Kamis, 22 Juli 2021

RARA ANDINI & CERMIN AJAIB

            Ini adalah karya solo pertama seorang sahabatku yang sama-sama melakoni dunia literasi. Kami berjuang di genre masing-masing. Semoga aku juga akan menyusulnya menerbitkan buku solo ya. 😄

 

            Jadi, aku tulis di sini salah satu cerita yang ada di buku.

 

RAHASIA SANG PUTRI RAJA (Bagian 1)

 

        Malam mulai merayap turun. Hanya suara jangkrik dan kodok yang terdengar bersahutan. Diterangi cahaya sang rembulan, Utari mendekap erat bayi mungil dalam gendongannya. Kakinya melangkah secepat mungkin. Melompati pematang, menerobos belukar, menyeberangi sungai kecil. Terkadang kerikil dan semak berduri menggores telapak kaki. Akan tetapi gadis itu tidak peduli.

 

            Di depan sana mulai tampak kelap-kelip pelita dari rumah-rumah penduduk. Utari kian bergegas. Sesekali dipandanginya bayi merah yang masih saja terlelap. Bayi yang cantik, dengan rambut ikal dan tahi lalat menghias ujung hidungnya. Tak terasa, setetes air mata Utari jatuh di pipi sang bayi. Buru-buru Utari bersenandung agar bayi itu tidak terbangun.

 

“Tak lela, lela lela ledung (Tak lela, lela lela ledung)

Cup menenga aja pijer nangis ( cup diamlah jangan menangis terus)

Anakku sing ayu rupane (Anakku yang cantik rupanya)

Yen nangis  ndak ilang ayune ( kalau nangis nanti hilang cantiknya)”

 

            Tiba di sebuah rumah, Utari mengetuk pintu. Cepat, cepat! Buka pintunya! Ia memohon dalam hati. Tidak berapa lama, terdengar derit pintu terbuka. Seorang perempuan bertubuh gemuk berdiri dengan mata setengah terpejam karena mengantuk.

 

            Tanpa banyak cakap, Utari menyodorkan sang bayi. Tentu saja Nyi Tambir, nama perempuan itu, gelagapan. Kantuknya hilang seketika.

 

            “E … lhadalah! A – apa ini? Siapa kamu?” tanya Nyi Tambir bingung. Di hadapannya, berdiri seorang gadis dengan napas terengah-engah.  Wajahnya setengah tertutup oleh kain selendang.

 

            Namun, Utari  tidak punya banyak waktu. “Nyi, tolong rawat bayi ini baik-baik. Namanya Rara Sekar. Kelak aku akan menyusulnya jika waktunya tiba,” pinta Utari. Lalu tanpa  berkata-kata lagi, ia mencium pipi sang bayi dan bergegas pergi. Dalam sekejap, bayangannya menghilang ditelan gelapnya malam.

 

            Tinggal Nyi Tambir yang masih terbengong-bengong sendiri dengan si bayi mungil dalam gendongannya. Apa yang terjadi barusan, tanyanya dalam hati. Siapa gadis itu, dan siapa pula bayi ini?

 

            “Bune, siapa itu yang datang?” suara Ki Tambir menyadarkan istrinya.

 

            “Ha? Aduh, entahlah Pakne,” jawab Nyi Tambir kebingungan. Ia memperlihatkan bayi itu kepada suaminya.

 

            “Lho, lho, lho. Bayi siapa ini,  Bune?” Ki Tambir bergantian memandangi Nyi Tambir dan bayi yang berada dalam gendongan.

 

            “Aku juga tidak tahu, Pakne. Barusan ada seorang gadis yang memberikan bayi ini.”

 

            Tepat saat itu sang bayi terbangun dari tidur. Ia menatap Ki Tambir dan Nyi Tambir dengan bola matanya yang bulat dan jernih. Seketika, suami istri itu jatuh iba.

 

            “Aaah! Lucu sekali, ‘kan, Pakne? Mulai sekarang, aku akan merawatnya. Karena bayi ini mungil, cantik,  menik-menik, jadi akan kuberi nama Menik.”

 

            O-ow! Nyi Tambir rupanya tidak mendengar pesan Utari, bahwa nama bayi itu adalah Rara Sekar!

 

            Menik alias Rara Sekar kemudian diasuh dan dibesarkan oleh  kedua suami istri itu. Ki Tambir dan Nyi Tambir sangat menyayangi Menik. Apalagi sudah bertahun-tahun mereka mendambakan kehadiran anak. 

 

            Bulan berganti, tahun pun berlalu. Menik tumbuh menjadi seorang anak perempuan yang cantik, pintar, dan baik budi. Ia juga anak yang rajin. Setiap hari ia membantu pekerjaan Nyi Tambir membuat jamu. Tugas Menik adalah memarut dan memeras kunyit. Perasan kunyit itu kemudian direbus oleh Nyi Tambir bersama campuran gula jawa dan asam jawa. Jadilah jamu kunyit asam yang segar. Setelah siap, Nyi Tambir akan menggendong botol-botol jamu dalam keranjang bambu dan menjajakan keliling kampung.

 

            Sementara itu, di istana kerajaan Giri Saloka, Rara Wulan tengah bermuram durja. Meskipun bola matanya memandang ke taman istana yang asri, tetapi pikirannya melayang jauh ke masa lalu. Tujuh  tahun sudah sejak ia menyuruh Utari membawa pergi adiknya - Rara Sekar. Setiap hari, Rara Wulan sangat merindukan Rara Sekar. Ingin rasanya  berjumpa dengan adiknya itu. Seperti apakah dia sekarang? Pasti sudah besar dan cantik, terka Rara Wulan.

 

            Lamunan Rara Wulan mendadak buyar saat dikagetkan oleh seekor merpati yang  hinggap di pinggir jendela.

            Aku harus melakukan sesuatu, bisiknya dalam hati.

 

(BERSAMBUNG)

 

Gimana? Seru ya! Jadi, tunggu apa lagi? Pesen sekarang ya. 🙌 

Minggu, 11 Juli 2021

Dalam Damai Kita Bertemu Bahagia


Konteks BAHAGIA tiap orang berbeda-beda. Bisa jadi bahagia itu sebenarnya persoalan yang sederhana. Tapi kita yang terlanjur membuatnya tampak rumit dan sulit mendapatkannya.

 

Bisa jadi bahagia itu sebenarnya pun hanya soal di mana kita letakkan standar ukuran. Di gantungan yang wajar atau malah melangit di atas awan.

 

Beberapa ada yang cukup berdua saja dengan pasangannya sudah bahagia. Walau makan cuma tempe dan garam.

 

Beberapa lagi memiliki rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah pun sudah bahagia, apalagi ditambah anak-anak yang sholeh dan sholeha, lengkaplah kehidupannya, walau hidupnya sederhana cenderung miskin papa.

 

Namun, banyak juga di antara orang yang bahagia jika memamerkan kekayaan dan menghambur-hamburkannya. Semua tunduk dan menyanjungnya bak raja sejagad raya.

 

Ada juga orang yang bisa bahagia hanya dengan jalan-jalan atau traveling keliling dunia. Rasa hati bagai burung yang terbang tinggi. Bisa ke sana ke mari.

 

Dan, ada juga yang sangat bahagia jika makan apa saja tapi tidak bikin kurus bentuk tubuhnya.

 

Hmmm? Kalau yang ini agak beda ya konteks harfiah bahagianya. Semua orang sepertinya ingin begitu, sih. 😅

 

Bahagia bagiku dan sedang kujalani saat ini adalah bersyukur atas apapun yang selalu datang padaku, ikhlas dan pasrah di setiap hal.

 

Awalnya sungguh berat. Kadang ketemu luka, duka, nestapa. Tapi itu karena pikiran dan hati kita cita-citanya dunia, begitu kata Aa Gym. Walau miris, namun, ada benarnya juga.

 

Semakin tinggi syarat bahagia, semakin kita butuh lebih banyak anak tangga untuk meraihnya. Tenaga dan perhatian terkuras olehnya hanya karena dibuat sibuk dengan urusan menambah anak tangga. Sedangkan bahagia yang diharapkan ternyata masih jauh di depan mata.

 

Padahal, untuk menggapai bahagia, Allah tidak syaratkan sesuatu yang memberatkan. Allah katakan : "Sungguh jika kalian bersyukur, Kami (Allah) benar-benar akan menambah nikmat kalian."

 

Alhamdulillah 'ala kulli hal, bersyukur pada setiap keadaan. Sebab, setiap saat karunia Allah senantiasa tercurahkan. Hanya saja, kita yang luput memperhatikan, akibat terlalu tinggi mematok syarat kebahagiaan.

 

Minggu lalu, kebahagiaan pun menaungi wajah-wajah kami. Allah kasih waktu, tenaga, uang, bahkan kesehatan untuk kesempatan kami bersilaturahmi. Yang kami rasa saat seperti ini belum tentu akan datang lagi.

 

Tidak perlu ke luar negeri. Tidak perlu uang berlebih. Tidak perlu makanan mewah yang tersaji. Tidak perlu pamer segala macam, begono begini. Cukup seperti ini. Menikmati waktu dan menjaga ukhuwah antara keluarga sampai ke anak cucu nanti.

 

Sebenarnya menggapai rasa bahagia itu ternyata sangatlah mudah. Syukur, ikhlas, pasrah. Seperti kata-kata di lagu Pak Ebiet G. Ade, "...bila kita pasrah tumbuh rasa damai, dalam damai kita ketemu bahagia..."

 

Semakin kita menghayati karunia Allah Ta'ala,  semakin hati kita dipenuhi semerbak bunga-bunga bahagia.


(FLASHBACK) DARI TANAH TANDUS

  Blurb: “Kak Ineee. Kepala Rubi pusing, Kak.” “Bertahanlah, Rubi! Bukan sekarang saatnya!” Ine dan Rubi, dua gadis kecil yang ter...