ya.

 

Minggu lalu tulisan ini kutampilkan dalam dua bab. Dan sesuai janjiku, kali ini pun kutampilkan dua bab lanjutannya. Ah, iya, bagi yang belum membaca di bagian awal, boleh intip sebentar tulisan BELAHAN JIWA ini di postingan dua minggu lalu ya.


Dan sekedar pemberitahuan saja, nih, pamer, sih, lebih tepatnya. 😅

Ini tulisan novelet pertama yang akhirnya bisa aku rampungkan. Beberapa ide masih nonggok di WPS dan juga masih betah menunggu uluran jari-jemariku yang ceking ini untuk dieksekusi. Tapi, entah kapan. 

 

Oke lah! Gak usah berlama-lama mengoceh ya. Kita lanjut saja, yuuuk.

 

Cekidooot ....

 

 

 

 

Part III : Sekarang Bagaimana?

 

Terkantuk-kantuk Lara menunggu pagi. Padahal, matahari baru juga menepi. Gelap di sekitarnya mulai menaungi. Alam liar mengambil perannya. Suara binatang malam mulai bersahutan. Dia tidak sendiri.

 

Malam ini, wanita itu memilih bermalam di atas pohon, tepat di belakang gubuk. Dia tidak ingin mengambil resiko untuk bermalam di gubuk. Bukan waktunya untuk berlari sepanjang malam. Dia perlu istirahat dan perlu memulihkan tenaga. Sesaat setelah berlari dari gubuk tadi, Lara berubah pikiran. Ada pohon akasia di samping gubuk menjorok agak ke belakang. Batang dan dahannya lumayan besar, bisa untuk duduk selonjoran. Namun, yang lebih penting lagi, daunnya rimbun.

 

Dulu, Lara adalah wanita lemah, pun bukan termasuk wanita manja. Dia pernah tinggal dan bersekolah di kampung ayahnya selama empat tahun, dikarenakan ayahnya pindah dinas ke luar pulau. Lara juga seorang gadis tomboi yang badung. Sangat berbeda dari abang dan kakaknya yang kalem.

 

Lara bersandar di batang pohon akasia. Matanya menerawang jauh di dalam kegelapan yang pekat. Matanya sudah sangat berat. Lahir batin dia lelah. Sulit untuk mengatakannya. Bulir bening turun membasahi pipi tirus wanita itu. Teringat suami, jagoan kembarnya, Tio dan Teo, ayah, bang Rian dan kak Desi. Bagaimana dengan mereka? Apakah mereka sadar aku telah menghilang? Apakah mereka tahu tentang keberadaanku? Setidaknya, apa yang telah terjadi padaku? Tidakkah mereka mulai mencariku? Rasanya sudah sangat lama Lara tidak bertemu dengan mereka. Lara menangis lirih menahan rindu.

 

***

 

Radith cemas. Terlihat dari rahangnya yang mengeras. Hari mulai gelap. Pelan dikendarainya double cabin hitam itu sambil matanya sesekali melihat kiri kanan sisi mobil. Berharap ada seseorang sedang mengintip atau berlari di antara batang-batang pohon karet. Gubuk tempat memadu kasih dengan Laranya memang sengaja dia pilih, dikarenakan letaknya yang sangat jauh ke dalam perkebunan. Tidak banyak buruh dan pekerja paruh waktu yang mau singgah ke sana, sehingga Radith leluasa membawa Lara. Para buruh dan pekerja di sekitar kantor dan kebun sudah sangat kenal dengan Radith. Mereka tidak menaruh curiga sedikit pun.

Matanya tajam menatap jalan di depan yang gelap. Mulutnya mengatup sangat rapat sampai terdengar gemelutuk gigi-giginya.

Lara, Sayangku. Kau harus membayar semua ini. Atas semua yang sudah kulakukan. Jangan salahkan aku jika aku marah nanti. Kau akan mendapat hukuman karena hari ini.

 

Radith mulai melaju ke tempat pencaharian selanjutnya. Dia tidak ingin melewatkan sedikit pun celah yang ada. Lampu sorot besar yang terpajang di atap double cabin cukup untuk menerangi sisi gelapnya batang-batang pohon karet hingga hampir setengah kilo meter ke depan.

Seekor cepelai melompat dari arah kiri dan memaksa Radith berhenti. Bulu lebat dengan mata yang bersinar itu terduduk di kap mobil menatap Radith. Pandangan Radith tanpa ekspresi. Mata lelaki itu memang melihat cerpelai di depan, namun, pikirannya terbang entah ke mana.

Saat itu, sekitar tiga tahun yang lalu, Radith meliburkan diri dua hari dari kantornya yang baru. Lelah dengan segala rutinitas dan kakinya melangkah ke kebun binatang. Di sana dia melihat seorang bidadari yang pasti dikirim Tuhan untuknya. Rambut yang mungkin cuma sampai sebahu dan dikuncir kuda, sedang memotret beberapa cerpelai yang bertingkah memamerkan kebolehannya. Kemeja polos warna kuning gading dipadu dengan jeans hitam usang yang menambah kesan sederhana. Lalu, ketika kamera itu turun dari wajah ovalnya, mata, hidung, bibir wanita itu membuat Radith berdiri terpaku. Dadanya bergemuruh. Lelaki itu tersadar, dia jatuh cinta.

 

Radith mulai terangsang dengan mengingat kenangan saat itu. Ekspresinya mulai terlihat. Ditekannya klakson mobil sepanjang yang dia suka. Cerpelai yang kaget langsung melompat ke atap mobil dan membuat suara yang berisik di sana. Radith memukul langit-langit di atas kepalanya dengan marah. Sambil memaki-maki, dia kembali menekan klakson.

Napasnya memburu. Dadanya turun naik di belakang kemudi. Keadaan kembali sunyi.

"Sial! Sial! Sialan!" Radith memaki sambil berkali-kali menghentakkan tangannya di kemudi.

 

***

 

Lara terjaga setelah merasakan sesuatu yang dingin menjalar di pundaknya. Napasnya tercekat. Dia menahan ketakutan. Melata itu mulai bergerak dari tubuh Lara. Sisiknya yang dingin dan lembap melewati wajah hingga pinggang dan langsung meluncur turun. Entah menuju ke mana.

 

Bukan kebijakan yang bagus memang memilih untuk bermalam di atas pohon. Dia sudah susah payah untuk keluar dari gubuk kayu. Karena itu, jangan sampai malah mati konyol di sini.

 

Peluh dan keringat dingin sudah membasahi tubuh Lara. Wanita itu masih menahan napas, takut bila sewaktu-waktu melata itu belum pergi terlalu jauh dan kembali lagi untuk melilit tubuhnya.

Dia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kembali. Untuk sementara situasi dan keadaan wanita itu terbilang aman. Walau belum sepenuhnya dari kata nyaman.

Lalu tiba-tiba suara gema klakson mobil membuat Lara bergidik ngeri. Jantungnya kembali berdegub kencang. Tangan dilipat di dada dan diremasnya bagian pinggang. Lara menggigit bibir. Dia mulai khawatir. Suara klakson itu terdengar lagi. Lebih panjang dan sepertinya penuh kemarahan. Lara menerawang, mengingat kejadian silam.

 

Tergopoh-gopoh Lara membuka pintu pagar. Napasnya tersengal. Kandungannya yang sudah tua terasa berat untuk dibawa berlari. Hanya saja, suaminya seperti tidak sabar dan klakson mobil terus-menerus terdengar. Lara malu dengan tetangga sekitar.

Di dalam rumah, suaminya mulai melepaskan amarah dan menuding Lara dengan hal-hal yang tidak dia perbuat.

"Dari tadi aku telepon selalu terdengar nada sibuk. Dengan siapa kamu bicara? Hah?!"

"Dengan ayah kok, Mas. Lagian juga tidak lama, tidak sampai lima menit."

"Bohong kamu! Tadi sebelum kamu buka pintu pagar, aku juga coba telepon lagi. Masih nada sibuk. Bicara dengan siapa lagi kamu? Jawab!  Hah?!"

Tiba-tiba saja tangan suaminya sudah mengepit pipi wanita itu dengan suara yang meninggi melekat di depan wajahnya. Mata laki-laki itu menatap Lara dengan liar.

"M-m-mas, s-s-sa-sa-sakiiit...."

Lelaki itu bukan merenggangkan kepitan tangannya, jemari besar itu malah beralih menuju batang leher Lara, menekannya kasar sehingga wanita itu mundur dan terpojok di dinding.

Refleks air mata Lara keluar. Napasnya tercekat karena tekanan lengan suaminya yang semakin kuat. Mereka bersitatap. Sorot mata bengis terpancar dari tatapan tajam suaminya. Sedangkan Lara, menatap dengan iba dan meminta belas kasihan.

Menjelaskan seperti apa pun percuma, dia sudah paham sifat suaminya. Hanya saja, saat ini kehamilannya sudah mendekati usia lahir tetapi tetap saja suaminya tidak berubah.

Tekanan jemari lelaki itu terlepas setelah terdengar bunyi ponsel dari saku celananya. Lara batuk-batuk dan terduduk sambil memegang leher. Air mata masih dan terus menetes di pipinya. Dari ekor mata, terlihat suaminya melangkah menuju teras dan menerima telepon dengan santai. Lara berusaha berdiri dengan susah payah. Meraih ponsel di meja dan segera menekan nomor yang sudah mulai dihapalnya.

"Seperti janjimu. Aku terima semua konsekuensinya." Kemudian, dia menghapus riwayat panggilan tersebut.

 

***

 

Radith berjalan mengitari gubuk singgah. Senter besar diarahkannya ke seluruh penjuru pepohonan di sekitar gubuk. Mata elangnya tajam mengawasi di setiap sisi-sisi mata angin. Setelah puas dan merasa nihil temuan, lelaki itu mulai memeriksa isi gubuk. Berharap menemukan secuil jejak dari perempuannya.

Tidak ada apa-apa di sana. Lelaki itu mulai merebahkan tubuh yang penat. Pikirannya melanglang buana. Ceroboh sekali! Seandainya aku tidak berganti celana, tentu tidak akan terjadi seperti ini. Saat ini pasti aku sedang menikmati malam dan tubuhnya. Sial! Radith terduduk dan memukul dipan. Jari-jarinya mengepal rambut yang mulai gondrong.

Pekatnya malam di sekitar gubuk tidak membuat Radith bergeming. Lelaki itu terduduk memangku lengannya di atas lutut. Pikirannya mulai mencari tahu, di mana gerangan perempuannya bermalam saat ini.

 

***

 

Lara menahan napas. Jantungnya berdebar keras. Ada suara kendaraan di depan gubuk. Pergumulan batin terjadi di dalam pikiran dan hati wanita itu. Pergi meninggalkan tempat itu ataukah tetap bertahan?

Tidak lama kemudian, terdengar mesin kendaraan dimatikan dan pintu ditutup. Suara langkah kaki dari gesekan dedaunan kering semakin mendekati bagian belakang gubuk. Ada sinar dari lampu senter yang berkali-kali terpancar di sela-sela dahan akasia. Lara menunduk dalam-dalam dan menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Jantungnya bergemuruh. Hatinya terus berdoa agar jangan sampai ditemukan.

Siapa pun itu, pasti si Jahanam yang sedang mencarinya. Lara paham betul dengan suara kendaraan tadi. Lalu, langkah itu mulai mendekati pohon akasia. Tubuh wanita itu semakin bergetar. Jantungnya pun semakin bergemuruh. Bagaimana ini? Ya, Tuhan, bagaimana ini? Tolong! Jangan sampai terjadi! Pikiran dan hati wanita itu terus-terusan mengucapkannya.

Tiba-tiba ada suara benda jatuh dari arah gubuk singgah. Lara terkejut setengah mati. Si Jahanam itu pun berlari ke sana. Wanita itu menahan napasnya sambil tetap memasang telinga untuk mengetahui apa yang terjadi. Tidak terdengar apa pun, yang terdengar malah suara degub jantung akibat keterkejutan tadi.

Terdengar suara langkah menaiki tangga, dan tidak lama kemudian segera turun dan melompat. Kemudian suara sapu lidi yang membersihkan dipan gubuk. Tampaknya si Jahanam itu memilih berdiam diri di gubuk itu. Lara bergumam dan mengutuk diri.

 

 

Part IV : Harapan Yang Terkikis

 

Kicauan burung membangunkan Lara. Pelan matanya terbuka. Ada secercah jingga terlihat di balik atap gubuk. Beberapa burung gereja terbang ke sana ke mari dari atap ke pepohonan sekitarnya. Lama wanita itu melamun dan air matanya bergulir pelan. Subuh tadi terdengar olehnya suara azan. Banyak hal yang direnungkannya saat itu. Sudah berapa lamakah Engkau kutinggalkan? Matanya terpejam kembali, rasanya enggan beranjak.

Namun, langit sudah tak lagi jingga. Kabut masih betah di sana. Lara turun perlahan, merenggangkan tubuh dan berjalan ke belakang gubuk. Ada air bersih dari dalam ember besar di bawah tangga. Wanita itu membasuh wajah dan menenggak sedikit airnya lalu menggosok-gosok bagian lengan atas dan wajah. Kabut dan udara pagi ini begitu dingin.

Dia tidak ingat lagi kapan si Jahanam itu pergi dari gubuk. Wanita itu terlalu lelah berlari dan menangis sehingga dia tertidur tanpa tahu lagi apa yang terjadi.

Setelah merenggangkan tubuh dan otot-otot yang kaku, Lara mulai berjalan di tengah kabut. Jarak pandang masih bisa diatasinya. Hanya saja, kali ini dia berjalan di jalur kendaraan.

 

***

 

Radith bersandar di samping double cabin dan menghisap rokoknya dalam-dalam. Udara dingin ini membuatnya sulit tidur. Tadi malam, sekitar pukul sebelas, lelaki itu mulai meninggalkan gubuk. Tidak ada apa-apa di sana. Sialnya, dia malah ketiduran. Karena lelah dan bimbang, lelaki itu tidak memilih kembali ke gubuk mereka, dia memarkirkan mobilnya di pinggir jalan dan tidur. Tengah malam lelaki itu terbangun. Hanya ada suara cekikikan dan tangis yang membuatnya muak.

Seluruh otot dan persendiannya ngilu akibat tidur di jok belakang yang sempit. Hari ini dia harus menuntaskan pekerjaannya. Mendapatkan Lara dan segera pergi dari negara ini setelah mengambil berkas.

Radith membenahi otot leher yang kaku dan membuang sisa rokoknya. Ujung sepatunya hampir masuk ke dalam mobil ketika mata elang itu melihat siluet di dalam kabut yang sangat dikenalnya keluar dari sisi jalan gubuk singgah. Sialan! Ternyata wanita itu memang ada di sana. Radith mengumpat dan merasa tertipu. Padahal, dia sudah berkali-kali mengitari gubuk.

Pintu mobil dihempaskannya dengan kasar. Napas lelaki itu memburu dan darahnya bergejolak. Lalu, dia berlari kencang menuju wanitanya.

 

***

 

Lara menguap sesaat. Langkahnya masih gontai. Udara pagi ini sangat dingin. Berkali-kali wanita itu mengusap-usap lengan dan wajahnya. Banyak harapan di pikirannya saat ini jika bisa keluar dari sini. Bertemu dengan anak-anak dan meminta maaf kepada suaminya.

Suara pintu mobil tertutup membuat Lara terkejut dan menoleh ke belakang. Pupil matanya membesar. Bayangan lelaki, si Jahanam itu, berlari ke arahnya dari balik kabut. Lara langsung mengambil langkah seribu. Tidak disangkanya si Jahanam itu menunggu di sana. Tidak terbersit sedikit pun di pikirannya.

"Lara!"

Lara terus melesat tanpa perduli suara panggilan itu. Ketakutan di pikirannya tentang kembali lagi ke gubuk sialan itu membuat perutnya mual. Terlebih lagi tentang perbuatan si Jahanam itu yang terus-menerus menggagahinya. Lara ingin sekali menghapus semua ingatan tentang hal itu.

"Aaaaaagh!" Lara berteriak sekerasnya. Jalan menanjak di depan membuatnya hilang kendali. Wanita itu berharap ini semua hanya mimpi. Lelaki itu hampir mendekatinya. Bagaimana pun, kaki panjang si Jahanam itu lebih lebar langkah berlarinya dari pada dia.

Tangan besar itu sudah ada di pinggang dan perut Lara. Mengangkat dan mendekapnya sekuat mungkin.

"Aaagh! Aaagh! Aaagh!" Lara berontak, menendang-nendang udara dan berkali memukul-mukul lengan kekar itu. Mereka berbalik arah kembali ke mobil diparkir. Mata Lara terbelalak dan menggigit lengan yang mendekap erat pinggangnya.

"Aaaaaaarrrgh!" Lengan si Jahanam merenggang.

Lara tersungkur, mencoba bangkit dan berlari kembali. Namun, lengan lelaki itu berhasil meraih pinggang wanita itu, membalikkan tubuh ramping Lara yang terus-menerus melakukan pemberontakan. Wanita itu terus menerjang tanpa henti. Tidak tahan dengan hentakkan kaki Lara, lelaki itu mulai mengapit paha dan menindihnya.

"Aaaagh! Aaaagh!" Lara memukul-mukul wajah dan dada lelaki itu. Tangannya melemah setelah tampak wajah tak asing di atasnya. "Ma-ma-mas Radith?"

Lelaki itu meraba wajahnya. Dia terlupa akan topeng yang biasa dipakai. "Akhirnya kau tahu siapa aku." Tangan lebarnya langsung memukul wajah Lara sehingga wanita itu tidak sadarkan diri.

Radith berdiri, lalu menunduk dan mengatur napasnya yang tersengal. Disentuhnya lengan bekas gigitan Lara yang berdarah. Lelaki itu menyeringai. Kuat sekali wanita ini menggigitku.

 

***

 

Lara terbangun. Kepalanya sakit sekali. Wanita itu meraba wajah dan kepalanya. Pandangan sedikit buram dan matanya menatap langit-langit mobil. Seketika Lara terduduk dan mencoba membuka pintu. Tangan dan kakinya terikat! Begitu juga dengan mulutnya, tertutup lakban.

"Hmmm! Hmmm! Hmmm!" Lara berusaha berteriak meskipun tidak ada yang akan mendengar.

"Sudah bangun, Sayang." Radith mengarahkan kaca spion tengah ke wajah panik wanita di jok belakang. Senyumnya merekah. "Maaf, aku tidak bermaksud menyakitimu. Tapi aku nggak akan ambil resiko jika kesayanganku melarikan diri lagi."

"Hmmm! Hmmm!" Lara menghentak-hentakkan kakinya ke kursi belakang kemudi.

"Jangan terlalu bersemangat, Sayang. Simpan tenagamu sebelum aku menikmatinya nanti."

Air mata Lara tidak terbendung lagi. Emosinya kian memuncak. Kakinya terus dihentakkan sampai dia merasa tidak sanggup. Tubuhnya mulai rebah, pasrah.

 

***

 

"Kita sudah sampai, Sayang."

Lara diam tak bergeming. Wanita itu masih meringkuk. Matanya kosong. Pikirannya melanglang buana jauh entah ke mana.

Radith bersiul pelan. Lelaki itu jalan melenggang menuju gubuk dengan penuh kebahagiaan. Pintu dibuka selebar mungkin. Dia kembali ke mobil dan menggendong wanitanya keluar. Dikecupnya mesra bibir yang tertutup lakban itu. "Mmmuach!" Senyumnya merekah. "Akhirnya kita bersama lagi. Kau memang belahan jiwa yang ditakdirkan untukku." Kakinya menendang pintu mobil agar tertutup.

Dia memang sakit! Kau sakit, Radith! Sakit jiwa! Lara membuang muka, jengah. Napas lelaki yang menggendongnya jatuh ke wajah membuat wanita itu semakin mual. Matanya menangkap sesuatu yang berkilauan di dekat undakan teras gubuk. Wanita itu menggeliat sekuatnya dan membuat langkah Radith limbung. Lara terjatuh. Secepat mungkin dia menduduki benda berkilauan itu.

"Eits, eits! Mau ke mana." Radith segera meraih pinggang Lara dan menggotongnya masuk ke dalam gubuk. Dia masih bersiul. Direbahkannya wanita itu di sofa, lelaki itu berjalan kembali untuk menutup pintu.

"Hmmm! Hmmm!" Lara sengaja berteriak sambil membuang benda di tangannya ke bawah sofa.

"Sabar, Sayang. Aku pun sudah tidak sabar ingin menikmati saat ini."

 

====> bersambung

 

 

 

 

Gimana? Gregetan gak?

 

Dua bab ini lumayan panjang ya. Masih penasaran dan ingin tahu kelanjutan nasib Lara nih, manteman?

 

Minggu ini dibuat gantung lagi. Insyaa Allah kita lanjutkan jika ada umur panjang dan ada rejeki waktu luang.

 

Oke ya! Terima kasih, udah mampir di mari dan menyimak tulisanku kali ini. Semoga kisah ini pun dapat dinikmati dan membuat kita semua selalu melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang.

 

Wassalamualaikum! 

Minggu, 10 April 2022

SEGELINTIR KISAH ANAK LELAKIKU

 

Hening. Sepi di sekelilingku. Hanya terdengar nyanyian angin malam. Betapa damai tinggal di dusun ini. Mengalirlah segala cinta kasih. Sesekali ingin kuajak engkau datang menikmati rembulan bersinar.

Bening. Polos bola matamu membasuh segala luka di dalam jiwa. Engkau yang hadir bersama kesegaran seperti salju yang turun di musim dingin. Segera engkau dapat dengar nyanyian alam. Di dusun ini semua indah, tenteram.

 

      Maukah kalian mendengar sepenggal ceritaku? Ceritaku ada liku terselip sembilu. Tapi ini bukan tentangku, ini tentang hartaku yang paling berharga, para lajangku. Rasanya baru kemarin aku timang. Dan cerita ini terkhusus buat dua lanang.

          Yap! Kanak-kanak mereka berirama. Pasang surut yang kadang sering singgah menggoda. Bagiku biasa. Memang masanya bermain dan bercengkerama. Kadang terbawa ke dimensiku. Mengajak ke masa yang telah jauh lebih dulu kutempuh. Kening mereka berkerut ingin tahu. Salah satu sisi yang kusuka selalu.

        Yap! Remaja mereka banyak luka. Sering kubawa ke arah yang tidak pernah terduga. Mengarungi bukit-bukit kecil serta pantai berombak agar sejenak terlupa. Kami sama. Bertahan dan berusaha menjaga. Menjaga perasaan yang lain tanpa kami tahu perasaan kami pun terluka. Ingin mereka begini. Inginku begitu. Tetap saja, tujuan kami sama. Dan itu semua bukan kemauan diri. Keadaan yang memaksa.

 

          Kisah yang ingin kulupa. Saat di mana luka mereka menganga. Entah aku bisa apa. Mereka bernaung di bawah kediktatoran. Hanya bertahan dan tertahan, tanpa mampu melawan. Saat itu mereka tawanan yang jika melawan segera mendapat kepalan tangan.

          Iyap! Kini usia mereka mulai beranjak. Namun, bagiku sosok mereka tetap kanak. Hingga mereka berhasil melewati segala onak. Berdiri bersama mereka saat ini dengan rasa haru sampai dagu mendongak. Dan mereka sadari bersama, saatnya bersorak. Karena telah melewati liku yang berserak.

          Hhhh! Kali ini aku bagikan bahagia karena Allah yang berperan. Walau masih jauh perjalanan. Dan mungkin bukan berharap happy ending. Namun, insyaa Allah buat mereka bisa menjadi awal yang happier beginning. 

          Dan di sinilah kami bertiga. Menjalani hidup dengan segala versi yang kami punya. Menuju arah legawa. Karena memang begitulah seharusnya. 

 

Senyap bagai dibasuh embun, musik pepohonan mengiringi istirah. Marilah bersamaku pecahkan makna. Memgembara hanya sekedar pertimbangan. Kembali dan peluklah tanah pusakamu. Di dusun ini mestinya bersemi cintamu.

Cintaku terhadap negeri ini 'kan kuturunkan padamu. Semburat sinar merah keemasan, gugusan senja di batas cakrawala. Marilah kutunjukkan agung tanah leluhur, Anakku.

Untuk anakku tercinta!

(Ebiet G. Ade)

 

 

 

 

          Assalamualaikum!

 

          Itu tadi sepenggal kalimat yang mirip puisi dan berirama. Ditambah senandung indah milik penyanyi idola. Sengaja kuangkat kembali demi mengenang kisah lama. Kisah lama yang gak akan aku lupa dan banyak pembelajaran di dalamnya.

 

          Tahun ini Allah ijabah doaku yang lain. Tentang perjalanan anak lelakiku menuju masa depan. Merantau, mengais impian.

 

          Sebagai seorang single parent, perjalananku pun baru saja dimulai. Gak ubahnya seperti anak lelakiku, aku juga harus berjuang hidup untuk menunggu mereka kembali di sini. Di tempat impian kami nanti.

 

          Meski sebagai perempuan aku gak begitu mengerti bagaimana pemikiran seorang lelaki. Namun, di satu sisi, aku berharap dan selalu mencoba mengerti tentang langkah dan kemauan mereka tentang masa depan. Mengajari mereka bertindak sebagaimana seorang pemimpin nantinya. Mendukung apa pun yang bisa membuat mereka menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih bijak lagi. Pun mnendampingi mereka memperbaiki diri agar terus berusaha menjaga kewarasan dan mengokohkan keimanan di dunia yang semakin gila serta renta ini.

 

          Di awal kalimat yang mirip puisi di atas tadi, kukisahkan sedikit tentang perjalanan hidup mereka. Perjalanan panjang menuju kedewasaan hidup untuk bersikap, berpikir dan bertingkah laku layaknya lelaki sejati.

 

          Mungkin gak ada bedanya dengan kebanyakan anak-anak lain, yang juga pasti banyak melewati onak duri kehidupan sebelum melihat kedua orang tuanya berpisah. Begitu juga dengan anak lelakiku. Pasti pun ada banyak luka yang tersimpan rapi yang gak mungkin mereka ceritakan padaku.

 

          Yaah, begitulah. Gak usah berpanjang lidah, eh, maksudnya berpanjang ketikannya. Nanti berujung curhat. 😅

 

          Itu semua sudah menjadi bagian dari sejarah kehidupan kami, khususnya anak lelakiku. Semoga kelak ketika mereka menjadi seorang pemimpin, pemikiran dan sikap mereka sudah lebih bijak dan lebih tertata dalam menerapkan berbagai realita.

 

Wassalamualaikum.

 

 

 

 

(FLASHBACK) DARI TANAH TANDUS

  Blurb: “Kak Ineee. Kepala Rubi pusing, Kak.” “Bertahanlah, Rubi! Bukan sekarang saatnya!” Ine dan Rubi, dua gadis kecil yang ter...