Airnya beriak ketika kukibaskan kaki
ini di kolam yang berisi ganggang dan ikan sepat kecil-kecil. Sesekali tangan
kanan ini pun menabur remah roti yang sedang kukunyah. Tangan kiriku sedang
digenggam erat dan diletakkan di atas pahanya yang kekar. Dia,
pujaanku, tersenyum
manis, senyum yang selalu kusuka darinya. Kami bersenandung entah lagu apa.
Langit
mendung saat itu. Aku mulai beranjak dan menelusuri tepi kolam. Seorang ibu
sedang menemani anaknya bermain di tengah kolam. Tertawa bahagia dengan
ikan-ikan berlompatan di sekeliling mereka. Aku juga ikut tertawa. Moment indah
buat mereka berdua. Lalu aku menoleh saat dia mulai menggenggam tangan dan
mengecup keningku mesra. Seketika hujan setengah lebat mulai menaungi suasana.
Aku
mengerang dan tiba-tiba sudah terduduk di pinggiran pemecah ombak. Hanya aku
sendiri di sana. Gemuruh dan juga kilat di langit serta suara ombak saling
bertautan. Ada relief jingga di sudut angkasa di depanku. Lengkap dengan
gerombolan burung camar.
Dari
jauh, dari ujung antara ombak dan pemecahnya tampak seseorang sedang
mengendarai motor traktor mini dan melambaikan tangannya ke arahku. Aku tidak
tahu siapa dia. Pandanganku kabur tertutup air hujan yang mulai tumpah dari
langit. Aku membiarkan airnya membasahi tubuh. Aneh. Aku tidak merasa
kedinginan.
Motor
traktor mini itu semakin mendekat. Kemudian mulai terlihat jelas dia dengan
senyumnya. Ada rasa rindu yang luar biasa. Aku berdiri dan berlari ke arahnya
tanpa perduli batu yang kupijak goyah. Aku oleng dan terjatuh menimpa buah...--
maaf -- 'adik kecil' dia. Pujaanku itu meringis dengan wajah membiru. Aku
berkali-kali minta maaf lalu pergi berlari, tertawa menelusuri buih-buih ombak.
Dia mengejarku di belakang. Ikut tertawa dan mensejajari langkahku. Aku
manatapnya manja, dan kemudian beralih ke bawah. Kuharap 'adik kecil' itu
tidak pecah.
Lelah berjalan di bawah hujan dan kami pun pulang. Aku heran, mengapa kami jadi terpisah di beda kendaraan? Seseorang di depanku bukan dia, tetapi mantanku. Tidak! Aku tidak sudi! Apalagi ketika lelaki itu ingin menggenggam tanganku. Berkali-kali kutepis. Rasanya ingin lompat saja dari atas motor itu. Lalu aku berteriak. "Berhentiiii!!!"
Tanganku
ditarik dia, pujaanku. Kami berlari seperti menjauhi sesuatu. Aku tidak ingin
menoleh ke belakang. Perasaanku tidak karuan. Aku hanya memandangi punggung dia
yang masih saja berlari sambil menggenggam tangan ini. Ibarat menonton film drama
di adegan slow motion, begitulah yang terjadi. Hujan deras yang ikut menambah
detailnya suasana haru membuat aku terkesima dengan segalanya. Dia memelukku
erat. Matanya menatapku mesra. Lalu bibirnya mengecup keningku dan beralih ke
bi....
Tanganku
terhentak. Aku kaget. Kemudian terhentak kembali, bahkan lebih kuat dari yang
tadi.
Mataku
mengerjap-ngerjap, perih, karena air hujan yang masuk. Baju trainingku basah.
Kulihat tangan Wak Dela yang menarik tangan ini dan Wak Tini yang menatap dengan pandangan iba. Mereka berdua pun basah kuyup dan mata mereka merah. Aku
bingung, mengapa para tetanggaku ada di sini?
Tidak
butuh waktu lama untuk pikiranku yang buntu kembali utuh. Aku duduk kemudian
berdiri setelah melepaskan tangan Wak Dela.
"Periksa
semua surat-surat penting dan ijazah." Wak Dela membantuku berdiri.
"Iya,
Wak." Aku tergopoh-gopoh membuka lemari, dibantu dengan Wak Tini.
"Sudah
setengah jam kami menggedor-gedor pintu rumahmu, Jeng. Ndak ada sahutan. Jadi,
maaf, kami dobrak. Hujan deras dengan angin kencang menerbangkan beberapa atap
rumah warga termasuk rumahmu. Syukur kamu ndak apa-apa." Wak Dela menjelaskan
yang terjadi sambil berjalan ke luar, diikuti Wak Tini.
Aku
mengikuti langkah mereka. Gigi bergeletuk dan tubuhku menggigil sambil memeluk
map plastik yang berisi surat dan ijazah.
View by:
Pinterest
Jujur, dari judulnya aku langsung mengerinyitkan dahi loh hahaa
BalasHapusTeryata agak berbeda dng apa yg aku bayangkan hehee
Trinspirasi jg dr judul tulisn mas dodo ni 😂
HapusTengkayu, mas, udh mampir 🙏