Minggu, 10 Januari 2021

Menjelajahi Dimensi Lain

Wadidaw!

Ini tulisan novel mini pertamaku. Benar-benar ikutan 1m1c tidak terbuang percuma. Melatih kinerja otak dan mengasah setiap kalimat tulisanku. Walau menurutku, sebenarnya masih ada aja, sih, yang kurang. Tapi wajar lah ya, kurang sana sini. Asal jangan kurang ajaaarr. 😂

Wokeh! Mari kita telusurilah gimana, sih, tulisanku yang nggak seberapa ini. Cekidot, yuuk....

 

***

 

 

Tentang Rumor

 

Ada rumor tentang rumah tua di pinggir danau. Konon katanya rumah itu akan terlihat ketika hari cerah saja. Namun, akan menghilang ketika sekitar danau mulai berkabut. Di dalamnya ada beberapa ruangan, tidak jelas berapa jumlahnya. Ada bukit yang sering ditumbuhi bunga tanpa pernah layu dan mati di sisi atas sebelah kanan rumah tua. Jika ingin berkunjung ke sana harus menaiki perahu kecil dari dermaga. Akan tetapi, tidak pernah seorang pun di antara penduduk kampung yang berkeinginan untuk pergi ke sana.

Pernah ada seorang turis yang datang dan ingin berkunjung menikmati bukit berbunga. Lalu, penduduk setempat, seorang pria paruh baya, hanya mengantar dan menunggu di perahu tanpa ikut menemani mereka. Dari cerita si pria, tidak ada seorang pun yang turun dari bukit itu walau pun dia menunggu sampai seharian.

Rumor lain pun mengatakan, kalau rumah tua itu seakan-akan berpenghuni. Kabarnya ada beberapa nelayan yang sering menjala ikan di sekitar, yang melihat penerangan di dalam mau pun di sekitarnya. Beberapa ada yang mengatakan, mendengar suara-suara tawa tanpa melihat ada seorang pun di dalam sana.

Namun, rumor yang paling aneh adalah, sangat jelas terlihat, tidak ada apa pun di pinggir danau di bawah bukit berbunga.

 

 

Prolog

 

"Cepat! Arah ke sini!"

Mereka berlari melewati lorong-lorong gelap. Bermodal senter dari ponsel yang baterainya hidup segan mati tak mau.

"Tunggu!" Pemuda jangkung itu berhenti mendadak. "Aduh!"

"Maaf, Bang." Pemuda gemuk itu membetulkan kacamatanya.

"Kenapa! Ada apa?" Seorang wanita paruh baya terlihat kelelahan di belakang mereka berdua.

"Ssssst!" Pemuda jangkung itu meletakkan telunjuknya di bibir. Lalu, tangannya memberi aba-aba agar mereka mulai waspada.

"Kalau Fani kasih aba-aba 'jalan', langsung jalan ya, Bang."

"Oke."

Mereka menunggu untuk waktu yang agak lama.

"Sekarang!"

"Ayo!" Pemuda itu, diikuti oleh dua orang di belakangnya langsung berjalan cepat.

Tidak ada yang bersuara, hanya langkah mereka yang terdengar menggema.

 

 

Dua Hari Sebelumnya

 

Family Gathering yang diadakan keluarga Harkat Martabat, 😂 --- Harus Sepakat Meski Suka Terlambat --- sudah berkumpul di halaman depan Pret Home Stay. Kali ini mereka datang dengan formasi lengkap tanpa terkecuali.

Udara malam yang dingin membuat beberapa keluarga Harkat berkumpul di depan api unggun. Bukan. Api bekas bakaran ayam. Ditemani beberapa cangkir kopi dan teh, mereka berbincang santai. Setelah setengah harian menikmati alam sekitar, dan sore harinya mereka mengadakan game jadul, anak-anak bermain sesuka hati di atas gazebo yang menghadap langsung ke danau.

"Gimana? Jadi besok kita jelajah ke seberang sana?" Hime, wanita dengan tubuh berisi mulai meminta pendapat.

Jelajah, ungkapan mereka untuk jalan-jalan ke tempat yang unik dan belum pernah atau sedikit orang yang berkunjung ke daerah tersebut.

"Adek bebas, Aunty." Riko, Irfan, menjawab bersamaan. Mereka tertawa.

"Siapa saja yang mau ikutan jelajah?" Haru, wanita nomor dua di keluarga Harkat mulai bergabung setelah selesai membenahi bekas-bekas perkakas kotor saat makan malam tadi.

"Siapa yang mau saja. Anak-anak emang nggak ikut. Kalau bisa yang sudah cukup umur saja." Hime menimpali.

"Siapa yang jaga anak-anak di sini?" Haru menatap bergantian ke arah Hime dan dua adiknya yang lain.

"Hasnah!" Si bungsu, Hasnah, mengangkat tangannya. "Biar Hasnah sama bang Putu yang jaga anak-anak. Kalian pergi saja."

"Kak Hana? Kak Hera?" Hime menatap mereka berdua.

"Ikut." Mereka tersenyum, saling memandang penuh arti.

"Guys?"

"Ikut!" Serempak mereka menjawab, Kenzo, Harry, Riko, Irfan, Yato, Fani dan Kayla.

"Oke. Berarti yang ikut pergi jelajah ada sebelas orang. Besok pukul setengah tujuh kita sudah stand by di pinggir danau." Hime mulai mengetik sesuatu di ponselnya. "Pastikan baterai ponsel penuh, power bank, bawa perangkat-perangkat yang diperlukan saja. Paham?"

"Paham!"

 

***

 

"Perasaan Fani kok nggak enak ya, Ma?"

"Tentang apa?"

Hera dan anak gadisnya sedang berkemas, mencoba membawa barang yang diperlukan hanya dalam satu tas saja.

"Nggak perlu merasa nggak enak. Kamu tuh, Fan, selalu begitu. Setiap kita pergi menjelajah, bilang 'nggak enak, nggak enak'. Jalani saja, nikmati. It's fine, oke? Enjoy." Yato, abangnya juga sedang berkemas.

"Heh! Ini tentang Abang, tahu!"

"Halah! Yang begini, tuh, yang membuat kita nggak maju-maju. Di sini kita merasa tertantang. Melatih jiwa kita juga untuk tidak menjadi seorang pengecut."

"Heh! Kalau dibilangi itu jangan ngeyel jadi orang."

"Apa...."

"Sudah, sudah. Perasaan nggak enak itu wajar. Sudah berapa kali hal ini kita lalui. Jadi jangan dijadikan penghalang ya, Fani." Hera lalu menatap tajam ke wajah anak lajangnya. "Bang, dengar nasehat Mama, jangan takabur, jangan ujub. Hal ini yang bisa menjerumuskanmu. Kurangi sifat itu. Sudah berapa kali harus Mama peringati, hmm?"

"Iya, Ma."

 

***

 

"Ma, perasaan Zaki nggak enak, nih."

"Tentang apa?" Hasnah merapikan baju-baju di dalam koper.

"Tentang bude dan yang lainnya. Tentang menjelajah besok."

"Nggak apa. Bukan hal serius, 'kan?"

"Mana ada hal begini yang nggak serius, Ma."

"Bukannya sudah sering kita mengalami hal-hal begini?"

"Tapi ini agak sedikit berbeda. Nggak biasa."

"Bagus, 'kan. Jadi tambah pengalaman dan ilmu baru nantinya. Doakan saja lancar dan dimudahkan sampai selesai jelajah."

"Insyaa Allah, mudah-mudahan, Ma."

 

***

 

 

Masih berkabut ketika mereka mulai menjauh dari pinggir danau. Empat pemandu di empat perahu kayu mengayuh pelan menuju tengah danau. Terlihat beberapa nelayan di sekitar mereka dalam ruang lingkup kabut yang menyelimuti. Pemandangan yang sangat luar biasa. Dinaungi mentari yang hampir muncul, bias-biasnya menembus sisi kabut. Menampilkan relief-relief yang tidak biasa, yang belum tentu ada hal serupa esoknya.

Hime, Yato, Irfan dan Kenzo mencoba mengabadikannya dengan kamera n*x*n --- sebaiknya tidak usah menyebut merek ya --- 😂.

Beberapa ekor ibis terbang rendah di saat moment mentari yang hampir membias di permukaan danau. Kilauannya bagai emas. Sejauh mata memandang seakan-akan sedang berada di dunia lain, tanpa suara, bahkan hembusan napas mereka pun tercekat melihat hamparan indah yang disuguhi Sang Pencipta.

"Hemat baterai ponsel. Hemat baterai ponsel." Suara Hime sedikit ditekan karena melihat beberapa di antara mereka yang sibuk mengabadikan wajahnya di antara pemandangan tadi.

Mereka tertawa dan mulai kasak-kusuk.

Puas menikmati bias mentari yang muncul, perahu mulai mengitari sisi seberang utara. Dataran yang dipenuhi sawah yang berundak-undak. Turun ke sisi bawah, sekitar pinggir danau. Ada beberapa tambak milik penduduk setempat berjejer rapi di pinggirnya. Eceng gondok dan teratai merah mengitari tepi-tepi pengait di tiap sisi pembatas.

Beralih ke sisi selatan, perahu mulai mengitari beberapa pohon rindang yang menjorok ke tepi danau. Tebing yang terjal mendominasi daerah itu. Lalu, terlihat bukit yang menjadi tempat tujuan mereka. Namun, yang paling menakjubkan, hal yang tidak di sangka-sangka terlihat. Agak sedikit tertutup oleh lebatnya bunga terompet dua warna. Hal ini membuat empat pemandu terpaku dan memilih menghentikan kayuhannya.

Mereka berempat mulai berbicara dengan bahasa daerah.

"Ada apa? Bukankah rumah itu emang sudah ada di sana, 'kan?" Hime yang mengerti sedikit bahasa mereka, mengerutkan dahinya.

Mereka berempat saling berpandangan.

"Kembali sebelum ashar."

Tiba-tiba ada seorang nelayan tua di dekat perahu mereka.

"Kembali sebelum ashar."

Mereka semua terdiam. Keempat pemandu mulai mendekati perahu nelayan tua dan pindah ke sana.

"Kabut akan datang setelah tengah hari. Dan sebelum mencapai tempat ini, keluar dari sana secepatnya. Tambatkan seluruh perahu di pohon akasia paling besar, jangan pohon yang lain."

Keluarga Harkat memperhatikan kepergian nelayan tua itu dan empat pemandu yang meninggalkan mereka setelah peringatan tersebut. Lalu, Haru dan Harry mulai mengaitkan tali di pohon akasia yang dimaksud nelayan tua itu. Kebetulan letaknya dekat dengan perahu mereka. Yang lain mulai mengikuti.

Ada dermaga kecil yang kayunya mulai lapuk dimakan usia. Mereka berjalan dengan langkah pelan. Bunyinya berderit. Dua ekor ibis terbang rendah di dekat perahu mereka dan bertengger sejenak di sana.

Kenzo dan Harry yang berjalan paling depan mulai mengitari halaman rumah. Tampak biasa seperti rumah-rumah yang lain dan halaman yang lain. Tidak ada yang istimewa. Terlihat sangat terawat dan bersih. Hampir semua jendela terbuat dari kaca dan ditutup dengan tirai tipis di baliknya. Halaman rumah ditumbuhi banyak bunga terompet berbagai warna. Namun, yang terlihat di depan hanya ada dua warna.

Angin berhembus agak kencang, menyebabkan bunyi lonceng furin yang tergantung di teras rumah. Ribuan bunga kuning akasia berterbangan. Ada banyak bertebaran di rumput dan suasananya mulai berubah. Langit pun terlihat berbeda.

Fani memegang erat lengan Hera. Riko memandang langit, bunga-bunga kuning akasia seakan mengitarinya. Hime, Yato, Kenzo dan Irfan masih terus mengabadikan suasana. Hana menatap lekat ke arah pintu rumah. Bulu lengannya meremang seketika.

Haru menyikut lembut pinggang Hana, lalu berbisik, "lihat tadi, 'kan?"

Hana tidak mengangguk, tetapi juga tidak menggeleng.

Kayla tetap berada di wilayah yang menurutnya aman, di samping pak kusir, eh, di samping ibunya, Haru. Lalu, terdengar Harry mengetuk pintu.

"Assalamualaikum."

Semua terkejut dan menoleh.

"Jangaaaaan!"

 

 

Mereka Yang Terpilih

 

"Seperti biasa. Bang Harry yang memulai ulah." Zaki menatap jauh ke arah danau sambil mengunyah keripik kentang terakhir.

"Terus?" Hasnah masih setia dengan kuaci tercintanya.

Mereka berdua duduk di teras sambil memperhatikan Yana, Kia, Ika dan Raja bermain di bawah pohon pinus. Menabur bunga dan berdoa. Entah apa yang mereka kubur di sana. Putu, suami Hasnah, saat ini harus selalu stand by di depan laptop. Kabarnya ada gangguan sedikit dari kantor pusat, yang seharusnya adalah hari cutinya.

"Ada yang aneh."

"Apa?" Hasnah dari tadi menunggu 'penglihatan' anak lajangnya. Wanita itu harus sabar, padahal keponya sudah di ubun-ubun.

"Hari cerah, tapi di kawasan itu terhalang kabut tipis. Kakek itu sepertinya penjaga yang rumahnya di sekitar bukit bunga. Sebenarnya tadi dia mau mengatakan, jangan masuk ke dalam rumah, tapi nggak jadi."

"Kenapa?"

"Semakin dilarang pasti ada rasa ingin tahu."

"Iya, sih."

"Bang Harry yang mulai."

"Jadi, masih berkomunikasi dengan kak Fani?"

"Masih."

 

***

 

Ada dua pohon pinus tua tumbuh kokoh di antara bunga-bunga yang bermekaran di bukit. Letaknya saling berjauhan dan berhadapan. Mereka duduk di bawah naungan salah satunya. Menikmati angin, aroma, suasana dan makan bekal.

Tidak ada sinyal sama sekali sejak mereka mulai berdiri di halaman rumah tua. Riko menyadarinya ketika rumah tua itu terlihat dan kemudian nelayan tua yang tiba-tiba datang. Akan ada hal-hal aneh nantinya. Sudah sering pemuda itu mengalaminya, namun, saat ini agak berbeda. Dia tidak ingin memperlihatkannya kepada yang lain, terutama ibunya, Hana. Berbeda dengan Fani dan Irfan, mereka berdua sudah tahu apa yang dirasakan Riko.

Tim mengabadikan setiap moment berpencar di antara bunga dan bagian puncak bukit. Jurang terjal yang mengarah ke danau menambah panorama yang tidak biasa. Memang diciptakan untuk memanjakan mata.

Angin kencang membawa aroma bakar yang khas. Tidak semua di antara mereka yang tahu tentang aroma ini. Riko, Fani dan Irfan berpandangan. Dari balik batang pinus tua, di depan mereka, samar terlihat siluet seorang wanita berambut panjang dengan gaun hijau muda jaman dulu yang sebatas lutut. Angin kencang membuat rok dan rambutnya berkibar menampilkan wajah putih pucat dan mata yang memandang kosong ke arah mereka.

 

***

 

Fani sedikit menunduk dan berdiri menyamping di balik pundak ibunya. Ada yang aneh dari dalam rumah itu. Bang Riko berdiri lama menatap langit. Apakah ada yang lebih aneh lagi? Fani tidak berani melihat langsung. Dari ekor matanya dia tahu bang Irfan sengaja mengambil foto rumah tua itu tampak bagian depan.

Masalahnya hampir rumit ketika bang Harry mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Kalau saja aunty Hime tidak memanggil dan mengajak ke arah bukit, tentu mereka sudah berada di dalam rumah itu sekarang. Yang sangat menakutkan adalah saat mereka semua beranjak menuju bukit, Fani mendengar suara pintu terbuka.

Lalu, di sini, bukit berbunga ini tampak ganjil dan suasananya sedikit aneh. Tidak ada lebah, tidak ada kupu-kupu, tidak ada ngengat yang biasa berseliwiran di setiap kebun bunga. Tempat ini terlalu sepi. Desau angin dari celah dedaunan pinus sedikit mengganggu. Bunyinya seperti peluit yang sangat jauh.

Namun, akhirnya, si empunya kebun menampakkan diri walau berupa siluet. Yang lain tidak melihatnya. Hanya dia, bang Riko dan bang Irfan yang terus memperhatikannya.

 

 

***

 

Lewat tengah hari. Waktunya dzuhur. Tidak terdengar azan atau apa pun. Bahkan suara burung pun tidak ada. Mau tidak mau mereka masuk ke dalam rumah tua.

Benar saja. Pintunya terbuka. Ada sedikit bunga kuning akasia yang terhampar di lantainya. Hal yang tidak terduga sama sekali, di dalamnya sangat luas, ruangan dengan perapian di sudut, dan di tengahnya ada tangga sedikit ke bawah, dengan kamar tidur di sisi kiri dan kanan. Tidak banyak. Ada enam kamar dan atap lorongnya berupa kaca sehingga ruangan itu terlihat sangat terang.

Perabotnya tertata rapi walau hanya berupa hiasan jaman dulu yang sederhana. Tidak ada debu sedikit pun. Seakan-akan ada orang yang selalu membersihkannya. Ada juga kayu bakar di dalam keranjang di sisi perapian. Di depannya ada sofa bulu setengah lingkaran. Bulunya lembut dan hangat.

Di sisi seberangnya terdapat meja makan panjang dengan dua belas kursi. Terpisah oleh bar kecil, ada dapur yang lengkap peralatannya. Piring dan gelas, mangkuk dan yang lainnya tertata rapi di lemari gantung. Di sisi kanan dan kiri sebelum menuruni tangga, ada kamar mandi.

"Nyaman ya, tempatnya. Tapi kita nggak bisa berlama-lama. Setelah sholat, istirahat secukupnya." Hime mulai lagi memberi instruksi.

Lalu, mereka semua masing-masing mulai melakukan aktivitasnya.

Tidak ada yang menyadari. Di luar, di sekitar rumah tua dan bukitnya, awan hitam mulai bergulung-gulung. Angin kencang dengan petir bersahut-sahutan yang menggelegar.

Hanya udara dingin yang menaungi sekitar rumah tua. Hawa ngantuk mulai terasa dan sangat tidak tertahankan.

 

***

 

Suara teriakan Zaki membangunkan Fani dan Riko serta Irfan. Mata mereka melihat sesuatu yang tidak biasa. Dinding rumah tua itu semakin terlihat memudar, transparan.

"Cepat keluar!" Zaki masih berteriak.

Riko dan Irfan langsung bertakbir keras. Semua bangun dan mengerti apa yang terjadi, karena hal ini sudah biasa mereka rasakan. Masing-masing berbenah dengan barang bawaannya.

"Keluar! Tunggu di dermaga!" Zaki masih terus memberi instruksi.

Mereka setengah berlari keluar rumah setelah Riko dan Irfan memberi aba-aba.

Kabut tebal menghalangi pandangan. Pelan terdengar lonceng furin yang semakin menjauh. Bukan hanya itu saja, halamannya, bunga terompet berbagai macam warna hampir terlihat seperti lapisan-lapisan bening yang mulai memudar.

"Mana Yato?" Hera mulai terlihat panik.

Mereka sudah berkumpul di dermaga. Udara dingin dan kabut menaungi sekitarnya.

Riko berlari kembali ke dalam rumah tua. Diikuti Hana.

"Maaaa!" Kenzo mencoba mengikuti, namun, ditahan oleh Hime dan Haru.

Hera terduduk, menangis. Fani mengusap bahu ibunya, mencoba menenangkan. Hatinya pun ikut gundah. Irfan hanya menatap kosong rumah tua yang mulai menghilang dari pandangan mereka. Harry berkali-kali bertakbir. Kayla ikut menangis di samping Haru.

Rumah tua itu sepenuhnya telah hilang di hadapan mereka. Hanya ada lahan kosong yang dipadati tanaman liar yang merambat. Seperti kata nelayan tua itu, hanya tersisa pohon akasia besar tempat mereka menambatkan perahu. Seluruh tanaman dan bunga terompet yang terlihat indah itu ikut lenyap bersama rumah tua.

"Cepat kembali. Sebelum matahari terbit semuanya akan terlambat." Tiba-tiba saja nelayan tua itu sudah berada di dekat perahu mereka.

Fani mengerti maksud si kakek. Zaki pun langsung memberi arahan. 


 

Mencari Jalan Keluar

 

Alarm ponsel membangunkan Yato. Layar ponselnya masih di posisi game bertarung. Aku ketiduran. Pemuda itu mendesah dan duduk sebentar di tepi ranjang. Mengutak-atik ponsel yang memang dari awal sudah tidak ada sinyal. Lalu berjalan lesu menuju kamar mandi.

Tangannya terhenti di depan handle pintu ketika menyadari sesuatu yang ganjil. Pemuda itu berbalik. Tidak ada siapa pun di sana. Hanya dia sendiri. Instingnya bermain. Segera pemuda itu membereskan semua barang-barangnya. Terbangun di dalam kamar? Yang benar saja. Apa aku ngelindur? Beugh! Sial amat!

Pelan Yato membuka pintu kamar. Mengintip untuk melihat situasi di luar. Sangat sepi. Hening. Pemuda itu pun segera berlari keluar dan buru-buru menaiki tangga. Lalu langkahnya terhenti. Ruangan itu sangat ramai. Ada beberapa orang, yang mengerjakan sesuatu sesuai urusannya. Seperti tidak perduli dengan kehadiran yang lain. Pemuda itu celingak-celinguk mencari seseorang. Namun, tidak ada seorang pun yang dikenalnya. Dia berlari menuju pintu keluar. Matanya menatap kosong ke sana. Tidak ada pintu. Maksudnya, tidak ada lagi pintu itu di sana. Bagaimana bisa?

"Aaagh!" Yato terkejut luar biasa.

Ada tangan kecil yang menarik ujung jaketnya. Sekejap tangan itu terlihat olehnya. Namun, ketika pemuda itu berbalik, ruangan itu kosong tak berpenghuni. Hening. Hanya terdengar deru napasnya yang tersengal.

Yato berlari menuruni tangga, menuju kamar yang tadi dia tempati. Tidak ada siapa pun. Akhirnya dia kembali lagi ke atas, memeriksa jendela, siapa tahu dia bisa keluar dari sana. Jantungnya semakin berdebar. Jendela ini hanya kamuflase! Bagaimana ini? Pemuda itu mundur selangkah, dia merasakan hal aneh. Rumah ini bernapas.

Panik mulai naik ke ubun-ubun. Yato menggedor-gedor setiap jendela. Lalu terlihat olehnya sebuah lukisan sebesar jendela. Lukisan keluarganya yang berdiri di dermaga. Tiba-tiba ibunya terduduk, menangis. Itu bukan lukisan! Yato mulai menjerit-jerit panik, memanggil mereka semua. Apa-apaan ini! Kenapa mereka meninggalkanku?!

 

***

 

"Ngapain Mama ngikut?" Riko agak sedikit kesal. Bagaimana pun pemuda itu tidak ingin terjadi sesuatu terhadap ibunya.

"Insting seorang ibu."

Namun, hati Riko merasa aman karena keberadaan ibunya.

Mereka berdua menyaksikan seluruh keluarga berdiri di dermaga, menatap rumah tua ini yang semakin lenyap entah ke mana. Begitu juga dengan Riko dan Hana, mereka menyaksikan kepergian keluarganya, meninggalkan tempat itu.

"Ayok, Ma."

Mereka pun mulai mencari keberadaan Yato. Seluruh kamar diperiksa dan pintunya dibiarkan terbuka. Lalu, hal-hal aneh terjadi. Setiap pintu kamar, di dalamnya menampilkan lorong-lorong yang panjang. Entah menuju ke mana. Riko lama berdiri di bawah tangga, memastikan apa yang harus dilakukan lebih dulu.

Hana menepuk pundak anak lajangnya. "Mungkin ini sudah waktunya ashar. Yok, kita kerjakan dulu."

Riko terperanjat. Lalu dia mulai mengikuti langkah ibunya menaiki tangga.

 

***

 

Hana sengaja duduk lama di atas sajadah setelah sholat. Hening. Namun, sesekali terdengar seperti suara napas yang berat. Dari tadi, selama mengerjakan kewajibannya, wanita itu merasakan dan mendengar sesuatu. Sambil berdzikir, matanya menatap tajam ke arah Riko. Riko pun demikian.

Terdengar gema suara langkah kaki yang sedang berlari. Semakin dekat. Hana bergeser duduk di sebelah Riko. Langkah itu mulai menapaki tangga.

Yato tersungkur di atas tangga. Peluhnya membanjiri seluruh tubuh. Ada bekas air mata di pipinya selain peluh. Pemuda itu mendongak. "Aaagh!"

Riko berdiri menghampiri Yato yang menjerit ketakutan.

"Bude?" Suara Yato mulai melemah.

Riko tertawa. "Mungkin karena Mama masih pakai mukena"

Hana melipat mukenanya. Wanita itu tersenyum. Ingin tertawa, tapi takut dosa, apalagi di situasi seperti ini. Rasanya sangat tidak pantas.

"Ke mana yang lain, Bang?" Yato mulai bisa mengimbangi napas dan degub jantungnya.

"Pulang."

"Jadi kita gimana?"

"Tunggu."

"Maksudnya?"

"Kita disuruh untuk menunggu dulu. Itu makanya kami sholat. Sana, mandi, lalu sholat. Bau keringat, tuh. Ada bawa baju ganti, 'kan?"

Yato mengangguk. "Gimana mandinya? Nanti tetiba pintu ditutup, pas dibuka, kalian nggak ada lagi. Karena dari tadi seperti itu yang terjadi." Matanya kembali terlihat cemas.

"Ya sudah. Buka saja pintunya kalau tidak tahu malu."

 

***

 

Setelah membersihkan diri, Fani mulai bergabung duduk berhadapan dengan Zaki. Tangan mereka menggenggam erat dan mulai pencaharian terlebih dahulu. Fani memang ingin secepatnya menuntaskan hal ini sebelum semua terlambat. Keluarganya bertaruh nyawa di sana. Bahkan mukena pun belum dilepasnya.

"Sudah lama Zaki duduk begitu?" Hera berbisik ke Hasnah.

"Sudah dari tadi sejak hujan deras di sini."

"Hujan? Di sana cerah, tapi memang sebelum ashar tadi udara cukup dingin. Kabutnya juga tebal."

"Ssstt!" Haru mulai bergabung dengan mereka.

"Kak Hime?" Hasnah tidak melihat kakaknya sejak yang lain pulang tadi.

"Stand by di sana dengan Irfan. Gimana pun, harus ada salah satu seperti mereka berdua di antara kita." Haru menjelaskan setengah berbisik sambil memperhatikan 'pekerjaan' anak-anak mereka.

Tubuh Fani mulai berguncang hebat. Zaki pun mulai berpeluh. Kenzo dan Harry, masing-masing duduk beradu punggung di belakang adik-adiknya. Mereka berdua mulai memejamkan mata dan tangan seperti bersemedi. Haru, Hera dan Hasnah juga mulai duduk mengitari anak-anak, mulai membuka buku dan membaca ayat-ayatnya. Putu berjaga-jaga di pintu depan, sedangkan Kayla membawa adik-adiknya bermain di rumah yang terpisah.

 

***

 

Udara dingin semakin menggigit. Hime merapatkan jaketnya. Begitu juga Irfan. Mereka berdua duduk di atas dipan di teras gubuk sederhana. Setelah menunggu beberapa saat di tepi danau tadi, nelayan tua, kakek Ijin, mengajak mereka ke rumahnya. Ternyata tidak begitu jauh dari sisi bukit berbunga, hanya terpisah oleh tebing-tebing yang memang sangat curam di sana.

Bukan kebetulan, tapi memang tas ransel berisi ransum mereka diserahkan kepada Irfan. Tidak tahu berapa lama mereka harus menunggu. Setidaknya, mereka berdua tidak terlalu merepotkan si kakek.

Malam ini pasti sangatlah panjang. Kakek Ijin sengaja membuatkan kopi dan merebus ind*m*e --- dilarang nyebut merek --- untuk mereka. Sekedar mengusir lapar dan dinginnya malam. Walau lelaki tua itu disuguhi berbagai macam roti dari Hime, namun, dia hanya orang kampung, yang cuma bisa makan nasi, singkong dan jagung.

 

Irfan menatap langit di atas bukit berbunga dan wilayah sekitarnya. 'Matanya' memang melihat ada yang ganjil. Sudah dimulai ya?

 

"Sepertinya kalian memiliki kemampuan khusus ya?" Kakek Ijin menyuguhkan kopi dan ind*m*e kuah yang mengepul asapnya sambil menatap Irfan.

"Ish, Kakek, buat apa repot-repot. Keluarin saja apa yang ada." Hime menarik cangkir dan mengisi kopinya.

Mereka bertiga tertawa.

"Bisa jadi karena kemampuan kalian ini yang membuat kalian selamat." Kakek Ijin menatap langit. Matanya menerawang jauh. Seakan-akan ada rahasia besar yang tersimpan di sana. "Ayok, sambilan dimakan." Beliau pun ikut mengambil semangkuk.

 

"Kakek, ada pengalaman buruk juga di tempat tadi?" Irfan buka suara.

 

Kek Ijin menarik napas dalam. "Sangat buruk."

 

(Kagak usah diceritakan, Kek. Ntar makin panjang tulisannya. Gak kelar-kelar ni cerita!) 😭

 

 

Pertarungan Hidup Dan Mati

 

Roh Fani melayang mengitari bukit berbunga. Rumah tua itu tertutup kabut tipis. Mengambang kira-kira sepuluh meter dari atas tanah. Fani mulai berkeliling. Wanita muda itu tetap menjaga jarak. Dari hasil pantauannya, ada seperti pintu --- dari atau pun ke --- di antara ke dua tempat itu, rumah tua dan bukitnya. Fani masih ragu. Dia khawatir kalau-kalau ada banyak dimensi di sana.

Ada sesuatu yang mendekatinya, sangat transparan, dilingkupi kabut tipis dan berbentuk binatang. Dari gelagatnya seperti akan menyerang wanita muda itu. Zaki membuat benteng di sekitar Fani, namun, terlambat, Fani terpental ke seberang danau. Serangan itu datang bertubi-tubi. Berkali-kali Fani terpental dan semakin menjauh dari wilayah bukit.

Zaki membuka pintu dimensi lain agar Fani keluar dari lingkaran yang menyerangnya. Lagi-lagi terlambat. Hidung Fani mengeluarkan darah. Zaki pun tersungkur jauh di belakang Fani. Merasa lawan kalah telak, sesuatu transparan itu kembali menyerang. Mulutnya terbuka lebar dan menampilkan gigi-gigi yang panjang dan runcing.

Tepat saat itu, muncul Kenzo dan Harry. Binatang itu pun terpental jauh. Merasa mendapat lawan yang seimbang, akhirnya wujud itu terlihat jelas. Harimau putih dengan ukuran sangat besar. Tingginya kira-kira lima meter dengan panjang tubuh sekitar dua belas hingga tiga belas meter. Gigi atasnya panjang dan mengarah ke bawah. Mata sebelahnya bengkak terkena tinju kedua pemuda itu. Kemunculannya diikuti oleh tiga kawanan lagi dengan ukuran yang sama.

"Buset! Bang Ken, yakin?"

"Yakin! 'Kan ada yang lebih berkuasa."

Agak berbeda aura yang mereka miliki dari Fani dan Zaki. Kedua pemuda itu memberi gambaran menakutkan untuk keempat harimau. Mata mereka melihat Kenzo dan Harry dalam bentuk sepuluh kali lipat ukuran mereka.

"Zaki, cepat cari pintu itu! Fan, teruskan berkomunikasi dengan Riko." Harry melindungi Fani yang melayang menuju bumbungan rumah tua, sedangkan Zaki kembali ke tubuhnya dan mulai menerawang lewat 'mata' Fani.

 

***

 

Riko mengetuk meja makan. Kakinya berselonjor di atas meja. Mereka sudah melaksanakan kewajibannya, bahkan tarik ke isya. Namun, belum ada kabar dari 'sana'.

Tidak ada sinyal dari awal dan waktu di ponsel mau pun jam tangan tidak berfungsi sama sekali. Ibunya masih tidur di sofa di depan perapian. Yato berkali-kali mengitari ruangan itu.

Bosan menunggu, Riko berjalan menuruni tangga. Ada yang aneh. Pintu kamar yang tadinya terbuka kini tertutup kembali. Lorong yang hanya mentok di ujung baris tiga kamar, sekarang terlihat panjang seperti tiada akhir.

"Dari sana lah awak tadi, Bang." Yato sudah berdiri di belakang Riko.

"Bagaimana bisa?"

"Nggak tahu awalnya gimana. Waktu masuk ke kamar, tiba-tiba pintu tertutup sendiri. Yaaah, langsung awak buka lagi dan keluar. Kaget saja, kok lorongnya malah gelap. Nggak tahu gimana dan sepanjang apa, yang penting lari saja lah."

Riko lama menatap sisi lorong yang gelap itu. Namun, 'matanya' melihat sesuatu, bukan, seseorang. Pemuda itu langsung berbalik dan berniat memeriksa sofa. Belum sampai ke ujung tangga, ruangan itu tampak ramai. Seperti sedang mengadakan pesta.

"Beginilah keadaannya, Bang, waktu pertama awak terbangun." Yato masih tetap berdiri di belakang Riko yang mulai cemas.

Rumah tua ini sepertinya berniat menyesatkan. Jika terpisah, otomatis akan terlempar ke tiap dimensi berbeda. Riko langsung menuju sofa. Tidak ada ibunya. Pikirannya kalut dan dia mulai panik. Orang-orang berseliwiran ke sana ke mari, tanpa perduli berpapasan dengan siapa dan apa. Riko terus mengitari seluruh ruangan, diikuti oleh Yato yang jelas sekali terlihat ketakutan. Matanya terhenti ketika melihat seorang wanita rambut panjang, dengan gaun hijau muda, berdiri di sudut ruangan, menatap tajam ke arah pemuda itu.

"Itu Bude!" Yato menepuk pundak Riko.

Wajah ibunya terlihat cemas ketika keluar dari kamar mandi. "Mama tadi bangun, tiba-tiba sudah banyak orang di sini. Sudah ada kabar dari Fani?"

Riko terperanjat dan menggeleng. Lalu matanya beralih lagi ke sudut ruangan. Kosong.

Perasaan Riko tidak enak. Pemuda itu mengambil ranselnya dari punggung Hana. "Ayo kita pergi dari sini."

 

***

 

"Assalamualaikum, maaf, kami tidak ingin ribut di sini. Bisakah kita bicara baik-baik?" Kenzo berniat meminta secara terbuka.

"Kalian masuk tanpa ijin ke wilayah kami." Harimau yang terluka matanya itu yang menjawab. Mungkin yang ini ketua dari mereka berempat.

"Siapa bilang kami masuk tanpa ijin. Tidak ada orang dan pintu terbuka." Harry mencoba menjelaskan.

Kenzo memberi isyarat dengan tangannya. "Kami tidak bermaksud demikian. Kami datang hanya ingin menjemput keluarga kami yang tertinggal."

"Mereka milik kami."

"Mana bisa begitu." Jelas sekali Harry tampak tidak sabar. "Tidak ada hitam di atas putih. Dan bangsa kalian mana bisa dipercaya."

Harimau yang di belakang sang ketua maju selangkah dengan raut wajah bengisnya. Namun, dihalangi oleh harimau yang di sebelahnya.

"Tetap saja kalian telah masuk ke wilayah kami tanpa ijin."

Harry ingin menyangkal dan langsung dihalangi Kenzo. "Begini saja. Apa yang bisa kami lakukan agar keluarga kami bisa keluar dari sana?"

"Tidak ada. Mereka sudah terpilih."

Harry mendengus kesal. Kenzo pun sama. "Kami tidak ingin ribut."

"Sama dong."

 

***

 

 

Fani melayang di bumbungan rumah tua. 'Mata' yang dipakai Zaki mulai menganalisa setiap sudut dan sekitar rumah. Sesekali Fani melihat ke arah Kenzo dan Harry.

"Kak Fani, fokus!"

"Oh, iya." Lalu Fani mulai memanggil Riko. Namun, belum ada jawaban.

 

***

 

Riko diikuti Yato dan Hana, berlari menuruni tangga. Di depan tampak lorong panjang dengan kegelapan yang sangat pekat. Di depan pintu nomor dua sebelah kiri, berdiri seorang wanita bergaun hijau muda dan membukakan pintunya. Mereka masuk dan berlari ke sana.

"Yakin lewat sini? Lalu kenapa dengan perempuan itu?" Hana merasa khawatir dengan yang mereka lakukan.

"Nanti saja ceritanya." Riko terus fokus dengan lorong gelap di depan. Baterai ponsel harus mereka hemat, Riko tidak ingin ponsel mereka bertiga mati total. Setidaknya hanya untuk penerangan lorong yang sempit ini, dengan penerangan dari satu ponsel saja sudah cukup.

Mereka berlari dalam diam. Deru napas dan langkah kaki saja yang terdengar.

"Ba-ba-bang Riko?"

Akhirnyaaaa! Riko menghembuskan napas lega. "Hmm."

"Kalian di mana? Masih di ruangan itu?"

"Kenapa lama sekali."

"Ada masalah sedikit dengan 'penjaganya'. Tunggu!" Suara Fani sedikit terkejut.

Lalu hening kembali.

Riko mempercepat langkahnya. Sepertinya memang ada masalah serius di luar sana.

"Bang Riko, pelan, Bang." Napas Yato mulai ngos-ngosan.

Terdengar gema suara langkah di belakang mereka.

"Apa tuh, Bang?"

"Mereka yang tidak ingin kita keluar dari sini."

 

***

 

"Di mana?"

"Di kebun bunga."

"Gimana bisa sampai ke sana?"

Riko diam saja.

"Zaki?" Hening sesaat di sana. Sepertinya Zaki dan Fani agak sedikit kewalahan.

"Bang Riko?"

"Iya, kami menunggu."

Hening kembali.

 

***

 

Fani berdiri tepat di bumbungan rumah tua. 'Mata' Zaki tajam melihat ke satu titik.

"Bang, nanti ada turunan dari bukit, ada pohon kamboja, dua pohon kamboja," Fani sengaja menekan kalimatnya di akhir, lalu dia melanjutkan, "yang cabangnya sama. Patahkan cabangnya. Kedua pohon itu. Siram getahnya ke tanah di antara dua pohon kamboja itu. Tepat di tengah. Lalu, tunggu sebentar."

Tidak ada sahutan dari Riko. Fani meremas jari-jarinya. Tidak seperti biasa. Ada apa 'di sana'? Matanya mulai berkaca-kaca. Bagaimana pun, dia tidak ingin terjadi sesuatu yang menyebabkan hilangnya nyawa di antara mereka, keluarganya.

"Kak Fani? Jangan nangis. Yakin, insyaa Allah kita bisa."

Fani mengusap air mata dengan ujung lengan bajunya. "Iya, Zaki." Wanita muda itu menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Jauh di depannya, bang Kenzo dan bang Harry juga sedang berjuang untuk mereka.

"Bang?" Fani mulai memanggil lagi. Kali ini suaranya terdengar sangat cemas.

"Iya, kami sedang menuruni bukit."

Fani menghela napas lega. Tangannya menutupi wajah sambil tersenyum.

 

 

Bagaimana Ini?

 

Pertarungan tidak terelakkan lagi. Dua lawan satu tentu saja tidak seimbang. Apalagi kekuatan harimau itu hampir membuat Kenzo dan Harry terluka. Ini bukan hal yang mudah. Selamat atau tidak selamat, baik bagi mereka bertiga mau pun Fani di atas bumbungan sana, tetap saja akan membawa dampak buruk bagi keluarga mereka.

Kenzo terlihat lelah. Pemuda itu membungkuk guna memulihkan pernapasannya. Harry terlihat masih berstamina. Kenzo geleng-geleng kepala. Dia tahu apa yang ada di hati dan pikiran sepupunya itu.

"Sudah tidak kuat lagi ya?" Harimau itu mulai mencibir.

Kenzo diam saja. Pemuda itu masih mengatur napasnya.

"Ikhlaskan saja. Mereka milik kami."

Kenzo masih diam. Dia mulai duduk bersila. Memejamkan mata, menenangkan pikiran dan merelaksasikan tubuhnya.

 

***

 

'Mata' Zaki melihat pertarungan yang tidak seimbang di antara abang-abang sepupunya. Hal ini membuat dia hampir tidak fokus dengan Fani. Namun, bukan Zaki namanya jika tidak bisa melakukan banyak hal.

Sejenak, ketika Fani menunggu jeda dari Riko, anak muda itu meminta kakak sepupunya untuk menghubungi Irfan. Di antara mereka yang memiliki 'kemampuan', Zaki terbilang cukup muda untuk memiliki kemampuan khusus ini. Masing-masing mereka punya kemampuan yang berbeda, namun, tetap berhubungan satu sama yang lain.

"Sudah, kak Fani?"

"Kata bang Irfan, habisin ind*m*e ini dulu."

 

***

 

Kabut di sekitar gubuk kakek Ijin mulai menipis. Api unggun di depan gubuk masih menyala. Mereka bertiga masih berbincang-bincang, bercerita panjang kali lebar. Eh?

Sesekali Irfan memandang ke arah langit. Bukan langit di atas bukit berbunga. Hime pun dari tadi memperhatikan sikap Irfan.

"Mereka butuh bantuan?" Hime menyentuh pundak Irfan.

Irfan menoleh ke Hime dan kakek Ijin bergantian.

"Tidak apa-apa. Kakek mengerti. Silahkan. Kakek akan berjaga-jaga di sini."

Lalu, Irfan pun mulai duduk bersila, menegakkan punggung dan memejamkan mata. Hime mengeluarkan sebuah buku kecil dari ranselnya dan mulai duduk bersila beradu punggung dengan Irfan. Bibir wanita itu mulai melafazkan ayat-ayat.

"Yakin? Sudah siap, Bang?" Fani menegaskan sekali lagi.

"Yap!"

 

***

 

Dua ekor harimau itu terpental jauh dengan sekali hentakan tangan. Luka yang mereka dapatkan cukup serius. Keduanya sampai menyemburkan darah dari mulut.

Irfan bergabung dengan Kenzo. Formasi mereka terlihat lebih kuat sekarang. Roh Irfan tampak seperti bayang-bayang di antara roh Kenzo. Kenzo mulai berdiri, matanya tetap terpejam. Karena yang menggerakkan seluruh tenaga mereka adalah Irfan. Kemampuan Irfan, Riko dan Fani sedikit berbeda dari Kenzo dan Harry. Intinya tetap sama. Mereka saling membutuhkan jika terlibat di situasi seperti ini.

"Kita buat terluka atau langsung kita matikan, bang Ken?'

"Main-main saja dulu. Dari tadi di bawah bolak-balik lihat ke atas, pastinya tangan sudah mulai gatal, 'kan."

Irfan tertawa.

 

***

 

Lorong-lorong ini seperti tiada akhir. Tadi setelah turun dari bukit, Riko melakukan yang harus dia lakukan terlebih dahulu. Pemuda itu meminta Yato dan ibunya menunggu di bawah pohon kamboja.

"Yang benar saja! Nanti berganti lagi dimensinya. Kami ikut saja kemana bang Riko pergi." Jelas sekali Yato tidak mau mengalami hal-hal yang aneh lagi.

Terlebih lagi dengan barang bawaan baru yang sedang mereka bawa. Sudah pasti Yato enggan menjaganya.

Riko pun tidak tahu pasti akan berhasil atau tidak. Namun, arahan yang diberikan oleh wanita berbaju hijau muda itu memang terdengar masuk akal. Yang pasti, wanita itu lebih tahu alasannya dari pada Riko.

Kayu runcing, terbuat dari batang kayu pohon kelor, kira-kira sepanjang tiga puluh senti yang pemuda itu dapatkan di antara tulang belulang di bawah pohon pinus tadi, adalah satu-satunya jalan untuk membuat penjaga wilayah bukit ini melemah. Begitu tadi penjelasan dari wanita berbaju hijau muda itu.

Haru lebih banyak diam. Begitu juga Yato. Apa pun yang dilakukan Riko tadi tidak mereka pertanyakan. Pasti akan ada nanti saatnya bercerita. Untuk saat ini, mereka berdua hanya berharap Riko bisa dengan segera mengeluarkan mereka bertiga dari sini.

Baterai ponsel sudah semakin melemah. Sudah dua ponsel yang terpakai untuk senternya sebagai penerangan. Yang dipegang pemuda itu milik ibunya. Syukur Hana jarang menggunakan ponsel selama mereka di rumah tua. Lorong ini pun entah menuju ke mana. Riko hampir putus asa dengan arahan yang diberikan Fani. Dia tidak tega melihat ibunya dan Yato kelelahan.

Tadi, sebelum masuk ke lorong lewat dua pohon kamboja, Riko berharap kayu runcing yang dia tancapkan di depan teras rumah tua itu, bisa menyelesaikan keletihan ini. Ditambah lagi, sesuatu yang selalu mengikuti bahkan menunggu mereka untuk tidak bisa keluar dari wilayah ini, membuat batin Riko ikut lelah.

Sibuk berpikir yang tak pasti, langkah Riko terhenti di dua lorong.

"Tunggu! Ada yang berdiri di depan 'pintu' keluar."

"Sssst!" Riko meletakkan telunjuk di bibir. Lalu, tangannya memberi aba-aba agar mereka tetap waspada.

"Kalau Fani kasih aba-aba 'jalan', langsung jalan ya, Bang."

"Oke."

Mereka menunggu untuk waktu yang agak lama. Gema suara langkah di belakang mereka semakin mendekat.

"Sekarang!"

"Ayo!" Riko setengah berlari, diikuti Hana dan Yato. Pemuda itu mematikan senter di ponsel, menyerahkannya kepada Hana. Karena di depan sana mulai tampak setitik cahaya.

 

***

 

Harry masih semangat melampiaskan kekesalan dan rasa bersalahnya terhadap kedua harimau di depan. Ketiganya terlihat sama kuat. Entah sampai kapan pertarungan ini selesai.

Di sisi Kenzo dan Irfan, tampak kaki belakang salah satu harimau yang patah. Temannya mulai menyerang secara bertubi-tubi. Dia sendiri pun terluka parah. Dia ingin menyerah dan tahu pasti, tiga manusia ini ditolong Yang Kuasa. Namun, ini perintah, dia tidak punya kuasa. Setidaknya dia sudah lakukan yang terbaik, walau nyawa taruhannya.

"Kami tidak ingin berbuat lebih jauh lagi. Sampai di sini, tolong beri jalan untuk keluarga kami keluar dari sana." Kenzo memberi harimau itu pilihan atas luka-luka yang diderita mereka.

Kedua harimau itu berpandangan.

"Kalau tidak mau juga, kali ini aku nggak akan kasih kelonggaran lagi." Irfan mulai mengambil ancang-ancang.

Kedua harimau itu berdiri dengan susah payah dan mulai bergerak maju. Sebelum melakukan serangan, tepat saat itu, terdengar auman keras seperti rintihan pilu yang menyakitkan dari harimau yang matanya bengkak. Semua menoleh kaget dan langsung mendekat, ingin tahu apa yang terjadi.

Tiba-tiba tubuhnya limbung, berguling-guling ke sana ke mari. Mengaum sekeras mungkin. Dari tubuhnya keluar asap pekat sedikit demi sedikit. Sebelum benar-benar menghilang, dia mengaum dengan sangat kuat untuk terakhir kalinya. Tiga harimau yang lain pun mulai mundur perlahan. Kemungkinan sudah tahu apa yang tengah terjadi. Lalu ketiganya perlahan menghilang meninggalkan kepulan asap putih.

"Bang Irfan? Sudah selesai? Mereka hampir keluar. Tolong dijemput."

"Oke."

Kenzo duduk bersila kembali. Mengatur napas dan merenggangkan seluruh persendiannya.

"Kami tunggu di rumah ya. Selamat bekerja dan...." Kenzo menepuk pundak Irfan.

"Hati-hatiiii!" Serempak mereka bertiga mengatakannya dan tertawa.

 

 

Akhir Dari Yang Terakhir

 

Irfan menghela napas panjang. Hime menghentikan bacaannya dan melihat ponsel. Sudah pukul dua lebih dini hari. Kakek Ijin terduduk di dipan, terkantuk-kantuk menjaga mereka.

"Kek." Hime menepuk lengan kek Ijin dengan lembut.

Kek Ijin membuka mata. "Bagaimana?"

"Kami harus ke sana, Kek. Mau menjemput mereka. Terima kasih sudah menjamu kami. Kakek masuklah ke dalam, istirahat." Hime mulai berjalan ke arah perahu mereka. Irfan sudah duluan menaikinya.

"Tidak bisa begitu. Saya juga ikut." Beliau langsung berlari ke dalam rumah.

Irfan dan Hime berpandangan, saling angkat bahu. Lalu, terlihat kek Ijin tergopoh-gopoh menuju perahunya sambil membenahi jaket dan koplo di kepala.

"Yuk, kita kemon."

 

***

 

Fani terduduk lesu di bumbungan. Entah apa yang terjadi 'di sana'. Dia sudah kelelahan. Kenzo dan Harry mengusap kepala adik sepupunya itu.

Fani menoleh ke belakang. Senyumnya sumringah. "Sudah selesai?"

Keduanya menggangguk.

"Apa yang terjadi?" Kenzo dan Harry bertanya bersamaan.

Mereka tertawa. Harry bertanya untuk harimau yang lenyap tadi, bagaimana bisa. Menurutnya, harimau itu, yang sepertinya pemimpin mereka, termasuk lawan yang kuat dan seimbang dengan ilmu Harry. Sedangkan Kenzo bertanya tentang keadaan ibunya, Riko dan Yato di dalam rumah tua.

Fani tidak menjawab satu pun dari pertanyaan mereka. Sudah pasti perjalanan mereka di dalam sana sangatlah panjang.

Tampak oleh mereka bertiga kek Ijin, Hime dan Irfan yang sedang mengayuh masing-masing perahu mulai mendekati dermaga. Lalu, tidak sampai menunggu lama, dari balik batang akasia yang besar itu, muncul Riko, dikuti Yato dan Hana.

Fani menangis dan kedua pemuda itu merangkulnya.

"Ayo, kita tunggu mereka di rumah."

 

***

 

 

Zaki, Fani, Kenzo dan Harry menghela napas panjang. Satu persatu langsung merebahkan tubuhnya. Fani masih berlinang air mata. Hera ikut menangis dan memeluk gadis manisnya dengan erat.

Zaki dan Harry berpandangan. Mereka tertawa sambil menangis. Selesai sudah. Lelah mereka tidak sia-sia.

Kenzo masih terduduk, menunduk. Pemuda itu menangis dalam diam. Hatinya terenyuh setelah melihat ibu dan adiknya keluar dari sana dalam keadaan selamat. Walaupun mereka terlihat berantakan, namun, mereka masih hidup.

Haru mengelus pundak dan kepala Kenzo. "Syukurlah. Berkat bantuan kalian semua. Sambil menunggu, kita siapkan dulu teh panas dan cemilan enak untuk kalian ya." Haru menepuk pundak Kenzo dan berjalan menuju dapur mini, diikuti Hasnah.

 

***

 

Yato berlari terlebih dahulu dan memeluk Hime. Pemuda itu menangis cukup lama. Hime cuma bisa mengelus pundaknya saja.

"Sudah. Alhamdulillah, semua sudah berlalu."

Riko turun lebih dulu dan perlahan membantu ibunya ke perahu yang dikendarai Irfan. Mereka adu jotos sekejap sebelum Riko mengambil dayung dan mengayuh mendekati perahu kakek Ijin. Pemuda itu mengambil sesuatu dari ransel dan menyerahkannya kepada beliau.

Kek ijin membuka ikatan mukena itu dan menangis setelah melihat isinya. Riko menepuk pundak si kakek dengan lembut dan mengusapnya untuk menguatkan hati beliau.

Hana pun ikut menangis. Tidak disangka, ternyata Riko meminta mukenanya untuk menyimpan tulang belulang dan gaun terakhir yang dipakai wanita itu.

"Nenek bilang, nenek minta maaf dan berterima kasih karena telah membantunya keluar dari sana."

 

-----

 

😭😭😭

Akhirnya selesai jugaaaa!!!

2 komentar:

  1. Novel mini..
    Kalo dibilang cerpen ga pendek yaa mbak 😅

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iy, mas dodo, lg belajar bikin novel, tp dr bwh dl, bikin novelet ato novel mini istilahnya,
      Cm klo nulis di blog, asik aja, mau seberapa bnyk kata dn bahasa ato dialog bs suka2ku, 😂😂😂

      Hapus

(FLASHBACK) DARI TANAH TANDUS

  Blurb: “Kak Ineee. Kepala Rubi pusing, Kak.” “Bertahanlah, Rubi! Bukan sekarang saatnya!” Ine dan Rubi, dua gadis kecil yang ter...