Blanko?
Blanke? Blankblank? Blankkolam? Blanksak? Blanktiga? Blanket? Blanknga?
Blankgu?
Aaaahh!!!????
Hantahlaahhh. Cekidot aja, yuuuukk...
***
Sepi.
Semua pintu terkunci. Kemana semua orang? Tidak mungkin, kan, dia sedang
syuting film zombie. Atau jangan-jangan dialah sang zombie itu. Kepala, dada
dan seluruh tubuhnya diraba keseluruhan mencari sepenggal logika. Otaknya
kembali ke alam nyata.
Diraihnya
dompet dari belakang saku celananya. Sang penyelamat dia pegang erat dan
diputar ke arah handle pintu. Hawa sejuk menyeruak. Salam pun terucap lirih.
Aroma khas ruangan tiap rumah ini dihirupnya kuat-kuat. Lalu berjalan bak
adegan lambat di beberapa film aksi, ke arah kamarnya. Demikian juga dengan
meletakkan tas punggungnya. Bahkan ketika mengganti setelan baju kerja ke baju
rumah pun penuh adegan lambat.
Berlebihan
alias lebay? Jelas!
Sudah
sore hari. Di kantor tadi dia secepatnya berbenah. Niat lembur dibatalkannya.
Berharap di rumah sudah ada sajian menggugah selera di meja. Kotak makan
siangnya ketinggalan. Padahal isinya semua jenis favoritnya. Seharian ini
sungguh-sungguh hari yang tidak bersahabat baginya. Salah satunya yaaa itu
tadi, kotak makan siangnya yang tertinggal.
***
Subuh
biasa yang tidak biasa. Hujan deras, petir menggelegar. Suara azan pun nyaris
tak terdengar. Bangunnya terhalang kantuk yang teramat sangat. Udara dingin
menyeruak ketika selimut tersibak. Perut pun ikut mengulah.
Matanya
samar-samar melihat bayangan di depannya yang kian membesar. Sebuah pukulan
empuk mendarat di kepalanya. Tidak ketinggalan terjangan maut dari sebuah kaki
mungil.
"Melek
yang bener. Kamar mandi di sebelah sana."
Suara
kakak dan tendangannya semakin mempercepat gejolak emosi isi perutnya.
Sepertinya sudah mulai waktu setoran. Secepat kilat dia berkutat dalam diam dan
penghayatan yang hakiki.
"Cepetaaaann!!"
Suara cempreng kakaknya menghilangkan konsentrasinya. Baru juga mulai. Hhh.
"Kamar
mandi mama aja sana."
"Ada
papa."
Dengan
enggan dia pun menyudahi setorannya dan secepat kilat membersihkan diri serta
mandi. Tidak ingin mendengar lebih jauh lagi omelan kakaknya.
***
Meja
makan penuh jamuan pagi. Seperti biasa kotak makan siangnya sudah stand by di
sudut meja. Hari ini cukup spesial. Hampir semua makanan kesukaannya yang
tampil di sana. Dia bingung ingin memulai dari makanan yang mana. Dicomotnya
roti bakar keju coklat. Dikunyahnya dengan penuh penghayatan. Matanya pun
ikutan merem melek menikmati keju coklatnya yang lumer di mulut. Tidak cukup
satu, tangannya meraih sekeping lagi. Kemudian karena merasa perutnya masih ada
ruang, diambilnya sepiring nasi uduk lengkap dengan onderdilnya.
"Yo.
Tunggu diusir atau gimana? Gak lihat udah jam berapa ini? Gak ngomel bos kamu
kalau kamu telat, apa?"
Dio
tersadar dari lamunannya. Kebiasaan memang kakaknya yang satu ini. Kagak senang
lihat orang lain senang. Lagian penyakit habis makan yaa begini, mengantuk. Dio
enggan berjalan ke motornya. Agak sedikit menyesal karena banyak terisi ruang
perutnya.
"Buruan,
Yooo, entar gue terlambat."
"Ribut
mulu, sih. Sabar. Ni juga sedang diengkol."
Pagi-pagi
sudah ngomel saja nih kakak sebiji. Sudah rutin selama setahun ini bagi Dio
untuk pergi mengantar kakaknya ke kampus. Demi menjadi wanita karir, kakaknya
mulai kuliah lagi mengambil gelar masternya. Tua-tua di kampus. Padahal Mas
Aris sudah kasih kode untuk melamarnya. Dio merasa kasihan melihat Mas Aris
jika akhirnya menikah dengan kakaknya. Entah apa jadinya dunia ini.
***
Mata
Dio terpaku menatap layar laptop. Desain grafis yang dia tangani mesti kelar
dalam dua hari ke depan. Dia berencana lembur hari ini. Mama sudah dikabari
tentang maksudnya sehingga tidak perlu menunggu kepulangannya. Belum ada dua
jam dia duduk menatap layar laptopnya, perutnya mengulah. Ada gejolak emosi di
sana. Yang dia ingat, tadi pagi belum rampung benar setoran awalnya. Ditambah
lagi dengan sarapannya yang lumayan rakus.
Ditutupnya
layar laptop. Dio berjalan cepat menuju tandas. Di lorong dia bertemu dengan
pujaan hati, namun tetap berusaha tampil ok. Bulu lengannya meremang menahan gejolak
emosi jiwa yang terjadi di dalam perutnya. Sial benar. Si pujaan hati
senyum-senyum, entah apa maksud dari senyumnya. Dio salah tingkah tapi tetap
bersikap cool.
Di
dalam toilet Dio mencari tempat yang dirasanya cukup nyaman. Ada tiga bilik di
sana, tapi semua pada menyalah. Entah apa yang terjadi. Ke mana semua gayung
dan satu bilik malah mampet air pembuangannya. Dengan terpaksa Dio berjalan ke
lantai satu, dan sekarang dia berada di lantai tiga. Ada apa sebenarnya dengan
arsitek bangunan kantor ini. Mengapa lantai dua tidak ada toilet. Hanya pantry
dan ruang olahraga serta ruang rapat yang memang didesain lebar.
Sungguh
malang nasib perutnya yang masih meronta-ronta. Lain kali besok-besok dia akan
bangun lebih cepat dan bisa lebih lama mendominasi kamar mandi tanpa gangguan
kakaknya. Hanya rencana. Pada akhirnya rencananya selalu kacau jikalau
berhubungan dengan kakaknya.
Perjalanan
menuju lantai satu butuh perjuangan darah dan air mata. Eh? Maksudnya butuh
perjuangan keringat dan air mata. Keringat, karena sungguh luar biasa menahan
sesuatu yang memang sudah seharusnya pergi jauh keluar dari tempatnya berada.
Air mata, karena meringis berkali-kali untuk menahan rasa agar tidak keluar
yang tidak pada tempatnya.
Akhirnya
tempat yang dituju berhasil dicapai. Sayangnya air di dalam ember tinggal
separuhnya. Dan Dio sudah tidak perduli lagi. Dia harus menyetornya saat itu
juga.
***
Pantry
sepi. Dio membuka lemari gantung tempat menyimpan aneka merek kopi. Habis
semua. Bahkan sesendok pun tidak tersisa.
Eko
masuk membawa baki gelas-gelas kotor.
"Mas.
Kopi pada ke mana ya?"
"Baru
habis tadi, Mas. Baru saja Mas Dedi pergi membeli kopi baru. Kemarin lupa
dibelinya karena kehujanan. Motornya masuk ke selokan."
"Innalillahi,
jadi sekarang gimana?"
"Motornya?"
"Yaaa,
Mas Dedinya laaa."
"Ooo,
tidak apa-apa, Mas. Kan sudah pergi beli kopi tadi."
"Ya
sudah, Mas, saya tunggu saja Mas Dedi balik."
Lebih
sejam Dio melongo di pantry. Akhirnya dia meminta tolong Mas Eko membeli kopi
kalengan di mini market di depan kantor mereka. Dia harus buru-buru menyiapkan
kerjaannya. Waktunya hilang percuma selama tiga jam hanya gara-gara setoran dan
kopi.
Ketika
telah lewat istirahat siang, saat perut sudah merintih, Dio tersadar bekalnya
tertinggal di rumah. Isi yang tadi pagi sudah habis disetornya. Cuma terisi
kopi. Pantaslah merintih. Sekali lagi Dio pergi ke pantry, berharap keajaiban,
misalnya ada sepiring cemilan di atas meja, pikirnya.
Lagi-lagi
pantry kosong. Pada ke mana semua? Meja yang diharapkannya ada sepiring cemilan
pun bersih, tidak ada satu benda pun di sana. Dio mengubek-ubek isi lemari
gantung. Duuuh! Tadi katanya Mas Dedi pergi belanja, tapi pada ke mana yang
sudah dibelanjakan tadi. Wafer gitu, kek, yang penting bisa dikunyah. Namun,
tidak ada juga.
Dio
kembali ke mejanya. Hari ini puasa saja, batinnya. Pikirannya masih simpang
siur, antara lembur atau tidak. Akhirnya diputuskannya tidak jadi lembur.
Sebaiknya dikerjakan di rumah saja. Terbayang olehnya sajian-sajian pelengkap
lemburnya yang disiapkan mama.
***
Dan
di sinilah Dio sekarang. Sendiri di rumah yang sepi, sunyi. Entah pada ke mana
semua manusia penunggu rumah ini. Setelah melepaskan baju dinasnya dan berganti
baju dinas yang lain, Dio bersungut-sungut menuju dapur. Teringat ada yang
terlupa, dia kembali ke kamar dan mengambil ponselnya. Padam. Entah dari kapan.
Sambil
menunggu nyawa ponselnya berisi, Dio menyalakan stereonya. Rasa laparnya hilang
sejenak. Sambil menikmati lagu-lagunya, Dio memeriksa isi ponsel. Ternyata
banyak panggilan tak terjawab dari mama dan kak Diah. Dio manggut-manggut
membaca chat kakaknya. Mereka hanya mengabarkan akan menginap di rumah uwaknya
dan papa akan menyusul. Seingat Dio, uwaknya memang sudah uzur. Anak-anaknya
pun pada berjauhan semua tinggalnya.
Rasa
lapar mulai terasa. Dio berjalan sempoyongan menuju dapur. Dilihatnya meja
makan yang kosong. Tumben? Biasa selalu ada tudung saji di situ dan berisi
macam-macam santapan. Oiya, mama menginap, Dio hampir lupa. Dilihatnya lagi
sesuatu di atas kompor. Biasanya ada panci atau apa gitu, karena mama selalu
buat cemilan, semisal bubur atau sejenisnya. Dan sekarang kosong. Oiya, mama
menginap, lagi-lagi Dio hampir lupa.
Pintu
kulkas dibuka Dio perlahan, berharap ada yang bisa dikunyah. Hanya ada sayuran.
Karena mama menginap dan tidak ada seorang pun di rumah, tidak ada sedikit pun
makanan yang tertinggal. Takutnya busuk, berbau, berjamur, atau apalah. Dio
terduduk di depan pintu kulkas yang terbuka. Mulutnya menganga. Melongo dalam
waktu yang lama. Rasa lapar membuat pikirannya kosong. Seperti perutnya yang
sedang kosong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar