Minggu, 08 November 2020

Melawan Rapuhku

Cerita ini hanya sepenggal dari kisahku. Sedikit pilu disertai sembilu. Agar kau pun tahu, saat itu terjadi aku masih penuh dengan doa dan harap.

Terkadang ada saat aku merasa gelisah menunggu kepulanganmu dari tugas harian. Gelisah karena aku sangat berharap kepulanganmu tinggal nama. Bahkan tidak jarang aku berharap engkau tidak akan pernah pulang.

Mengapa? Karena selama kau di rumah, kami seperti tinggal di neraka.

 

***

 

"Papa bisa saja menggugat Mama kembali dengan gugatan membawa barang-barang rumah tangga tanpa ijin dari Papa."

Nggak apa-apa. Yang penting aku sudah lepas dari kehidupanmu."

Wajahmu terdiam ketika aku mengatakannya. Entah apa yang ada di dalam hati dan pikiranmu saat kukatakan itu. Aku sudah tidak perduli. Sudah terlalu banyak dosa yang kuperbuat, aku tidak ingin menambah dosa lagi.

Itu percakapan kita di depan ruang meditasi kantor pengadilan agama. Sudah begitu lama kau terlalu merendahkanku. Aku juga tidak tahu mengapa kau selalu begitu. Alasanmu karena aku sebagai istri, harus patuh terhadap suami, akan tetapi, suami yang bagaimana dulu.

Sebagai seorang istri memang sudah seharusnya patuh terhadap perintah suami dan itu adalah salah satu jalan ke surga bagi kami, kaum istri. Namun, ternyata aku salah memilih partner perjalanan. Walau aku berusaha menikmati keseluruhan proses perjalanannya, akan tetapi, nakhkoda telah salah memilih tujuan.

Ketika kau melontarkan sesuatu di setiap kemarahanmu, kata-katamu itu meninggalkan bekas dan luka karena kata-kata sama buruknya dengan luka berdarah. Cemburumu yang tidak beralasan pun sangat mengganggu batinku.

Ada ketakutan yang berlebihan setiap kali orang tua atau adik-adikku datang mengunjungiku. Karena setelah mereka pulang, keributan pasti terjadi. Aku tidak tahu apa yang membuatmu jengkel.

Lalu, kejadian yang sangat mengiris batinku, adalah ketika para lajang pun merasakan hal yang sama seperti yang kurasakan..

"Nggak tahu terima kasih, kalian, sudah kukasih makan pun banyak tingkah!"

Deg! Jantungku mendidih mendengar kata-kata kasar yang keluar dari mulut seorang pemimpin. Sedangkan dua lajangku sedang duduk bersila, menunduk tak punya kuasa atas luapan emosi bapaknya.

"Kalian ada di dunia ini hanya jadi beban aku! Kelahiran kalian nggak ada manfaatnya buatku!"

Deg! Kali ini batinku yang mendidih. Ya, Allah, kalau saja bukan karena ingin menggapai ridhoMu, sudah kujawab kata-kata kasar itu dan pergi jauh membawa anak-anakku.

BUG!

Hantaman keras diterima oleh wajah lajangku yang pertama. Tubuh kecilnya terhempas mundur ke belakang.

Aku maju dan tidak terima. "Nggak perlu pakai dipukul segala, Pa!" aku berteriak, batinku berontak, "cukup katakan saja kesalahannya dan nasehati."

"Nggak perlu dinasehati. Mereka sudah mengerti. Harus dihajar sekali-sekali."

Dan aku berusaha ribut denganmu saat itu, agar engkau tidak lagi mengotori mulut dan tanganmu untuk para lajangku.

Sepeninggalmu kemudian, aku secara khusus meminta maaf kepada para lajang. Mereka hartaku yang paling berharga. Tanpa mereka aku rapuh. Tanpa mereka aku bukan apa-apa. Aku meminta maaf karena telah membawa mereka hadir di dunia ini.

 

***

 

Masih ada sepenggal kisah lain yang tidak ingin kukisahkan, karena ada banyak luka yang masih basah. Asa yang ingin kugapai adalah karena seringnya aku meminta kepadaNya untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Begitu juga dengan garis takdir rumah tanggaku, Allah membuatnya menjadi lebih mudah. Karena tidak semua di dalam kendaliku dan aku harus lebih menghargai hidup.

Aku yang sekarang sudah berbeda. Walau masih ada sedikit trauma. Bodoh yang dulu kau duplikatkan padaku, membuatku menyadari bahwa ternyata menjadi bodoh terasa menyakitkan. Mengetahui keadaan diriku yang bodoh adalah sebuah langkah awal untuk melakukan perubahan.

Kali ini aku benar-benar mengharap hanya kepada Yang Maha Kuasa. Yang memberiku kesempatan untuk berubah dan mencoba. Kecemasanku yang dulu sempat meraja, kini kubagi hanya pada Dia yang lebih kupuja

Aku berterima kasih kepadamu. Karenamu, aku bisa menjadi diriku yang sekarang ini. Karenamu, aku memiliki para lajang. Namun, aku lebih banyak berterima kasih kepada Rabb-ku, yang telah membuatmu datang kepadaku dan singgah di hidupku.

Paling banyak berterimakasih kepada Rabb-ku, karena telah Dia karuniai aku anak, para lajang, yang mengajariku banyak hal, yang membuka hatiku, bahwa mengasuh dan mendidik mereka adalah tentang memperbaiki diriku dengan sebaik-baiknya.

2 komentar:

  1. Yang kuat ya mbak. Nggak tega pas baca sulung dipukul. Terlepas ini kisah mbak atau yang lain tidak dipungkiri banyak lelaki yang nggak bertanggung jawab.

    BalasHapus
  2. Iya mbak... Alhamdulillah udah lewat... makasih mbak...

    BalasHapus

(FLASHBACK) DARI TANAH TANDUS

  Blurb: “Kak Ineee. Kepala Rubi pusing, Kak.” “Bertahanlah, Rubi! Bukan sekarang saatnya!” Ine dan Rubi, dua gadis kecil yang ter...