Cerita ini hanya sepenggal
dari kisahku. Sedikit pilu disertai sembilu. Agar kau pun tahu, saat itu
terjadi aku masih penuh dengan doa dan harap.
Terkadang ada saat aku
merasa gelisah menunggu kepulanganmu dari tugas harian. Gelisah karena aku
sangat berharap kepulanganmu tinggal nama. Bahkan tidak jarang aku berharap
engkau tidak akan pernah pulang.
Mengapa? Karena selama kau
di rumah, kami seperti tinggal di neraka.
***
"Papa bisa saja
menggugat Mama kembali dengan gugatan membawa barang-barang rumah tangga tanpa
ijin dari Papa."
Nggak apa-apa. Yang
penting aku sudah lepas dari kehidupanmu."
Wajahmu terdiam ketika aku
mengatakannya. Entah apa yang ada di dalam hati dan pikiranmu saat kukatakan
itu. Aku sudah tidak perduli. Sudah terlalu banyak dosa yang kuperbuat, aku
tidak ingin menambah dosa lagi.
Itu percakapan kita di
depan ruang meditasi kantor pengadilan agama. Sudah begitu lama kau terlalu
merendahkanku. Aku juga tidak tahu mengapa kau selalu begitu. Alasanmu karena
aku sebagai istri, harus patuh terhadap suami, akan tetapi, suami yang
bagaimana dulu.
Sebagai seorang istri
memang sudah seharusnya patuh terhadap perintah suami dan itu adalah salah satu
jalan ke surga bagi kami, kaum istri. Namun, ternyata aku salah memilih partner
perjalanan. Walau aku berusaha menikmati keseluruhan proses perjalanannya, akan
tetapi, nakhkoda telah salah memilih tujuan.
Ketika kau melontarkan
sesuatu di setiap kemarahanmu, kata-katamu itu meninggalkan bekas dan luka
karena kata-kata sama buruknya dengan luka berdarah. Cemburumu yang tidak
beralasan pun sangat mengganggu batinku.
Ada ketakutan yang berlebihan setiap kali orang tua
atau adik-adikku datang mengunjungiku. Karena setelah mereka pulang, keributan
pasti terjadi. Aku tidak tahu apa yang membuatmu jengkel.
Lalu, kejadian yang sangat
mengiris batinku, adalah ketika para lajang pun merasakan hal yang sama seperti
yang kurasakan..
"Nggak tahu terima
kasih, kalian, sudah kukasih makan pun banyak tingkah!"
Deg! Jantungku mendidih
mendengar kata-kata kasar yang keluar dari mulut seorang pemimpin. Sedangkan
dua lajangku sedang duduk bersila, menunduk tak punya kuasa atas luapan emosi
bapaknya.
"Kalian ada di dunia
ini hanya jadi beban aku! Kelahiran kalian nggak ada manfaatnya buatku!"
Deg! Kali ini batinku yang
mendidih. Ya, Allah, kalau saja bukan karena ingin menggapai ridhoMu, sudah
kujawab kata-kata kasar itu dan pergi jauh membawa anak-anakku.
BUG!
Hantaman keras diterima
oleh wajah lajangku yang pertama. Tubuh kecilnya terhempas mundur ke belakang.
Aku maju dan tidak terima.
"Nggak perlu pakai dipukul segala, Pa!" aku berteriak, batinku
berontak, "cukup katakan saja kesalahannya dan nasehati."
"Nggak perlu dinasehati. Mereka
sudah mengerti. Harus dihajar sekali-sekali."
Dan aku berusaha ribut
denganmu saat itu, agar engkau tidak lagi mengotori mulut dan tanganmu untuk
para lajangku.
Sepeninggalmu kemudian,
aku secara khusus meminta maaf kepada para lajang. Mereka hartaku yang paling
berharga. Tanpa mereka aku rapuh. Tanpa mereka aku bukan apa-apa. Aku meminta
maaf karena telah membawa mereka hadir di dunia ini.
***
Masih ada sepenggal kisah
lain yang tidak ingin kukisahkan, karena ada banyak luka yang masih basah. Asa yang ingin kugapai
adalah karena seringnya aku meminta kepadaNya untuk menjadi pribadi yang lebih
baik lagi. Begitu juga dengan garis takdir rumah tanggaku, Allah membuatnya
menjadi lebih mudah. Karena tidak semua di dalam kendaliku dan aku harus lebih
menghargai hidup.
Aku yang sekarang sudah
berbeda. Walau masih ada sedikit trauma. Bodoh yang dulu kau duplikatkan
padaku, membuatku menyadari bahwa ternyata menjadi bodoh terasa menyakitkan.
Mengetahui keadaan diriku yang bodoh adalah sebuah langkah awal untuk melakukan
perubahan.
Kali ini aku benar-benar
mengharap hanya kepada Yang Maha Kuasa. Yang memberiku kesempatan untuk berubah
dan mencoba. Kecemasanku yang dulu sempat meraja, kini kubagi hanya pada
Dia yang lebih kupuja
Aku berterima kasih
kepadamu. Karenamu, aku bisa menjadi diriku yang sekarang ini. Karenamu, aku
memiliki para lajang. Namun, aku lebih banyak berterima kasih kepada Rabb-ku,
yang telah membuatmu datang kepadaku dan singgah di hidupku.
Paling banyak
berterimakasih kepada Rabb-ku, karena telah Dia karuniai aku anak, para lajang,
yang mengajariku banyak hal, yang membuka hatiku, bahwa mengasuh dan mendidik
mereka adalah tentang memperbaiki diriku dengan sebaik-baiknya.
Yang kuat ya mbak. Nggak tega pas baca sulung dipukul. Terlepas ini kisah mbak atau yang lain tidak dipungkiri banyak lelaki yang nggak bertanggung jawab.
BalasHapusIya mbak... Alhamdulillah udah lewat... makasih mbak...
BalasHapus