Konteks BAHAGIA tiap orang
berbeda-beda. Bisa jadi bahagia itu sebenarnya persoalan yang
sederhana. Tapi kita yang terlanjur membuatnya tampak rumit dan sulit
mendapatkannya.
Bisa
jadi bahagia itu sebenarnya pun hanya soal di mana kita letakkan standar
ukuran. Di gantungan yang wajar atau malah melangit di atas awan.
Beberapa ada yang cukup berdua saja
dengan pasangannya sudah bahagia. Walau makan cuma tempe dan
garam.
Beberapa lagi memiliki rumah tangga
yang sakinah mawaddah warahmah pun sudah bahagia, apalagi ditambah anak-anak
yang sholeh dan sholeha, lengkaplah kehidupannya, walau
hidupnya sederhana cenderung miskin papa.
Namun,
banyak juga di antara orang yang bahagia jika memamerkan kekayaan dan
menghambur-hamburkannya. Semua tunduk dan menyanjungnya bak raja sejagad raya.
Ada
juga orang yang bisa bahagia hanya dengan jalan-jalan atau traveling
keliling dunia. Rasa hati bagai burung yang terbang tinggi. Bisa ke sana ke
mari.
Dan,
ada juga yang sangat bahagia jika makan apa saja tapi tidak bikin kurus bentuk
tubuhnya.
Hmmm? Kalau yang ini agak beda ya konteks harfiah bahagianya. Semua orang sepertinya ingin begitu, sih. 😅
Bahagia
bagiku dan sedang kujalani saat ini adalah bersyukur atas apapun yang selalu
datang padaku, ikhlas dan pasrah di setiap hal.
Awalnya
sungguh berat. Kadang ketemu luka, duka, nestapa. Tapi itu karena pikiran dan
hati kita cita-citanya dunia, begitu kata Aa Gym. Walau miris, namun, ada
benarnya juga.
Semakin
tinggi syarat bahagia, semakin kita butuh lebih banyak anak tangga untuk
meraihnya. Tenaga dan perhatian terkuras olehnya hanya karena dibuat sibuk
dengan urusan menambah anak tangga. Sedangkan bahagia yang diharapkan ternyata
masih jauh di depan mata.
Padahal,
untuk menggapai bahagia, Allah tidak syaratkan sesuatu yang memberatkan. Allah
katakan : "Sungguh jika kalian bersyukur, Kami (Allah) benar-benar akan
menambah nikmat kalian."
Alhamdulillah
'ala kulli hal, bersyukur pada setiap keadaan. Sebab, setiap
saat karunia Allah senantiasa tercurahkan. Hanya saja, kita yang luput
memperhatikan, akibat terlalu tinggi mematok syarat kebahagiaan.
Minggu
lalu, kebahagiaan pun menaungi wajah-wajah kami. Allah kasih waktu, tenaga,
uang, bahkan kesehatan untuk kesempatan kami bersilaturahmi. Yang kami rasa
saat seperti ini belum tentu akan datang lagi.
Tidak
perlu ke luar negeri. Tidak perlu uang berlebih. Tidak perlu makanan mewah yang
tersaji. Tidak perlu pamer segala macam, begono begini. Cukup seperti ini.
Menikmati waktu dan menjaga ukhuwah antara keluarga sampai ke anak cucu
nanti.
Sebenarnya
menggapai rasa bahagia itu ternyata sangatlah mudah. Syukur, ikhlas, pasrah.
Seperti kata-kata di lagu Pak Ebiet G. Ade, "...bila kita pasrah tumbuh
rasa damai, dalam damai kita ketemu bahagia..."
Semakin kita menghayati karunia Allah Ta'ala, semakin hati kita dipenuhi semerbak bunga-bunga bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar