Minggu, 27 Maret 2022

BELAHAN JIWA

 

Assalamualaikum. Apa kabarnya, zeyeeng? Bertemu lagi kita di cerita dalam tulisan. Cerita singkat, padat dan ada sedikit makna yang tersirat.

 

Kali ini aku mengisahkan tentang isi cerita yang pernah terpilih dalam antalogi novelet tahun 2021 dari suatu event di penerbit AutumnMapleMedia. Meski dalam bentuk novelet, bukan mudah menyelesaikan isi tulisan tersebut. Ada banyak ending yang ingin kusampaikan di akhir cerita. Namun, tetap saja berakhir miris. Aku pun harus memilih ending yang bagaimana. Masalahnya, TIDAK ADA ENDING.

 

Hah? Gimana? Masak ada cerita yang gak ada ending?

 

Skip!

 

Oke! Event ini terbilang menantang. Gak banyak yang lolos seleksi. Yang terpilih hanya dua belas penulis. Alhamdulillah, aku beruntung masuk nominasi dan mulai open order dari bulan April 2021 kemarin. Ada rasa kepuasan tersendiri buatku. Sedikit lagi untuk bisa mendekati karya solo dan mulai melirik lagi novelku yang mulai berjamur.

Novel mini alias novelet ini berupa antalogi yang berisi empat tulisan dalam satu buku. Ada 3 buku yang diterbitkan. Buku pertama, Sweet Chaos, buku kedua, Blood, Sweat and Tears, sedangkan buku ketiga Lemon.

 

Naaaa, tulisanku ada di buku kedua, ber-genre thriller. Judulnya tetap sama dengan judul tulisan yang sudah pernah  ku-upload di blog sekitar tahun 2020, Belahan Jiwa. Hanya saja, di blog yang lalu masih bersambung dan gak kuselesaikan karena ikut serta di event AutumnMaple.

 

Baeklah! Cukup basa basi yang semakin basi ini. Aku tampilkan dua bab saja dulu. Selanjutnya kita munculkan lagi di minggu berikutnya.

 

Cekidooot ....

 

 

 

 

BELAHAN JIWA

 

PROLOG

 

          Wajah pucatnya terperanjat begitu mendengar suara derungan kendaraan yang baru saja tiba. Benda runcing di tangannya kembali dia selipkan ke balik celah kusen jendela. Dia pun kembali dengan posisi semula di ruangan tempatnya selama ini berada.

 

          Matanya terpejam. Detak jantung belum sepenuhnya pulih. Ditariknya napas dalam-dalam dan dihembuskan secara perlahan. Berulang-ulang sampai detak jantungnya kembali normal.

 

          Terdengar anak kunci diputar. Sekejap suara deritan pintu yang menyayat terdengar. Berkali-kali sudah dia dengarkan, akan tetapi tetap saja terasa ngilu ketika terdengar di telinga. Suara langkah kaki dari sepatu yang berat mulai mendekati. Ada belaian lembut di kepala yang kemudian disusul dengan kecupan hangat.

 

          "Jangan lupa dimakan ya, Sayangku, Lara."

 

          Langkahnya mulai menjauh setelah meletakkan kotak makan siang di samping ranjang tempat Lara berbaring.

 

Part 1 : Bukan Sekedar Pasrah

 

          Lara terbangun setelah mendengar suara dengkuran di sebelahnya. Tubuh wanita itu sakit semua. Matanya mulai mengerjap membiasakan pandangan dalam ruangan yang gelap. Selimut dia sibakkan separuh, ingin bangun dan minum. Namun, niat itu dia urungkan. Tubuhnya telanjang.

 

          Dengkuran di sebelahnya terus berirama, tidak berhenti. Wanita itu menatap langit-langit yang gelap. Apakah sudah terlalu lelah sehabis menggagahiku? Cih! Bila diingatnya lagi, kemarahannya dan rasa jijik kembali mencapai ubun-ubun. Ingin meluluhlantakkan semua yang ada di depan mata.

 

          Lara menggeser tubuhnya ke kiri dan meraba kursi di bawah jendela. Gelap ruangan membuatnya sulit untuk melihat. Seingatnya lelaki jahanam itu melempar semua pakaiannya ke sana. Ada! Lara berlari kecil dengan menjijit menuju kamar mandi sambil menggendong pakaiannya. Di sana wanita itu menyikat habis-habisan seluruh tubuhnya. Air matanya telah kering. Hanya sinar kebencian dan perasaan jijik yang terpancar di sana.

 

          Entah sudah berapa hari Lara di sini. Jika menghitung hari sudah lebih dari dua minggu. Namun, tak terhitung saat-saat dia tidak sadarkan diri. Jika sudah begitu dia terlupa sudah hari ke berapa saat ini. Hal itu terjadi jika dia menolak napsu bejat lelaki jahanam itu. Mulut wanita itu akan dibekab dengan kekuatannya sampai Lara tidak sadarkan diri.

 

          Air dingin membuat tubuh Lara menggigil. Namun, dia harus melakukannya. Dia merasa kotor dan menjijikan. Entah bagaimana nanti yang akan dia katakan kepada suaminya. Seseorang jahanam telah menculik dan berkali-kali menggagahinya? Apakah suaminya akan percaya? Tatapan mata Lara lebih dingin dari air dingin yang mengguyurnya. Pikirannya melanglang buana entah kemana. Memikirkan segala rencana-rencana gila yang sudah dia siapkan.

 

***

 

          "Makan itu. Jangan nggak dimakan. Aku nggak mau melihatmu kurus kering. Tidak enak untuk dipegang-pegang."

 

          Lara menatap kosong nasi kotak di depannya. Sekilas matanya melihat si Jahanam di depan. Si Jahanam. Iya. Itu sebutan Lara sekarang untuk lelaki biadab ini. Cih! Topeng itu terlihat menjijikkan. Kemungkinan besar pun dibaliknya lebih menjijikkan.

 

          Lara membuka kotak nasinya perlahan. Lagi-lagi ayam goreng. Rasa mual naik ke permukaan. Namun, setelah dia melihat si Jahanam yang masih memperhatikan, dia tahan untuk memuntahkannya. Lara terdiam sesaat. Tidak mungkin, 'kan, aku hamil? Bagaimana ini? Jangan sampai hamil, ya Tuhan. Pikiran itu berlari ke sana ke mari. Makannya menjadi tidak nyaman. Bukan karena si Jahanam itu yang masih duduk di depannya, tetapi lebih ke kemungkinan kehamilan itu.

 

          Si Jahanam mulai duduk di depan televisi. Menikmati cemilannya dan mulai menonton acara favoritnya. Berita.

 

          Membicarakan berita. Tidak adakah berita tentang dirinya? Diculik atau dibunuh? Atau apa gitu. Apakah orang tuanya tidak mencari keberadaannya? Lalu, bagaimana dengan Tio, Teo, anak kembarnya yang masih imut dan butuh dia? Hampir saja air mata mengalir ketika mengingat dua jagoannya. Si Jahanam telah berdiri di sampingnya.

 

          "Sebentar lagi lembaran baru itu akan kita mulai. Bersabarlah sedikit lagi, Sayang." Jari-jarinya menyentuh lembut anak-anak rambut di pelipis Lara dan mengecupnya hingga menimbulkan suara yang sangat menjijikan bagi wanita itu.

 

 

 

Part II : Melarikan Diri

 

          Sedikit lagi. Tolong ya, Tuhan. Sedikit lagi. Jantung Lara berpacu tidak tentu. Peluh dingin pun mengucur luruh hingga membasahi sebahagian baju. Tangannya semakin gemetar. Rasa hampir putus asa mulai menyelimuti. Sekali lagi dicobanya peniti kecil itu. Mengapa sesulit ini? Membuka pintu saja sampai berpeluh-peluh. Bukankah di film-film yang pernah dia tonton selalu mudah terbuka jika si korban ingin melarikan diri?

 

          Wanita itu hampir menangis. Ini adalah kesempatannya yang belum tentu ada di waktu yang lain. Berhari-hari telah dia pelajari setiap perbuatan si Jahanam. Peniti kecil yang dia temukan di antara tumpukkan sampah telah lama dia selipkan di balik kusen jendela. Kadang kala saat si Jahanam keluar entah ke mana, Lara berjalan-jalan tak tentu arah di dalam gubuk kayu itu. Memperhatikan sekitar. Mencari-cari sesuatu yang bisa dia gunakan untuk segala rencana-rencananya. Namun, tidak ada satu pun di sana benda tajam. Menemukan peniti ini adalah sebuah anugerah dan keajaiban.

 

          Rasa putus asa kembali menyelimuti pikiran Lara. Air matanya tidak terasa mengalir begitu saja. Dengan seluruh hatinya dia berharap kemurahan hati Tuhan untuk menolongnya. Hanya ingin mendengar bunyi klik saja di depannya. Namun, itu pun harus dengan penuh perjuangan.

 

          Air matanya semakin deras sampai membuat pandangannya menjadi buram. Untuk mendapati hari ini, Lara rela memuntahkan seluruh makanan yang dia makan tanpa setahu si Jahanam. Setelah pengamatan yang cukup panjang, wanita itu melihat bubuk obat tidur yang dicampur ke dalam sayur nasi kotak yang akan dia makan. Hal itu terjadi kemungkinan si Jahanam akan pergi dalam waktu beberapa hari. Ketika Lara sadar dan terbangun, dia telah kembali. Setidaknya, hari ini, setelah menunggu beberapa saat kepergian si Jahanam, Lara mulai menjalankan aksinya.

 

          Namun, peniti ini tidak seperti dalam film bayangannya. Tidak semudah itu. Tidak sesimple itu. Batinnya menjerit. Memanggil-manggil Tuhannya yang sudah entah berapa lama dia tinggalkan. Peluh sudah bercampur air mata. Pandangannya buram. Dihentikannya sejenak aktivitas itu. Lara pun berlari menuju kamar mandi.

 

***

 

          Lelaki itu merapikan setelannya yang kusut. Dilihatnya gubuk kayu tua dari balik spion mobilnya. Senyumnya merekah. Kemudian, dia memasukkan perseneling lalu mengendarai mobilnya perlahan. Sambil bersiul lagu entah apa, dia tersenyum sendiri. Wajahnya sangat bahagia. Terlihat jelas.

 

          Hari ini adalah hari di mana berkas-berkas yang dia perlukan telah selesai secara resmi. Setelah selesai semua urusannya, dia akan membelikan makanan enak, pakaian yang layak dan membawa perempuannya jalan-jalan. Semua sudah lelaki itu perkirakan. Senyumnya kembali merekah. Mengingat rencana-rencananya yang sudah sangat matang. Dia bangga pada dirinya.

 

          Tiba-tiba saja rem diinjaknya. Ada yang terlupa dia bawa. Lelaki itu terdiam dan berhenti agak lama. Menimbang-nimbang apakah kembali lagi ke sana mengambil yang tertinggal atau langsung saja ke rencana semula. Padahal, sudah cukup jauh dia berkendara. Lalu, dengan terpaksa lelaki itu memutar setir mobilnya kembali ke gubuk.

 

***

 

          Lara menenggak air dalam botol dengan sekali tenggak. Wajahnya terlihat putus asa. Namun, setelah memikirkan hari-hari yang dilalui di sini, langkahnya kembali mantap menuju pintu yang sedari tadi belum berhasil dia buka. Tanpa sengaja wanita itu menyenggol celana panjang si Jahanam yang tersampir di kursi. Suara jatuhnya terdengar aneh. Lara memungutnya dan langsung merogoh saku bagian depan. Matanya terbelalak, tidak mengira dengan yang dia temukan.

 

          Tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada, wanita itu berlari menuju pintu dan dengan dua kali putaran anak kunci, pintu itu pun terbuka. Tubuhnya gemetar dengan kejadian yang tidak disangka-sangka ini. Aroma pohon karet menbuatnya terkejut. Gubuk kayu ini tersendiri. Sejauh mata memandang hanya pohon karet menjulang tinggi. Selama ini dia ada di tengah-tengah kebun karet. Sendiri.

 

          Lara menahan napasnya. Sengaja pintu dikuncinya kembali dan anak kunci tadi dibuangnya entah ke mana. Wanita itu berlari menuju jalur kendaraan yang biasa melintas. Namun, menjaga untuk hal-hal yang tidak diinginkan, Lara melesat masuk ke dalam kebun.

 

***

 

          Lelaki itu mengumpat-umpat. Biasanya dia tidak pernah lalai. Bagaimana bisa kunci duplikat gubuk itu tertinggal di celananya satu lagi. Ini semua gara-gara wanita itu. Kemarin menangis seharian. Bahkan makanan yang dia bawa tidak disentuh sama sekali. Membuat pikirannya kalut. Kalau sudah kalut tinjunya tidak terelakkan lagi. Sebenarnya dia tidak ingin melukai wajah cantik wanitanya, namun, tangis itu tidak mau berhenti. Bibir mungil itu pecah tadi malam. Tidak ingin pendarahan yang berlebih, dia kulum bibir mungil itu, sampai 'adik kecil' itu bangkit. Di antara malam-malam yang sudah mereka lalui, tadi malamlah yang begitu indah. Wanitanya tidak meronta-ronta seperti biasa.

 

          Mengingat kejadian semalam membuat gairahnya timbul kembali. Entah mengapa perjalanan kembali ke sana terasa sangat jauh. Dia sudah tidak sabar ingin mencicipinya dulu sebelum berangkat kembali. Fantasinya sudah menari-nari di ubun-ubun.

 

          Akhirnya, tidak sia-sia lelaki itu menambah kecepatan kendaraannya, gubuk kayu itu semakin terlihat jelas. Kenangan pahit tergambar kembali diingatannya. Jika saja bukan karena wanita itu, dia tidak akan pernah lagi kembali ke mari. Pekerjaan serabutannya yang pertama, yang menjatuhkan seluruh harga diri. Namun, sekarang itu sudah tidak penting lagi. Kini, dia sudah mapan dan saat ini malah sudah resmi pindah ke luar negeri. Karena itu, hari ini dia akan mengambil berkas-berkas kepindahannya. Hatinya sedang senang.

 

          Sambil bersiul entah lagu apa, lelaki itu menapakkan kakinya di teras gubuk, memakai topeng, merogoh saku celana dan memutar anak kunci. Masih dengan bersiul, dia menuju ruangan yang biasa tempat wanitanya berbaring. Terlupa akan tujuannya semula.

 

          Ranjang terlihat kosong. Tanpa curiga, dia melangkah menuju kamar mandi. Kosong. Rahangnya mulai mengeras. Matanya menyorotkan kemarahan yang luar biasa. Sambil menuju pintu keluar, diraihnya celana panjang yang tersampir di kursi dan memeriksa sakunya.

 

          Disibakkannya topeng dari wajah dan dia berlari mengitari gubuk kayu sambil berteriak.

 

          "Lara! Lara!"

 

***

 

          Ada sungai kecil, dan arusnya lumayan deras. Lara duduk membasuh kaki. Perihnya sulit dikatakan. Banyak luka bekas sayatan ranting dan batu kecil di kaki hingga betis. Air mata sampai tertahan karena menahan perihnya. Wanita itu tidak ingin berlama-lama di sini. Setelah minum sepuasnya, dia kembali ke atas. Bersembunyi perlahan untuk melihat situasi di sekitarnya. Setelah merasa aman, dia berlari kembali sambil meringis. Membasuh kakinya ternyata kesalahan besar. Perihnya semakin terasa.

          Terlihat gubuk kecil di sisi sebelah kiri saat wanita itu berlari. Kakinya menuju ke sana. Syukurnya gubuk ini terlihat bersih. Sepertinya gubuk ini sebagai tempat pengumpulan hasil sadapan karet. Biasa menjelang siang, keseluruhan hasil panen akan dibawa ke gubuk yang kemudian ditimbang. Di samping gubuk ada tangki besar, ada tangga di sisi antara gubuk dan tangki. Biasanya tangki itu untuk menampung seluruh getah hasil panen. Lara memutuskan untuk beristirahat sebentar.

          Matahari mulai terlihat jingga. Suara jangkrik juga mulai terdengar. Wanita itu mengitari gubuk dan memeriksa apakah ada sesuatu yang mungkin suatu saat bisa berguna. Tidak ada apa-apa. Dia sedikit cemaskarena hari pun mulai gelap. Wanita itu akhirnya pergi meninggalkan gubuk. Namun, sebelum beranjak, matanya menangkap sesuatu. Diraihnya barang itu lalu diselipkan ke dalam saku celana.

 

***

 

          Napas lelaki itu memburu cepat. Marah, kesal, jengkel, dan sedih sudah menjadi satu di raut wajahnya yang memerah. Dia berkeliling menelusuri gubuk. Mencari Laranya yang pergi begitu saja tanpa pamit. Dia marah, marah karena Laranya lepas dari genggaman, kesal karena telah ceroboh menjaga Laranya, jengkel karena Laranya selalu tidak mau mendengar setiap inginnya dan juga sedih karena Laranya pergi tiba-tiba seperti ini.

          "Lara. Laraku. Kau tidak akan mampu bertahan di luar sana tanpaku, Sayang.Laraaaa...."

          Pikirannya berkecamuk. Sinar mata lelaki itu memancarkan keanehan. Tidak akan dia lepaskan lagi jika sudah mendapatkannya. Itu janjinya dalam hati. Karena itu, kejadian ini membuatnya terpukul.

          Apa yang akan aku lakukan jika menemukanmu, Sayang? Kau harus membayar ini. Kau sudah membuatku sengsara seperti ini karena memikirkanmu tiada henti. Kau harus mendapat hukuman atas hal ini. Lara. Lara. Lara.

          Lelaki itu terduduk di sisi teras gubuk. Bergumam tidak jelas.

          Dering ponsel terdengar dari dalam mobil. Lelaki itu memijat pelipis dan membiarkannya sejenak. Lalu, kembali terdengar deringnya. Dengan malas lelaki itu beranjak dari duduknya. Meraih ponsel itu di dashboard.

          "Assalamualaikum, Pak Radith, berkas Anda, saya titip ke sekretaris saya, saya ada jadwal ekpedisi hari ini."

          "Ooh, iya, Pak, akan saya ambil ke sana. Terima kasih, Pak."

          "Iya, Pak Radith, sama-sama. Anda juga telah banyak membantu saya. Assalamualaikum."

          Lelaki itu melempar ponselnya ke jok belakang. Lalu dengan sigap memutar kunci dan perseneling. Dia harus segera menemukan wanita itu.Dia tidak akan bisa hidup tanpa Lara dan tidak akan pergi tanpanya.

 

 

 

====> bersambung

 

 

 

 

Gimana?

 

Terkadang cerita ber-genre thriller cukup menyebalkan untuk disimak ya. Apalagi jika tersadur di dalam sebuah film yang banyak menuangkan unsur gore-gore. Selain memicu adrenalin, jantung yang ikutan sport pun membuat dada berdebar-debar. Pikiran juga jadi geram.

 

Setelah membaca sampai ke bab 2, kesimpulan apa yang didapat dari tulisan ini? Aku berharap saran dan kritik kalian ya, manteman. Sejujurnya, masih banyak kekurangan di dalam tulisanku.

 

Oke lah!

 

Terima kasih ya, udah mampir di mari dan menyimak tulisanku kali ini. Semoga kisah ini pun dapat dinikmati dan membuat kita semua selalu melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang.

 

Wassalamualaikum!

Minggu, 20 Maret 2022

RUMAH TERKUTUK

 

Assalamualaikum. Jumpa lagi kita di sini. Di kisah lain dalam tulisan bercerita.

 

Kali ini tentang kisah apa ya?

 

Hmmm?

 

Kalau gitu, saat event di KM Aksara bertema horor aja dah. Aku lupa bulan apa, tapi event ini kuikuti tahun lalu, 2021. Aku kira menulis dengan ide “TERSERAH”. Ternyata sudah dikasih oleh juri untuk memilih di antara tiga skenario untuk dikembangkan menjadi sebuah cerita pendek.

Ini tiga skenario:

1.Aku berada di sebuah rumah kosong. Tanpa ingat apa yang terjadi. Hanya saja tanganku memegang sebuah gergaji mesin yang berlumuran darah. Disekelilingku terbujur mayat-mayat bergelimpangan dan tak lagi utuh.

2. Aku bermain petak umpet. Kenapa mereka tidak juga menemukanku. Dan saat aku hendak keluar dari tempat persembunyiaanku, mendadak aku berada di tempat yang berbeda.

3. Aku membeli sebuah boneka di toko barang bekas. Anehnya, hampir setiap malam aku mendengar suara langkah kaki dan orang yang sedang bersenandung.

 

Pilihan ini gak begitu sulit. Mengembangkan isinya yang lumayan sulit. Awalnya banyak ide di kepala tentang skenario nomor 1. Namun, entah kenapa akhirnya malah nyasar ke skenario 3.

 

Alhamdulillah, walaupun aku gak begitu puas dengan isi tulisan ini, tapi masuk pula sebagai kontribusi tulisan terpilih. Aku mengusung judul RUMAH TERKUTUK di buku antalogi MELODI KEGELEPAN.

 

Yaaah, dinikmati aja lah.

 

Yuk, kita eksekusi isinya! Apakah bisa dikatakan seram, menakutkan, atau membingungkan?

 

Cekidooot ....

 

 

 

 

RUMAH TERKUTUK

 

 

          “Di sini?”

          “Iya.”

          “Tapi nggak ada apa-apa di sini.”

          Iya. Memang tidak ada apa-apa di sini.

          Hana menyisir tanaman rumput di sekitarnya. Masih ada terlihat bekas bangunan lama.

          Semua kesalahan itu bermula dari sini dan berakhir juga di sini. Saat itu, umurnya hampir berusia dua belas tahun. Setelah menamatkan sekolah dasar, ayahnya pindah kerja dan Hana melanjutkan SMP di sana.

 

***

 

          “Bagaimana?” Samsul menatap wajah istrinya.

          Irma berjalan mengelilingi ruangan demi ruangan. “Hmm. Lumayan.”

Rumah ini tidak terlalu besar, tetapi cukup nyaman dan tampak asri dilihat dari depan. Hana, Juli dan Diki berlarian ke sana ke mari. Hana memeriksa dapur. Ada pintu bertuliskan GUDANG dan pintu di ujung yang menuju teras samping.

          Gadis itu berjalan pelan menuju pintu teras yang sedikit terbuka. Angin melambaikan tirai jendela di samping pintunya. Pintu itu bergaya zaman, setengahnya hanya berupa kaca buram yang bercorak abstrak dan tebal. Hana tidak pernah melihat jenis pintu seperti itu.

          Pintu sedikit berderit ketika Hana membuka lebih lebar. Angin menyibak rambut serta baju terusannya. Sekelebat hitam melintas dari ekor mata Hana. Seketika gadis kecil itu menoleh dan hanya mendapati jejeran pohon mahoni di halaman samping yang terkesan sunyi dan sepi. Anginnya seperti berirama.

          Di halaman belakang tampak ayah dan bundanya memandangi sekitar sambil bercakap-cakap.

          PLOK! PLOK! PLOK!

          Hana terkejut dan menoleh ke belakang.

          “Ayuk! Sudah lihat-lihatnya. Kita cari makan dulu.” Irma bertepuk tangan memanggil Hana.

          Loh? Bunda? Yang tadi di belakang ... siapa?

 

***

 

          “Cantik?”

          “Iya, cantik. Boleh saya beli, Bun?”

          Irma tersenyum, lalu menuju meja kasir dan menawar harga boneka yang dipegang putrinya.

          Hana memeluk boneka cantik pilihannya. Meskipun bukan boneka baru dan dibeli di toko barang bekas, tetapi dia suka tampilannya. Rambut bonekanya pendek sebahu dan bisa dikuncir dua. Mata hitamnya besar dengan sedikit warna putih di bagian bola mata. Bibirnya mungil dan tampak seperti senyum dikulum. Tampilan kulit bonekanya berwarna coklat tua dan sudah sedikit luntur. Bajunya kaus loreng merah biru, diikuti celana kodok. Sepatunya pun terkesan elegan serta bisa dilepas.

          Gadis itu memutuskan memberi nama Anti kepada bonekanya. Sudah seminggu Anti tidur bersama Hana. Namun, Juli selalu merengek kepada Bunda agar Hana memberikan Anti kepadanya. Kemarin, setelah pulang sekolah, selama tiga hari Hana sengaja melewati toko barang bekas itu lagi. Berharap ada Anti yang lain untuk Juli. Akan tetapi, toko itu selalu tutup.

          “Ayuk. Anti boleh tidur dengan Juli? Juli takut tidur sendiri.”

          Wajah memelas adiknya tidak dapat ditolak. “Boleh. Malam ini saja ya.”

          “Hmm.” Gadis kecil itu langsung menggendong Anti dan berlari ke kamarnya sendiri.

          Malam ini, Hana memilih mengalah dan membiarkan Anti dibawa tidur oleh Juli. Anehnya, ketika tengah malam Hana mengecek Juli di kamar, adiknya tidak ada di sana.

          Saat sarapan sebelum pergi sekolah, Hana mencoba bertanya kepada Juli.

          “Tadi malam kamu ke mana? Ayuk cariin nggak ada. Di kamar mandi juga nggak ada.”

          “Ada, kok.”

          Hana terdiam. Jelas-jelas dia memeriksa kamar itu dan tidak ada keberadaan Juli.

 

***

 

          Malam ini terasa sangat panas. Hana terpaksa membiarkan pintu kamar terbuka. Dari ranjang tidurnya jelas terlihat ruang tengah dengan kursi goyang yang mereka temukan di gudang.

          Sepertinya si penjual rumah tidak menceritakan apa pun kepada ayah dan bundanya tentang kursi goyang itu karena ketika kedua orang tuanya menghubungi si penjual rumah, nomor telepon itu sudah tidak terdaftar lagi.

Tanpa sengaja, Hana melihat kursi itu bergoyang. Anti duduk di sana. Tidak ada pikiran apa pun, gadis itu mendekati kursi dan menggendong Anti ke kamarnya. Mungkin Juli lupa.

          Belum lima menit matanya terpejam, udara panas membuat Hana pergi ke dapur. Rasanya tenggorokan begitu kering. Dari sana, gadis itu pergi mengecek kamar Juli yang bersebelahan dengan kamarnya. Kaget bercampur heran ketika Hana melihat adiknya dari balik selimut yang menggigil kedinginan di samping Anti.

          Anti?

          Wajah Hana menegang.

 

***

 

          Sudah dua hari Anti tersimpan rapi di dalam lemari kaca di ruang tamu. Berharap Juli tidak menemukannya. Sejak itu pula kondisi kesehatan Juli semakin menurun. Adiknya jadi malas pergi ke sekolah. Begitu juga dengan ayahnya yang semakin jarang ke kantor dan Bunda selalu tampak lesu. Hanya ingin tidur dan tidur.

          Hana pun tidak berani tidur sendiri. Gadis itu memilih tidur di kamar Juli yang berhadapan dengan kamar orang tua mereka. Namun, bukan rasa nyaman yang dialami Hana, setiap malam dia mendengar langkah sepatu yang berdecit dari ruang tengah sambil bersenandung entah lagu apa. Belum lagi suara orang bercakap-cakap dan suara tawa anak kecil.

          Anak kecil?

          Hana langsung duduk tegak. Suara tawa itu seperti suara Diki. Gadis itu segera turun dari ranjang dan terkejut melihat Juli tidak ada di sana.

         Kakinya langsung berlari menuju pintu ke luar dan menyisir ruang tengah yang temaram. Tidak ada siapa pun atau apa pun di sana. Akan tetapi, suara orang bercakap-cakap masih terus terdengar. Hana mencari asal suara. Gadis itu pun menuju ke dapur.

          Suara jeritan Hana tertahan. Gadis itu berdiri mematung di tempatnya. Ada bayangan seseorang yang berdiri di pintu kaca. Hanya diam tidak bergerak.   Hana berjalan melipir di sisi tembok dapur untuk sampai ke asal suara. Ada cahaya dari dalam gudang dan pintunya pun terbuka. Gudang itu agak sedikit ke bawah, lalu dengan pelan gadis itu menuruni tangga.

          “Juli? Lah? Diki, kok, di sini juga?” Boneka itu? Kenapa ada di sini? Posisinya sedang membelakangi Hana. Mereka bertiga duduk di depan cahaya lilin.

          Juli menengadah, lalu tersenyum. “Ayuk! Sini main dengan kita.”

          Kita?

          Saat itu, Anti memutar kepalanya seratus delapan puluh derajat dan menyeringai ke arah Hana. Ayuk! Sini main dengan kita.

 

***

 

         Hana tertegun begitu kakinya sampai di dalam rumah. Semua pintu dan jendela tertutup. Tidak ada sirkulasi udara. Setelah meletakkan tas sekolahnya, dia berjalan menuju kamar Bunda. Aroma busuk langsung menyeruak ketika pintu terbuka.

          “Bunda?” Hana menyibak sedikit selimut di ranjang. Pupil matanya membesar. Napasnya pun tertahan.

          “Hmm?”

          Urung niatnya ingin mengatakan sesuatu. Bau busuk itu dari balik selimut yang ada tubuh Samsul, Diki dan Irma. Namun, mereka bertiga masih bernapas.

          “Rumah ini auranya sangat buruk.”

          Gadis itu terkejut ketika seorang nenek-nenek bungkuk sudah berdiri di sampingnya.

          “Maksud nenek?”

          Si nenek menatap Hana iba. “Sebaiknya kalian segera pindah dari sana.”

          Hana hanya membisu menatap punggung si nenek yang semakin menjauh.

          “Bunda, Ayah! Ayok, kita keluar dari rumah ini!” Hana berusaha membangunkan orang tuanya setelah mengingat kejadian tadi.

          Tidak ada respon dari mereka, gadis itu pun berlari menuju kamar Juli. Adiknya tidak di sana. Kemudian, dia berlari menuju gudang. Juli sedang duduk sendiri menghadap lilin. Hana mengguncang-guncang tubuh adiknya yang tampak pucat itu.

          “Juli! Ayok, ikut Ayuk. Kita keluar dari sini.”

          Mata Juli yang kosong menatap kakaknya tanpa ekspresi. “Kita nggak bisa ke mana-mana, Yuk. Anti meminta kita menemaninya.”

          Tiba-tiba dari pintu gudang terdengar suara bersenandung dan decit sepatu. Anti turun perlahan. Hana menarik tubuh adiknya bersembunyi dibalik lemari tua.

          Anti menyisir ruangan, lalu duduk menghadap lilin. Hana tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Sekop yang ada di sampingnya langsung dia arahkan ke kepala boneka itu. Jantungnya semakin bergemuruh. Benda itu diayunkannya dengan sekuat tenaga. Namun, tiba-tiba, kepala Anti menengadah menatapnya.

          Ketahuan!

          Hana langsung menghantam kepala Anti hingga tubuh boneka itu menjatuhkan lilin yang membakar rambutnya.

          Aaargh!

          Api mulai membara dan semakin melebar karena banyaknya barang-barang tua yang mudah terbakar di dalam gudang. Hana menarik tubuh Juli untuk ke luar dari sana. Jatuh bangun mereka menapaki tangga batu itu. Api mulai menghabiskan atap gudang dan dapur juga ruang tengah. Asap semakin mengaburkan pandangan.

          Hana terbatuk-batuk dan kembali membangunkan Diki juga orang tuanya. Namun, terlambat, mereka sudah terlanjur dilalap api. Hana dan Juli berlari menuju pintu ke luar dari ruang tamu. Sayang, mereka kesulitan membukanya. Entah mengapa, Hana menoleh ke arah lemari kaca tempatnya menyimpan Anti. Tepat saat itu, dari balik asap, Anti sedang berdiri dan melompat ke arah Juli, menarik rambutnya hingga gadis kecil itu terpelanting ke belakang.

          “Ayuuuk!!”

          Hana menarik kaki Juli. Gadis kecil itu menjerit menahan sakit karena tarikan di rambutnya. Tanpa pikir panjang, Hana pun menarik rambut Anti dan mencucuk mata boneka itu dengan kunci yang dia cabut.

          Aaargh!!

          Sedetik kemudian, platform jatuh menimpa Anti dan pintu terbuka lebar. Beberapa orang menarik ke luar tubuh Hana dan Juli sebelum platform lain jatuh menimpa mereka.

          Tidak ada satu orang warga pun yang bersuara. Hanya terdengar bara api dan hembusan angin sunyi.

 

 

Gimana?

 

Apakah sedikit terhibur dengan cerita horor? Menakutkan atau biasa saja?

 

Sesuai judulnya, RUMAH TERKUTUK. Menceritakan tentang rumah tua yang telah lama kosong dan terbengkalai. Sebenarnya boneka itu salah satu peninggalan rumah tua yang sedang mencari tuannya. Hadirnya di toko barang bekas karena adanya kemampuan aneh yang ada dalam tubuh boneka itu untuk mencari tuan baru. Di sini gak sempat kuceritakan secara detail karena keterbatasan kata untuk lolos dalam event. Jadi, aku hanya bercerita tentang keluarga yang telah salah memilih untuk tinggal di sana.

 

Yaah! Begitulah ceritanya. Ngeri juga, sih, kalau ada di kehidupan nyata.

 

Terima kasih ya, udah mampir di mari dan menyimak tulisanku kali ini. Semoga kisah ini pun dapat dinikmati dan membuat kita semua selalu melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang.

 

Wassalamualaikum!

(FLASHBACK) DARI TANAH TANDUS

  Blurb: “Kak Ineee. Kepala Rubi pusing, Kak.” “Bertahanlah, Rubi! Bukan sekarang saatnya!” Ine dan Rubi, dua gadis kecil yang ter...