Sabtu, 14 Mei 2022

DARI SEGALA SUDUT ARAH ANGIN

view by Pinterest

 

 

Assalamualaikum, lama tak bersua.

Setelah libur panjang di hari raya, sepertinya aktivitas tetap HARUS berjalan lagi tanpa mengenal lelah. Yang bekerja, yaaa bekerja. Yang sekolah dan langsung dipertemukan dengan ujian akhir, yaaa terpaksa juga harus refresh kembali fungsi otak yang selama ini terbuai ponsel, makan dan bantal guling.

 

Setelah kedua anakku pergi merantau, gak banyak kegiatan yang aku lakukan. Sebenarnya menyenangkan setelah lama meliburkan diri dari pelototi ponsel dan memeras isi utak. Namun, ide-ide terkadang berseliweran di antara aliran nadi. Kalau kemarin aku harus membuka kotak ide dan langsung mengisinya, berarti sama saja aku gak ikut liburan dung.

 

Apa kata dunia? 🧐

 

Halaaah! Dunia baik-baik saja kok, walau aku gak menulis. Masalahnya aku sedang gak baik-baik saja. Bukan karena lagu Judika ya, tapi emang sedang gak enak hati untuk mulai menulis. Padahal ide sudah mulai mengetuk-ngetuk utak ini.

 

Ya, sutralah! Skip saza itu dulu. Aku datangkan antalogi cerpen selanjutnya, ARUNIKA BERCERITA. Event ini kuikuti secara iseng aja. Isi tulisan ini dibantu seseorang dan kupoles sesukaku. Awalnya memang untuk kuikutsertakan di lomba, namun, belum rejeki karena kelebihan kata. Lalu, ada lomba lagi dari penerbit lain, iseng juga kuikutsertakan, Alhamdulillah, masuk 100 besar dari 1300 naskah.

Dari 100 besar yang terpilih untuk dibukukan ada 13 naskah, dan naskahku tidak termasuk. Bagiku, sudah masuk dalam 100 besar saja membuat tubuhku melambung tinggi. Dan, karena bebas memilih ingin dibukukan atau tidak, kuputuskan untuk menarik naskahku. Event dari penerbit Aksara Cendikia inilah yang kuikuti.

Setelah beberapa lama mendem di sana, akhirnya keluar juga hasil dari penjurian mereka. Mimpi pun gak apalagi berhayal.

 

Kok bisa ya, aku dapat peringkat 3? 🤔

 

Yowes laa, gak usah berlama-lama. Kita intip langsung isi tulisannya. Cuuus, cekidot ....

 

 

 

 

 

Dari Segala Sudut Arah Angin

 

 

          "Lia? Liaaaa!!"

          Wajah Lintang pucat pasi. Di sampingnya tersandar tubuh Camelia. Jemari yang tadi digenggamnya kini lemah seperti tak bernadi. Lintang panik dan berteriak minta tolong.

          Tidak ada yang menyangka, siang itu, tempat mereka selalu duduk berdua menunggu padi yang menguning sambil mengusir kenakalan burung pipit, tidak terlihat seorang pun.

          Tubuh Camelia yang lemah dipanggul Lintang. Kaki jenjangnya berlari sebisa tenaganya menuju klinik tempat biasa warga mengadu sakit.

          "Lintang." Suara Camelia terdengar lemah. "Ikhlaskan aku, Lintang."

Lintang semakin mempererat pegangannya ke tubuh Camelia. Dia harus cepat sebelum semuanya terlambat.

 

***

 

          Beberapa orang berkumpul di saung dekat tembok samping rumah. Lintang melongokkan kepalanya. Sepertinya sudah mulai panen. Sawah di belakang rumah berbatasan dengan sawah milik Wak Rajab. Mereka juga mulai panen. Beberapa asik berbincang sambil menghisap rokok. Ada yang memasang alat perontok padi. Para ibu terlihat membuka bungkusan kain dan rantang lalu disusun di saung. Yang lain terlihat sedang memakai bedak dingin, yang katanya, bedak itu dipakai agar kulit wajah tidak legam menghitam.

          "Pintu pagar di depan sudah dikunci?" Wak Basri terlihat bersiap-siap menuju saung.

          "Sudah, Wak."

 

***

 

          Padi yang dipanen, diangkut ke bagian perontok padi. Yang lain bertugas mengumpulkan gabah yang sudah rontok dari malai, lalu dimasukkan ke goni. Sedangkan batang jerami biasanya ditumpukkan di tengah sawah, agar kemudian dibakar. Biar jadi pupuk.

          Semangat Lintang berbeda dari anak Wak Basri yang lain. Semenjak umur sepuluh tahun orang tuanya sudah meninggal. Lintang diasuh dan dibesarkan oleh Wak Basri, abang ibunya.

          "Lintang, tolong antarkan Camelia pulang ya."

          Lintang menoleh dan melihat Camelia. Dia tidak pernah tahu ada anak perempuan bernama Camelia di kampungnya. Mata Lintang tidak berkedip. Wajah putih pucat Camelia terlihat manis baginya. Banyak anak perempuan di kampung dan di sekolahnya, tapi yang ini berbeda.

          "Lintang?" Uwaknya menegur Lintang. "Belum pernah lihat Camelia ya?"

          Lintang mengangguk.

          "Camelia ini keponakan dari Wak Rajab. Baru datang seminggu yang lalu. Karena semua sibuk, jadi Uwak minta tolong sama kamu."

          Permintaan uwaknya tidak bisa ditolak. Lintang meninggalkan goni gabah yang dia pegang, menuju sepeda kumbang dan siap mengantar Camelia.

 

***

 

          Waktu menanam padi telah mulai kembali. Dua bulan waktu yang cukup untuk menyemai padi dan padi siap ditanam.

          Para petani menanamnya dengan cara manual. Bibit ditanamkan satu persatu dan dikerjakan bersama-sama. Mereka mengerjakannya secara keroyokan, termasuk Lintang di dalamnya. Begitu seterusnya sampai semua petak sawah tertanami.

          Selang beberapa waktu kemudian, keluarlah malai padi. Bagian padi yang kelak berisi biji padi. Dambaan para petani dari masa ke masa. Sesuatu yang dinantikan para pengepul gabah dan pengusaha beras.

          "Waktu malai ini keluar, tidak serta merta berisi biji padi. Tapi masih kopong. Seiring waktu, bulir ini mulai berisi. Namun, masih cair. Aku dan kawan-kawan menyebutnya masih 'susu'. Kalau kita ambil satu bulirnya, lalu dikupas kulitnya, yang keluar masih berupa cairan berwarna putih. Tapi kemudian 'susu' ini pun mengendap dan jadilah beras."

          Lintang tersenyum puas usai menyampaikan perihal tanaman padi yang sedang mereka jaga dari burung-burung. Mata Camelia selalu berbinar setiap kali Lintang bercerita. Lintang suka itu.

          "Kamu ingin menjadi petani ya?"

          Lintang menggeleng. "Tidak juga. Aku ingin mendirikan bengkel untuk alat-alat pertanian. Di kampung ini belum banyak alat yang memadai. Selain itu, suatu hari nanti, aku juga ingin memiliki sawah sendiri, agar aku bisa dekat dengan Uwak." Lintang menatap Camelia dan tersenyum.

          Sejak Lintang mengantar Camelia pulang, persahabatan mereka semakin dekat. Setiap hari Lintang membawa Camelia mengelilingi perkampungan. Jarak umur yang terpaut tujuh tahun tidak membuat Lintang gentar untuk mencintai Camelia.

          Camelia tidak menyelesaikan kuliahnya dikarenakan kondisi tubuh yang tidak memungkinkan. Orang tua Camelia membawanya ke kampung semata-mata untuk proses penyembuhan sakitnya.

          Lintang sangat senang ketika melihat Camelia tertawa lepas, saat dia membawa Camelia melihat pekerjaan awal mereka. Mereka membajak sawah. Ada yang pakai traktor, ada yang berpasangan dengan kerbau. Si kerbau pun diupah mandi lumpur dan perawatan dari burung ruwak-ruwak yang membersihkan punggung si kerbau dari kutu. Camelia terlihat bahagia.

 

***

 

          Lintang baru saja pulang dari sekolah ketika Camelia datang. Wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya.

          "Nanti aku akan menyusul ke sana. Ada yang harus kukerjakan dulu"

          Di sinilah Camelia. Menunggu Lintang di bawah saung yang terlindungi pohon mahoni. Sambil sesekali berteriak dan menggoyangkan kerincingan guna mengusir burung pipit.

          Selama di kampung, selain dengan sepupunya, Camelia hanya berteman dengan Lintang saja. Namun, sesekali Lintang selalu membawa teman-teman dan diperkenalkan kepadanya. Camelia merasa malu dengan kondisinya. Dia tidak sesehat kelihatannya. Belum lagi dengan umurnya yang lebih tua tujuh tahun dari Lintang. Semakin membuat Camelia rendah diri.

          Semangat Lintang terkadang membuatnya iri. Camelia juga punya keinginan dan cita-cita. Hanya saja, kanker kelenjar getah bening yang mulai menggerogotinya sejak lima tahun terakhir ini membuat fisiknya rentan terhadap apapun. Setelah tinggal di tempat uwaknya dan mengkonsumsi ramuan tradisional, kondisi tubuhnya tidak selemah dulu. Akan tetapi, bisa saja kumat sewaktu-waktu.

          "Lama nunggunya?" Tiba-tiba Lintang sudah duduk di samping Camelia.

          Camelia menggeleng dan tersenyum. "Maaf ya, aku tadi langsung ke rumahmu."

          "Nggak apa." Lintang menggenggam tangan Camelia. Lalu mulai bercerita tentang kehidupan setelah orang tuanya meninggal. Kehidupan selama tinggal dengan uwaknya, tempat dia sekarang menumpang hidup.

          Camelia ingin membesarkan hati Lintang, namun, tiba-tiba saja matanya sangat lelah dan dia seperti tidak bertenaga sama sekali. Camelia menyandarkan tubuhnya ke bahu Lintang. Suara Lintang semakin jauh terdengar.

 

***

 

          Lintang duduk di saung menikmati matahari sore dengan angin semilir, ditemani kicauan burung pipit dari pohon mahoni. Matanya memandang takjub hamparan hijau sawah yang terbentang di depan.

          Sudah lewat enam tahun dan telah banyak peristiwa yang terjadi. Lintang semakin dewasa. Masa-masa perkuliahan dulu, Lintang selingi dengan bekerja paruh waktu. Dia tidak ingin menyusahkan uwaknya. Sabarnya berbuah hasil. Dengan hasil kerjanya dia bisa membeli sawah Wak Rajab yang terjual dua tahun lalu.

          Tanah bagian depan di pinggir jalan dibangunnya usaha bengkel alat-alat pertanian. Sesuai dengan inginnya untuk menjadi seorang teknik mesin. Anak-anak Wak Basri memilih hidup merantau, meninggalkan orang tua mereka di kampung. Bagi Lintang, memilih tinggal dekat dengan Uwak merupakan harapannya. Agar sewaktu-waktu Lintang bisa dengan leluasa memperhatikan setiap kondisi uwaknya yang mulai uzur.

          Setahun setelah Lintang kuliah, Wak Rajab wafat. Sejak saat itu kabar tentang Camelia pun tidak terdengar lagi. Dia berharap Camelia tetap sehat, dan bukan pusara yang ingin Lintang temui jika harinya tiba.

          Mata Lintang memanas. Teringat kembali sehari setelah Lintang membawa Camelia ke klinik, keluarga Wak Rajab merawat Camelia ekstra ketat. Tidak ada seorang pun yang bisa menjenguk Camelia. Lintang pun mulai sibuk dengan ujian akhir sekolahnya. Mereka berdua hanya berkirim kabar lewat surat yang selalu dititipkan lewat Bik Narti, salah satu pekerja di rumah Wak Rajab yang masih saudara jauh dari istri Wak Rajab.

          Kini, Lintang menatap sawah hijau miliknya dan Uwak. Matahari sore mulai sedikit redup. Warna jingganya terlihat mempesona. Salah satu ciptaan paling indah dari Sang Maha Kuasa. Termasuk Camelia tentunya, batin Lintang.

          Seseorang memanggil dan melambaikan tangan ke arah Lintang dari seberang pematang sawah. Ternyata Bik Narti. Di belakangnya terlihat Wak Tati, istri Wak Basri. Lintang tidak mengenali wanita di belakang Wak Tati. Matahari sore menghalangi pandangannya.

          Namun, semakin dekat, semakin dia kenali pemilik wajah itu. Lintang berdiri dan matanya memanas lagi. Senyumnya merekah seketika, menatap lekat ke wajah putih pucat yang dia rindukan hadirnya.

 

 

====T A M A T====

 

 

 

 

Gimana? Apa ada gambaran tentang sawah? Eeee, kok sawah sih yaaaa, maksudnya tentang isi tulisan ini. 

 

Sekali lagi kuingatkan, kalau tulisan kita diikutsertakan dalam lomba maupun event tertentu, syarat dan ketentuan pun berlaku. Baik itu dalam jumlah kata maupun dalam jumlah halaman. Jadi, untuk beralih ke adegan selanjutnya bisa saja kupoles lewat alur mundur atau maju. Tergantung apa yang digantung. Eh? 🤪

 

Baeklah! Terima kasih ya, udah mampir di mari dan menyimak tulisanku kali ini. Semoga kisah ini pun dapat dinikmati dan membuat kita semua selalu melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang.

 

Wassalamualaikum!

20 komentar:

  1. Masya Allah.. Menjadi juara tiga ya Bu 🙏 Selamat nggih, ditunggu karya selanjutnya. Aku sendiri kayaknya sudah tidak mau menulis antologi lagi 😆

    BalasHapus
  2. Selamat....Memang layak jadi juara nih , saya sukaaa. Ya ampun endingnya beneran bikin bahagia. Lintang semoga jadian sama Camelia.

    BalasHapus
  3. Selamat ya bu, keren ceritanya. Pantas dapat juara . Ditunggu tulisan berikutnha

    BalasHapus
  4. Dibikin deg-degan pas awal baca lalu dibikin senyum-senyum sendiri diakhir cerita tak terduga sih ini. Selamat nggeh ditunggu karya selanjutnya

    BalasHapus
  5. Keren mbak, selamat ya... Pengen bisa ikutan lomba2 gini tapi terbatas waktu krn pasti ada deadlinenya

    BalasHapus
  6. Wah keren mbak, cerita bagus pastinya
    Karena berhasil masuk 100 besar dari 1300 naskah
    Terus semangat berkarya ya mbak

    BalasHapus
  7. Duh, nggak heran sih bisa juara. Baru baca penggalan ceritanya aja udah bangus banget mbak. Sukses terus yaaah.

    BalasHapus
  8. Selamat dan sukses, kak Nuri Rie.
    Nama pena-nya pun indah sekali.

    Semoga semakin banyak lagi karya yan menginspirasi dan memperkaya dunia literasi Indonesia.
    Uda kebayang iya, sawah dengan padi yang menguning siap panen. Sungguh latar cerita yang membuat hati rindu akan suasana pedesaan.

    BalasHapus
  9. Selamat ya atas prestasinya. Penasaran mbak dapat hadiah apa. Kalau dulu ada event lomba menulis cerpen Femina yang selalu ditunggu-tunggu.

    BalasHapus
  10. Waaa keren banget loh mbak jadi 100 besar dari 1300 naskah itu.. Itu udah prestasi banget loh menurutku

    BalasHapus
  11. wah keren, mbak bisa dapat juara tiga. saya juga mulai menulis fiksi lagi setelah bertahun-tahun vakum. tapi kalau buat ikut lomba belum berani eh

    BalasHapus
  12. Wah keren mba, semoga bisa terus berprestasi ya. Alurnya juga ga ketebak, jadi senyum2 sendiri bacanya

    BalasHapus
  13. Masya Alloh tabarakallah selamat ya mbak..semua tulisannya makin berdampak baik untuk orang lain. Tetap semangat menulis

    BalasHapus
  14. Wah. Keren. Aku sampai sekarang ga bisa bikin cerpen. Apalagi cerpen yang dipoles ilmu misal tentang gabah.

    BalasHapus
  15. suka ceritanya kak, bagus, tema sederhana tai disajikan menarik

    BalasHapus
  16. Congrats mba atas pencapaiannya! Sebagai yang ga pernah nulis fiksi, aku salut sama yang jago nulis fiksi

    BalasHapus
  17. Alhamdulillah masuk 100 besar dari 1300 peserta, itu keren banget. Semoga sukses dengan karya-karya selanjutnya ya mbak..

    BalasHapus
  18. Alhamdulillah bisa meraih juara 3 ya kak. Tetap semangat untuk mengukir prestasi di dunia kepenulisan. Menulis itu memang mengasyikkan bagi kita yang terbiasa ya kak

    BalasHapus
  19. Sangat enak dibaca dan dinikmati.

    BalasHapus

(FLASHBACK) DARI TANAH TANDUS

  Blurb: “Kak Ineee. Kepala Rubi pusing, Kak.” “Bertahanlah, Rubi! Bukan sekarang saatnya!” Ine dan Rubi, dua gadis kecil yang ter...