Minggu, 06 Juni 2021

MENUNGGU

Ada hal yang paling menyebalkan dari menunggu. Biasanya apa? Menahan kantuk. Apa lagi? Lapar. 😒

Akan tetapi, ada juga beberapa hal yang sering kita lakukan ketika menunggu.

Hmmm.

...menunggu ada kalanya terasa mengasyikan, banyak waktu kita miliki untuk berpikir...

Namun,

...menunggu lebih terasa beban yang membosankan, banyak waktu kita terbuang tergilas cuaca...

Begitu kata Pak Ebiet G. Ade di lagunya Tatkala Letih Menunggu.

Jika memungkinkan, bisa saja bolak-balik scroll ponsel demi membuang kebosanan. Mungkin juga sekedar bermain game, menamatkan level atau menikmati panen online di ponsel. Atau bahkan, ada juga yang sekedar ber-say hello dengan entah siapa di ruang chating ponselnya. (Aku kenal dengan orang yang tipe begini soalnye) 😂

Ayoklah kita lihat aja apa isi cerita ini.

 

***

 

Aroma khas menyeruak ketika Nuri melangkah masuk ke ruang tunggu puskesmas. Dandanan asri yang terpampang di depan sedikit mengobati jenuh hati.

Setelah mencuci tangan dan meletakkan kartu di bagian administrasi, Nuri memilih duduk di pojok. Hari ini tidak begitu ramai. Cuaca mendung, yang seharusnya lebih nyaman jika berada di balik selimut, melanjutkan mimpi yang tertunda tadi malam.

Terusik dari lamunan, Nuri menghela napas sekuatnya. Di depannya seorang pria jompo duduk termenung. Sendiri. Menatap sendu lalu lalang yang berlalu dengan waktu. Entah apa yang ada dipikirannya. Mungkin sekedar mencetus ketus tentang si sehat yang berjalan jumawa.

Di sampingnya duduk pula seorang pria paruh baya, yang sedari tadi asyik menatap layar ponsel. Sesekali sudut bibirnya miring ke atas, antara tersenyum dan mencibir.

Beberapa terduduk menunduk, menunggu sampai terkantuk-kantuk. Gerimis di luar semakin liar. Nuri menutup mulut, menguap. Kardigan tipisnya tidak mampu menghangatkan tubuh kurus itu.

Hampir dua jam menunggu, akhirnya tiba giliran wanita itu duduk menghadap seorang dokter yang matanya sedikit sayu.

"Mau dirujuk ke mana ini, Bu?" Matanya tetap melihat berkas di meja dan sesekali jari gemuk itu menelusuri layar laptop.

"Yang terdekat saja dengan alamat rumah, Dok."

"Hmmm. Baiklah. Ibu bisa menunggu kembali untuk waktu sejam atau dua jam?"

"Kenapa, Dok?"

"Jaringan kita sedang lelet hari ini, Bu. Kalau Ibu keberatan menunggu, bisa diambil besok saja suratnya. Bagaimana?"

Akhirnya setelah berbasa-basi sedikit, Nuri pulang dengan dongkol hati. Rencana hari ini tidak sesuai dengan ekspektasi. Ya, sudahlah! Begitu kata Bondan Prakoso. 😂

 

***

 

Hari ini kembali Nuri menunggu di depan counter costumer service di sebuah bank terkemuka. Agak berbeda di dua hari sebelumnya, hari ini lumayan ramai. Nomor antrian juga cukup jauh. Pendingin ruangan yang dingin semakin dingin. Apalagi ditambah udara dan cuaca di luar yang masih dingin setelah hujan semalaman.

Seperti biasa, beberapa nasabah tertunduk, tekun menatap layar ponselnya. Seakan-akan sedang serius menjawab seluruh soal pilihan berganda. Nuri pun tak mau kalah. Dengan segala macam pikiran, jarinya mulai merajut kata.

Hmmm? Sialnya, pendingin ruangan membuat konsentrasinya pecah. Dinginnya semakin dirasa jadi masalah. Antara lain, jari tangan mengkerut juga mati rasa, perut bersuara tanda sudah waktunya, ditambah lagi dengan air putih yang diminum setengah liter tadi pagi mulai tercerna.

Tidaaaak! Tahan dulu! Bukan waktunya untuk semua itu. Hhhh! Syukurlah cuma buat isi cerita. Kalau tidak, sulit ah membayangkannya. 😂

Namun, tidak untuk seorang yang menunggu di sudut dekat tangga. Sepertinya wanita itu terlihat gelisah. Berkali-kali menatap ponsel dan memainkan kedua kakinya. Kemudian, mulai memeriksa isi tas sandangnya. Setidaknya ada hal yang bisa membuat seluruh tubuh itu sedikit bergerak.

Empat lima orang telah berlalu dan pulang. Masih ada banyak yang tergantikan. Nuri duduk di tengah counter, sedang memberi penjelasan tentang alamat yang perlu diubah.

"Harus sesuai dengan kode pos, Bu. Kalau tidak, server di sini tidak mau menerima."

"Saya tidak ingat berapa kode posnya. Tetapi, kemarin anak saya ketik nama kelurahan, otomatis muncul dengan sendirinya tuh kode pos."

"Kalau gitu kita coba lagi ya, Bu." Mbak costumer service itu pun menggeser layar PC di depannya agar terlihat oleh Nuri.

Ada banyak pilihan dan lokasi tempat tinggal Nuri tercantum di sana.

"Itu ada, Mbak."

"Oh, iya, Bu. Kemarin tidak muncul karena ketik kecamatannya saja. Ternyata ada beberapa di sini. Jadi, yang mana yang mau dipakai, Bu?"

Nuri menunjuk tiga kata terakhir dari bawah. Tidak sampai lima menit, buku rekening baru pun telah wanita itu terima. Sambil tersenyum manis, entah untuk siapa, dia melangkah keluar dan berjalan dengan santainya.

 

***

 

Kantor imigrasi terlihat lengang. Padahal sebelum virus mengerikan datang meraja, tempat ini seperti ikan pepes. Berdesak-desakan ingin segera sampai di barisan terdepan. Seperti yamaha, selalu terdepan. Kasihan yang lainnya. 😂

Okelah! Kali ini Nuri duduk manis menunggu yang terkasih berjuang sendiri. Pelan dan pasti, wanita itu harus merelakan anaknya melakukan semuanya sendiri. Pikirannya kembali ke satu sisi.

Mengingat kenangan indah juga lucu masa kecil mereka, Nuri tersenyum membayangkannya. Masa itu semakin jauh dan dia sangat rindu menggapai tubuh-tubuh mungil anak lelakinya. Sifat nekat wanita itu yang membawa mereka menggunakan motor ke kampung halamannya cukup membuat jantung berdesir. Walau jarak tempuh sampai dua jam, namun, rasanya sangat menyenangkan.

"Abang kalau ngantuk bilang ya? Biar mama berhenti sebentar."

"Iya."

"Pegang pinggang mama kuat-kuat ya."

"Iya."

Namun, saat itu, demi keamanan mereka bertiga, Nuri membawa kain panjang dan mengikat tubuh anak-anaknya ke pinggang.

Bukan hanya itu saja. Nuri terkadang membawa mereka liburan ke pantai. Menikmati deburan ombak dan berlari ketika dikejar buihnya.

Aaah! Waktu berjalan begitu cepat.

Ma, disuruh ke dalam. Langsung ke teler 4.

Tergopoh-gopoh Nuri menelusuri koridor setelah melihat pesan dari ponselnya. Sekedar bertegur sapa dan menjaga kesopanan bertanya tentang arah. Lalu, tampak di depan wanita itu, seorang pemuda rupawan yang siap menggapai seluruh mimpi-mimpinya. Dengan latar yang sama, seorang pemuda gagah yang ikut andil membawa mimpi-mimpi masa depan mereka. Apalagi yang kupunya, kalian berdualah hartaku yang paling berharga. Cepat sekali waktu membuat kalian tumbuh menjadi dewasa.

 

***

 


 

====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

(FLASHBACK) DARI TANAH TANDUS

  Blurb: “Kak Ineee. Kepala Rubi pusing, Kak.” “Bertahanlah, Rubi! Bukan sekarang saatnya!” Ine dan Rubi, dua gadis kecil yang ter...