view by Pinterest
Assalamualaikum! Apa kabar? Semoga selalu dalam
keadaan sehat dan baik-baik saja ya.
Minggu lalu tulisan ini kutampilkan dalam dua bab. Dan sesuai janjiku, kali ini pun kutampilkan dua bab lanjutannya. Ah, iya, bagi yang belum membaca di bagian awal, boleh intip sebentar tulisan BELAHAN JIWA ini di postingan dua minggu lalu ya.
Dan sekedar pemberitahuan saja, nih, pamer, sih, lebih tepatnya. 😅
Ini tulisan novelet pertama yang akhirnya bisa aku rampungkan. Beberapa ide masih nonggok di WPS dan juga masih betah menunggu uluran jari-jemariku yang ceking ini untuk dieksekusi. Tapi, entah kapan.
Oke lah! Gak usah berlama-lama mengoceh ya.
Kita lanjut saja, yuuuk.
Cekidooot ....
Part III : Sekarang Bagaimana?
Terkantuk-kantuk Lara menunggu pagi. Padahal, matahari baru juga menepi. Gelap
di sekitarnya mulai menaungi. Alam liar mengambil perannya. Suara binatang
malam mulai bersahutan. Dia tidak sendiri.
Malam ini, wanita itu memilih bermalam di atas
pohon, tepat di belakang gubuk. Dia tidak ingin mengambil resiko untuk bermalam
di gubuk. Bukan waktunya untuk berlari sepanjang malam. Dia perlu istirahat dan
perlu memulihkan tenaga. Sesaat setelah berlari dari gubuk tadi, Lara berubah
pikiran. Ada pohon akasia di samping gubuk menjorok agak ke belakang. Batang
dan dahannya lumayan besar, bisa untuk duduk selonjoran. Namun, yang lebih
penting lagi, daunnya rimbun.
Dulu, Lara adalah wanita lemah, pun bukan
termasuk wanita manja. Dia pernah tinggal dan bersekolah di kampung ayahnya
selama empat tahun, dikarenakan ayahnya pindah dinas ke luar pulau. Lara juga
seorang gadis tomboi yang badung. Sangat berbeda dari abang dan kakaknya yang
kalem.
Lara bersandar di batang pohon akasia. Matanya
menerawang jauh di dalam kegelapan yang pekat. Matanya sudah sangat berat.
Lahir batin dia lelah. Sulit untuk mengatakannya. Bulir bening turun membasahi
pipi tirus wanita itu. Teringat suami, jagoan kembarnya, Tio dan Teo, ayah,
bang Rian dan kak Desi. Bagaimana dengan mereka? Apakah mereka sadar aku
telah menghilang? Apakah mereka tahu tentang keberadaanku? Setidaknya, apa yang
telah terjadi padaku? Tidakkah mereka mulai mencariku? Rasanya sudah sangat
lama Lara tidak bertemu dengan mereka. Lara menangis lirih menahan rindu.
***
Radith cemas. Terlihat dari rahangnya yang
mengeras. Hari mulai gelap. Pelan dikendarainya double cabin hitam itu
sambil matanya sesekali melihat kiri kanan sisi mobil. Berharap ada seseorang
sedang mengintip atau berlari di antara batang-batang pohon karet. Gubuk tempat
memadu kasih dengan Laranya memang sengaja dia pilih, dikarenakan letaknya yang
sangat jauh ke dalam perkebunan. Tidak banyak buruh dan pekerja paruh waktu
yang mau singgah ke sana, sehingga Radith leluasa membawa Lara. Para buruh dan
pekerja di sekitar kantor dan kebun sudah sangat kenal dengan Radith. Mereka
tidak menaruh curiga sedikit pun.
Matanya tajam menatap jalan di depan yang gelap.
Mulutnya mengatup sangat rapat sampai terdengar gemelutuk gigi-giginya.
Lara,
Sayangku. Kau harus membayar semua ini. Atas semua yang sudah kulakukan. Jangan
salahkan aku jika aku marah nanti. Kau akan mendapat hukuman karena hari ini.
Radith mulai melaju ke tempat pencaharian
selanjutnya. Dia tidak ingin melewatkan sedikit pun celah yang ada. Lampu sorot
besar yang terpajang di atap double cabin
cukup untuk menerangi sisi gelapnya batang-batang pohon karet hingga hampir
setengah kilo meter ke depan.
Seekor cepelai melompat dari arah kiri dan
memaksa Radith berhenti. Bulu lebat dengan mata yang bersinar itu terduduk di
kap mobil menatap Radith. Pandangan Radith tanpa ekspresi. Mata lelaki itu
memang melihat cerpelai di depan, namun, pikirannya terbang entah ke mana.
Saat itu, sekitar tiga tahun yang lalu, Radith
meliburkan diri dua hari dari kantornya yang baru. Lelah dengan segala
rutinitas dan kakinya melangkah ke kebun binatang. Di sana dia melihat seorang
bidadari yang pasti dikirim Tuhan untuknya. Rambut yang mungkin cuma sampai
sebahu dan dikuncir kuda, sedang memotret beberapa cerpelai yang bertingkah
memamerkan kebolehannya. Kemeja polos warna kuning gading dipadu dengan jeans
hitam usang yang menambah kesan sederhana. Lalu, ketika kamera itu turun dari
wajah ovalnya, mata, hidung, bibir wanita itu membuat Radith berdiri terpaku.
Dadanya bergemuruh. Lelaki itu tersadar, dia jatuh cinta.
Radith mulai terangsang dengan mengingat kenangan
saat itu. Ekspresinya mulai terlihat. Ditekannya klakson mobil sepanjang yang
dia suka. Cerpelai yang kaget langsung melompat ke atap mobil dan membuat suara
yang berisik di sana. Radith memukul langit-langit di atas kepalanya dengan
marah. Sambil memaki-maki, dia kembali menekan klakson.
Napasnya memburu. Dadanya turun naik di belakang
kemudi. Keadaan kembali sunyi.
"Sial! Sial! Sialan!" Radith memaki
sambil berkali-kali menghentakkan tangannya di kemudi.
***
Lara terjaga setelah merasakan sesuatu yang
dingin menjalar di pundaknya. Napasnya tercekat. Dia menahan ketakutan. Melata
itu mulai bergerak dari tubuh Lara. Sisiknya yang dingin dan lembap melewati
wajah hingga pinggang dan langsung meluncur turun. Entah menuju ke mana.
Bukan kebijakan yang bagus memang memilih untuk
bermalam di atas pohon. Dia sudah susah payah untuk keluar dari gubuk kayu.
Karena itu, jangan sampai malah mati konyol di sini.
Peluh dan keringat dingin sudah membasahi tubuh
Lara. Wanita itu masih menahan napas, takut bila sewaktu-waktu melata itu belum
pergi terlalu jauh dan kembali lagi untuk melilit tubuhnya.
Dia menarik napas dalam-dalam dan
menghembuskannya kembali. Untuk sementara situasi dan keadaan wanita itu
terbilang aman. Walau belum sepenuhnya dari kata nyaman.
Lalu tiba-tiba suara gema klakson mobil membuat
Lara bergidik ngeri. Jantungnya kembali berdegub kencang. Tangan dilipat di
dada dan diremasnya bagian pinggang. Lara menggigit bibir. Dia mulai khawatir.
Suara klakson itu terdengar lagi. Lebih panjang dan sepertinya penuh kemarahan.
Lara menerawang, mengingat kejadian silam.
Tergopoh-gopoh
Lara membuka pintu pagar. Napasnya tersengal. Kandungannya yang sudah tua
terasa berat untuk dibawa berlari. Hanya saja, suaminya seperti tidak sabar dan
klakson mobil terus-menerus terdengar. Lara malu dengan tetangga sekitar.
Di
dalam rumah, suaminya mulai melepaskan amarah dan menuding Lara dengan hal-hal
yang tidak dia perbuat.
"Dari
tadi aku telepon selalu terdengar nada sibuk. Dengan siapa kamu bicara?
Hah?!"
"Dengan
ayah kok, Mas. Lagian juga tidak lama, tidak sampai lima menit."
"Bohong
kamu! Tadi sebelum kamu buka pintu pagar, aku juga coba telepon lagi. Masih
nada sibuk. Bicara dengan siapa lagi kamu? Jawab! Hah?!"
Tiba-tiba
saja tangan suaminya sudah mengepit pipi wanita itu dengan suara yang meninggi
melekat di depan wajahnya. Mata laki-laki itu menatap Lara dengan liar.
"M-m-mas,
s-s-sa-sa-sakiiit...."
Lelaki
itu bukan merenggangkan kepitan tangannya, jemari besar itu malah beralih
menuju batang leher Lara, menekannya kasar sehingga wanita itu mundur dan
terpojok di dinding.
Refleks
air mata Lara keluar. Napasnya tercekat karena tekanan lengan suaminya yang
semakin kuat. Mereka bersitatap. Sorot mata bengis terpancar dari tatapan tajam
suaminya. Sedangkan Lara, menatap dengan iba dan meminta belas kasihan.
Menjelaskan
seperti apa pun percuma, dia sudah paham sifat suaminya. Hanya saja, saat ini
kehamilannya sudah mendekati usia lahir tetapi tetap saja suaminya tidak
berubah.
Tekanan
jemari lelaki itu terlepas setelah terdengar bunyi ponsel dari saku celananya.
Lara batuk-batuk dan terduduk sambil memegang leher. Air mata masih dan terus
menetes di pipinya. Dari ekor mata, terlihat suaminya melangkah menuju teras
dan menerima telepon dengan santai. Lara berusaha berdiri dengan susah payah.
Meraih ponsel di meja dan segera menekan nomor yang sudah mulai dihapalnya.
"Seperti
janjimu. Aku terima semua konsekuensinya." Kemudian, dia menghapus riwayat
panggilan tersebut.
***
Radith berjalan mengitari gubuk singgah. Senter
besar diarahkannya ke seluruh penjuru pepohonan di sekitar gubuk. Mata elangnya
tajam mengawasi di setiap sisi-sisi mata angin. Setelah puas dan merasa nihil
temuan, lelaki itu mulai memeriksa isi gubuk. Berharap menemukan secuil jejak
dari perempuannya.
Tidak ada apa-apa di sana. Lelaki itu mulai
merebahkan tubuh yang penat. Pikirannya melanglang buana. Ceroboh sekali! Seandainya aku tidak berganti celana, tentu tidak akan
terjadi seperti ini. Saat ini pasti aku sedang menikmati malam dan tubuhnya.
Sial! Radith terduduk dan memukul dipan. Jari-jarinya mengepal rambut yang
mulai gondrong.
Pekatnya malam di sekitar gubuk tidak membuat
Radith bergeming. Lelaki itu terduduk memangku lengannya di atas lutut.
Pikirannya mulai mencari tahu, di mana gerangan perempuannya bermalam saat ini.
***
Lara menahan napas. Jantungnya berdebar keras.
Ada suara kendaraan di depan gubuk. Pergumulan batin terjadi di dalam pikiran
dan hati wanita itu. Pergi meninggalkan tempat itu ataukah tetap bertahan?
Tidak lama kemudian, terdengar mesin kendaraan
dimatikan dan pintu ditutup. Suara langkah kaki dari gesekan dedaunan kering
semakin mendekati bagian belakang gubuk. Ada sinar dari lampu senter yang
berkali-kali terpancar di sela-sela dahan akasia. Lara menunduk dalam-dalam dan
menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Jantungnya bergemuruh. Hatinya terus
berdoa agar jangan sampai ditemukan.
Siapa pun itu, pasti si Jahanam yang sedang
mencarinya. Lara paham betul dengan suara kendaraan tadi. Lalu, langkah itu
mulai mendekati pohon akasia. Tubuh wanita itu semakin bergetar. Jantungnya pun
semakin bergemuruh. Bagaimana ini? Ya, Tuhan, bagaimana ini? Tolong! Jangan
sampai terjadi! Pikiran dan hati wanita itu terus-terusan mengucapkannya.
Tiba-tiba ada suara benda jatuh dari arah gubuk
singgah. Lara terkejut setengah mati. Si Jahanam itu pun berlari ke sana.
Wanita itu menahan napasnya sambil tetap memasang telinga untuk mengetahui apa
yang terjadi. Tidak terdengar apa pun, yang terdengar malah suara degub jantung
akibat keterkejutan tadi.
Terdengar suara langkah menaiki tangga, dan tidak
lama kemudian segera turun dan melompat. Kemudian suara sapu lidi yang
membersihkan dipan gubuk. Tampaknya si Jahanam itu memilih berdiam diri di
gubuk itu. Lara bergumam dan mengutuk diri.
Part IV : Harapan Yang Terkikis
Kicauan burung membangunkan Lara. Pelan matanya
terbuka. Ada secercah jingga terlihat di balik atap gubuk. Beberapa burung
gereja terbang ke sana ke mari dari atap ke pepohonan sekitarnya. Lama wanita
itu melamun dan air matanya bergulir pelan. Subuh tadi terdengar olehnya suara
azan. Banyak hal yang direnungkannya saat itu. Sudah berapa lamakah Engkau
kutinggalkan? Matanya terpejam kembali, rasanya enggan beranjak.
Namun, langit sudah tak lagi jingga. Kabut masih
betah di sana. Lara turun perlahan, merenggangkan tubuh dan berjalan ke
belakang gubuk. Ada air bersih dari dalam ember besar di bawah tangga. Wanita
itu membasuh wajah dan menenggak sedikit airnya lalu menggosok-gosok bagian
lengan atas dan wajah. Kabut dan udara pagi ini begitu dingin.
Dia tidak ingat lagi kapan si Jahanam itu pergi
dari gubuk. Wanita itu terlalu lelah berlari dan menangis sehingga dia tertidur
tanpa tahu lagi apa yang terjadi.
Setelah merenggangkan tubuh dan otot-otot yang
kaku, Lara mulai berjalan di tengah kabut. Jarak pandang masih bisa diatasinya.
Hanya saja, kali ini dia berjalan di jalur kendaraan.
***
Radith bersandar di samping double cabin
dan menghisap rokoknya dalam-dalam. Udara dingin ini membuatnya sulit tidur.
Tadi malam, sekitar pukul sebelas, lelaki itu mulai meninggalkan gubuk. Tidak
ada apa-apa di sana. Sialnya, dia malah ketiduran. Karena lelah dan bimbang,
lelaki itu tidak memilih kembali ke gubuk mereka, dia memarkirkan mobilnya di
pinggir jalan dan tidur. Tengah malam lelaki itu terbangun. Hanya ada suara cekikikan
dan tangis yang membuatnya muak.
Seluruh otot dan persendiannya ngilu akibat tidur
di jok belakang yang sempit. Hari ini dia harus menuntaskan pekerjaannya.
Mendapatkan Lara dan segera pergi dari negara ini setelah mengambil berkas.
Radith membenahi otot leher yang kaku dan
membuang sisa rokoknya. Ujung sepatunya hampir masuk ke dalam mobil ketika mata
elang itu melihat siluet di dalam kabut yang sangat dikenalnya keluar dari sisi
jalan gubuk singgah. Sialan! Ternyata wanita itu memang ada di sana. Radith
mengumpat dan merasa tertipu. Padahal, dia sudah berkali-kali mengitari gubuk.
Pintu mobil dihempaskannya dengan kasar. Napas
lelaki itu memburu dan darahnya bergejolak. Lalu, dia berlari kencang menuju
wanitanya.
***
Lara menguap sesaat. Langkahnya masih gontai.
Udara pagi ini sangat dingin. Berkali-kali wanita itu mengusap-usap lengan dan
wajahnya. Banyak harapan di pikirannya saat ini jika bisa keluar dari sini.
Bertemu dengan anak-anak dan meminta maaf kepada suaminya.
Suara pintu mobil tertutup membuat Lara terkejut
dan menoleh ke belakang. Pupil matanya membesar. Bayangan lelaki, si Jahanam
itu, berlari ke arahnya dari balik kabut. Lara langsung mengambil langkah
seribu. Tidak disangkanya si Jahanam itu menunggu di sana. Tidak terbersit sedikit
pun di pikirannya.
"Lara!"
Lara terus melesat tanpa perduli suara panggilan
itu. Ketakutan di pikirannya tentang kembali lagi ke gubuk sialan itu membuat
perutnya mual. Terlebih lagi tentang perbuatan si Jahanam itu yang
terus-menerus menggagahinya. Lara ingin sekali menghapus semua ingatan tentang
hal itu.
"Aaaaaagh!" Lara berteriak sekerasnya.
Jalan menanjak di depan membuatnya hilang kendali. Wanita itu berharap ini
semua hanya mimpi. Lelaki itu hampir mendekatinya. Bagaimana pun, kaki panjang
si Jahanam itu lebih lebar langkah berlarinya dari pada dia.
Tangan besar itu sudah ada di pinggang dan perut
Lara. Mengangkat dan mendekapnya sekuat mungkin.
"Aaagh! Aaagh! Aaagh!" Lara berontak,
menendang-nendang udara dan berkali memukul-mukul lengan kekar itu. Mereka
berbalik arah kembali ke mobil diparkir. Mata Lara terbelalak dan menggigit
lengan yang mendekap erat pinggangnya.
"Aaaaaaarrrgh!" Lengan si Jahanam
merenggang.
Lara tersungkur, mencoba bangkit dan berlari
kembali. Namun, lengan lelaki itu berhasil meraih pinggang wanita itu,
membalikkan tubuh ramping Lara yang terus-menerus melakukan pemberontakan.
Wanita itu terus menerjang tanpa henti. Tidak tahan dengan hentakkan kaki Lara,
lelaki itu mulai mengapit paha dan menindihnya.
"Aaaagh! Aaaagh!" Lara memukul-mukul
wajah dan dada lelaki itu. Tangannya melemah setelah tampak wajah tak asing di
atasnya. "Ma-ma-mas Radith?"
Lelaki itu meraba wajahnya. Dia terlupa akan
topeng yang biasa dipakai. "Akhirnya kau tahu siapa aku." Tangan
lebarnya langsung memukul wajah Lara sehingga wanita itu tidak sadarkan diri.
Radith berdiri, lalu menunduk dan mengatur
napasnya yang tersengal. Disentuhnya lengan bekas gigitan Lara yang berdarah.
Lelaki itu menyeringai. Kuat sekali wanita ini menggigitku.
***
Lara terbangun. Kepalanya sakit sekali. Wanita
itu meraba wajah dan kepalanya. Pandangan sedikit buram dan matanya menatap
langit-langit mobil. Seketika Lara terduduk dan mencoba membuka pintu. Tangan
dan kakinya terikat! Begitu juga dengan mulutnya, tertutup lakban.
"Hmmm! Hmmm! Hmmm!" Lara berusaha
berteriak meskipun tidak ada yang akan mendengar.
"Sudah bangun, Sayang." Radith
mengarahkan kaca spion tengah ke wajah panik wanita di jok belakang. Senyumnya
merekah. "Maaf, aku tidak bermaksud menyakitimu. Tapi aku nggak akan ambil
resiko jika kesayanganku melarikan diri lagi."
"Hmmm! Hmmm!" Lara menghentak-hentakkan
kakinya ke kursi belakang kemudi.
"Jangan terlalu bersemangat, Sayang. Simpan
tenagamu sebelum aku menikmatinya nanti."
Air mata Lara tidak terbendung lagi. Emosinya
kian memuncak. Kakinya terus dihentakkan sampai dia merasa tidak sanggup.
Tubuhnya mulai rebah, pasrah.
***
"Kita sudah sampai, Sayang."
Lara diam tak bergeming. Wanita itu masih
meringkuk. Matanya kosong. Pikirannya melanglang buana jauh entah ke mana.
Radith bersiul pelan. Lelaki itu jalan melenggang
menuju gubuk dengan penuh kebahagiaan. Pintu dibuka selebar mungkin. Dia
kembali ke mobil dan menggendong wanitanya keluar. Dikecupnya mesra bibir yang
tertutup lakban itu. "Mmmuach!" Senyumnya merekah. "Akhirnya
kita bersama lagi. Kau memang belahan jiwa yang ditakdirkan untukku."
Kakinya menendang pintu mobil agar tertutup.
Dia memang sakit! Kau sakit, Radith!
Sakit jiwa! Lara membuang muka, jengah. Napas lelaki yang
menggendongnya jatuh ke wajah membuat wanita itu semakin mual. Matanya
menangkap sesuatu yang berkilauan di dekat undakan teras gubuk. Wanita itu
menggeliat sekuatnya dan membuat langkah Radith limbung. Lara terjatuh. Secepat
mungkin dia menduduki benda berkilauan itu.
"Eits, eits! Mau ke mana." Radith
segera meraih pinggang Lara dan menggotongnya masuk ke dalam gubuk. Dia masih
bersiul. Direbahkannya wanita itu di sofa, lelaki itu berjalan kembali untuk
menutup pintu.
"Hmmm! Hmmm!" Lara sengaja berteriak
sambil membuang benda di tangannya ke bawah sofa.
"Sabar, Sayang. Aku pun sudah tidak sabar
ingin menikmati saat ini."
====> bersambung
Gimana? Gregetan gak?
Dua bab ini lumayan panjang ya. Masih
penasaran dan ingin tahu kelanjutan nasib Lara nih, manteman?
Minggu ini dibuat gantung lagi.
Insyaa Allah kita lanjutkan jika ada umur panjang dan ada rejeki waktu luang.
Oke ya! Terima kasih, udah mampir di
mari dan menyimak tulisanku kali ini. Semoga kisah ini pun dapat dinikmati dan
membuat kita semua selalu melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang.
Wassalamualaikum!
waah penasaran mbaa... hehehe
BalasHapusSyukurlah mba penasaran, emang itu tujuanku buat tulisan genre thriller, mbaa 😅
HapusSaya tidak membaca part yang sebelum ini, tetapi bisa menikmati alurnya. Ikut tegang dan penasaran juga. Btw, saya kenal dua penulis lain di novellet ini, AhyaBee dan Lutfilla Indryana, dulu berjuang bareng di KMO batch 23. Sukses selalu, ya, Kak.
BalasHapusWaah, aku jg sempet di KMO, mbaa, Batch 37
HapusWah keren mbak
BalasHapusSudah bisa menghasilkan karya sebuah novel
Sukses buat novelnya ya mbak
Masih novelet kok ni, mbaa 🤗
HapusIkutan berdebar serasa ikut lari nih, apakah suaminya sakit mental? atau psikopat nih, fighting mbaa
BalasHapus😅
HapusMbaa yang menilai ke arah mana ni akhirnya si suami
Wow, keren mbak bisa kerasa genting dan adrenalinnya. Jadi pengen tahu ada masalah apa nih suaminya
BalasHapusYang pasti emang sakit mental suaminya, mbaa 🤗
HapusMbak, kok eman-eman naskahnya dipublish di blog. Bukan apa-apa, rentan dicopy paste atau diakui karya orang. Itu pernah terjadi pada puisi-puisi saya. Mending langsung kirim ke media cetak yang terima naskah fiksi. Lumayan bisa jadi duit. Bagus karyanya.
BalasHapusUdah, mbaa, udah masuk buku kok, masih dalam bentuk novelet.
Hapus🤗
Wah, ceritanya wow. Walaupun belum membaca cerita sebelumnya, tapi setidaknya masih bisa menikmati alurnya yang sekarang. Kok, Radithnya jahat, huhuhu. Dari dulu diriku suka sama nama Radit soalnya, hehehe. Di sini Radithnya bukan orang baik
BalasHapus😅
HapusSaat membaca ceritanya ikut merasakan ketegangan dan segala rasa yang dirasakan si Lara ini. Next dong udah kepo nih sama kelanjutannya
BalasHapusMakasih, mbaa, udah mampir di mari 🥰
Hapustulisannya bagus mba, dijadikan buku sangat oke...mngkin tdk semuany d jabarin ceritany d blog, rawan d copy...semngats mbaaaaa
BalasHapusUdah kok, mbaa, judul bukunya BLOOD, SWEAT AND TEARS
HapusNah ini aku juga ngga ngikuti part sebelumnya tapi kenapa di sini jadi ikutan tegang dan makin penasaran yaaa
BalasHapusMakasih, mbaa, udah mampir di mari 🤗
HapusWow aku ngikutin dari awal nih, pas kena pinalti BW 2 minggu kirain bakal ketinggalan, eh taunya pas hihihi. Makin menegangkan ceritanya Mbak, nggak sabar buat baca kelanjutannyaa..
BalasHapusRejeki gak kemana ya, mbaa, 😅
HapusPenasaran dengan kelanjutannya
BalasHapusMakasih, mbaa, udah penasaran 😅
HapusAlhamdulillah bisa baca lanjutannya padahal udah beberapa kali bolong ikutana BW. Kirain bakal ketinggalan. Btw saranku sih mending dijadiin novel beneran. Nggak usah nunggu penerbit mayor, nerbitin sendiri aja hehe. Just saran aja sih
BalasHapusMasih dalam bentuk novelet, mbaa, gak ngerti gimana nerbitkn sendiri 😭
Hapussuaminya psikopot nih kyknya. penasaran dgn ceritanya mba
BalasHapusMakasih banget, mba Nunu, udah penasaran sama ceritanya 😅
HapusMakasih banget, mba Nunu, udah penasaran sama ceritanya 😅
HapusMakasih banget, mba Nunu, udah penasaran sama ceritanya 😅
HapusKeren banget tulisannya mbak, makin penasaran sama cerita selanjutnya
BalasHapushahaha aku tim yang gak bisa bikin cerita fiksi lho , jadu salut sama yang bisa bikin novel fiksi panjang tuh
BalasHapusIkutan merinding membaca kisah Lara dan Radith.
BalasHapusSemoga semoga...semoga...Lara bisa menemukan kebahagiaannya bersama orang yang dicintainya.