Rabu, 24 Juni 2020

DE JAVU

Tulisanku kok banyak tentang hujan ya? Mungkin hujan bawa makna tersendiri. Banyak arti, banyak cerita, banyak kenangan di kala hujan. Hujan emang bawa barokah. Waduh, jadi mewek. Tulisan kali ini pun tentang hujan. Kalau gak hujan yaaaa habis hujan, atau bahkan akan hujan. ^, ^

Baeklah, kagak usah banyak cuap-cuap, kita lihat aja apa isi ceritanya. Cekidot, yuuukk...

***

Mata mereka bertemu. Hanya saling bertatapan tanpa adanya gerakan berlebih. Hujan gerimis dengan cahaya lampu jalan yang minim membuat waktu seakan berhenti. Ada kata yang ingin terucap, namun fikiran kosong tak berisi. Semua lenyap entah menguap ke mana. Dan entah bagaimana semua berawal.

***

Celana panjangnya basah terkena genangan air hujan. Payung kecil yang dibawanya tidak banyak membantu. Buku iqro di dalam tasnya sudah basah separuh. Dua orang temannya sudah lebih dulu berjalan di depan. Rasanya enggan berlama-lama di dalam hujan. Tangan kecilnya erat memegang gagang payung. Dia menghela nafas. Rasanya ingin cepat-cepat sampai di rumah. Membersihkan diri lalu tidur. Kalau bukan karena omelan mama habis maghrib tadi, tentu dia sudah di kamarnya sekarang, meringkuk manja dalam selimut.

Tapi ternyata Dion dan Evan, temannya, datang menjemputnya. Padahal mama lupa kalau hari ini ada jadwal mengaji. Dan sekarang mereka malah meninggalkan dia sendiri.

Kembali dia menghela nafas. Bersiap-siap hendak berlari. Namun belum tiga langkah berlari kakinya berhenti tiba-tiba. Matanya terpaku pada apa yang ada di depannya. Mereka saling menatap. Tak bergeming. Seakan waktu terhenti, dengan latar suara hujan rintik.

***

Saat itu umurnya baru sepuluh tahun. Masih duduk di kelas empat sekolah dasar. Tidak ada yang spesial darinya. Semua biasa-biasa saja. Bermain pun dengan kawan sebaya selayaknya anak-anak pada umumnya.

Siang itu memang sudah mendung. Tapi kegiatan di sekolah masih tetap berjalan. Dia pun masih harus mengikuti ekstrakulikuler sepulang sekolah. Memang belum terlihat hujan akan turun. Karenanya mereka berkumpul di aula sekolah. Setengah jam kegiatan berjalan, hujan pun tak mau berlama-lama singgah di awan. Mereka tumpah ruah berlomba-lomba ingin menyentuh bumi.

Kegiatan diisi semenarik mungkin. Mengacu pada derasnya hujan di luar aula. Agar tidak bosan dan juga tidak mengantuk. Namun dia terlihat cemas. Matanya sesekali memandang ke luar jendela. Memandang ke langit sana. Aahh, kenapa tidak segera berhenti? Atau setidaknya reda sedikit, begitu hati kecilnya berkata.

Evan menepuk pundak temannya. "Eh, Lintang, lagi lihat apa, sih?"

Dia diam saja. Tidak menjawab bahkan tidak menoleh.

Waktu pun bergulir dengan cepat. Setengah jam setelah ashar dan diisi dengan ceramah singkat, mereka pun beranjak pulang. Langit masih menyisakan rintik-rintik dan cahayanya yang temaram. Diikatnya tali sepatunya dengan cepat. Dion dan Evan sedang menunggunya di depan gerbang.

Jarak dari sekolah menuju rumah tidaklah jauh. Apalagi kalau lewat jalan pintas. Tapi dia tidak pernah mau lewat jalan itu. Harus melewati dua petak sawah. Dan jalannya sangat sunyi.

Simpang empat di depan membuat mereka bertiga harus berpisah. Rumah Evan memang berada di sudut jalan. Sedangkan Dion masih harus berjalan lagi lurus ke depan. Rumah Lintang masuk jalan kecil dari samping rumah Evan. Ada sepuluh rumah di jalan itu. Di belakang rumah Evan ada empang kecil milik neneknya. Di depan empang ada lahan kosong yang rumput liarnya tumbuh subur di sana. Lintang kecil paling malas melewatinya jika hari hujan begini. Tapi cuma ini jalan satu-satunya untuk sampai ke rumah.

Jejak kakinya menimbulkan suara kecipak kecipuk saat berjalan. Cahaya temaram dan hujan yang masih rintik membuat matanya buram. Ketika hampir melewati empang dan lahan kosong, langkahnya terhenti. Matanya terpaku dengan apa yang ada di depannya. Mata mereka bertemu. Mereka hanya saling bertatapan. Tidak ada gerakan sama sekali. Waktu seakan-akan terhenti.

***

"Bu, tunggu."

"Cepat sedikit jalanmu. Sebentar lagi banyak orang pulang mengaji."

Tapi di sana banyak genangan airnya, aku suka, Bu. Kata-kata itu tidak dia ucapkan. Apa jadinya jika dia ucapkan. Dia tahu perangai ibunya. Tidak boleh ini. Tidak boleh itu. Terlalu banyak resiko la. Terlalu banyak pertimbangan la.

Hujan masih saja turun. Ibunya tidak terlihat lagi di depannya. Setiap mereka pulang melalui jalan ini, ibunya selalu wanti-wanti jangan keterusan jalannya. Nanti bila bertemu batang pohon akasia di sebelah kanan, itulah jalur yang harus kami tempuh untuk sampai ke rumah. Namun hatinya berkata untuk mencoba lurus saja. Bukankah hari ini hujan sepanjang hari? Sudah pasti tidak ada anak-anak yang mau pergi mengaji, bukan?

Pilihannya pun semakin mantap untuk terus saja berjalan. Tiba-tiba dari arah depan dilihatnya ada dua orang anak sedang berlarian sambil tertawa-tawa. Dia berhenti sejenak. Memejamkan mata. Berharap mereka tidak melihatnya. Dia tidak ingin mereka melihat sisiknya. Sisiknya yang mengkilat kekuningan. Syukurlah mereka tidak melihatnya. Karena suara langkah kaki mereka mulai menjauh. Belum lagi dia sempat berjalan, di depannya ada seorang anak yang membawa payung dengan tas selempangnya. Mata mereka bertemu. Hanya saling bertatapan tanpa adanya gerakan berlebih. Hujan gerimis dengan cahaya lampu jalan yang minim membuat waktu seakan berhenti. Ada kata yang ingin terucap, namun fikiran kosong tak berisi. Semua lenyap entah menguap ke mana.

"Lintang! Sudah Ibu bilang jangan pernah lewat situ."

Suara ibunya mengalihkan pandangannya. Kemudian dengan meliuk perlahan serta mendesis dia pun berjalan pelan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

(FLASHBACK) DARI TANAH TANDUS

  Blurb: “Kak Ineee. Kepala Rubi pusing, Kak.” “Bertahanlah, Rubi! Bukan sekarang saatnya!” Ine dan Rubi, dua gadis kecil yang ter...