Blurb:
“Kak Ineee. Kepala Rubi pusing, Kak.”
“Bertahanlah, Rubi! Bukan sekarang saatnya!”
Ine dan Rubi, dua gadis kecil yang terpaksa kuat untuk bisa melalui
hari-hari.
Ditemani Jio, seorang pemuda tanggung yang merintis hidup demi diri sendiri
dan kedua gadis yang mengikutinya. Mereka berjuang hidup untuk sekedar keluar
dari jerat kelaparan.
Namun, sampai kapan mereka harus mengaluri hidup tanpa impian? Benarkah
mereka tidak memiliki impian?
***
Alhamdulillah, berwujud buku juga akhirnya tulisan ini. Idenya sudah sangat
sangat sangat lama, sih. Setiap kudengar lagu Pak Ebiet G. Ade yang berjudul KETEGARAN
HATI SEORANG PENGEMIS DAN ANAKNYA, aku membayangkan bagaimana perjalanan
hidup di jalanan. Hanya saja, eksekusinya kira-kira hampir tiga tahun untuk
diselesaikan. Lalu, tanpa sengaja kuikutsertakan dalam lomba kategori novel
yang diadakan oleh penerbit Ellunar.
Tak jauh-jauh dari judul lagu Pak Ebiet, aku memikirkan tentang seorang
anak kecil yang dibuang ibunya. Tentang mirisnya kehidupan mapan seorang wanita
dan harapan-harapannya untuk menemukan kembali sang anak. Di satu sisi,
tipisnya harapan hidup seorang pemuda yang baru tumbuh remaja. Dia sampai
mengesampingkan indahnya dunia sekolah dan persahabatan antar manusia.
Menilik cerita seputar masyarakat kalangan menengah ke bawah, cerita ini
masuk dalam sepuluh terbaik. Sekali lagi, Alhamdulillah. Padahal biasanya
tulisanku selalu bergenre horor thriller. Entah mengapa, tanganku gatel
mengetik tentang kehidupan ala kadarnya, jalan berliku orang-orang susah di
luar sana.
Tulisan ini mulai berproses saat aku membaca suatu ayat dalam Alquran,
(QS. Al Kahfi 103-104)
“Katakanlah: “Maukah Kami beritahukan kepadamu
tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?”
(Yaitu) orang-orang
yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedang mereka menyangka bahwa
mereka berbuat sebaik-baiknya.”
Kemudian, ayat ini,
(QS. Al A’raf 179)
“Dan
sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi) neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan
manusia.
Mereka mempunyai hati,
(tetapi) tidak (dipergunakan untuk) memahami ayat-ayat (Allah),
Dan mereka mempunyai
mata, (tetapi) tidak (dipergunakan untuk) melihat tanda-tanda kebesaran
(Allah),
Dan mereka mempunyai
telinga, (tetapi) tidak (dipergunakan untuk) mendengar ayat-ayat (Allah).
Mereka itu seperti
binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi, mereka itulah orang-orang yang
lalai.”
Dan ayat ini,
(QS. Ali Imran 185)
“Setiap yang berjiwa pasti akan mati.”
Sedikit tentang isi novel DARI TANAH TANDUS, tentang bagaimana
setiap kematian itu datang.
Pada akhir chapter, aku suka ketika istri Kek Sidik mengatakan, “Kalau kamu mau, pasti kamu temukan
jalan. Kalau kamu tidak mau, pasti kamu temukan alasan. Tapi, kamu bisa memilih untuk punya
akhir dengan cara yang buruk atau cara yang baik.”
Tiap orang mungkin memiliki standar sendiri mengenai tolak ukur yang
menjadi prioritas untuk menentukan apa yang penting, kurang penting dan tak
penting dalam hidup. Tergantung nilai yang kita yakini. Jadi, sifatnya relatif.
Namun, sebagai orang beriman, kita punya garis tegas yang membatasi apa
saja yang akan kita lakukan, yaitu kematian. Ketika ajal tiba, ia tak dapat
dipercepat maupun ditunda. Datangnya pun tak terduga. Tak selalu ada tanda.
Bisa sangat tiba-tiba. Karena itu, kita dituntut untuk selalu waspada.
Di antara bentuk kewaspadaan kita adalah dengan senantiasa berusaha
mendahulukan amal shalih di setiap kesempatan yang ada. Sebab, bisa saja saat
seseorang sedang menunda kebaikan, dia keburu dihampiri kematian. Jika itu
terjadi, dia rugi telah membuang satu kesempatan.
Allah mengingatkan kita, “Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu. Maka,
apabila telah datang waktunya, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat
pun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (QS. Al A’raf 34)
Namun, seringkali kita terlalu percaya diri mengira bahwa batas waktu
(maut) masih belum bakal menghampiri dalam waktu dekat ini. Padahal, tak
seorang pun tahu, kapan Allah tetapkan saat itu.
Berapa banyak diantara kita yang serius mempersiapkan diri jika ternyata
Allah takdirkan mati muda?
Optimisme hidup memang mesti dipelihara. Hanya saja, merasa aman dari maut
adalah tanda jiwa kurang waspada.
Baeklah! Ini ada gambaran sedikit dari isi novel DARI TANAH TANDUS. Tak
lupa di dalam tulisan itu kusematkan isi dari lagu Pak Ebiet tadi.
“Apa
kau sudah gila?” Air mata Zahara mengalir begitu saja. “Nggak bisakah kau
titipkan ke rumah kakak jika kau nggak sanggup menjaganya? Bukankah selama ini
juga begitu?”
“Kak,
udahlah! Nggak ada gunanya diperpanjang lagi. Sekarang yang penting
mencarinya.” Bara berusaha mengontrol emosi kakak kandungnya.
Vika
menangis senggugukan di samping suaminya. Sepertinya Zahara sudah mendapat
kabar itu dari sang ibu tentang pencaharian Rubi. Paginya wanita itu langsung
datang meminta penjelasan Bara dan Vika.
Wanita
itu tersungkur di sofa dengan raut wajah
tidak percaya. Matanya bias menatap sekitar. “Dia masih sangat kecil.”
Suara Zahara begitu lirih dengan air mata yang terus mengalir. “Apa yang bisa
dia lakukan di luar sana? Apa kalian yakin dia baik-baik aja sampai saat ini?
Bagaiman kalau Rubi yang kalian cari udah lama mati tanpa ada yang perduli.”
“Kak!”
Bara memekik lirih.
Vika
menjerit histeris. “Aah!! Aku minta maaf! Aku minta maaf!”
Zahara
menunduk sambil menangkup telapak tangan di wajahnya. Wanita itu menghapus air
matanya dengan punggung tangan. “Kakak harap ini bisa menjadi ujian atas
kariermu yang selalu kau bangga-banggakan itu.
Rasa bangga pada pencapaian diri memang manusiawi, tetapi jika nggak terkendali
akan menjelma ‘ujub yang rentan membakar diri. Mana kala pencapaian itu sampai
mengorbankan hal lain, maka nantikanlah datangnya rasa sesalmu. Semoga Allah
masih berbaik hati terhadap hidupmu.”
Setelah
Zahara pergi, Vika masih terus menangis. Tanpa kakak iparnya jelaskan semua
pun, dia tetap meratapi kesedihan dan penyesalan yang mendalam. Setidaknya,
sebagai pendakwah, kakak iparnya masih tetap santun berkata-kata, tidak seperti
kakak maupun mamanya yang selalu memaki dan merendahkannya.
Bara
membujuk istrinya untuk tetap tegar. Bagaimanapun semua sudah terjadi. Tuhan
pasti punya maksud atas apa-apa yang telah kita kerjakan baik yang disengaja
maupun tidak sengaja kita lalukan. Hanya saja, kita harus siap menerima setiap
konsekuensi atas perbuatan kita.
Menilik
setiap kejadian hari kemarin dan tadi pagi, Bara pun meminta izin cuti selama
tiga hari ke depan untuk menjaga kondisi psikis istrinya.
***
“Kakek
bilang, kita harus bersikap bodo amat. Jadi aku buat begitu terhadap Rubi. Kan,
dia juga udah dapat duit dari membantu berjualan gorengan.” Tabiat keras kepala
Ine mulai datang sehabis subuh tadi ketika Sidik sibuk berbenah untuk mencari
Rubi.
Jio
yang baru selesai mengaji terkejut dengan pernyataan Ine. “Ine! Kau, tuh, ....”
Sidik
memberi kode dengan telapak tangannya ke arah Jio. Pria tua itu menarik napas
panjang. “Sikap bodo amat bukan untuk membuat kita berpikir bahwa orang lain
nggak penting. Sikap bodo amat mengajarkan kita untuk melupakan hal-hal di luar
kendali kita dan lebih mengusahakan hal-hal yang ada di dalam kendali diri.”
Sidik menatap Ine. “Ine, manusia itu tempatnya khilaf dan salah. Tapi nggak
serta merta harus terus berbuat khilaf dan salah. Pahami itu. Jika ada temanmu
yang berbuat salah atau berbuat semena-mena kepadamu, apa kau senang? Kau nggak
marah?”
“Yaah,
marah lah, Kek!”
Kembali
Sidik menarik napas panjang. “Kalau temanmu nggak perduli dan membiarkanmu
sendiri karena nggak mau bermain denganmu, apa kau pun bersikap bodo amat?”
Ine
terdiam. Matanya menatap Jio dan Sidik bergantian, lalu menunduk serta
menggeleng.
Sidik
mendengus pelan. “Ine. Kita hidup itu harus saling tolong-menolong. Nggak ada
yang percuma di dunia ini. Setiap orang yang singgah di kehidupan kita, meski
hanya sebentar, itu juga membawa hikmah dan pelajaran. Nggak mungkin mereka
hanya sebatas singgah tanpa Tuhan buat ada maksudnya. Sama seperti Kakek, Jio,
Rubi, teman-temanmu, mereka singgah di kehidupanmu agar kau bisa belajar dari
segala hal. Entah itu sikap kami, perkataan kami. Gitu juga sebaliknya. Kakek,
Jio, Rubi, semua ikut belajar. Belajar bukan hanya di sekolah. Di rumah juga
bisa, bersama orang tua, tetangga, teman bermain, bahkan dengan hewan pun kita
belajar.”
Musala
kembali hening. Hanya terdengar bunyi jarum jam yang berdetak di dinding.
“Semua
langkah yang kita buat meninggalkan jejak di bumi. Semua napas yang kita hirup
membawa kristal kehidupan. Artinya, apa pun yang lahir dan yang kita perbuat di
dunia ini semua ada artinya. Tuhan nggak menciptakan sesuatu yang sia-sia,
semuanya berguna. Sampai di situ kau udah paham, hmm?”
Ine
masih menunduk, lalu mengangguk.
“Ya,
udah. Ayok, kita cari Rubi.”
Jadi, cara yang bagaimana yang kita inginkan? Bukankah hidup ini sangat
berharga untuk dijalani? Karenanya, pergunakanlah sebaik-baiknya, apalagi jika
tujuan akhir kita adalah bertemu Allah di jannah yang sudah dijanjikan
oleh-Nya.
Terakhir! Jangan lupa beli novelnya yaa. 🤗
keren banget novelnya. Jadi pengin beli nih, Kak. Sepakat banget kalau apa2 yang lahir dan kita perbuat di dunia ini pasti akan ada artinya karena nggak ada hal sekecil apapun yang sia-sia
BalasHapusAda beragam kisah menyentuh dari masyarakat golongan berkecukupan, salah satu seperti cerita di atas. Namun, tidak sedikit dari mereka yang akhirnya bertahan dan bisa memperoleh hidup yang lebih baik.
BalasHapusMembaca secuil kisah yang ada dalam novel ini membuatku dag dig dug aja, mbak. Novel sarat makna tentang ke-Maha-an, seperti petikan obrolan "Rasa bangga pada pencapaian diri memang manusiawi, tetapi jika nggak terkendali akan menjelma ‘ujub yang rentan membakar diri."
BalasHapusMa syaa Allah, buat pengingat diri banget ini, dakwah yang dikemas dalam bentuk novel. Membuat kita sadar bahwa kehidupan di dunia ini cuma sementara ya, dan kita harus mempersiapkan bekal amal sholeh untuk pulang nanti, keren Mbak. Sukses dunia-akhirat dengan karyanya ya Mbak, aamiin.
BalasHapusbagus novelnya, baca sekilas sepertinya menarik
BalasHapusselamat ya kak, novelnya sudah lahir, pasti proses panjang yang melelahkan sekaligus menyenangkan, semoga sukses dan laris novelnya
Wah, ini belinya dimana Mbak? Bagus sepertinya ceritanya. Ceritanya seperti bersinggungan langsung dengan keseharian di sekitar kita ya. Salut dengan semua novelis, ga kebayang rasanya menulis dan mengedit ratusan lembar tulisan.
BalasHapusWah buku yang sangat recommended ini
BalasHapusCeritanya g jauh jauh dari keseharian ya mbak
Tapi dikemas dalam cerita yang menarik
jadi mupeng bacaa buku ini mbaaa
BalasHapusalurnya menarik bgt
Memang benar ajal itu batas manusia ya. Makanya aku sekarang juga ga mau terlalu ini itu. Semoga novelnya inspiring dan laris ya Kak.
BalasHapusMEskipun menyelesaikannya membutuhkan waktu yang cukup lama tapi hasilnya bagus ya mba. Jadi penasaran pengen baca semua. Lama ngga baca novel gini, banyak pelajaran dan pesan moral yang bisa diambil.
BalasHapusAih selalu salut sama para penulis yang konsisten untuk menyelesaikan novel mereka dan novel Dari Tanah Tandus semoga bisa jadi lahan subur untuk membangkitkan semangat pembacanya.amin
BalasHapusYa Allah jadi pelajaran berharga banget buat saya yang kadang tidak bersyukur dengan semua yang telah diberikan.
BalasHapusNovel yang sangat rekomended di saat semua orang berlomba-lomba untuk menjadi yang terhebat. Ada karakter baik yang bisa dipelajari dari novel "Dari Tanah Tandus" agar kita semua bisa kembali ke fitrah manusia untuk saling bermanfaat bagi yang lain.
BalasHapusuntaian-untaian kalimatnya betul-betul sarat makna ya, memberi wejangan pada kehidupan, bagus novelnya, jadi bahan perenungan yang membacanya
BalasHapusDari sinopsisnya, novelnya bagus nih dan pastinya menginspirasi pembacanya untuk mampu bertahan dalam kondisi apapun serta selalu bersyukur atas nikmat yang telah diterima selama ini.
BalasHapusmenarik banget reviewnya mbak, bisa nih dianggarkan buat beli nvelnya. Bahasanyya cakep banget banyak motivasi dan wejangan tanpa menggurui ya mbak
BalasHapusMenarik ya kalau baca tulisaan mba yang mengulas novel itu. Bisa jadi wishlist buat dibeli nih
BalasHapusselamat atas kelahiran novelnya kak. jadi penasaran nih sama setting lokasinya dari daerah mana
BalasHapus