Ini
adalah karya solo pertama seorang sahabatku yang sama-sama melakoni dunia
literasi. Kami berjuang di genre masing-masing. Semoga aku juga akan
menyusulnya menerbitkan buku solo ya. 😄
Jadi,
aku tulis di sini salah satu cerita yang ada di buku.
RAHASIA
SANG PUTRI RAJA (Bagian 1)
Malam mulai merayap turun. Hanya suara jangkrik dan kodok yang terdengar
bersahutan. Diterangi cahaya sang rembulan, Utari mendekap erat bayi mungil
dalam gendongannya. Kakinya melangkah secepat mungkin. Melompati pematang,
menerobos belukar, menyeberangi sungai kecil. Terkadang kerikil dan semak
berduri menggores telapak kaki. Akan tetapi gadis itu tidak peduli.
Di
depan sana mulai tampak kelap-kelip pelita dari rumah-rumah penduduk. Utari
kian bergegas. Sesekali dipandanginya bayi merah yang masih saja terlelap. Bayi
yang cantik, dengan rambut ikal dan tahi lalat menghias ujung hidungnya. Tak
terasa, setetes air mata Utari jatuh di pipi sang bayi. Buru-buru Utari
bersenandung agar bayi itu tidak terbangun.
“Tak
lela, lela lela ledung (Tak lela, lela lela ledung)
Cup
menenga aja pijer nangis ( cup diamlah jangan menangis terus)
Anakku
sing ayu rupane (Anakku yang cantik rupanya)
Yen
nangis ndak ilang ayune ( kalau nangis nanti hilang cantiknya)”
Tiba
di sebuah rumah, Utari mengetuk pintu. Cepat, cepat! Buka pintunya! Ia memohon
dalam hati. Tidak berapa lama, terdengar derit pintu terbuka. Seorang perempuan
bertubuh gemuk berdiri dengan mata setengah terpejam karena mengantuk.
Tanpa
banyak cakap, Utari menyodorkan sang bayi. Tentu saja Nyi Tambir, nama
perempuan itu, gelagapan. Kantuknya hilang seketika.
“E
… lhadalah! A – apa ini? Siapa kamu?” tanya Nyi Tambir bingung. Di hadapannya,
berdiri seorang gadis dengan napas terengah-engah. Wajahnya setengah
tertutup oleh kain selendang.
Namun,
Utari tidak punya banyak waktu. “Nyi, tolong rawat bayi ini baik-baik.
Namanya Rara Sekar. Kelak aku akan menyusulnya jika waktunya tiba,” pinta
Utari. Lalu tanpa berkata-kata lagi, ia mencium pipi sang bayi dan
bergegas pergi. Dalam sekejap, bayangannya menghilang ditelan gelapnya malam.
Tinggal
Nyi Tambir yang masih terbengong-bengong sendiri dengan si bayi mungil dalam
gendongannya. Apa yang terjadi barusan, tanyanya dalam hati. Siapa gadis itu, dan
siapa pula bayi ini?
“Bune,
siapa itu yang datang?” suara Ki Tambir menyadarkan istrinya.
“Ha?
Aduh, entahlah Pakne,” jawab Nyi Tambir kebingungan. Ia memperlihatkan bayi itu
kepada suaminya.
“Lho,
lho, lho. Bayi siapa ini, Bune?” Ki Tambir bergantian memandangi Nyi
Tambir dan bayi yang berada dalam gendongan.
“Aku
juga tidak tahu, Pakne. Barusan ada seorang gadis yang memberikan bayi ini.”
Tepat
saat itu sang bayi terbangun dari tidur. Ia menatap Ki Tambir dan Nyi Tambir
dengan bola matanya yang bulat dan jernih. Seketika, suami istri itu jatuh iba.
“Aaah!
Lucu sekali, ‘kan, Pakne? Mulai sekarang, aku akan merawatnya. Karena bayi ini
mungil, cantik, menik-menik, jadi akan kuberi nama Menik.”
O-ow!
Nyi Tambir rupanya tidak mendengar pesan Utari, bahwa nama bayi itu adalah Rara
Sekar!
Menik
alias Rara Sekar kemudian diasuh dan dibesarkan oleh kedua suami istri
itu. Ki Tambir dan Nyi Tambir sangat menyayangi Menik. Apalagi sudah
bertahun-tahun mereka mendambakan kehadiran anak.
Bulan
berganti, tahun pun berlalu. Menik tumbuh menjadi seorang anak perempuan yang
cantik, pintar, dan baik budi. Ia juga anak yang rajin. Setiap hari ia membantu
pekerjaan Nyi Tambir membuat jamu. Tugas Menik adalah memarut dan memeras
kunyit. Perasan kunyit itu kemudian direbus oleh Nyi Tambir bersama campuran
gula jawa dan asam jawa. Jadilah jamu kunyit asam yang segar. Setelah siap, Nyi
Tambir akan menggendong botol-botol jamu dalam keranjang bambu dan menjajakan
keliling kampung.
Sementara
itu, di istana kerajaan Giri Saloka, Rara Wulan tengah bermuram durja. Meskipun
bola matanya memandang ke taman istana yang asri, tetapi pikirannya melayang
jauh ke masa lalu. Tujuh tahun sudah sejak ia menyuruh Utari membawa
pergi adiknya - Rara Sekar. Setiap hari, Rara Wulan sangat merindukan Rara
Sekar. Ingin rasanya berjumpa dengan adiknya itu. Seperti apakah dia
sekarang? Pasti sudah besar dan cantik, terka Rara Wulan.
Lamunan
Rara Wulan mendadak buyar saat dikagetkan oleh seekor merpati yang
hinggap di pinggir jendela.
Aku
harus melakukan sesuatu, bisiknya dalam hati.
(BERSAMBUNG)
Gimana? Seru ya! Jadi, tunggu apa lagi? Pesen sekarang ya. 🙌