Senin, 03 Agustus 2020

Pulang

No caption!!

 

***

 

Suara katak saling bersahutan. Beberapa ekor kelelawar terbang rendah di sisi jalan yang lenggang. Ditambah suara langkah kaki yang sedang berjalan lambat. Tas ranselnya tampak berat di punggungnya. Sepanjang dua ratus meter terbentang sawah di setiap sisi kiri dan kanannya dari ujung jalan masuk menuju dusun ini. Memang bukan jalan yang lebar tetapi masih bisa dilewati dengan kendaraan yang lumayan besar. Penerangan yang kurang menambah kesan suram. Namun kerlap kerlip lampu dari beberapa rumah warga di penghujung sawah terlihat bagai kunang-kunang.  Sepertinya tempat ini baru selesai turun hujan. Udara lembabnya menyegarkan.

Dia memeriksa waktu di pergelangan tangan kirinya. Mungkin ada yang salah atau dia yang salah dusun. Dan dia belum terlalu malam ketika tiba di sini. Namun tidak dilihatnya satu orang pun warga yang melintas.

Suara kayuhan dari sepeda yang mulai reyot terdengar pelan dari arah belakang. Tanpa ragu dia menoleh dan melihat lampu sorot sepeda yang sangat redup. Dia berhenti sejenak untuk melihat siapa yang mengendarainya.

"Nak Zi, tah? Baru tiba? Mau ke depan, tah?"

Ternyata Wak No, kepala dusun terdahulu. Entah masih menjabat entah tidak, dia tidak perduli.

"Nggih, Wak."

"Ayuk barengan. Pasti capek."

"Nggih."

Sebelum Zainal menolak dan tanpa komentar apapun dia langsung duduk di bangku belakang sepeda janda Wak No. Dia hanya ingin segera tiba di rumah. Jauhnya perjalanan membuat tubuhnya lelah. Sepanjang perjalanan Wak No banyak bercerita tentang apa saja. Bahkan diselingi dengan tawa khas beliau.

Rumahnya mulai terlihat, rumah dengan pekarangan paling luas di dusun ini. Pagarnya hanya ditumbuhi pohon kedondong laut, beberapa ada pohon kelapa rendah yang lebat buahnya. Gazebo tua nampak tak terawat di sisi kiri halaman depan.

"Terima kasih, Wak."

"Nggih. Jangan kecil hati karena kehilangan pekerjaan. Di sini banyak yang bisa dikerjakan, tah." Wak No tersenyum setelah mengatakan itu kemudian berlalu.

Zainal masih berdiri di depan pintu pagar rumahnya. Tidak ada satu pun keluarganya yang tahu tentang kepulangannya ini. Namun dia heran mengapa Wak No bisa tahu.

 

***

 

Pelukan Ummi begitu erat padanya. Abi menahan air matanya. Lima tahun tidak berjumpa bukan waktu yang sebentar. Si Bungsu, Ino, menangis di lengan Ummi. Tidak terasa dia sudah besar, sudah kelas satu sekolah menengah kejuruan. Sepertinya banyak kejadian yang sudah dia lewati. Ummi terlihat lebih kurus. Wajah Abi pun semakin menua, sudah banyak keriputnya di mana-mana. Kepulangannya ini adalah pilihan yang tepat.

Selagi Ummi menyiapkan makan malam buatnya. Zainal rebahan di atas kasur kapuknya. Menerawang memandangi langit-langit kamarnya. Kamarnya masih sama seperti waktu dia tinggalkan dulu, tidak ada yang berubah. Bahkan debu pun tidak ada. Sudah pasti Ummi selalu membersihkannya. Sejak lulus kuliah dan memilih bekerja di luar pulau, dia belum ada pulang satu waktu pun. Jelas sekali kerinduan mereka tadi.

Tentang Wak No tadi, Zainal terlupa menanyakannya kepada Abi. Nanti sajalah setelah semuanya terkendali. Sebelum Ummi memanggilnya, Zainal mengemasi barang-barangnya ke dalam lemari dan segera membersihkan diri.

 

***

 

Zainal mengayuh sepeda tua Abi dengan santai. Angin malam yang sejuk membuat wajahnya memerah. Sehabis isya tadi dia ngobrol sejenak dengan sesepuh di sana. Sudah hampir sebulan dia menghabiskan malam bersama mereka. Bercerita tentang hidup dan kehidupan. Zainal pun banyak belajar dari pengalaman mereka.

Semua punya gambaran hidupnya seperti apa. Semua punya mimpi dan harapan. Ada yang terwujud dan ada yang mengambang tidak tentu arahnya ke mana. Dan Zainal menikmati setiap moment dari pengalaman mereka. Tidak hanya sesepuh saja, namun, yang muda seperti dirinya, bahkan ada yang lebih muda darinya, bercerita panjang lebar tentang impian dan segala pencapaian yang sudah diraih. Dan bagi Zainal, inilah titik balik kehidupannya. Segala upaya sudah diusahakan, namun, karena tanpa adanya restu keikhlasan dari orang tua segalanya percuma.

Suara sepeda reyot yang dikenalnya terdengar semakin dekat. Zainal menghentikan kayuhannya sejenak dan menunggu.

"Assalamualaikum, Nak Zi."

"Waalaikumsalam, Wak No. Tumben sudah malam begini baru pulang. Dari mana, Wak? Kok malam sekali pulangnya?"

"Belum terlalu malam ini. Baru juga jam sepuluh, tah." Wak No tertawa menampilkan gigi ompongnya di sebelah kiri atas.

Mereka mengayuh sepeda dengan lambat sambil Wak No bercerita tentang apa saja. Zainal suka sekali dengan cerita Wak No. Selalu menarik untuk didengar.

"Jadi, sudah beberapa malam ini Uwak selalu pulang malam, memangnya Uwak dari mana saja?" Rasa penasaran Zainal terusik.

"Dari mesjid, tah."

"Lho? Saya juga dari sana. Sudah sebulan ini saya selalu pulang dari sana, Wak. Kenapa kita ndak jumpa ya?" Kebingungan jelas terpancar dari wajah Zainal.

"Saya ada kok, Nak Zi. Nak Zi saja yang ndak melihat saya duduk di sana, tah."

Zainal bertambah bingung.

 

***

 

Hari ini Zainal berniat menuntaskan pekerjaannya yang tertunda. Kemarin ba'da Dzuhur dia ketiduran dan pekerjaannya menjadi terbengkala. Sesampai di halaman belakang, Zainal dibuat melongo dengan pemandangan di depannya. Halaman Wak No telah bersih dan sekitar rumahnya terlihat terang. Dilihatnya Wak No sedang membakar sampah-sampah dahan dan dedaunan. Padahal kemarin Zainal benar-benar melihat halaman belakang rumah Wak No yang tidak terawat, tidak kalah semaknya. Belukar tumbuh di mana-mana. Pepohonan di sekitar rumahnya terlihat meninggi dan rimbun dipenuhi dedaunan yang tumbuh subur. Rumah itu terilhat suram. Padahal setahu Zainal, Wak No selalu rajin membersihkan kebunnya walau tidak seberapa luas itu.

"Assalamualaikum, Nak Ze."

"Waalaikumsalam, Wak No. Mantap sekali. Hebat. Cepat sekali Uwak membersihkannya." Zainal berdecak kagum.

"Waah, jangan memuji, tah. Halaman saya kan ndak seluas halaman Abimu, jadi ndak terlalu sulit membersihkannya."

"Tapi benaran saya salut melihat kemampuan Uwak. Masih sehat, masih kuat, tah. Apa nih rahasianya, Wak?"

Wak No senyum-senyum saja. "Mari mampir."

"Terima kasih, Wak, masih banyak pekerjaan saya ni." Zainal undur diri dan mulai melakukan aktivitasnya kembali. Dalam hati dia terus bertanya-tanya, dari mana tenaga Wak No sampai dalam sehari sudah terlihat hasilnya, bahkan lebih rapi dan bersih dari pekerjaan Zainal yang masih muda. Mungkin ada tenaga bayaran yang diupah oleh Wak No. Dan pikiran itu yang terbersit.

 

***

 

Sore yang sejuk. Angin semilir. Ditemani Abi, secangkir teh dan singkong goreng buatan Ummi, Zainal duduk bersandar di gajebo tua. Tidak lama Ummi datang menyusul dan mereka ngobrol santai. Bagi Zainal inilah saatnya untuk dia ceritakan perihal mangkirnya dari pekerjaan di pulau seberang.

Dengan segala pencapaian yang Zainal peroleh wajar jika seorang atasan memilihnya untuk ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Namun, ternyata hal tersebut menjadi bibit dengki bagi sebagian yang sudah lebih dulu menjabat dari pada Zainal. Dua tahun Zainal terbaring sakit, sembuh, sakit kembali, sembuh kembali, begitu berulang-ulang.

Atas saran sahabatnya semasa kuliah, Zainal pun undur diri dari perusahaan. Mulai menata kembali di kantor pusat. Namun, hal serupa juga terjadi. Karena sudah pengalaman atas apa yang telah terjadi terdahulu, sebelum segalanya semakin parah, Zainal memilih mengundurkan diri.

Dan di sinilah dia sekarang. Memilih menjaga kedua orang tuanya. Baginya hal ini lebih mulia. Rejeki sudah ada aturannya. Lalu terbersit oleh Zainal akan sesuatu yang menurutnya ganjil.

"Oh iya, Bi, hampir tiap malam Ze pulang agak kemalaman setelah isya. Dan Ze selalu berpapasan dengan Wak No. Kami sering mengobrol."

Wajah Ummi memucat. Mata Abi merewang jauh ke langit.

"Tadi pagi pun Ze melihat Wak No membersihkan kebun belakangnya. Kami bertegur sapa sebentar. Sepertinya beliau ndak menjabat sebagai kepala dusun lagi ya, Bi?"

Abi menoleh sebentar kemudian memperhatikan langit kembali. Ummi permisi kembali ke dalam rumah mengambil air putih.

"Iya. Sudah lama beliau ndak menjabat lagi."

Kembali mata Abi jauh menerawang ke langit. Entah apa yang dipikirkan. Terus-terusan menghembuskan napas seperti ada beban yang berat di pundaknya.

"Syukurlah beliau sehat-sehat saja ya, Bi. Terus, gimana kabar Reni, anak semata wayang Wak No, Bi?"

Ummi yang baru tiba menjatuhkan teko yang berisi air putih. Zainal dan Abi sampai kaget dibuatnya.

"Aduuh, Ummiii, syukurlah bukan beling." Abi membenahi teko yang jatuh. "Sudah, sini, biar Abi saja yang ambil lagi."

Ummi pun mengikuti langkah Abi yang masuk ke dalam rumah. Zainal dibuat bingung dengan kelakuan orang tuanya.

 

***

 

Malam ini tidak banyak yang hadir ketika sholat isya berjamaah. Kali ini Abi ikut dengan Zainal. Tubuhnya sudah mulai sehat. Zainal memperhatikan setiap saf. Tidak dilihatnya keberadaan Wak No. Abi memilih pulang lebih dulu bersama beberapa sepuh. Zainal masih berbincang-bincang ringan dengan tiga teman sebayanya dulu. Zainal berkali-kali melihat sekeliling. Hal ini membuat Raka, teman kecilnya menegurnya.

"Ada apa, Ze? Ada yang dicari?"

"Aku kok ndak lihat Wak No di sekitar sini."

Ketiga temannya terkejut dengan pernyataan Zainal. Mereka terlihat gelisah.

"Maksudmu?" Deni memberanikan diri bertanya.

"Setiap malam kalau aku pulang dari sini selalu disusul oleh Wak No. Bunyi sepeda reyotnya itu, lho, kadang yang membuat aku sudah ndak asing lagi dengan kehadirannya."

Raka, Deni maupun Tito diam seribu bahasa.

Zainal masih melanjutkan ceritanya. "Bahkan tadi pagi aku sempat melihatnya sedang membersihkan kebun belakang rumahnya. Kami ngobrol sebentar. Aku lupa menanyakan kabar Reni. Kudengar dia sudah menikah. Tentunya sudah punya anak, tah."

"Ze..." Raka menatap Zainal lama. Dipandanginya dua temannya yang lain. Seakan-akan meminta bantuan.

"Ada apa, Ka? Serius benar wajahmu?"

"Ze..." Raka menahan napas. "Wak No sudah lama meninggal. Sudah tiga tahun lalu. Reni juga sama, sudah meninggal."

Kemudian cerita dilanjutkan oleh Tito. Pada saat hari naas itu terjadi, suami Reni kalap, dia melihat Reni kedatangan tamu di rumah. Teman mereka juga, Beni. Dan karena mereka terlihat akrab, itu membuat suaminya curiga. Sedangkan Beni ke sana hanya menyampaikan wangsit ayahnya yang saat itu menjabat kepala dusun setelah ayah Reni, Wak No.

Cekcok tidak terhindari. Dan Wak No tidak di tempat saat itu terjadi. Sedang ada urusan di kelurahan. Ketika pulang Wak No melihat cipratan darah di mana-mana. Dan anaknya sudah terbujur kaku di samping meja makan. Di samping jasad Reni duduk suaminya, masih dalam keadaan bersimbah darah.

Wak No menangis di depan jasad anaknya dan mengata-ngatai suami anaknya itu. Hal ini malah membuat suami Reni semakin kalap dan menikam Wak No secara membabi buta.

Saat itu memang secara kebetulan ada dua orang saksi. Wak No pulang bersama dua orang pengurus dusun. Mereka sebelumnya menunggu di luar, tetapi dikarenakan ada teriakkan dari dalam mereka segera masuk ke dalam rumah.

Zainal terperangah mendengar cerita Tito. Mimik wajahnya tergambar jelas bahwa dia tidak percaya dengan kejadian tersebut. Terutama terjadi di daerahnya, bahkan di belakang rumahnya. Seakan-akan terdengar seperti berita dari televisi. Suara Tito terdengar semakin jauh. Tubuhnya hampir limbung kalau saja tidak disanggah oleh Deni.

"Jadi, jadi, jadi selama ini siapa yang sering aku temui itu?" Wajah Zainal berubah pucat.

"Mungkin hanya kamu yang ndak tahu berita ini makanya beliau sering datang menemuimu. Bukankah dulu kamu juga akrab dengan Wak No, kan." Raka menutup cerita Tito sekalian menjawab pertanyaan Zainal.

Zainal menatap Deni. Rumahnya sebelah kiri sebelum rumah Zainal. Malam ini dia tidak ingin pulang sendiri. "Den, belum hendak pulang, kan?"

"Yang benar saja. Dengar ceritamu ini mana mau aku pulang sendiri."

 

***

 

Deni bertandang ke rumah Zainal. Sekedar melihat aktivitas baru teman kecilnya itu. Tidak disangka malah disuruh bantuin menebang batang-batang pohon pisang yang tidak berbuah. Walau mengomel, namun tetap dia lakukan dengan senang hati.

Dari tempat Deni berdiri jelas sekali terlihat halaman belakang rumah mendiang Wak No yang penuh dengan semak belukar serta pohon-pohon rimbun tidak terawat. Bulu kuduknya meremang teringat cerita Zainal yang mengatakan tentang kebun belakang Wak No yang sudah bersih dalam sekejap. Polos banget si Zainal, masak baru kemarin masih penuh semak belukar tiba-tiba saja langsung bersih tidak bersisa. Tidak takut apa dia, Deni membatin sendiri.

"Assalamualaikum."

Deni menoleh. Siapa yang mengucapkan salam? Dilihatnya Zainal masih sibuk mengangkat batang-batang pohon pisang yang sudah dipotong-potong.

"Assalamualaikum."

Sekali lagi Deni mendengar suara itu. Namun, kali ini Zainal berhenti dari kegiatannya sebentar dan memasang telinga. Jantung Zainal berpacu cepat. Walau tadi sempat samar terdengar olehnya, namun, dia ingat siapa pemilik suara ini. Zainal memandang Deni yang terdiam bak patung. Bahkan matanya tak berkedip.

"Assalamualaikum."

Sontak mereka berdua menoleh ke arah suara. Terhalang oleh asap bakaran sampah, siluet itu semakin lama semakin jelas terlihat. Dari balik pagar tanaman Wak No memperlihatkan senyuman khasnya. Dan mungkin pada saat itu bagi Zainal dan Deni merupakan seringai mengerikan yang muncul di siang bolong begini.

"Kenapa salam saya ndak dijawab, Nak Ze, Nak Deni? Apakah karena kalian sudah tahu siapa saya?"

Zainal merasakan genggaman kuat tangan Deni di lengannya.

"Mari mampir."


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

(FLASHBACK) DARI TANAH TANDUS

  Blurb: “Kak Ineee. Kepala Rubi pusing, Kak.” “Bertahanlah, Rubi! Bukan sekarang saatnya!” Ine dan Rubi, dua gadis kecil yang ter...