Kamis, 24 Desember 2020

Desember Kali Ini

Bukan Desember Biasa

Ada kutipan yang pernah kubaca dari M. Aan Mansyur,

masa lalu tidak pernah hilang,

ia ada tetapi tidak tahu jalan pulang,

untuk itu ia menitipkan surat,

kadang kepada sesuatu yang tidak kita duga,

kita menyebutnya kenangan.

 

Tidak ada yang spesial sebenarnya di bulan Desember, hampir sama seperti bulan yang lain. Mungkin hanya kebetulan saja Allah kasih banyak hal di bulan desember ini. Ternyata sudah jauh juga aku melangkah. Sudah empat puluh lima tahun berlalu ketika seorang ibu yang tidak mengerti apa-apa melahirkanku. Pasti berat sekali baginya melahirkan dan membesarkanku, karena aku pun sekarang seorang ibu. Dan sungguh, aku sungguh-sungguh rindu padanya. Semoga Allah melapangkan kubur dan menerima segala amal ibadah beliau. Aamiin aamiin aamiin ya Rabbal'alamiin. 😭

 

Menjalani takdir Allah yang dirasa berat atau tidak enak bagi jiwa juga membutuhkan kesabaran. Ada empat cara orang menyikapi ujian atau musibah dari Allah.

 

Ada orang yang jika mendapatkan ujian dari Allah, dia marah. Dia berburuk sangka pada Allah. Lisannya memprotes keadilan Allah. Dia mengamuk dan melakukan perbuatan buruk untuk menunjukkan kemarahannya atas ketetapan Allah. Naudzubillahi min dzalik.

 

Ada orang yang jika mendapat ujian dari Allah, dia bersabar. Dia tahan hati, lisan dan perbuatannya dari hal-hal yang Allah benci.

 

Ada juga orang yang ketika diberi musibah dari Allah, dia ridha menerimanya. Dia sikapi ketetapan Allah seakan-akan itu bukan sebuah musibah.

 

Ada juga orang yang menerima ujian dari Allah dengan bersyukur. Dia ikuti petunjuk Nabi shallallahu'alaihi wa sallam, manakala mendapati sesuatu yang tidak menyenangkan beliau mengucapkan : "Alhamdulillah 'ala kulli haal" Segala puji bagi Allah pada setiap keadaan.

 

Sabar itu sungguh tidak mudah. Namun, jika kita dapat melakukannya, kita punya peluang mendapat pahala dari Allah tanpa batas. Allah berjanji : "Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas." (QS. Az-Zumar : 10)

 

Begitulah hidup dan kehidupan. Perjalanan waktu yang kemungkinan banyak menghabiskan dosa dan penyesalan. Beruntung bagi mereka yang melewati masa kanak-kanak dengan aman. Karena proses pembentukkan indentitas dirinya ketika remaja cenderung positif. Aku pernah kanak-kanak dan remaja. Kini anak-anakku telah melewati masa kanak-kanak dan menjalani masa remajanya.

 

Kuncinya ada pada pemahaman dan penghayatan terhadap diri. Sejak belia seorang anak sudah distimulasi, dikondisikan, dicontohkan dan dibimbing untuk aware terhadap dirinya. Jika keluarga menanamkan nilai pada anak sejak dini tentang siapa dia, untuk apa dia dilahirkan di dunia ini, ke mana tujuan akhirnya, juga diberi role model yang baik dalam adab untuk diteladani, insya Allah, mestinya proses pembentukkan identitas dirinya menjadi lebih mudah. Allahu'alam.

 

Dalam hidupnya, manusia pasti pernah mengalami kegagalan, pernah berada di titik terendah kehidupannya, kecewa, sedih dan hancur. Apa pun itu. Bahkan aku pun pernah mengalaminya. Pikiran-pikiran buruk sering menguasaiku. Wajar! Karena memang Allah menciptakan semua rasa itu agar kita bisa kembali pulang dan berbelas kasih pada-Nya. Allah masih sayang padaku. Dia tidak pernah jauh, aku yang selama ini menjauh.

 

Tidak ada yang namanya tersesat, yang ada hanya salah pilih partner perjalanan. Tidak ada yang namanya salah jalan, yang ada hanya salah dalam memilih tujuan. Jika yang kita nikmati hasil, maka kita akan kecewa sebelum memulai. Bila proses yang kita nikmati, maka keseluruhan perjalanan adalah kebahagiaan.

 

Orang gagal bukan karena tak bisa, tapi tak mau. Karena bila sudah tak mau, ribuan alasan akan dikarang, jutaan dukungan justru mengekang. Begitu juga dengan rasa dan perasaan. Kelak pada saatnya, akan ada seseorang yang sangat bangga telah memilikimu. Cinta bukan melepaskan tapi merelakan, bukan memaksa tapi memperjuangkan, bukan menyerah tapi mengikhlaskan, bukan merantai tapi memberi sayap, dan sudah seharusnya cinta itu saling menerima kekurangan.

Aku pernah memandangi seseorang dengan penuh rasa ingin memiliki. Bagiku, apa pun yang ada padanya adalah hal yang mampu membuat diri ini merasa tercukupi. Aku juga pernah menggenggam seseorang dengan begitu erat. Bagiku, apa pun yang menyakitinya adalah semua hal yang juga dapat menyakitiku.

 

Namun, mencintai itu takdir. Kita tidak dapat merencanakan akan jatuh cinta untuk siapa. Allah yang punya rencana. Segala sesuatu berawal dari niat. Kita akan bertemu dengan apa yang kita cari. Bila kita cari keburukan, maka kita akan mendapatkan keburukan. Bila sebaliknya, kita mencari kebaikan, maka kebaikan pula yang kita dapatkan. Seperti hati yang telah diniatkan dengan baik, insyaa Allah yang datang pun tetap yang baik.

 

Baik atau buruk, kita tetap bisa belajar dari semua orang. Lalu, pernahkan kita merasa kesulitan menyebutkan kebaikan orang tua? Bukan karena minim atau tiadanya kebaikan mereka. Justru karena terlalu banyak yang menyesaki kepala sehingga malah sulit mengungkapkannya. Walhasil, hanya sanggup menyatakan kesimpulan globalnya saja, yaitu kebaikan mereka tak terhingga.

 

Sebut saja satu pengorbanan ibu kepada kita, melahirkan. Kata melahirkan sesungguhnya tak pernah benar-benar mampu memberikan gambaran besarnya pengorbanan. Sebab, kata melahirkan hanyalah ringkasan sebuah proses perjuangan mati-matian.

 

Sangat mungkin kata itu tak memberi kesan apa-apa bagi mereka yang tak pernah secara langsung menyaksikan atau ikut mendampingi proses melahirkan. Andai kita menghayati bagaimana perjuangan seorang ibu yang melahirkan, mungkin dari situ akan muncul lebih besar rasa cinta dan penghargaan. Seharusnya....

 

Kemudian, sebut saja bagaimana pengorbanan seorang bapak kepada kita untuk bisa memberi nafkah. Macam-macam sepak terjang seorang bapak saat bekerja di luar rumah. Ada kalanya seorang bapak mendapat pekerjaan yang enak dan mudah. Namun, banyak pula di antara mereka yang mesti menjalani posisi di bawah yang harus siap menerima perintah. Bahkan, tak jarang mesti tabah menerima muntahan caci dan sumpah serapah. Semua itu beliau tahan, demi memenuhi hak anak dan istri di rumah.

 

Rasanya memang akan terlalu banyak jika harus menyebutkan satu per satu kebaikan orang tua. Kesimpulan yang paling mudah dengan mengatakan : "kebaikan mereka tak terhingga." kita katakan itu dengan penghayatan yang sebenar-benarnya. Mudah-mudahan, setelah itu, tumbuh semakin besar bakti kita kepada orang tua dan semakin ringan lisan kita mendoakan kebaikan bagi keduanya.

 

Lalu, aku pun kadang sering melamun dan termangu. Membias kilas balik dosa dan kesalahan yang dulu sering kubuat. Tak seorang pun tahu kapan ajal tiba. Umumnya, orang cenderung menganggap saat itu masih lama. Apalagi ketika dia masih muda. Seakan dia menyangka maut pasti datang menurut kronologis usia.

 

Iya. Tak seorang pun tahu kapan ajal tiba. Namun, yang pasti, hal itu semakin dekat seiring bertambahnya usia. Sebab, perputaran hari dan pergantian tahun hakekatnya adalah isyarat bahwa umur kian menipis quotanya.

 

Namun, anehnya, sebagian orang saat ini justru bergembira dengan merayakan berkurangnya jatah usia mereka. Padahal, orang shalih dahulu kala, manakala penghujung hari tiba, mereka selalu teringat dosa dan merasa betapa minim bekal mereka untuk menghadap Allah Ta'ala. Di antara mereka ada yang setiap menjelang tidur pun sibuk menghitung-hitung amal dan dosanya.

 

Amirul Mukminin Umar bin Khattab radhiyallahu'anhu berkata, "Hendaknya kalian menghisab diri kalian sebelum kalian dihisab, dan hendaklah kalian menimbang diri kalian sebelum kalian ditimbang, dan bersiap-siaplah untuk hari besar ditampakkannya amal."

 

Tak seorang pun tahu kapan ajal tiba. Hal itu bisa datang kapan saja. Semoga kita tidak lalai darinya. Termasuk aku.

 

 

Reminder me 😢

* diinspirasi oleh tulisan seseorang yang sangat kukagumi kerendahan hatinya dan sedikit kajian dari Ustad Felix Siau, semoga Allah Ta'ala selalu melindungi kita semua. Aamiin ya Rabbal'alamin.

Sabtu, 05 Desember 2020

Maaf, Suamiku!

 

Maksud hati minta maafnya pas lebaran aja. Eeeee, belum sempet lebaran malah lebar-an. Kagak nyambung yaa. 😂

Minta maaf juga kagak mesti nunggu lebaran ya, 'kan. Tapi kalau setiap hari minta maaf juga mau muntah dengarnya. 😂😲

Kapan saja saat yang tepat untuk minta maaf? Hmm? Hmm? Hmm? Aish! Egepe la! Langsung sazalah kita ke cerita, yuk. Malas banget bahas-bahas yang kagak perlu dibahas.

 

***

 

Seisi ruangan bergemuruh hebat. Ranjang, meja toilet, kursi, lemari, buffet bahkan aku sendiri pun merasakan amarahnya yang luar biasa. Namun, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku terus meringkuk di sisi bawah ranjang sambil menutup telinga. Berharap pagi segera menyelimuti. Aku terus menangis. Tidak ingin menyesal atas perbuatan yang kulakukan.

 

***

 

Ini terjadi seminggu yang lalu, ketika aku bertemu dengan Ratih, kawan sebaya dari kampung yang sama. Perawakannya sangat berubah total, baik dari bentuk tubuh dan segala onderdil yang dia kenakan. Padahal kami sama-sama janda. Aku janda beranak dua, sedangkan Ratih janda beranak tiga. Ratih ditinggal pergi suami, sedangkan aku ditinggal mati suami.

 

Singkat cerita, setelah Ratih ditinggal suaminya, dia perlahan bangkit dari keterpurukkan dan membuka toko baju muslimah, sama sepertiku. Namun, bisnis tersebut tidak berjalan lancar dan tiba-tiba saja Ratih bertemu dengan teman kuliahnya dulu, Dini. Dini menawarkan hal yang tak terduga bagi Ratih. Akan tetapi, hal yang tak terduga itulah yang membuatnya seperti sekarang ini. Ratih tahu kondisiku, dia datang berkunjung dan menawarkan seperti yang dulu Dini tawarkan.

 

Malamnya aku gelisah. Bingung untuk keputusan yang akan kuambil besok. Ya, besok Ratih datang lagi dan mengantarku ke tempat yang bisa membuat hidupku berubah seratus delapan puluh derajat. Begitu kata Ratih semalam. Apalagi Ratih datang jauh-jauh demi untuk perubahanku. Mengingat anak-anakku masih di sekolah menengah, masih sangat butuh biaya. Terlebih lagi penghasilan toko sekarang sedang tidak memadai, membuat aku galau tingkat dewa.

 

***

 

Akhirnya setelah lima hari bersemedi menenangkan pikiran dan hati, di sinilah aku, duduk manis di samping Pak Kusir, eh, bukan, di samping Ratih yang sedang mengemudi, menelusuri jalan-jalan berkelok yang semakin jauh menuju bukit dan lembah. Melihat perjalanan yang sedang ditempuh ini sempat membuat nyaliku ciut dan ada rasa ingin pulang. Namun, Ratih melihat kecemasan yang kurasakan. Dia menggenggam tanganku dan tersenyum.

"Semua akan baik-baik saja. Aku juga dulu begitu."

Aku tersenyum, aah, lebih tepatnya meringis. Miris.

Setelah hampir tujuh jam menikmati pemandangan jalan yang berliku, akhirnya kami sampai di sebuah rumah asri. Ternyata tidak berhenti sampai di situ, kami masih harus berjalan kaki lagi melewati samping rumah menuju lembah di belakangnya. Asal tahu saja, aku mulai merinding. Pepohonan yang rimbun membuat bulu kuduk berdiri dan kakiku bergetar hebat. Belum lagi saat kami memasuki sebuah gua. Jantungku berdesir. Aku sempat berhenti sejenak di depan gua. Ratih memeluk dan mulai menuntunku memasukinya.

Tidak sampai lima belas menit, aku sudah duduk di sini, di depan juru kunci dan saksi sambil menatap calon suami yang sedang mengucap ijab kabul dan segala janji.

Jantungku berdebar tidak karuan ketika tangannya menyentuh tanganku dan bibirnya mengecup kening ini usai ijab kabul. Sebelum pergi, dia berbisik di telingaku. "Tunggu aku dua hari lagi."

Makjang! 😭

 

***

 

Di hari yang dijanjikan, aku melakukan yang diperintahkan oleh juru kunci, tepat tengah malam, pintu rumah jangan dikunci, di atas ranjang taburi kelopak mawar merah, kalau bisa ada meja di samping ranjang dan letakkan di atasnya baki kosong yang terbuat dari kuningan. Sunnah mandi bersih dan lumuri badan dengan wangi-wangian. Sedikit saran dari Ratih, berpakaianlah seseksi mungkin. Jantungku berdebar hebat.

Hari ini, anak-anak kuminta menginap di rumah neneknya. Aku tidak ingin mereka tahu yang sedang kukerjakan. Pikirku, nanti saja kuberitahu setelah semua selesai. Semudah itu? Entahlah. Aku mulai kikuk dengan mini dress sexy ini. Telapak tanganku mulai berkeringat. Aku berjalan ke sana ke mari untuk menghilangkan rasa gugup di hati. Aku merasa perbuatanku sudah menyalah.

Detik-detik terakhir ketika suamiku tiba, aku berlari menuju pintu dan menguncinya. Kengerian dan ketakutan menguasaiku. Tadi sore Ratih menghubungiku untuk menanyakan kesiapanku. Ratih katakan, nanti saat suami ghaibku tiba dan meminta 'jatah', dia datang dalam wujud aslinya.

 

***

 

Aku tersadar dari lamunan, menangis dan meringkuk di balik pintu. Suara itu berat dan menggema, marah. Aku masih menutup telinga. Sudah malam ke tiga dan aku tidak pernah sekali pun membuka kunci pintunya. Telepon dan kedatangan Ratih pun tidak kugubris. Aku benar-benar membuat diri ini nelangsa.

Ini bukan mencari nafkah dengan cara yang halal. Ini salah. Aku terlalu takut memberikan tubuhku untuk dicumbui oleh 'suami ghaib' ini. Bila kuturuti, baki kuningan itu akan berisi uang keperluan belanja dan segala yang kubutuhkan. Memang seperti itulah seorang suami memberikan nafkah kepada istrinya. Tetapi ini berbeda dan aku merasa ini bukan jalannya.

"Buka pintunya, sayaaang."

Suara beratnya kembali terdengar. Ruangan kembali bergetar setiap tidak ada respon yang kuberikan.

"Bukaaa...."

Aku terus menutup telinga. Berharap suara itu pergi dan pagi datang menjelang. Namun, suara itu tidak pergi, dan pagi masih juga lama berganti.

 

View by: Pinterest

(FLASHBACK) DARI TANAH TANDUS

  Blurb: “Kak Ineee. Kepala Rubi pusing, Kak.” “Bertahanlah, Rubi! Bukan sekarang saatnya!” Ine dan Rubi, dua gadis kecil yang ter...