view by Pinterest
Assalamualaikum, lama
tak bersua.
Setelah
libur panjang di hari raya, sepertinya aktivitas tetap HARUS berjalan
lagi tanpa mengenal lelah. Yang bekerja, yaaa bekerja. Yang sekolah dan
langsung dipertemukan dengan ujian akhir, yaaa terpaksa juga harus refresh kembali
fungsi otak yang selama ini terbuai ponsel, makan dan bantal guling.
Setelah
kedua anakku pergi merantau, gak banyak kegiatan yang aku lakukan. Sebenarnya
menyenangkan setelah lama meliburkan diri dari pelototi ponsel dan memeras isi
utak. Namun, ide-ide terkadang berseliweran di antara aliran nadi. Kalau
kemarin aku harus membuka kotak ide dan langsung mengisinya, berarti sama saja
aku gak ikut liburan dung.
Apa
kata dunia? 🧐
Halaaah!
Dunia baik-baik saja kok, walau aku gak menulis. Masalahnya aku sedang gak
baik-baik saja. Bukan karena lagu Judika ya, tapi emang sedang gak enak hati
untuk mulai menulis. Padahal ide sudah mulai mengetuk-ngetuk utak ini.
Ya,
sutralah! Skip saza itu dulu. Aku datangkan antalogi cerpen selanjutnya, ARUNIKA BERCERITA. Event ini kuikuti secara iseng aja. Isi
tulisan ini dibantu seseorang dan kupoles sesukaku. Awalnya memang untuk
kuikutsertakan di lomba, namun, belum rejeki karena kelebihan kata. Lalu, ada
lomba lagi dari penerbit lain, iseng juga kuikutsertakan, Alhamdulillah, masuk
100 besar dari 1300 naskah.
Dari 100 besar yang terpilih untuk dibukukan ada 13
naskah, dan naskahku tidak termasuk. Bagiku, sudah masuk dalam 100 besar saja
membuat tubuhku melambung tinggi. Dan, karena bebas memilih ingin dibukukan atau tidak,
kuputuskan untuk menarik naskahku. Event dari penerbit Aksara Cendikia inilah yang
kuikuti.
Setelah beberapa lama mendem di sana, akhirnya keluar
juga hasil dari penjurian mereka. Mimpi pun gak apalagi berhayal.
Kok
bisa ya, aku dapat peringkat 3? 🤔
Yowes
laa, gak usah berlama-lama. Kita intip langsung isi tulisannya. Cuuus, cekidot
....
Dari
Segala Sudut Arah Angin
"Lia? Liaaaa!!"
Wajah Lintang pucat pasi. Di sampingnya tersandar
tubuh Camelia. Jemari yang tadi digenggamnya kini lemah seperti tak bernadi.
Lintang panik dan berteriak minta tolong.
Tidak ada yang menyangka, siang itu, tempat mereka
selalu duduk berdua menunggu padi yang menguning sambil mengusir kenakalan
burung pipit, tidak terlihat seorang pun.
Tubuh Camelia yang lemah dipanggul Lintang. Kaki
jenjangnya berlari sebisa tenaganya menuju klinik tempat biasa warga mengadu
sakit.
"Lintang." Suara Camelia terdengar lemah.
"Ikhlaskan aku, Lintang."
Lintang semakin mempererat pegangannya ke tubuh
Camelia. Dia harus cepat sebelum semuanya terlambat.
***
Beberapa orang berkumpul di saung dekat tembok
samping rumah. Lintang melongokkan kepalanya. Sepertinya sudah mulai
panen. Sawah di belakang rumah berbatasan dengan sawah milik Wak Rajab. Mereka
juga mulai panen. Beberapa asik berbincang sambil menghisap
rokok. Ada yang memasang alat perontok padi. Para ibu terlihat membuka bungkusan
kain dan rantang lalu disusun di saung. Yang lain terlihat sedang memakai bedak dingin, yang katanya, bedak itu dipakai agar kulit wajah tidak legam menghitam.
"Pintu pagar di depan sudah dikunci?" Wak
Basri terlihat bersiap-siap menuju saung.
"Sudah, Wak."
***
Padi yang dipanen, diangkut ke bagian
perontok padi. Yang lain bertugas
mengumpulkan gabah yang sudah rontok dari malai, lalu dimasukkan ke goni.
Sedangkan batang jerami biasanya ditumpukkan di tengah sawah, agar kemudian dibakar. Biar
jadi pupuk.
Semangat Lintang berbeda dari anak Wak Basri yang
lain. Semenjak umur sepuluh tahun orang tuanya sudah meninggal. Lintang diasuh
dan dibesarkan oleh Wak Basri, abang ibunya.
"Lintang, tolong antarkan Camelia pulang
ya."
Lintang menoleh dan melihat Camelia. Dia tidak pernah
tahu ada anak perempuan bernama Camelia di kampungnya. Mata Lintang tidak
berkedip. Wajah putih pucat Camelia terlihat manis baginya. Banyak anak
perempuan di kampung dan di sekolahnya, tapi yang ini berbeda.
"Lintang?" Uwaknya menegur Lintang.
"Belum pernah lihat Camelia ya?"
Lintang mengangguk.
"Camelia ini keponakan dari Wak Rajab. Baru datang
seminggu yang lalu. Karena semua sibuk, jadi Uwak minta tolong sama kamu."
Permintaan uwaknya tidak bisa ditolak. Lintang
meninggalkan goni gabah yang dia pegang, menuju sepeda kumbang dan siap
mengantar Camelia.
***
Waktu menanam padi telah mulai kembali. Dua bulan
waktu yang cukup untuk menyemai padi dan padi siap ditanam.
Para petani menanamnya dengan cara
manual. Bibit ditanamkan satu persatu dan dikerjakan bersama-sama. Mereka mengerjakannya secara keroyokan, termasuk
Lintang di dalamnya. Begitu seterusnya sampai semua petak sawah tertanami.
Selang beberapa waktu kemudian, keluarlah
malai padi. Bagian padi yang kelak berisi biji padi. Dambaan para petani dari
masa ke masa. Sesuatu yang dinantikan para pengepul gabah dan pengusaha beras.
"Waktu malai ini keluar, tidak serta
merta berisi biji padi. Tapi masih kopong. Seiring
waktu, bulir ini mulai berisi. Namun,
masih cair. Aku dan kawan-kawan menyebutnya
masih 'susu'. Kalau kita ambil satu bulirnya, lalu dikupas kulitnya, yang
keluar masih berupa cairan berwarna putih. Tapi
kemudian 'susu' ini pun mengendap dan jadilah beras."
Lintang tersenyum puas usai menyampaikan perihal
tanaman padi yang sedang mereka jaga dari burung-burung. Mata Camelia selalu
berbinar setiap kali Lintang bercerita. Lintang suka itu.
"Kamu ingin menjadi petani ya?"
Lintang menggeleng. "Tidak juga. Aku ingin
mendirikan bengkel untuk alat-alat pertanian. Di kampung ini belum banyak alat
yang memadai. Selain itu, suatu hari nanti, aku juga ingin memiliki sawah
sendiri, agar aku bisa dekat dengan Uwak." Lintang menatap Camelia dan
tersenyum.
Sejak Lintang mengantar Camelia pulang, persahabatan
mereka semakin dekat. Setiap hari Lintang membawa Camelia mengelilingi
perkampungan. Jarak umur yang terpaut tujuh tahun tidak membuat Lintang gentar
untuk mencintai Camelia.
Camelia tidak menyelesaikan kuliahnya dikarenakan
kondisi tubuh yang tidak memungkinkan. Orang tua Camelia membawanya ke kampung
semata-mata untuk proses penyembuhan sakitnya.
Lintang sangat senang ketika melihat Camelia tertawa
lepas, saat dia membawa Camelia melihat pekerjaan awal mereka. Mereka
membajak sawah. Ada yang pakai traktor, ada yang berpasangan dengan kerbau. Si kerbau pun diupah mandi lumpur dan
perawatan dari burung ruwak-ruwak
yang membersihkan punggung si kerbau dari kutu. Camelia terlihat bahagia.
***
Lintang baru saja pulang dari sekolah ketika Camelia
datang. Wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya.
"Nanti aku akan menyusul ke sana. Ada yang harus
kukerjakan dulu"
Di sinilah Camelia. Menunggu Lintang di bawah saung
yang terlindungi pohon mahoni. Sambil sesekali berteriak dan menggoyangkan
kerincingan guna mengusir burung pipit.
Selama di kampung, selain dengan sepupunya, Camelia
hanya berteman dengan Lintang saja. Namun, sesekali Lintang selalu membawa
teman-teman dan diperkenalkan kepadanya. Camelia merasa malu dengan kondisinya.
Dia tidak sesehat kelihatannya. Belum lagi dengan umurnya yang lebih tua tujuh
tahun dari Lintang. Semakin membuat Camelia rendah diri.
Semangat Lintang terkadang membuatnya iri. Camelia
juga punya keinginan dan cita-cita. Hanya saja, kanker kelenjar getah bening
yang mulai menggerogotinya sejak lima tahun terakhir ini membuat fisiknya
rentan terhadap apapun. Setelah tinggal di tempat uwaknya dan mengkonsumsi
ramuan tradisional, kondisi tubuhnya tidak selemah dulu. Akan tetapi, bisa saja
kumat sewaktu-waktu.
"Lama nunggunya?" Tiba-tiba Lintang sudah
duduk di samping Camelia.
Camelia menggeleng dan tersenyum. "Maaf ya, aku
tadi langsung ke rumahmu."
"Nggak apa." Lintang menggenggam tangan
Camelia. Lalu mulai bercerita tentang kehidupan setelah orang tuanya meninggal.
Kehidupan selama tinggal dengan uwaknya, tempat dia sekarang menumpang hidup.
Camelia ingin membesarkan hati Lintang, namun,
tiba-tiba saja matanya sangat lelah dan dia seperti tidak bertenaga sama
sekali. Camelia menyandarkan tubuhnya ke bahu Lintang. Suara Lintang semakin
jauh terdengar.
***
Lintang duduk di saung menikmati matahari sore dengan
angin semilir, ditemani kicauan burung pipit dari pohon mahoni. Matanya
memandang takjub hamparan hijau sawah yang terbentang di depan.
Sudah lewat enam tahun dan telah banyak peristiwa yang
terjadi. Lintang semakin dewasa. Masa-masa perkuliahan dulu, Lintang selingi
dengan bekerja paruh waktu. Dia tidak ingin menyusahkan uwaknya. Sabarnya
berbuah hasil. Dengan hasil kerjanya dia bisa membeli sawah Wak Rajab yang
terjual dua tahun lalu.
Tanah bagian depan di pinggir jalan dibangunnya usaha
bengkel alat-alat pertanian. Sesuai dengan inginnya untuk menjadi seorang
teknik mesin. Anak-anak Wak Basri memilih hidup merantau, meninggalkan orang
tua mereka di kampung. Bagi Lintang, memilih tinggal dekat dengan Uwak
merupakan harapannya. Agar sewaktu-waktu Lintang bisa dengan leluasa
memperhatikan setiap kondisi uwaknya yang mulai uzur.
Setahun setelah Lintang kuliah, Wak Rajab wafat. Sejak
saat itu kabar tentang Camelia pun tidak terdengar lagi. Dia berharap Camelia
tetap sehat, dan bukan pusara yang ingin Lintang temui jika harinya tiba.
Mata Lintang memanas. Teringat kembali sehari setelah
Lintang membawa Camelia ke klinik, keluarga Wak Rajab merawat Camelia ekstra
ketat. Tidak ada seorang pun yang bisa menjenguk Camelia. Lintang pun mulai
sibuk dengan ujian akhir sekolahnya. Mereka berdua hanya berkirim kabar lewat
surat yang selalu dititipkan lewat Bik Narti, salah satu pekerja di rumah Wak
Rajab yang masih saudara jauh dari istri Wak Rajab.
Kini, Lintang menatap sawah hijau miliknya dan Uwak.
Matahari sore mulai sedikit redup. Warna jingganya terlihat mempesona. Salah
satu ciptaan paling indah dari Sang Maha Kuasa. Termasuk Camelia tentunya,
batin Lintang.
Seseorang memanggil dan melambaikan tangan ke arah
Lintang dari seberang pematang sawah. Ternyata Bik Narti. Di belakangnya
terlihat Wak Tati, istri Wak Basri. Lintang tidak mengenali wanita di belakang
Wak Tati. Matahari sore menghalangi pandangannya.
Namun, semakin dekat, semakin dia kenali pemilik wajah
itu. Lintang berdiri dan matanya memanas lagi. Senyumnya merekah seketika,
menatap lekat ke wajah putih pucat yang dia rindukan hadirnya.
====T A M A T====
Gimana?
Apa ada gambaran tentang sawah? Eeee, kok sawah sih yaaaa, maksudnya tentang
isi tulisan ini.
Sekali
lagi kuingatkan, kalau tulisan kita diikutsertakan dalam lomba maupun event
tertentu, syarat dan ketentuan pun berlaku. Baik itu dalam jumlah kata maupun
dalam jumlah halaman. Jadi, untuk beralih ke adegan selanjutnya bisa saja
kupoles lewat alur mundur atau maju. Tergantung apa yang digantung. Eh? 🤪
Baeklah!
Terima kasih ya, udah mampir di mari dan menyimak tulisanku kali ini. Semoga
kisah ini pun dapat dinikmati dan membuat kita semua selalu melihat sesuatu
dari berbagai sudut pandang.
Wassalamualaikum!
Wah
BalasHapusMasya Allah.. Menjadi juara tiga ya Bu 🙏 Selamat nggih, ditunggu karya selanjutnya. Aku sendiri kayaknya sudah tidak mau menulis antologi lagi 😆
BalasHapusSelamat....Memang layak jadi juara nih , saya sukaaa. Ya ampun endingnya beneran bikin bahagia. Lintang semoga jadian sama Camelia.
BalasHapusSelamat ya bu, keren ceritanya. Pantas dapat juara . Ditunggu tulisan berikutnha
BalasHapusDibikin deg-degan pas awal baca lalu dibikin senyum-senyum sendiri diakhir cerita tak terduga sih ini. Selamat nggeh ditunggu karya selanjutnya
BalasHapusKeren mbak, selamat ya... Pengen bisa ikutan lomba2 gini tapi terbatas waktu krn pasti ada deadlinenya
BalasHapusWah keren mbak, cerita bagus pastinya
BalasHapusKarena berhasil masuk 100 besar dari 1300 naskah
Terus semangat berkarya ya mbak
Duh, nggak heran sih bisa juara. Baru baca penggalan ceritanya aja udah bangus banget mbak. Sukses terus yaaah.
BalasHapusSelamat dan sukses, kak Nuri Rie.
BalasHapusNama pena-nya pun indah sekali.
Semoga semakin banyak lagi karya yan menginspirasi dan memperkaya dunia literasi Indonesia.
Uda kebayang iya, sawah dengan padi yang menguning siap panen. Sungguh latar cerita yang membuat hati rindu akan suasana pedesaan.
Selamat ya atas prestasinya. Penasaran mbak dapat hadiah apa. Kalau dulu ada event lomba menulis cerpen Femina yang selalu ditunggu-tunggu.
BalasHapusWaaa keren banget loh mbak jadi 100 besar dari 1300 naskah itu.. Itu udah prestasi banget loh menurutku
BalasHapuswah keren, mbak bisa dapat juara tiga. saya juga mulai menulis fiksi lagi setelah bertahun-tahun vakum. tapi kalau buat ikut lomba belum berani eh
BalasHapusWah keren mba, semoga bisa terus berprestasi ya. Alurnya juga ga ketebak, jadi senyum2 sendiri bacanya
BalasHapusMasya Alloh tabarakallah selamat ya mbak..semua tulisannya makin berdampak baik untuk orang lain. Tetap semangat menulis
BalasHapusWah. Keren. Aku sampai sekarang ga bisa bikin cerpen. Apalagi cerpen yang dipoles ilmu misal tentang gabah.
BalasHapussuka ceritanya kak, bagus, tema sederhana tai disajikan menarik
BalasHapusCongrats mba atas pencapaiannya! Sebagai yang ga pernah nulis fiksi, aku salut sama yang jago nulis fiksi
BalasHapusAlhamdulillah masuk 100 besar dari 1300 peserta, itu keren banget. Semoga sukses dengan karya-karya selanjutnya ya mbak..
BalasHapusAlhamdulillah bisa meraih juara 3 ya kak. Tetap semangat untuk mengukir prestasi di dunia kepenulisan. Menulis itu memang mengasyikkan bagi kita yang terbiasa ya kak
BalasHapusSangat enak dibaca dan dinikmati.
BalasHapus