Senin, 30 Mei 2022

BELAHAN JIWA PART III

 

 

Assalamualaikum! Apa kabar? Semoga selalu dalam keadaan sehat dan baik-baik saja ya.

 

Akhirnyaaa ....

 

Sampai juga kita diakhir kisah Lara ya. Gimana nasibnya? Apakah berujung nestapa ataukah menyayat hati penuh air mata kebahagiaan?

 

Gak usah berlama-lama mengoceh ya. Kita lihat saja, yuuuk.

 

Cekidooot ....

 

 

 

 

Part V : Yang Sakit Mesti Mati

 

Tubuh Lara remuk redam. Wanita itu meringkuk menahan sakit lahir batinnya di atas ranjang. Dia berusaha menolak napsu Radith yang tidak terkendali. Akibatnya seluruh tubuh Lara menjadi pelampiasan emosi lelaki itu. Namun, dia merasa senang, karena berhasil menjaga harga dirinya.

Pelan Lara turun dari ranjang, bermaksud membasuh diri. Namun, belum sempat kakinya berdiri, Radith mendorong tubuh wanita itu hingga terhempas kembali ke ranjang.

"Uugh!" Lara memegang dadanya yang terasa sakit akibat tangan Radith yang mendorongnya sangat keras. Dia berusaha bangkit kembali.

Radith tidak memberi kesempatan wanita itu untuk bangkit. Kesal dan geram, tangannya mulai mengepal dan memukul Lara dengan membabi buta. Tidak ada perlawanan dari Lara. Wanita itu membiarkan perbuatan lelaki itu sampai dirasanya puas.

Lara memejamkan mata. Dia mulai merasa pusing dan ingin merebahkan kepala.

"Bangun! Bangun!" Radith menarik rambut Lara hingga wajahnya menyentuh wajah lelaki itu. "Tidak usah pura-pura mengantuk." Tangannya mengelus wajah Lara, lalu memukul tepat di hidungnya. "Wajah sok cantik ini tidak pantas untuk orang lain, dia hanya pantas untukku. Dengar! Untukku! Jadi jangan pernah kau pamerkan senyummu untuk orang lain. Paham!" Lelaki itu menghempaskan kepala Lara ke ranjang.

Kepala Lara semakin berdenyut, hidungnya mengeluarkan darah. Lelaki itu mondar mandir di depan pintu kamar mandi dan entah mengatakan apa. Pendengarannya kembali seperti dulu, terkadang kumat setelah mendapatkan hentakan dari benda tumpul. Lalu, tinju Radith datang lagi dengan bertubi-tubi. Lara terduduk menutupi wajah dengan lengannya hingga ke sudut ranjang.

Radith masih terus mengoceh tentang kekesalannya.

"Ke-ke-ke-kenapa k-k-kau lakukan ini padaku?" Lara memberanikan diri bersuara.

"Apa! Kau ingin tahu?" Wajah Radith semakin terlihat bengis. Ditariknya kaki Lara ke tepi ranjang.

"Aaargh!" Lara menjerit menahan tubuhnya.

Mereka bergumul di atas ranjang. Lara menggigit telinga Radith sekuatnya.

"Aaaaaaaargghh!!"

Lara berhasil lepas dari tangan dan kaki Radith, lalu turun dari ranjang dan berusaha keluar. Dengan menahan sakitnya, Radith kembali meraih kaki Lara dan wanita itu tersungkur di samping ranjang. Namun, Lara berhasil bangkit dan berlari menuju kursi kayu di dekat pintu. Dia mengangkat kursi itu dan membantingnya sekuat tenaga hingga menjadi potongan kayu. Lara meraih yang paling panjang dengan ujung yang sedikit runcing. Lalu, mengarahkannya ke depan Radith yang baru keluar dari kamar.

"Wow! Sayang!" Lelaki itu mengangkat tangannya ke atas. "Bukan begini caranya. Sayangku tidak akan berani melakukannya. Sayangku seorang yang lemah lembut. Letakkan kayu itu, Lara. Sayang?"

Lara semakin mempererat genggamannya pada kayu itu. "Kenapa kau lakukan ini padaku. Kenapaaaa!!" Lara berteriak.

"Hah? Kenapa? Hah.... Hahahahahahaha...." Lelaki itu memegang dagunya dan tertawa panjang. Lalu dia berjalan menuju tas yang tersampir di dinding dekat televisi. Mengambil sesuatu dan menunjukkannya di depan Lara. "Ini apa? Ini apa, hah?!" Tangannya mengacung berkas itu di depan Lara dan menghamburkannya. Lelaki itu berbalik dan meninju dinding.

Lara melihat sekilas judul besar di berkas dekat kakinya. Panggilan Sidang Pengadilan Agama.

"Bisa-bisanya kau bermain di belakangku. Apa yang kau ceritakan tentang kita kepada wanita itu, hah?!" Radith mondar-mandir di depan pintu kamar.

"Aku tidak menceritakan apa pun pada Jeni. Dia tahu sendiri ketika mengunjungiku."

Radith kembali meninju dinding hingga membuat Lara terkejut dan mundur. Kayu semakin erat digenggamnya.

Wajah Radith menunjukkan kebengisannya. Lelaki itu tersenyum. "Sekarang tidak perlu khawatir." Dia melangkah mendekati Lara. Tangannya ingin menggapai wajah cantik istrinya.

Lara tetap mengacung kayu itu hingga Radith mundur kembali. "Apa maksudmu?"

"Semua sudah kubereskan. Mereka-mereka yang ingin memisahkan kita, tidak akan pernah selamat dari pantauanku."

"Apa maksudmu? Apa yang kau lakukan terhadap Jeni dan Bian?" Lara mulai khawatir.

"Jeni? Wanita lemah itu tidak bisa apa-apa. Hmm? Bian? Dia tinggal nama sekarang." Radith tersenyum penuh arti.

Tubuh Lara mulai bergetar. Air matanya tumpah ruah seketika. "Mas, k-k-kau sakit!"

Radith tertawa tanpa henti.

 

***

 

"Jeni! Apa yang kau lakukan?" Lara menutupi wajah dari kamera ponsel sahabatnya.

"Hanya untuk jaga-jaga, untuk bukti atas apa yang sudah terjadi. Secepatnya harus kau laporkan. Tanpa laporan darimu langsung tidak akan kuat. Sebaiknya kau bicara terus terang dengan bang Bian. Aku akan minta padanya kau ditangani secara khusus."

"Jen. Aku nggak mau terjadi apa-apa dengan mas Radith."

Pupil Jeni langsung membesar di depan Lara. "Gila kau! Apa yang sudah dia lakukan terhadapmu ini, apa kau anggap nggak terjadi apa-apa? Dia sakit, Ra. Psikopat yang pesakitan. Kau harus menjauh darinya."

"Tapi, Jen....."

Jeni menggenggam erat tangan Lara. "Kita tunggu sampai anak-anakmu satu tahun. Oke? Serahkan padaku semuanya."

"Jeni. Aku juga nggak mau terjadi sesuatu terhadap kalian berdua." Mata Lara mulai berkaca-kaca.

"Nggak akan terjadi apa-apa. Bang Bian pengacara handal. Kalaupun akan terjadi sesuatu, dia tidak bodoh, Ra."

Itu pembicaraan mereka setahun yang lalu. Sejak melahirkan, hampir setiap hari Jeni berkunjung ke rumahnya saat Radith di kantor untuk memastikan setiap kondisi dan keadaan Lara. Walau terkadang ayah dan saudaranya juga berkunjung, namun, mereka tidak pernah tahu apa yang telah Radith perbuat padanya. Suaminya sangat pandai berkata-kata. Jeni telah banyak membantunya. Lewat Jeni, Lara jadi tahu tentang masa lalu Radith yang buruk. Seorang pesakitan, yang meraih segalanya dengan menghalalkan segala cara.

Sialnya, Lara sangat mencintainya. Radith mampu membuat seluruh harinya indah dan membuat Lara menjadi wanita yang sempurna. Sampai segalanya berubah, yang membuat sedikit demi sedikit terkikis rasa cintanya terhadap lelaki itu.

 

***

 

"Mereka tidak tahu apa-apa, mereka tidak salah, Mas. Kenapa te...."

"Ada!"

Suara Radith yang berteriak mengagetkan Lara. Dia mundur selangkah.

"Mereka ingin memisahkanmu dariku. Kau milikku! Siapa pun yang bertujuan ingin memisahkan kita tidak akan luput dari pantauanku, termasuk ibumu!"

"Apa maksudmu?" Bibir Lara mulai bergetar.

Sudut bibir lelaki itu terangkat sedikit. "Huh! Kau kira siapa yang membuat ibumu sampai seperti itu?" Bibirnya mencibir dan mendengus kesal. "Aku tidak sengaja mendengar pembicaraan mereka, ibumu dan Jeni. Tentu saja aku nggak mau segala rencana dan perjuanganku kandas begitu saja."

Kaki Lara mulai limbung. "Ja-ja-jadi? Ma-mas, kau...."

"Oooh, Lara, Sayang. Jangan terlalu naif."

Lara terduduk. Kayu di tangannya terlepas begitu saja.

 

Lara sampai terlebih dahulu di rumah sakit sebelum Radith. Mereka janji bertemu di sana. Namun, ketika Lara sampai di kamar, mata ibunya membesar dan tangannya menunjuk ke arah infus. Wanita itu tidak begitu memperhatikannya, dia terlanjur panik melihat kondisi ibunya yang mulai sekarat.

Dokter dan perawat berdatangan karena jeritan Lara. Tepat saat itu, Radith merangkulnya dari belakang. Menenangkannya dan menjauh dari aktivitas dokter serta perawat. Wanita itu tidak sadar bahwa mata ibunya terus menatap tajam kepada Radith di akhir hayatnya.

 

Lara tidak kuasa menahan air matanya. Ini salahnya. Ini salahku! Karena aku, mama....

"Aaaaaaaargh! Aaaaaaargh!" Lara berteriak dengan memukul-mukul dadanya. Ibunya meninggal sebulan sebelum hari pernikahan Lara. Lalu, dia menikah dengan pembunuh ibunya. Kejadian itu terus terbayang di pikiran. Rasa bersalah dan sakit hati membuat tangis dan teriakkannya semakin menjadi.

Radith duduk memeluk istrinya, mencoba menenangkan. "Sayang, bagaimana pun itu telah terjadi. Maafkan aku, hmm?" Tangannya menghapus air mata di wajah cantik istrinya.

Air mata Lara terus bergulir, namun, raut wajahnya tampak datar tak berekspresi.

"Uugh!" Radith mundur dan meraba perut. Kayu runcing itu telah tertancap di bagian kiri bawah perutnya. "La-la-lara...."

Wanita itu masih menatap wajah Radith tanpa ekspresi. Air matanya terus bercucuran dan dia semakin mendorong kayu itu. Lara mulai bangkit dan membiarkan Radith tersungkur. Tangan lelaki itu meraih kaki Lara. Salah satunya mencoba mencabut kayu dari perutnya.

Lara berlari menuju kolong sofa, meraih kunci yang dia sembunyikan di sana. Kemudian dia menuju pintu dan membukanya. Sebelum beranjak, kakinya terhenti di depan.

"La-la-ra, Sa-sayang. Ja-ja-jangan ti-tinggalkan aku. Aku sa-sa-sangat me-men-cintai-mu." Radith masih sempat berdiri dan membawa kayu itu ke arah punggung Lara.

Lara menutup pintu dan menguncinya kembali. Sengaja kunci itu tidak dia cabut. Lalu, dia beralih ke samping teras. Menuangkan seluruh isi bensin di sekeliling gubuk. Kemarin, saat berhasil melarikan diri, wanita itu sekilas melihat jeriken berisi bensin yang biasa dipakai Radith untuk mobilnya.

"Lara! Laraa!" Radith panik dan berteriak sambil memukul pintu.

Lara berdiri di depan teras. Mengambil mancis dari saku celana dan melemparkannya ke depan.

BOOF!

Api langsung menjalar ke sekeliling gubuk. Lara berjalan menuju double cabin. Secepat mungkin meninggalkan teriakkan Radith dan nyala api yang semakin membara.

 

EPILOG

 

Lara terduduk dengan pandangan kosong menatap gemerlap lampu kota dari balik jendela kamar rumah sakit. Tubuhnya penat setelah sehari penuh tidak sadarkan diri. Wanita itu hanya ingat saat belum separuh jalan, double cabin itu kehabisan bensin. Lalu, dia berusaha berjalan dengan kondisi yang lemah dan setelah itu dia tidak ingat lagi apa yang terjadi. Dari cerita perawat, sepasang suami istri, buruh perkebunan yang menemukan Lara di jalan dan membawanya ke rumah sakit. Namun, mereka langsung pulang karena tidak ingin terlibat lebih jauh.

Luka lembam di wajah dan tubuhnya mulai terasa sakit. Sakit hatinya pun lebih dari pada itu. Tangan kirinya terus-menerus mengusap perut dan matanya masih tetap kosong menatap gelapnya malam dari balik jendela.

Bagaimana sekarang? Apa yang harus aku lakukan, Nak? Kemudian, tanpa disadari, bulir-bulir bening itu terus berjatuhan di wajahnya yang tanpa ekspresi.

Sementara itu, dari luar kamar Lara, dari bagian UGD, sedari pagi beberapa dokter dan perawat disibukkan dengan kedatangan pasien yang mengalami luka bakar serius. Penanganan ekstra sampai kamar terisolasi pun terpenuhi untuk pasien tersebut.

"Baiklah. Saya pamit dulu." Lelaki itu melihat arlogi di tangan kirinya. "Untuk selanjutnya, saya serahkan wewenang penuh kesembuhan anda kepada ahlinya, Pak Radith."

Radith memberi kode dengan matanya lalu menoleh ke arah lain dan membiarkan orang kepercayaannya itu pergi. Dari balik perban yang menutupi hampir seluruh wajah, lelaki itu menatap salah satu kakinya yang digantung dengan perban juga, persis seperti mumi. Lara, sayang. Aku tidak akan benar-benar mati. Aku milikmu dan kau milikku. Kau belahan jiwaku.

 

_____

 

 


 

 

Gimana akhirnya? Mau dilanjutkan, gak? Gantung lagi ya.

 

Sebenarnya tulisan ini emang kupersiapkan untuk novelku yang dulu tertunda. Cuma dikarenakan aku ikutan event novelet dari penerbit AutumnMapleMedia, kuakhiri dengan plot twist yang ambigu.

 

Silahkan kasih aku saran, manteman, bagaimana keterusan dari tulisan ini.

 

Oke ya! Terima kasih, udah mampir di mari dan menyimak tulisanku kali ini. Semoga kisah ini pun dapat dinikmati dan membuat kita semua selalu melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang.

 

Wassalamualaikum! 

17 komentar:

  1. Whuah, teka teki nih. Radith dan Lara good job kalian membuatku penasaran.

    BalasHapus
  2. Sosok seperti Radith ini memang pandai memanipulasi. Salut pada penulis yang mampu menyampaikan cerita secara menyentuh. Sampai ikut gregetan nih.

    BalasHapus
  3. Wiihhh baru baca bagian akhir aja aku dah sebel banget sm Radith. Ntar ak baca cerita sebelumnya ah. Dapat ide darimana sih mb?? :D

    BalasHapus
  4. Dilanjutkan aja...Radith dibikin mati aja, kezel saya. Biar Lara bahagia, dia berhak akan hidupnya. Duh, cinta buta Lara sampai mengorbankan diri pun orang tersayangnya. Emosiii hihih

    BalasHapus
  5. Jadi yang terbakar itu siapa Mbak? Radith kah?

    BalasHapus
  6. suka dengan tulisannya kak, cara menyampaikan dan pemilihan bahasanya enak sekali, rasanya saya terhanyut dan masuk dalam imaginasi tulisannya

    BalasHapus
  7. Seru banget ni kisah Lara sama Radith. Lanjut donk mba! Siapa tau bisa lanjut jadi novellete

    BalasHapus
  8. Duh jadi penasaran dengan kelanjutan ceritanya, bikin tegang dan ternyata si Radith masih hidup ya, suka ngeri dengan orang yang pintar memanipulasi orang disekitarnya, dan ternyata banyak juga ya orang seperti itu.

    BalasHapus
  9. Duh, serem banget jadi Lara, ya. Ternyata dia menikahi seorang Radith, pembunuh ibunya. Jadi penasaran ama melanjutkan cerita ini.

    BalasHapus
  10. Wah Radithnya masih selamat setelah jadi korban kebakaran. Ga tau lagi gimana nasib Lara nantinya kalo masih ketemu lagi dengan Radith, hikss. Semoga Radith ahirnya ga selamet

    BalasHapus
  11. Sudah baca bagian sebelumnya, bikin deg-degan. Akhir cerita seperti ini malah bagus menurutku, jadi pembaca bisa bermain dengan pikirannya sendiri.

    BalasHapus
  12. Semoga berhasil di lomba noveletnya, Mbak. It's a nice piece of writing. Bergabung juga ke komunitas sastra.

    BalasHapus
  13. Wah aku penasaran sama kelanjutan ceritanya
    Bagus mbak ceritanya
    Semoga memang ya mbak

    BalasHapus
  14. Aku baru baca kisahnya justru di akhir
    Jadi buka kisah-kisah sebelumnya deh biar tau kisah awalnya
    Tapi di radith ini kaya manipulatif gitu ya

    BalasHapus
  15. Waduhhh. Aku deg-degan bacanya. Semoga berakhir bahagia. Haha. .... Penonton resek, dan banyak maunya nih🙈🙈🙈

    BalasHapus
  16. Seru banget ceritanya mbak kerennnn... mau lanjut donk

    BalasHapus
  17. Waawww, ini ciamik bgt nihh
    Bisa di publikasikan d platform berbayar aja mba

    BalasHapus

(FLASHBACK) DARI TANAH TANDUS

  Blurb: “Kak Ineee. Kepala Rubi pusing, Kak.” “Bertahanlah, Rubi! Bukan sekarang saatnya!” Ine dan Rubi, dua gadis kecil yang ter...