Wadidaw!
Ini tulisan novel mini pertamaku. Benar-benar ikutan 1m1c tidak terbuang
percuma. Melatih kinerja otak dan mengasah setiap kalimat tulisanku. Walau
menurutku, sebenarnya masih ada aja, sih, yang kurang. Tapi wajar lah ya,
kurang sana sini. Asal jangan kurang ajaaarr. 😂
Wokeh! Mari kita telusurilah gimana, sih, tulisanku yang nggak seberapa
ini. Cekidot, yuuk....
***
Tentang Rumor
Ada rumor
tentang rumah tua di pinggir danau. Konon katanya rumah itu akan terlihat ketika hari cerah saja. Namun,
akan menghilang ketika sekitar danau mulai berkabut. Di dalamnya ada beberapa
ruangan, tidak jelas berapa jumlahnya. Ada bukit yang sering ditumbuhi bunga
tanpa pernah layu dan mati di sisi atas sebelah kanan rumah tua. Jika ingin
berkunjung ke sana harus menaiki perahu kecil dari dermaga. Akan tetapi, tidak
pernah seorang pun di antara penduduk kampung yang berkeinginan untuk pergi ke
sana.
Pernah ada seorang turis yang datang
dan ingin berkunjung menikmati bukit berbunga. Lalu, penduduk setempat, seorang
pria paruh baya, hanya mengantar dan menunggu di perahu tanpa ikut menemani
mereka. Dari cerita si pria, tidak ada seorang pun yang turun dari bukit itu
walau pun dia menunggu sampai seharian.
Rumor lain pun mengatakan, kalau rumah
tua itu seakan-akan berpenghuni. Kabarnya ada beberapa nelayan yang sering
menjala ikan di sekitar, yang melihat penerangan di dalam mau pun di
sekitarnya. Beberapa ada yang mengatakan, mendengar suara-suara tawa tanpa
melihat ada seorang pun di dalam sana.
Namun, rumor yang paling aneh
adalah, sangat jelas terlihat, tidak ada apa pun di pinggir danau di bawah
bukit berbunga.
Prolog
"Cepat! Arah ke sini!"
Mereka berlari melewati
lorong-lorong gelap. Bermodal senter dari ponsel yang baterainya hidup segan
mati tak mau.
"Tunggu!" Pemuda jangkung
itu berhenti mendadak. "Aduh!"
"Maaf, Bang." Pemuda gemuk
itu membetulkan kacamatanya.
"Kenapa! Ada apa?" Seorang
wanita paruh baya terlihat kelelahan di belakang mereka berdua.
"Ssssst!" Pemuda jangkung
itu meletakkan telunjuknya di bibir. Lalu, tangannya memberi aba-aba agar
mereka mulai waspada.
"Kalau Fani kasih aba-aba
'jalan', langsung jalan ya, Bang."
"Oke."
Mereka menunggu untuk waktu yang
agak lama.
"Sekarang!"
"Ayo!" Pemuda itu, diikuti
oleh dua orang di belakangnya langsung berjalan cepat.
Tidak ada yang bersuara, hanya
langkah mereka yang terdengar menggema.
Dua Hari
Sebelumnya
Family Gathering yang diadakan
keluarga Harkat Martabat, 😂 --- Harus Sepakat Meski Suka Terlambat ---
sudah berkumpul di halaman depan Pret Home Stay. Kali ini mereka datang
dengan formasi lengkap tanpa terkecuali.
Udara malam yang dingin membuat
beberapa keluarga Harkat berkumpul di depan api unggun. Bukan. Api bekas
bakaran ayam. Ditemani beberapa cangkir kopi dan teh, mereka berbincang santai.
Setelah setengah harian menikmati alam sekitar, dan sore harinya mereka
mengadakan game jadul, anak-anak bermain sesuka hati di atas gazebo yang
menghadap langsung ke danau.
"Gimana? Jadi besok kita
jelajah ke seberang sana?" Hime, wanita dengan tubuh berisi mulai meminta
pendapat.
Jelajah, ungkapan mereka untuk
jalan-jalan ke tempat yang unik dan belum pernah atau sedikit orang yang
berkunjung ke daerah tersebut.
"Adek bebas, Aunty."
Riko, Irfan, menjawab bersamaan. Mereka tertawa.
"Siapa saja yang mau ikutan
jelajah?" Haru, wanita nomor dua di keluarga Harkat mulai bergabung
setelah selesai membenahi bekas-bekas perkakas kotor saat makan malam tadi.
"Siapa yang mau saja. Anak-anak
emang nggak ikut. Kalau bisa yang sudah cukup umur saja." Hime menimpali.
"Siapa yang jaga anak-anak di
sini?" Haru menatap bergantian ke arah Hime dan dua adiknya yang lain.
"Hasnah!" Si bungsu,
Hasnah, mengangkat tangannya. "Biar Hasnah sama bang Putu yang jaga
anak-anak. Kalian pergi saja."
"Kak Hana? Kak Hera?" Hime
menatap mereka berdua.
"Ikut." Mereka tersenyum,
saling memandang penuh arti.
"Guys?"
"Ikut!" Serempak mereka
menjawab, Kenzo, Harry, Riko, Irfan, Yato, Fani dan Kayla.
"Oke. Berarti yang ikut pergi
jelajah ada sebelas orang. Besok pukul setengah tujuh kita sudah stand by di
pinggir danau." Hime mulai mengetik sesuatu di ponselnya. "Pastikan
baterai ponsel penuh, power bank, bawa perangkat-perangkat yang
diperlukan saja. Paham?"
"Paham!"
***
"Perasaan Fani kok nggak enak
ya, Ma?"
"Tentang apa?"
Hera dan anak gadisnya sedang
berkemas, mencoba membawa barang yang diperlukan hanya dalam satu tas saja.
"Nggak perlu merasa nggak enak.
Kamu tuh, Fan, selalu begitu. Setiap kita pergi menjelajah, bilang 'nggak enak,
nggak enak'. Jalani saja, nikmati. It's fine, oke? Enjoy."
Yato, abangnya juga sedang berkemas.
"Heh! Ini tentang Abang,
tahu!"
"Halah! Yang begini, tuh, yang
membuat kita nggak maju-maju. Di sini kita merasa tertantang. Melatih jiwa kita
juga untuk tidak menjadi seorang pengecut."
"Heh! Kalau dibilangi itu
jangan ngeyel jadi orang."
"Apa...."
"Sudah, sudah. Perasaan nggak
enak itu wajar. Sudah berapa kali hal ini kita lalui. Jadi jangan dijadikan
penghalang ya, Fani." Hera lalu menatap tajam ke wajah anak lajangnya.
"Bang, dengar nasehat Mama, jangan takabur, jangan ujub. Hal ini yang bisa
menjerumuskanmu. Kurangi sifat itu. Sudah berapa kali harus Mama peringati,
hmm?"
"Iya, Ma."
***
"Ma, perasaan Zaki nggak enak,
nih."
"Tentang apa?" Hasnah
merapikan baju-baju di dalam koper.
"Tentang bude dan yang lainnya.
Tentang menjelajah besok."
"Nggak apa. Bukan hal serius,
'kan?"
"Mana ada hal begini yang nggak
serius, Ma."
"Bukannya sudah sering kita
mengalami hal-hal begini?"
"Tapi ini agak sedikit berbeda.
Nggak biasa."
"Bagus, 'kan. Jadi tambah pengalaman
dan ilmu baru nantinya. Doakan saja lancar dan dimudahkan sampai selesai
jelajah."
"Insyaa Allah, mudah-mudahan,
Ma."
***
Masih berkabut ketika mereka mulai
menjauh dari pinggir danau. Empat pemandu di empat perahu kayu mengayuh pelan
menuju tengah danau. Terlihat beberapa nelayan di sekitar mereka dalam ruang
lingkup kabut yang menyelimuti. Pemandangan yang sangat luar biasa. Dinaungi
mentari yang hampir muncul, bias-biasnya menembus sisi kabut. Menampilkan
relief-relief yang tidak biasa, yang belum tentu ada hal serupa esoknya.
Hime, Yato, Irfan dan Kenzo mencoba
mengabadikannya dengan kamera n*x*n --- sebaiknya tidak usah menyebut merek ya
--- 😂.
Beberapa ekor ibis terbang rendah di
saat moment mentari yang hampir membias di permukaan danau. Kilauannya bagai
emas. Sejauh mata memandang seakan-akan sedang berada di dunia lain, tanpa
suara, bahkan hembusan napas mereka pun tercekat melihat hamparan indah yang
disuguhi Sang Pencipta.
"Hemat baterai ponsel. Hemat
baterai ponsel." Suara Hime sedikit ditekan karena melihat beberapa di
antara mereka yang sibuk mengabadikan wajahnya di antara pemandangan tadi.
Mereka tertawa dan mulai
kasak-kusuk.
Puas menikmati bias mentari yang
muncul, perahu mulai mengitari sisi seberang utara. Dataran yang dipenuhi sawah
yang berundak-undak. Turun ke sisi bawah, sekitar pinggir danau. Ada beberapa
tambak milik penduduk setempat berjejer rapi di pinggirnya. Eceng gondok dan
teratai merah mengitari tepi-tepi pengait di tiap sisi pembatas.
Beralih ke sisi selatan, perahu
mulai mengitari beberapa pohon rindang yang menjorok ke tepi danau. Tebing yang
terjal mendominasi daerah itu. Lalu, terlihat bukit yang menjadi tempat tujuan
mereka. Namun, yang paling menakjubkan, hal yang tidak di sangka-sangka
terlihat. Agak sedikit tertutup oleh lebatnya bunga terompet dua warna. Hal ini
membuat empat pemandu terpaku dan memilih menghentikan kayuhannya.
Mereka berempat mulai berbicara
dengan bahasa daerah.
"Ada apa? Bukankah rumah itu
emang sudah ada di sana, 'kan?" Hime yang mengerti sedikit bahasa mereka,
mengerutkan dahinya.
Mereka berempat saling berpandangan.
"Kembali sebelum ashar."
Tiba-tiba ada seorang nelayan tua di
dekat perahu mereka.
"Kembali sebelum ashar."
Mereka semua terdiam. Keempat
pemandu mulai mendekati perahu nelayan tua dan pindah ke sana.
"Kabut akan datang setelah
tengah hari. Dan sebelum mencapai tempat ini, keluar dari sana secepatnya.
Tambatkan seluruh perahu di pohon akasia paling besar, jangan pohon yang
lain."
Keluarga Harkat memperhatikan
kepergian nelayan tua itu dan empat pemandu yang meninggalkan mereka setelah
peringatan tersebut. Lalu, Haru dan Harry mulai mengaitkan tali di pohon akasia
yang dimaksud nelayan tua itu. Kebetulan letaknya dekat dengan perahu mereka.
Yang lain mulai mengikuti.
Ada dermaga kecil yang kayunya mulai
lapuk dimakan usia. Mereka berjalan dengan langkah pelan. Bunyinya berderit.
Dua ekor ibis terbang rendah di dekat perahu mereka dan bertengger sejenak di
sana.
Kenzo dan Harry yang berjalan paling
depan mulai mengitari halaman rumah. Tampak biasa seperti rumah-rumah yang lain
dan halaman yang lain. Tidak ada yang istimewa. Terlihat sangat terawat dan
bersih. Hampir semua jendela terbuat dari kaca dan ditutup dengan tirai tipis
di baliknya. Halaman rumah ditumbuhi banyak bunga terompet berbagai warna.
Namun, yang terlihat di depan hanya ada dua warna.
Angin berhembus agak kencang,
menyebabkan bunyi lonceng furin yang tergantung di teras rumah. Ribuan
bunga kuning akasia berterbangan. Ada banyak bertebaran di rumput dan
suasananya mulai berubah. Langit pun terlihat berbeda.
Fani memegang erat lengan Hera. Riko
memandang langit, bunga-bunga kuning akasia seakan mengitarinya. Hime, Yato,
Kenzo dan Irfan masih terus mengabadikan suasana. Hana menatap lekat ke arah
pintu rumah. Bulu lengannya meremang seketika.
Haru menyikut lembut pinggang Hana,
lalu berbisik, "lihat tadi, 'kan?"
Hana tidak mengangguk, tetapi juga
tidak menggeleng.
Kayla tetap berada di wilayah yang
menurutnya aman, di samping pak kusir, eh, di samping ibunya, Haru. Lalu,
terdengar Harry mengetuk pintu.
"Assalamualaikum."
Semua terkejut dan menoleh.
"Jangaaaaan!"
Mereka Yang Terpilih
"Seperti biasa. Bang Harry yang
memulai ulah." Zaki menatap jauh ke arah danau sambil mengunyah keripik
kentang terakhir.
"Terus?" Hasnah masih
setia dengan kuaci tercintanya.
Mereka berdua duduk di teras sambil
memperhatikan Yana, Kia, Ika dan Raja bermain di bawah pohon pinus. Menabur
bunga dan berdoa. Entah apa yang mereka kubur di sana. Putu, suami Hasnah, saat
ini harus selalu stand by di depan laptop. Kabarnya ada gangguan sedikit
dari kantor pusat, yang seharusnya adalah hari cutinya.
"Ada yang aneh."
"Apa?" Hasnah dari tadi
menunggu 'penglihatan' anak lajangnya. Wanita itu harus sabar, padahal keponya
sudah di ubun-ubun.
"Hari cerah, tapi di kawasan
itu terhalang kabut tipis. Kakek itu sepertinya penjaga yang rumahnya di
sekitar bukit bunga. Sebenarnya tadi dia mau mengatakan, jangan masuk ke dalam
rumah, tapi nggak jadi."
"Kenapa?"
"Semakin dilarang pasti ada
rasa ingin tahu."
"Iya, sih."
"Bang Harry yang mulai."
"Jadi, masih berkomunikasi
dengan kak Fani?"
"Masih."
***
Ada dua pohon pinus tua tumbuh kokoh
di antara bunga-bunga yang bermekaran di bukit. Letaknya saling berjauhan dan
berhadapan. Mereka duduk di bawah naungan salah satunya. Menikmati angin,
aroma, suasana dan makan bekal.
Tidak ada sinyal sama sekali sejak
mereka mulai berdiri di halaman rumah tua. Riko menyadarinya ketika rumah tua
itu terlihat dan kemudian nelayan tua yang tiba-tiba datang. Akan ada hal-hal
aneh nantinya. Sudah sering pemuda itu mengalaminya, namun, saat ini agak
berbeda. Dia tidak ingin memperlihatkannya kepada yang lain, terutama ibunya,
Hana. Berbeda dengan Fani dan Irfan, mereka berdua sudah tahu apa yang
dirasakan Riko.
Tim mengabadikan setiap moment
berpencar di antara bunga dan bagian puncak bukit. Jurang terjal yang mengarah
ke danau menambah panorama yang tidak biasa. Memang diciptakan untuk memanjakan
mata.
Angin kencang membawa aroma bakar
yang khas. Tidak semua di antara mereka yang tahu tentang aroma ini. Riko, Fani
dan Irfan berpandangan. Dari balik batang pinus tua, di depan mereka, samar
terlihat siluet seorang wanita berambut panjang dengan gaun hijau muda jaman
dulu yang sebatas lutut. Angin kencang membuat rok dan rambutnya berkibar
menampilkan wajah putih pucat dan mata yang memandang kosong ke arah mereka.
***
Fani sedikit menunduk dan berdiri
menyamping di balik pundak ibunya. Ada yang aneh dari dalam rumah itu. Bang
Riko berdiri lama menatap langit. Apakah ada yang lebih aneh lagi? Fani
tidak berani melihat langsung. Dari ekor matanya dia tahu bang Irfan sengaja
mengambil foto rumah tua itu tampak bagian depan.
Masalahnya hampir rumit ketika bang
Harry mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Kalau saja aunty Hime tidak
memanggil dan mengajak ke arah bukit, tentu mereka sudah berada di dalam rumah
itu sekarang. Yang sangat menakutkan adalah saat mereka semua beranjak menuju
bukit, Fani mendengar suara pintu terbuka.
Lalu, di sini, bukit berbunga ini
tampak ganjil dan suasananya sedikit aneh. Tidak ada lebah, tidak ada
kupu-kupu, tidak ada ngengat yang biasa berseliwiran di setiap kebun bunga.
Tempat ini terlalu sepi. Desau angin dari celah dedaunan pinus sedikit
mengganggu. Bunyinya seperti peluit yang sangat jauh.
Namun, akhirnya, si empunya kebun
menampakkan diri walau berupa siluet. Yang lain tidak melihatnya. Hanya dia,
bang Riko dan bang Irfan yang terus memperhatikannya.
***
Lewat tengah hari. Waktunya dzuhur.
Tidak terdengar azan atau apa pun. Bahkan suara burung pun tidak ada. Mau tidak
mau mereka masuk ke dalam rumah tua.
Benar saja. Pintunya terbuka. Ada
sedikit bunga kuning akasia yang terhampar di lantainya. Hal yang tidak terduga
sama sekali, di dalamnya sangat luas, ruangan dengan perapian di sudut, dan di
tengahnya ada tangga sedikit ke bawah, dengan kamar tidur di sisi kiri dan
kanan. Tidak banyak. Ada enam kamar dan atap lorongnya berupa kaca sehingga
ruangan itu terlihat sangat terang.
Perabotnya tertata rapi walau hanya
berupa hiasan jaman dulu yang sederhana. Tidak ada debu sedikit pun.
Seakan-akan ada orang yang selalu membersihkannya. Ada juga kayu bakar di dalam
keranjang di sisi perapian. Di depannya ada sofa bulu setengah lingkaran.
Bulunya lembut dan hangat.
Di sisi seberangnya terdapat meja
makan panjang dengan dua belas kursi. Terpisah oleh bar kecil, ada dapur yang
lengkap peralatannya. Piring dan gelas, mangkuk dan yang lainnya tertata rapi
di lemari gantung. Di sisi kanan dan kiri sebelum menuruni tangga, ada kamar
mandi.
"Nyaman ya, tempatnya. Tapi kita
nggak bisa berlama-lama. Setelah sholat, istirahat secukupnya." Hime mulai
lagi memberi instruksi.
Lalu, mereka semua masing-masing mulai
melakukan aktivitasnya.
Tidak ada yang menyadari. Di luar,
di sekitar rumah tua dan bukitnya, awan hitam mulai bergulung-gulung. Angin
kencang dengan petir bersahut-sahutan yang menggelegar.
Hanya udara dingin yang menaungi
sekitar rumah tua. Hawa ngantuk mulai terasa dan sangat tidak tertahankan.
***
Suara teriakan Zaki membangunkan
Fani dan Riko serta Irfan. Mata mereka melihat sesuatu yang tidak biasa.
Dinding rumah tua itu semakin terlihat memudar, transparan.
"Cepat keluar!" Zaki masih berteriak.
Riko dan Irfan langsung bertakbir
keras. Semua bangun dan mengerti apa yang terjadi, karena hal ini sudah biasa
mereka rasakan. Masing-masing berbenah dengan barang bawaannya.
"Keluar! Tunggu di
dermaga!" Zaki
masih terus memberi instruksi.
Mereka setengah berlari keluar rumah
setelah Riko dan Irfan memberi aba-aba.
Kabut tebal menghalangi pandangan.
Pelan terdengar lonceng furin yang semakin menjauh. Bukan hanya itu
saja, halamannya, bunga terompet berbagai macam warna hampir terlihat seperti
lapisan-lapisan bening yang mulai memudar.
"Mana Yato?" Hera mulai
terlihat panik.
Mereka sudah berkumpul di dermaga.
Udara dingin dan kabut menaungi sekitarnya.
Riko berlari kembali ke dalam rumah
tua. Diikuti Hana.
"Maaaa!" Kenzo mencoba
mengikuti, namun, ditahan oleh Hime dan Haru.
Hera terduduk, menangis. Fani
mengusap bahu ibunya, mencoba menenangkan. Hatinya pun ikut gundah. Irfan hanya
menatap kosong rumah tua yang mulai menghilang dari pandangan mereka. Harry
berkali-kali bertakbir. Kayla ikut menangis di samping Haru.
Rumah tua itu sepenuhnya telah
hilang di hadapan mereka. Hanya ada lahan kosong yang dipadati tanaman liar yang
merambat. Seperti kata nelayan tua itu, hanya tersisa pohon akasia besar tempat
mereka menambatkan perahu. Seluruh tanaman dan bunga terompet yang terlihat
indah itu ikut lenyap bersama rumah tua.
"Cepat kembali. Sebelum
matahari terbit semuanya akan terlambat." Tiba-tiba saja nelayan tua itu
sudah berada di dekat perahu mereka.
Fani mengerti maksud si kakek. Zaki pun langsung memberi arahan.
Mencari Jalan Keluar
Alarm ponsel membangunkan Yato.
Layar ponselnya masih di posisi game bertarung. Aku ketiduran. Pemuda
itu mendesah dan duduk sebentar di tepi ranjang. Mengutak-atik ponsel yang
memang dari awal sudah tidak ada sinyal. Lalu berjalan lesu menuju kamar mandi.
Tangannya terhenti di depan
handle pintu ketika menyadari sesuatu yang ganjil. Pemuda itu berbalik.
Tidak ada siapa pun di sana. Hanya dia sendiri. Instingnya bermain. Segera
pemuda itu membereskan semua barang-barangnya. Terbangun di dalam kamar?
Yang benar saja. Apa aku ngelindur? Beugh! Sial amat!
Pelan Yato membuka pintu kamar.
Mengintip untuk melihat situasi di luar. Sangat sepi. Hening. Pemuda itu pun
segera berlari keluar dan buru-buru menaiki tangga. Lalu langkahnya terhenti.
Ruangan itu sangat ramai. Ada beberapa orang, yang mengerjakan sesuatu sesuai
urusannya. Seperti tidak perduli dengan kehadiran yang lain. Pemuda itu
celingak-celinguk mencari seseorang. Namun, tidak ada seorang pun yang
dikenalnya. Dia berlari menuju pintu keluar. Matanya menatap kosong ke sana.
Tidak ada pintu. Maksudnya, tidak ada lagi pintu itu di sana. Bagaimana
bisa?
"Aaagh!" Yato terkejut
luar biasa.
Ada tangan kecil yang menarik ujung
jaketnya. Sekejap tangan itu terlihat olehnya. Namun, ketika pemuda itu
berbalik, ruangan itu kosong tak berpenghuni. Hening. Hanya terdengar deru
napasnya yang tersengal.
Yato berlari menuruni tangga, menuju
kamar yang tadi dia tempati. Tidak ada siapa pun. Akhirnya dia kembali lagi ke
atas, memeriksa jendela, siapa tahu dia bisa keluar dari sana. Jantungnya
semakin berdebar. Jendela ini hanya kamuflase! Bagaimana ini? Pemuda itu
mundur selangkah, dia merasakan hal aneh. Rumah ini bernapas.
Panik mulai naik ke ubun-ubun. Yato
menggedor-gedor setiap jendela. Lalu terlihat olehnya sebuah lukisan sebesar
jendela. Lukisan keluarganya yang berdiri di dermaga. Tiba-tiba ibunya terduduk,
menangis. Itu bukan lukisan! Yato mulai menjerit-jerit panik, memanggil
mereka semua. Apa-apaan ini! Kenapa mereka meninggalkanku?!
***
"Ngapain Mama ngikut?"
Riko agak sedikit kesal. Bagaimana pun pemuda itu tidak ingin terjadi sesuatu
terhadap ibunya.
"Insting seorang ibu."
Namun, hati Riko merasa aman karena
keberadaan ibunya.
Mereka berdua menyaksikan seluruh
keluarga berdiri di dermaga, menatap rumah tua ini yang semakin lenyap entah ke
mana. Begitu juga dengan Riko dan Hana, mereka menyaksikan kepergian
keluarganya, meninggalkan tempat itu.
"Ayok, Ma."
Mereka pun mulai mencari keberadaan
Yato. Seluruh kamar diperiksa dan pintunya dibiarkan terbuka. Lalu, hal-hal
aneh terjadi. Setiap pintu kamar, di dalamnya menampilkan lorong-lorong yang
panjang. Entah menuju ke mana. Riko lama berdiri di bawah tangga, memastikan
apa yang harus dilakukan lebih dulu.
Hana menepuk pundak anak lajangnya.
"Mungkin ini sudah waktunya ashar. Yok, kita kerjakan dulu."
Riko terperanjat. Lalu dia mulai
mengikuti langkah ibunya menaiki tangga.
***
Hana sengaja duduk lama di atas
sajadah setelah sholat. Hening. Namun, sesekali terdengar seperti suara napas
yang berat. Dari tadi, selama mengerjakan kewajibannya, wanita itu merasakan
dan mendengar sesuatu. Sambil berdzikir, matanya menatap tajam ke arah Riko.
Riko pun demikian.
Terdengar gema suara langkah kaki
yang sedang berlari. Semakin dekat. Hana bergeser duduk di sebelah Riko.
Langkah itu mulai menapaki tangga.
Yato tersungkur di atas tangga.
Peluhnya membanjiri seluruh tubuh. Ada bekas air mata di pipinya selain peluh.
Pemuda itu mendongak. "Aaagh!"
Riko berdiri menghampiri Yato yang
menjerit ketakutan.
"Bude?" Suara Yato mulai
melemah.
Riko tertawa. "Mungkin karena
Mama masih pakai mukena"
Hana melipat mukenanya. Wanita itu
tersenyum. Ingin tertawa, tapi takut dosa, apalagi di situasi seperti ini.
Rasanya sangat tidak pantas.
"Ke mana yang lain, Bang?"
Yato mulai bisa mengimbangi napas dan degub jantungnya.
"Pulang."
"Jadi kita gimana?"
"Tunggu."
"Maksudnya?"
"Kita disuruh untuk menunggu
dulu. Itu makanya kami sholat. Sana, mandi, lalu sholat. Bau keringat, tuh. Ada
bawa baju ganti, 'kan?"
Yato mengangguk. "Gimana
mandinya? Nanti tetiba pintu ditutup, pas dibuka, kalian nggak ada lagi. Karena
dari tadi seperti itu yang terjadi." Matanya kembali terlihat cemas.
"Ya sudah. Buka saja pintunya
kalau tidak tahu malu."
***
Setelah membersihkan diri, Fani
mulai bergabung duduk berhadapan dengan Zaki. Tangan mereka menggenggam erat
dan mulai pencaharian terlebih dahulu. Fani memang ingin secepatnya menuntaskan
hal ini sebelum semua terlambat. Keluarganya bertaruh nyawa di sana. Bahkan
mukena pun belum dilepasnya.
"Sudah lama Zaki duduk
begitu?" Hera berbisik ke Hasnah.
"Sudah dari tadi sejak hujan
deras di sini."
"Hujan? Di sana cerah, tapi
memang sebelum ashar tadi udara cukup dingin. Kabutnya juga tebal."
"Ssstt!" Haru mulai
bergabung dengan mereka.
"Kak Hime?" Hasnah tidak
melihat kakaknya sejak yang lain pulang tadi.
"Stand by di sana dengan
Irfan. Gimana pun, harus ada salah satu seperti mereka berdua di antara
kita." Haru menjelaskan setengah berbisik sambil memperhatikan 'pekerjaan'
anak-anak mereka.
Tubuh Fani mulai berguncang hebat.
Zaki pun mulai berpeluh. Kenzo dan Harry, masing-masing duduk beradu punggung
di belakang adik-adiknya. Mereka berdua mulai memejamkan mata dan tangan
seperti bersemedi. Haru, Hera dan Hasnah juga mulai duduk mengitari anak-anak,
mulai membuka buku dan membaca ayat-ayatnya. Putu berjaga-jaga di pintu depan,
sedangkan Kayla membawa adik-adiknya bermain di rumah yang terpisah.
***
Udara dingin semakin menggigit. Hime
merapatkan jaketnya. Begitu juga Irfan. Mereka berdua duduk di atas dipan di
teras gubuk sederhana. Setelah menunggu beberapa saat di tepi danau tadi,
nelayan tua, kakek Ijin, mengajak mereka ke rumahnya. Ternyata tidak begitu
jauh dari sisi bukit berbunga, hanya terpisah oleh tebing-tebing yang memang
sangat curam di sana.
Bukan kebetulan, tapi memang tas
ransel berisi ransum mereka diserahkan kepada Irfan. Tidak tahu berapa lama
mereka harus menunggu. Setidaknya, mereka berdua tidak terlalu merepotkan si
kakek.
Malam ini pasti sangatlah panjang.
Kakek Ijin sengaja membuatkan kopi dan merebus ind*m*e --- dilarang nyebut
merek --- untuk mereka. Sekedar mengusir lapar dan dinginnya malam. Walau
lelaki tua itu disuguhi berbagai macam roti dari Hime, namun, dia hanya orang
kampung, yang cuma bisa makan nasi, singkong dan jagung.
Irfan menatap langit di atas bukit
berbunga dan wilayah sekitarnya. 'Matanya' memang melihat ada yang ganjil. Sudah
dimulai ya?
"Sepertinya kalian memiliki
kemampuan khusus ya?" Kakek Ijin menyuguhkan kopi dan ind*m*e kuah yang
mengepul asapnya sambil menatap Irfan.
"Ish, Kakek, buat apa
repot-repot. Keluarin saja apa yang ada." Hime menarik cangkir dan mengisi
kopinya.
Mereka bertiga tertawa.
"Bisa jadi karena kemampuan
kalian ini yang membuat kalian selamat." Kakek Ijin menatap langit.
Matanya menerawang jauh. Seakan-akan ada rahasia besar yang tersimpan di sana.
"Ayok, sambilan dimakan." Beliau pun ikut mengambil semangkuk.
"Kakek, ada pengalaman buruk
juga di tempat tadi?" Irfan buka suara.
Kek Ijin menarik napas dalam.
"Sangat buruk."
(Kagak usah diceritakan, Kek. Ntar
makin panjang tulisannya. Gak kelar-kelar ni cerita!) ðŸ˜
Pertarungan Hidup Dan Mati
Roh Fani melayang mengitari bukit
berbunga. Rumah tua itu tertutup kabut tipis. Mengambang kira-kira sepuluh
meter dari atas tanah. Fani mulai berkeliling. Wanita muda itu tetap menjaga
jarak. Dari hasil pantauannya, ada seperti pintu --- dari atau pun ke --- di
antara ke dua tempat itu, rumah tua dan bukitnya. Fani masih ragu. Dia khawatir
kalau-kalau ada banyak dimensi di sana.
Ada sesuatu yang mendekatinya,
sangat transparan, dilingkupi kabut tipis dan berbentuk binatang. Dari
gelagatnya seperti akan menyerang wanita muda itu. Zaki membuat benteng di
sekitar Fani, namun, terlambat, Fani terpental ke seberang danau. Serangan itu datang
bertubi-tubi. Berkali-kali Fani terpental dan semakin menjauh dari wilayah
bukit.
Zaki membuka pintu dimensi lain agar
Fani keluar dari lingkaran yang menyerangnya. Lagi-lagi terlambat. Hidung Fani
mengeluarkan darah. Zaki pun tersungkur jauh di belakang Fani. Merasa lawan
kalah telak, sesuatu transparan itu kembali menyerang. Mulutnya terbuka lebar
dan menampilkan gigi-gigi yang panjang dan runcing.
Tepat saat itu, muncul Kenzo dan
Harry. Binatang itu pun terpental jauh. Merasa mendapat lawan yang seimbang,
akhirnya wujud itu terlihat jelas. Harimau putih dengan ukuran sangat besar.
Tingginya kira-kira lima meter dengan panjang tubuh sekitar dua belas hingga
tiga belas meter. Gigi atasnya panjang dan mengarah ke bawah. Mata sebelahnya
bengkak terkena tinju kedua pemuda itu. Kemunculannya diikuti oleh tiga kawanan
lagi dengan ukuran yang sama.
"Buset! Bang Ken, yakin?"
"Yakin! 'Kan ada yang lebih
berkuasa."
Agak berbeda aura yang mereka miliki
dari Fani dan Zaki. Kedua pemuda itu memberi gambaran menakutkan untuk keempat
harimau. Mata mereka melihat Kenzo dan Harry dalam bentuk sepuluh kali lipat
ukuran mereka.
"Zaki, cepat cari pintu itu!
Fan, teruskan berkomunikasi dengan Riko." Harry melindungi Fani yang melayang menuju
bumbungan rumah tua, sedangkan Zaki kembali ke tubuhnya dan mulai menerawang
lewat 'mata' Fani.
***
Riko mengetuk meja makan. Kakinya
berselonjor di atas meja. Mereka sudah melaksanakan kewajibannya, bahkan tarik
ke isya. Namun, belum ada kabar dari 'sana'.
Tidak ada sinyal dari awal dan waktu
di ponsel mau pun jam tangan tidak berfungsi sama sekali. Ibunya masih tidur di
sofa di depan perapian. Yato berkali-kali mengitari ruangan itu.
Bosan menunggu, Riko berjalan
menuruni tangga. Ada yang aneh. Pintu kamar yang tadinya terbuka kini tertutup
kembali. Lorong yang hanya mentok di ujung baris tiga kamar, sekarang terlihat
panjang seperti tiada akhir.
"Dari sana lah awak tadi,
Bang." Yato sudah berdiri di belakang Riko.
"Bagaimana bisa?"
"Nggak tahu awalnya gimana.
Waktu masuk ke kamar, tiba-tiba pintu tertutup sendiri. Yaaah, langsung awak
buka lagi dan keluar. Kaget saja, kok lorongnya malah gelap. Nggak tahu gimana dan
sepanjang apa, yang penting lari saja lah."
Riko lama menatap sisi lorong yang
gelap itu. Namun, 'matanya' melihat sesuatu, bukan, seseorang. Pemuda itu
langsung berbalik dan berniat memeriksa sofa. Belum sampai ke ujung tangga,
ruangan itu tampak ramai. Seperti sedang mengadakan pesta.
"Beginilah keadaannya, Bang,
waktu pertama awak terbangun." Yato masih tetap berdiri di belakang Riko
yang mulai cemas.
Rumah tua ini sepertinya berniat
menyesatkan. Jika terpisah, otomatis akan terlempar ke tiap dimensi berbeda.
Riko langsung menuju sofa. Tidak ada ibunya. Pikirannya kalut dan dia mulai
panik. Orang-orang berseliwiran ke sana ke mari, tanpa perduli berpapasan
dengan siapa dan apa. Riko terus mengitari seluruh ruangan, diikuti oleh Yato
yang jelas sekali terlihat ketakutan. Matanya terhenti ketika melihat seorang
wanita rambut panjang, dengan gaun hijau muda, berdiri di sudut ruangan,
menatap tajam ke arah pemuda itu.
"Itu Bude!" Yato menepuk
pundak Riko.
Wajah ibunya terlihat cemas ketika
keluar dari kamar mandi. "Mama tadi bangun, tiba-tiba sudah banyak orang
di sini. Sudah ada kabar dari Fani?"
Riko terperanjat dan menggeleng.
Lalu matanya beralih lagi ke sudut ruangan. Kosong.
Perasaan Riko tidak enak. Pemuda itu
mengambil ranselnya dari punggung Hana. "Ayo kita pergi dari sini."
***
"Assalamualaikum, maaf, kami
tidak ingin ribut di sini. Bisakah kita bicara baik-baik?" Kenzo berniat meminta secara
terbuka.
"Kalian masuk tanpa ijin ke
wilayah kami."
Harimau yang terluka matanya itu yang menjawab. Mungkin yang ini ketua dari
mereka berempat.
"Siapa bilang kami masuk tanpa
ijin. Tidak ada orang dan pintu terbuka." Harry mencoba menjelaskan.
Kenzo memberi isyarat dengan
tangannya. "Kami tidak bermaksud demikian. Kami datang hanya ingin
menjemput keluarga kami yang tertinggal."
"Mereka milik kami."
"Mana bisa begitu." Jelas sekali Harry tampak tidak
sabar. "Tidak ada hitam di atas putih. Dan bangsa kalian mana bisa
dipercaya."
Harimau yang di belakang sang ketua
maju selangkah dengan raut wajah bengisnya. Namun, dihalangi oleh harimau yang
di sebelahnya.
"Tetap saja kalian telah masuk
ke wilayah kami tanpa ijin."
Harry ingin menyangkal dan langsung
dihalangi Kenzo. "Begini saja. Apa yang bisa kami lakukan agar keluarga
kami bisa keluar dari sana?"
"Tidak ada. Mereka sudah
terpilih."
Harry mendengus kesal. Kenzo pun
sama. "Kami tidak ingin ribut."
"Sama dong."
***
Fani melayang di bumbungan rumah
tua. 'Mata' yang dipakai Zaki mulai menganalisa setiap sudut dan sekitar rumah.
Sesekali Fani melihat ke arah Kenzo dan Harry.
"Kak Fani, fokus!"
"Oh, iya." Lalu Fani mulai memanggil Riko.
Namun, belum ada jawaban.
***
Riko diikuti Yato dan Hana, berlari
menuruni tangga. Di depan tampak lorong panjang dengan kegelapan yang sangat
pekat. Di depan pintu nomor dua sebelah kiri, berdiri seorang wanita bergaun
hijau muda dan membukakan pintunya. Mereka masuk dan berlari ke sana.
"Yakin lewat sini? Lalu kenapa
dengan perempuan itu?" Hana merasa khawatir dengan yang mereka lakukan.
"Nanti saja ceritanya."
Riko terus fokus dengan lorong gelap di depan. Baterai ponsel harus mereka
hemat, Riko tidak ingin ponsel mereka bertiga mati total. Setidaknya hanya
untuk penerangan lorong yang sempit ini, dengan penerangan dari satu ponsel
saja sudah cukup.
Mereka berlari dalam diam. Deru
napas dan langkah kaki saja yang terdengar.
"Ba-ba-bang Riko?"
Akhirnyaaaa! Riko menghembuskan napas lega. "Hmm."
"Kalian di mana? Masih di
ruangan itu?"
"Kenapa lama sekali."
"Ada masalah sedikit dengan
'penjaganya'. Tunggu!" Suara Fani sedikit terkejut.
Lalu hening kembali.
Riko mempercepat langkahnya.
Sepertinya memang ada masalah serius di luar sana.
"Bang Riko, pelan, Bang."
Napas Yato mulai ngos-ngosan.
Terdengar gema suara langkah di
belakang mereka.
"Apa tuh, Bang?"
"Mereka yang tidak ingin kita keluar
dari sini."
***
"Di mana?"
"Di kebun bunga."
"Gimana bisa sampai ke
sana?"
Riko diam saja.
"Zaki?" Hening sesaat di sana. Sepertinya
Zaki dan Fani agak sedikit kewalahan.
"Bang Riko?"
"Iya, kami menunggu."
Hening kembali.
***
Fani berdiri tepat di bumbungan
rumah tua. 'Mata' Zaki tajam melihat ke satu titik.
"Bang, nanti ada turunan dari
bukit, ada pohon kamboja, dua pohon kamboja," Fani sengaja menekan kalimatnya di akhir, lalu
dia melanjutkan, "yang cabangnya sama. Patahkan cabangnya. Kedua pohon
itu. Siram getahnya ke tanah di antara dua pohon kamboja itu. Tepat di tengah.
Lalu, tunggu sebentar."
Tidak ada sahutan dari Riko. Fani
meremas jari-jarinya. Tidak seperti biasa. Ada apa 'di sana'? Matanya
mulai berkaca-kaca. Bagaimana pun, dia tidak ingin terjadi sesuatu yang
menyebabkan hilangnya nyawa di antara mereka, keluarganya.
"Kak Fani? Jangan nangis.
Yakin, insyaa Allah kita bisa."
Fani mengusap air mata dengan ujung
lengan bajunya. "Iya, Zaki." Wanita muda itu menarik napas
dalam, mencoba menenangkan diri. Jauh di depannya, bang Kenzo dan bang Harry
juga sedang berjuang untuk mereka.
"Bang?" Fani mulai memanggil lagi. Kali ini
suaranya terdengar sangat cemas.
"Iya, kami sedang menuruni
bukit."
Fani menghela napas lega. Tangannya
menutupi wajah sambil tersenyum.
Bagaimana Ini?
Pertarungan tidak terelakkan lagi.
Dua lawan satu tentu saja tidak seimbang. Apalagi kekuatan harimau itu hampir
membuat Kenzo dan Harry terluka. Ini bukan hal yang mudah. Selamat atau tidak
selamat, baik bagi mereka bertiga mau pun Fani di atas bumbungan sana, tetap
saja akan membawa dampak buruk bagi keluarga mereka.
Kenzo terlihat lelah. Pemuda itu
membungkuk guna memulihkan pernapasannya. Harry terlihat masih berstamina.
Kenzo geleng-geleng kepala. Dia tahu apa yang ada di hati dan pikiran sepupunya
itu.
"Sudah tidak kuat lagi
ya?" Harimau
itu mulai mencibir.
Kenzo diam saja. Pemuda itu masih
mengatur napasnya.
"Ikhlaskan saja. Mereka milik
kami."
Kenzo masih diam. Dia mulai duduk
bersila. Memejamkan mata, menenangkan pikiran dan merelaksasikan tubuhnya.
***
'Mata' Zaki melihat pertarungan yang
tidak seimbang di antara abang-abang sepupunya. Hal ini membuat dia hampir
tidak fokus dengan Fani. Namun, bukan Zaki namanya jika tidak bisa melakukan
banyak hal.
Sejenak, ketika Fani menunggu jeda
dari Riko, anak muda itu meminta kakak sepupunya untuk menghubungi Irfan. Di
antara mereka yang memiliki 'kemampuan', Zaki terbilang cukup muda untuk
memiliki kemampuan khusus ini. Masing-masing mereka punya kemampuan yang berbeda,
namun, tetap berhubungan satu sama yang lain.
"Sudah, kak Fani?"
"Kata bang Irfan, habisin
ind*m*e ini dulu."
***
Kabut di sekitar gubuk kakek Ijin
mulai menipis. Api unggun di depan gubuk masih menyala. Mereka bertiga masih
berbincang-bincang, bercerita panjang kali lebar. Eh?
Sesekali Irfan memandang ke arah
langit. Bukan langit di atas bukit berbunga. Hime pun dari tadi memperhatikan
sikap Irfan.
"Mereka butuh bantuan?"
Hime menyentuh pundak Irfan.
Irfan menoleh ke Hime dan kakek Ijin
bergantian.
"Tidak apa-apa. Kakek mengerti.
Silahkan. Kakek akan berjaga-jaga di sini."
Lalu, Irfan pun mulai duduk bersila,
menegakkan punggung dan memejamkan mata. Hime mengeluarkan sebuah buku kecil dari
ranselnya dan mulai duduk bersila beradu punggung dengan Irfan. Bibir wanita
itu mulai melafazkan ayat-ayat.
"Yakin? Sudah siap, Bang?"
Fani menegaskan
sekali lagi.
"Yap!"
***
Dua ekor harimau itu terpental jauh
dengan sekali hentakan tangan. Luka yang mereka dapatkan cukup serius. Keduanya
sampai menyemburkan darah dari mulut.
Irfan bergabung dengan Kenzo.
Formasi mereka terlihat lebih kuat sekarang. Roh Irfan tampak seperti
bayang-bayang di antara roh Kenzo. Kenzo mulai berdiri, matanya tetap terpejam.
Karena yang menggerakkan seluruh tenaga mereka adalah Irfan. Kemampuan Irfan,
Riko dan Fani sedikit berbeda dari Kenzo dan Harry. Intinya tetap sama. Mereka
saling membutuhkan jika terlibat di situasi seperti ini.
"Kita buat terluka atau
langsung kita matikan, bang Ken?'
"Main-main saja dulu. Dari tadi
di bawah bolak-balik lihat ke atas, pastinya tangan sudah mulai gatal,
'kan."
Irfan tertawa.
***
Lorong-lorong ini seperti tiada
akhir. Tadi setelah turun dari bukit, Riko melakukan yang harus dia lakukan
terlebih dahulu. Pemuda itu meminta Yato dan ibunya menunggu di bawah pohon
kamboja.
"Yang benar saja! Nanti
berganti lagi dimensinya. Kami ikut saja kemana bang Riko pergi." Jelas
sekali Yato tidak mau mengalami hal-hal yang aneh lagi.
Terlebih lagi dengan barang bawaan
baru yang sedang mereka bawa. Sudah pasti Yato enggan menjaganya.
Riko pun tidak tahu pasti akan
berhasil atau tidak. Namun, arahan yang diberikan oleh wanita berbaju hijau
muda itu memang terdengar masuk akal. Yang pasti, wanita itu lebih tahu
alasannya dari pada Riko.
Kayu runcing, terbuat dari batang
kayu pohon kelor, kira-kira sepanjang tiga puluh senti yang pemuda itu dapatkan
di antara tulang belulang di bawah pohon pinus tadi, adalah satu-satunya jalan
untuk membuat penjaga wilayah bukit ini melemah. Begitu tadi penjelasan dari
wanita berbaju hijau muda itu.
Haru lebih banyak diam. Begitu juga
Yato. Apa pun yang dilakukan Riko tadi tidak mereka pertanyakan. Pasti akan ada
nanti saatnya bercerita. Untuk saat ini, mereka berdua hanya berharap Riko bisa
dengan segera mengeluarkan mereka bertiga dari sini.
Baterai ponsel sudah semakin
melemah. Sudah dua ponsel yang terpakai untuk senternya sebagai penerangan.
Yang dipegang pemuda itu milik ibunya. Syukur Hana jarang menggunakan ponsel
selama mereka di rumah tua. Lorong ini pun entah menuju ke mana. Riko hampir
putus asa dengan arahan yang diberikan Fani. Dia tidak tega melihat ibunya dan
Yato kelelahan.
Tadi, sebelum masuk ke lorong lewat
dua pohon kamboja, Riko berharap kayu runcing yang dia tancapkan di depan teras
rumah tua itu, bisa menyelesaikan keletihan ini. Ditambah lagi, sesuatu yang
selalu mengikuti bahkan menunggu mereka untuk tidak bisa keluar dari wilayah
ini, membuat batin Riko ikut lelah.
Sibuk berpikir yang tak pasti, langkah Riko terhenti di dua lorong.
"Tunggu! Ada yang berdiri di
depan 'pintu' keluar."
"Sssst!" Riko meletakkan
telunjuk di bibir. Lalu, tangannya memberi aba-aba agar mereka tetap waspada.
"Kalau Fani kasih aba-aba 'jalan', langsung jalan ya, Bang."
"Oke."
Mereka menunggu untuk waktu yang agak
lama. Gema suara langkah di belakang mereka semakin mendekat.
"Sekarang!"
"Ayo!" Riko setengah
berlari, diikuti Hana dan Yato. Pemuda itu mematikan senter di ponsel,
menyerahkannya kepada Hana. Karena di depan sana mulai tampak setitik cahaya.
***
Harry masih semangat melampiaskan kekesalan
dan rasa bersalahnya terhadap kedua harimau di depan. Ketiganya terlihat
sama kuat. Entah sampai kapan pertarungan ini selesai.
Di sisi Kenzo dan Irfan, tampak kaki
belakang salah satu harimau yang patah. Temannya mulai menyerang secara bertubi-tubi.
Dia sendiri pun terluka parah. Dia ingin menyerah dan tahu pasti, tiga manusia
ini ditolong Yang Kuasa. Namun, ini perintah, dia tidak punya kuasa. Setidaknya
dia sudah lakukan yang terbaik, walau nyawa taruhannya.
"Kami tidak ingin berbuat lebih
jauh lagi. Sampai di sini, tolong beri jalan untuk keluarga kami keluar dari
sana." Kenzo
memberi harimau itu pilihan atas luka-luka yang diderita mereka.
Kedua harimau itu berpandangan.
"Kalau tidak mau juga, kali ini
aku nggak akan kasih kelonggaran lagi." Irfan mulai mengambil ancang-ancang.
Kedua harimau itu berdiri dengan
susah payah dan mulai bergerak maju. Sebelum melakukan serangan, tepat saat
itu, terdengar auman keras seperti rintihan pilu yang menyakitkan dari harimau
yang matanya bengkak. Semua menoleh kaget dan langsung mendekat, ingin tahu apa
yang terjadi.
Tiba-tiba tubuhnya limbung,
berguling-guling ke sana ke mari. Mengaum sekeras mungkin. Dari tubuhnya keluar
asap pekat sedikit demi sedikit. Sebelum benar-benar menghilang, dia mengaum
dengan sangat kuat untuk terakhir kalinya. Tiga harimau yang lain pun mulai
mundur perlahan. Kemungkinan sudah tahu apa yang tengah terjadi. Lalu ketiganya
perlahan menghilang meninggalkan kepulan asap putih.
"Bang Irfan? Sudah selesai?
Mereka hampir keluar. Tolong dijemput."
"Oke."
Kenzo duduk bersila kembali.
Mengatur napas dan merenggangkan seluruh persendiannya.
"Kami tunggu di rumah ya.
Selamat bekerja dan...." Kenzo menepuk pundak Irfan.
"Hati-hatiiii!" Serempak
mereka bertiga mengatakannya dan tertawa.
Akhir Dari Yang Terakhir
Irfan menghela napas panjang. Hime
menghentikan bacaannya dan melihat ponsel. Sudah pukul dua lebih dini hari.
Kakek Ijin terduduk di dipan, terkantuk-kantuk menjaga mereka.
"Kek." Hime menepuk lengan
kek Ijin dengan lembut.
Kek Ijin membuka mata.
"Bagaimana?"
"Kami harus ke sana, Kek. Mau
menjemput mereka. Terima kasih sudah menjamu kami. Kakek masuklah ke dalam,
istirahat." Hime mulai berjalan ke arah perahu mereka. Irfan sudah duluan
menaikinya.
"Tidak bisa begitu. Saya juga
ikut." Beliau langsung berlari ke dalam rumah.
Irfan dan Hime berpandangan, saling
angkat bahu. Lalu, terlihat kek Ijin tergopoh-gopoh menuju perahunya sambil
membenahi jaket dan koplo di kepala.
"Yuk, kita kemon."
***
Fani terduduk lesu di bumbungan.
Entah apa yang terjadi 'di sana'. Dia sudah kelelahan. Kenzo dan Harry mengusap
kepala adik sepupunya itu.
Fani menoleh ke belakang. Senyumnya
sumringah. "Sudah selesai?"
Keduanya menggangguk.
"Apa yang terjadi?" Kenzo dan Harry bertanya bersamaan.
Mereka tertawa. Harry bertanya untuk
harimau yang lenyap tadi, bagaimana bisa. Menurutnya, harimau itu, yang
sepertinya pemimpin mereka, termasuk lawan yang kuat dan seimbang dengan ilmu
Harry. Sedangkan Kenzo bertanya tentang keadaan ibunya, Riko dan Yato di dalam
rumah tua.
Fani tidak menjawab satu pun dari
pertanyaan mereka. Sudah pasti perjalanan mereka di dalam sana sangatlah
panjang.
Tampak oleh mereka bertiga kek Ijin,
Hime dan Irfan yang sedang mengayuh masing-masing perahu mulai mendekati
dermaga. Lalu, tidak sampai menunggu lama, dari balik batang akasia yang besar
itu, muncul Riko, dikuti Yato dan Hana.
Fani menangis dan kedua pemuda itu
merangkulnya.
"Ayo, kita tunggu mereka di
rumah."
***
Zaki, Fani, Kenzo dan Harry menghela
napas panjang. Satu persatu langsung merebahkan tubuhnya. Fani masih berlinang
air mata. Hera ikut menangis dan memeluk gadis manisnya dengan erat.
Zaki dan Harry berpandangan. Mereka
tertawa sambil menangis. Selesai sudah. Lelah mereka tidak sia-sia.
Kenzo masih terduduk, menunduk. Pemuda
itu menangis dalam diam. Hatinya terenyuh setelah melihat ibu dan adiknya
keluar dari sana dalam keadaan selamat. Walaupun mereka terlihat berantakan,
namun, mereka masih hidup.
Haru mengelus pundak dan kepala
Kenzo. "Syukurlah. Berkat bantuan kalian semua. Sambil menunggu, kita
siapkan dulu teh panas dan cemilan enak untuk kalian ya." Haru menepuk
pundak Kenzo dan berjalan menuju dapur mini, diikuti Hasnah.
***
Yato berlari terlebih dahulu dan memeluk
Hime. Pemuda itu menangis cukup lama. Hime cuma bisa mengelus pundaknya saja.
"Sudah. Alhamdulillah, semua
sudah berlalu."
Riko turun lebih dulu dan perlahan
membantu ibunya ke perahu yang dikendarai Irfan. Mereka adu jotos sekejap
sebelum Riko mengambil dayung dan mengayuh mendekati perahu kakek Ijin. Pemuda
itu mengambil sesuatu dari ransel dan menyerahkannya kepada beliau.
Kek ijin membuka ikatan mukena itu
dan menangis setelah melihat isinya. Riko menepuk pundak si kakek dengan lembut
dan mengusapnya untuk menguatkan hati beliau.
Hana pun ikut menangis. Tidak disangka,
ternyata Riko meminta mukenanya untuk menyimpan tulang belulang dan gaun
terakhir yang dipakai wanita itu.
"Nenek bilang, nenek minta maaf
dan berterima kasih karena telah membantunya keluar dari sana."
-----
ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜
Akhirnya selesai jugaaaa!!!
Novel mini..
BalasHapusKalo dibilang cerpen ga pendek yaa mbak 😅
Iy, mas dodo, lg belajar bikin novel, tp dr bwh dl, bikin novelet ato novel mini istilahnya,
HapusCm klo nulis di blog, asik aja, mau seberapa bnyk kata dn bahasa ato dialog bs suka2ku, 😂😂😂