Rabu, 12 Agustus 2020

BLANK

Blanko? Blanke? Blankblank? Blankkolam? Blanksak? Blanktiga? Blanket? Blanknga? Blankgu?

Aaaahh!!!???? Hantahlaahhh. Cekidot aja, yuuuukk...

 

***

 

Sepi. Semua pintu terkunci. Kemana semua orang? Tidak mungkin, kan, dia sedang syuting film zombie. Atau jangan-jangan dialah sang zombie itu. Kepala, dada dan seluruh tubuhnya diraba keseluruhan mencari sepenggal logika. Otaknya kembali ke alam nyata.

Diraihnya dompet dari belakang saku celananya. Sang penyelamat dia pegang erat dan diputar ke arah handle pintu. Hawa sejuk menyeruak. Salam pun terucap lirih. Aroma khas ruangan tiap rumah ini dihirupnya kuat-kuat. Lalu berjalan bak adegan lambat di beberapa film aksi, ke arah kamarnya. Demikian juga dengan meletakkan tas punggungnya. Bahkan ketika mengganti setelan baju kerja ke baju rumah pun penuh adegan lambat.

Berlebihan alias lebay? Jelas!

Sudah sore hari. Di kantor tadi dia secepatnya berbenah. Niat lembur dibatalkannya. Berharap di rumah sudah ada sajian menggugah selera di meja. Kotak makan siangnya ketinggalan. Padahal isinya semua jenis favoritnya. Seharian ini sungguh-sungguh hari yang tidak bersahabat baginya. Salah satunya yaaa itu tadi, kotak makan siangnya yang tertinggal.

 

***

 

Subuh biasa yang tidak biasa. Hujan deras, petir menggelegar. Suara azan pun nyaris tak terdengar. Bangunnya terhalang kantuk yang teramat sangat. Udara dingin menyeruak ketika selimut tersibak. Perut pun ikut mengulah.

Matanya samar-samar melihat bayangan di depannya yang kian membesar. Sebuah pukulan empuk mendarat di kepalanya. Tidak ketinggalan terjangan maut dari sebuah kaki mungil.

"Melek yang bener. Kamar mandi di sebelah sana."

Suara kakak dan tendangannya semakin mempercepat gejolak emosi isi perutnya. Sepertinya sudah mulai waktu setoran. Secepat kilat dia berkutat dalam diam dan penghayatan yang hakiki.

"Cepetaaaann!!" Suara cempreng kakaknya menghilangkan konsentrasinya. Baru juga mulai. Hhh.

"Kamar mandi mama aja sana."

"Ada papa."

Dengan enggan dia pun menyudahi setorannya dan secepat kilat membersihkan diri serta mandi. Tidak ingin mendengar lebih jauh lagi omelan kakaknya.

 

***

 

Meja makan penuh jamuan pagi. Seperti biasa kotak makan siangnya sudah stand by di sudut meja. Hari ini cukup spesial. Hampir semua makanan kesukaannya yang tampil di sana. Dia bingung ingin memulai dari makanan yang mana. Dicomotnya roti bakar keju coklat. Dikunyahnya dengan penuh penghayatan. Matanya pun ikutan merem melek menikmati keju coklatnya yang lumer di mulut. Tidak cukup satu, tangannya meraih sekeping lagi. Kemudian karena merasa perutnya masih ada ruang, diambilnya sepiring nasi uduk lengkap dengan onderdilnya.

"Yo. Tunggu diusir atau gimana? Gak lihat udah jam berapa ini? Gak ngomel bos kamu kalau kamu telat, apa?"

Dio tersadar dari lamunannya. Kebiasaan memang kakaknya yang satu ini. Kagak senang lihat orang lain senang. Lagian penyakit habis makan yaa begini, mengantuk. Dio enggan berjalan ke motornya. Agak sedikit menyesal karena banyak terisi ruang perutnya.

"Buruan, Yooo, entar gue terlambat."

"Ribut mulu, sih. Sabar. Ni juga sedang diengkol."

Pagi-pagi sudah ngomel saja nih kakak sebiji. Sudah rutin selama setahun ini bagi Dio untuk pergi mengantar kakaknya ke kampus. Demi menjadi wanita karir, kakaknya mulai kuliah lagi mengambil gelar masternya. Tua-tua di kampus. Padahal Mas Aris sudah kasih kode untuk melamarnya. Dio merasa kasihan melihat Mas Aris jika akhirnya menikah dengan kakaknya. Entah apa jadinya dunia ini.

 

***

 

Mata Dio terpaku menatap layar laptop. Desain grafis yang dia tangani mesti kelar dalam dua hari ke depan. Dia berencana lembur hari ini. Mama sudah dikabari tentang maksudnya sehingga tidak perlu menunggu kepulangannya. Belum ada dua jam dia duduk menatap layar laptopnya, perutnya mengulah. Ada gejolak emosi di sana. Yang dia ingat, tadi pagi belum rampung benar setoran awalnya. Ditambah lagi dengan sarapannya yang lumayan rakus.

Ditutupnya layar laptop. Dio berjalan cepat menuju tandas. Di lorong dia bertemu dengan pujaan hati, namun tetap berusaha tampil ok. Bulu lengannya meremang menahan gejolak emosi jiwa yang terjadi di dalam perutnya. Sial benar. Si pujaan hati senyum-senyum, entah apa maksud dari senyumnya. Dio salah tingkah tapi tetap bersikap cool.

Di dalam toilet Dio mencari tempat yang dirasanya cukup nyaman. Ada tiga bilik di sana, tapi semua pada menyalah. Entah apa yang terjadi. Ke mana semua gayung dan satu bilik malah mampet air pembuangannya. Dengan terpaksa Dio berjalan ke lantai satu, dan sekarang dia berada di lantai tiga. Ada apa sebenarnya dengan arsitek bangunan kantor ini. Mengapa lantai dua tidak ada toilet. Hanya pantry dan ruang olahraga serta ruang rapat yang memang didesain lebar.

Sungguh malang nasib perutnya yang masih meronta-ronta. Lain kali besok-besok dia akan bangun lebih cepat dan bisa lebih lama mendominasi kamar mandi tanpa gangguan kakaknya. Hanya rencana. Pada akhirnya rencananya selalu kacau jikalau berhubungan dengan kakaknya.

Perjalanan menuju lantai satu butuh perjuangan darah dan air mata. Eh? Maksudnya butuh perjuangan keringat dan air mata. Keringat, karena sungguh luar biasa menahan sesuatu yang memang sudah seharusnya pergi jauh keluar dari tempatnya berada. Air mata, karena meringis berkali-kali untuk menahan rasa agar tidak keluar yang tidak pada tempatnya.

Akhirnya tempat yang dituju berhasil dicapai. Sayangnya air di dalam ember tinggal separuhnya. Dan Dio sudah tidak perduli lagi. Dia harus menyetornya saat itu juga.

 

***

 

Pantry sepi. Dio membuka lemari gantung tempat menyimpan aneka merek kopi. Habis semua. Bahkan sesendok pun tidak tersisa.

Eko masuk membawa baki gelas-gelas kotor.

"Mas. Kopi pada ke mana ya?"

"Baru habis tadi, Mas. Baru saja Mas Dedi pergi membeli kopi baru. Kemarin lupa dibelinya karena kehujanan. Motornya masuk ke selokan."

"Innalillahi, jadi sekarang gimana?"

"Motornya?"

"Yaaa, Mas Dedinya laaa."

"Ooo, tidak apa-apa, Mas. Kan sudah pergi beli kopi tadi."

"Ya sudah, Mas, saya tunggu saja Mas Dedi balik."

Lebih sejam Dio melongo di pantry. Akhirnya dia meminta tolong Mas Eko membeli kopi kalengan di mini market di depan kantor mereka. Dia harus buru-buru menyiapkan kerjaannya. Waktunya hilang percuma selama tiga jam hanya gara-gara setoran dan kopi.

Ketika telah lewat istirahat siang, saat perut sudah merintih, Dio tersadar bekalnya tertinggal di rumah. Isi yang tadi pagi sudah habis disetornya. Cuma terisi kopi. Pantaslah merintih. Sekali lagi Dio pergi ke pantry, berharap keajaiban, misalnya ada sepiring cemilan di atas meja, pikirnya.

Lagi-lagi pantry kosong. Pada ke mana semua? Meja yang diharapkannya ada sepiring cemilan pun bersih, tidak ada satu benda pun di sana. Dio mengubek-ubek isi lemari gantung. Duuuh! Tadi katanya Mas Dedi pergi belanja, tapi pada ke mana yang sudah dibelanjakan tadi. Wafer gitu, kek, yang penting bisa dikunyah. Namun, tidak ada juga.

Dio kembali ke mejanya. Hari ini puasa saja, batinnya. Pikirannya masih simpang siur, antara lembur atau tidak. Akhirnya diputuskannya tidak jadi lembur. Sebaiknya dikerjakan di rumah saja. Terbayang olehnya sajian-sajian pelengkap lemburnya yang disiapkan mama.

 

***

 

Dan di sinilah Dio sekarang. Sendiri di rumah yang sepi, sunyi. Entah pada ke mana semua manusia penunggu rumah ini. Setelah melepaskan baju dinasnya dan berganti baju dinas yang lain, Dio bersungut-sungut menuju dapur. Teringat ada yang terlupa, dia kembali ke kamar dan mengambil ponselnya. Padam. Entah dari kapan.

Sambil menunggu nyawa ponselnya berisi, Dio menyalakan stereonya. Rasa laparnya hilang sejenak. Sambil menikmati lagu-lagunya, Dio memeriksa isi ponsel. Ternyata banyak panggilan tak terjawab dari mama dan kak Diah. Dio manggut-manggut membaca chat kakaknya. Mereka hanya mengabarkan akan menginap di rumah uwaknya dan papa akan menyusul. Seingat Dio, uwaknya memang sudah uzur. Anak-anaknya pun pada berjauhan semua tinggalnya.

Rasa lapar mulai terasa. Dio berjalan sempoyongan menuju dapur. Dilihatnya meja makan yang kosong. Tumben? Biasa selalu ada tudung saji di situ dan berisi macam-macam santapan. Oiya, mama menginap, Dio hampir lupa. Dilihatnya lagi sesuatu di atas kompor. Biasanya ada panci atau apa gitu, karena mama selalu buat cemilan, semisal bubur atau sejenisnya. Dan sekarang kosong. Oiya, mama menginap, lagi-lagi Dio hampir lupa.

Pintu kulkas dibuka Dio perlahan, berharap ada yang bisa dikunyah. Hanya ada sayuran. Karena mama menginap dan tidak ada seorang pun di rumah, tidak ada sedikit pun makanan yang tertinggal. Takutnya busuk, berbau, berjamur, atau apalah. Dio terduduk di depan pintu kulkas yang terbuka. Mulutnya menganga. Melongo dalam waktu yang lama. Rasa lapar membuat pikirannya kosong. Seperti perutnya yang sedang kosong.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

(FLASHBACK) DARI TANAH TANDUS

  Blurb: “Kak Ineee. Kepala Rubi pusing, Kak.” “Bertahanlah, Rubi! Bukan sekarang saatnya!” Ine dan Rubi, dua gadis kecil yang ter...