Sabtu, 02 Januari 2021

Sebuah Keinginan

Alkisah, ini cerita salah satu dari empat yang tiap minggu kukirim ke sagusaka (satuminggusatukarya).

Weeeesss! Ada beberapa pilihan untuk cerita yang bisa dikembangkan sesuka hati, termasuk genre pun sesuka hati. Jadi, aku ambil cerita tentang seseorang yang setiap hari senin pagi selalu bertemu dengan wanita pujaan hatinya.  Namun, suatu ketika terlihat olehnya, wanita itu memakai cincin di jari manis.

Awalnya aku ingin tulis ke arah misteri, tapi di tengah cerita kok malah mulai berbau-bau horor. Alhasil, jadilah genre horor. Walaupun kagak horor-horor banget laaa.

Dan cerita ini juga yang kupilih untuk dibukukan di antalogi. Insyaa Allah berjalan lancar ya. Aamiin ya Rabbal'alamiin.

Okelah! Kagak usah banyak cuap-cuapnya. Kita cekidot aja, yuuuks....



"Jadi, kita akan ke mana?"

Mata sayunya menatapku penuh cinta. Luar biasa! Akhirnya aku bisa memilikinya. "Tidak masalah jika aku bawa ke mana saja, 'kan?" Aku tersenyum sambil menggamit hidung mancungnya.

Dia mengangguk dan balas tersenyum padaku. Senyum yang indah, dengan lesung di pipi kirinya, yang sejak beberapa bulan ini selalu kupuja. Hasratku langsung merekah. Kupeluk tubuhnya, hangat. Tidak ingin kehilangan kesempatan yang ada, lalu kukulum bi....

Byuuurr!!!

Frans batuk-batuk dan terduduk, membungkuk akibat air yang masuk ke hidung.

"Ohok. Ohok. Ohok. Yaelah, Nyaaaak. Kagak beginian juga caranye bangunin aye. Ohok. Ohok."

Nyak melenggos kesal langsung menuju dapur. "Lain kali seember gue siram badan lu. Sono. Sholat Subuh! Udah azan dari tadi."

 

***

 

Frans menguap. Halte masih sepi. Hanya ada dia, Uda Ujang dan dua gadis SMU. Wanita itu belum tiba. Wanita yang sudah sepekan ini hadir di mimpi-mimpinya. Pertemuan mereka yang intens di setiap senin pagi selama beberapa bulan ini membuat Frans merasakan sesuatu yang lain.

Frans merapikan pakaiannya yang kusut. Tadi dia tidur sebentar di pos jaga sebelum Kang Darma dan Wiro datang menggantikan sif jaga mereka. Paling tidak, biasanya Uda Ujang selalu membuat sarapan di dapur percetakan, di samping pos jaga, sebelum mereka pulang. Jadi, Frans merasa tidak terlalu buru-buru untuk sampai ke rumah. Dia tidak ingin merepotkan Nyak.

Matahari mulai meninggi. Frans celingukan melihat kanan kiri. Beberapa bus dengan tujuannya masing-masing sudah datang silih berganti. Bahkan Uda Ujang sudah pulang lebih dulu. Namun, Frans belum melihat wanita itu.

Akhirnya, bus tujuan rumah mulai terlihat. Langkah Frans terasa berat ketika memasuki tangga pintu. Entah mengapa setelah mimpi-mimpi itu hatinya sangat rindu. Jika hari ini tidak bertemu, dia harus menunggu waktu sepekan lagi. Pemuda itu berdiri loyo sambil memegang besi di tengah lorong bus. Pandangannya kuyu menatap halte yang mulai sepi. Namun, saat bus mulai berjalan pelan.... Tidak! Tunggu dulu! Itu dia! Wanita itu duduk di sudut bangku halte, tersenyum manis menatap Frans yang berlalu.

 

***

 

Suara bising mesin pencetak surat kabar hari ini membuat Frans pusing. Padahal sudah dua tahun dia bekerja di sana. Saat ini kondisinya tidak fit. Sudah beberapa hari tidurnya tidak nyenyak, selera makan pun hilang.

Percetakan surat kabar tempat dia bekerja sebagai satpam mulai terlihat lengang. Sebagian sudah pulang, sebagian lagi untuk divisi marketing dan mesin masih terlihat seliwiran menunggu cetak surat kabar yang akan terbit besok.

Frans berjalan menelusuri sisi mesin-mesin yang sedang bekerja. Hari ini dia mengambil sif pagi menggantikan Wiro yang sedang sakit. Setelah itu lanjut sif malamnya.

"Oiii! Oiii! Fransisko Zaelani!"

Pemuda itu pun menoleh dan melihat Dino, rekan sejawatnya yang bertugas di dalam gedung "Ape!"

"Lu dipanggil budeg amat ya. Jijai banget gue. Entar barengan lagi kita nonton drakor ya."

"Ah, kagak. Kepala gue mumet."

"Mikirin apa, sih? Kepala dipasang buat mikir bukan buat mumet."

Frans diam saja. Malas membalas candaan Dino.

"Jatuh cinte lu, yeee?" Dino berjalan sejajar dengan pemuda jangkung itu setelah mereka keluar gedung. Menurut Dino, gelagat Frans memang seperti orang yang sedang jatuh cinta.

"Kagak." Wajah Frans memerah. Tangannya langsung melambai ketika Uda Ujang tiba di post depan gerbang.

"Heh! Cerita, siape, sih, wanita beruntung itu?" Dino menyikut lengan Fans sambil terkekeh-kekeh.

"Beruntung kepala lu peyang! Benahi sono lantai dua, entar lu kena semprot Pak Ali. Nyahok lu!"

Dino meringis dan mau tak mau kembali masuk ke dalam gedung. Menurutnya memang wanita yang disukai Frans pasti beruntung. Frans blasteran Betawi Inggris, walau dari nenek buyutnya. Postur tubuhnya yang jangkung serta kulitnya yang agak sedikit putih ditambah dengan jambang ala Jhon Lennon adalah daya tarik tersendiri bagi rekan sejawatnya yang satu itu. Syukur saja Frans tidak memiliki kumis seperti sang legenda, Benyamin S. Dino terkekeh-kekeh sendiri.

Dino baru selesai memeriksa lantai dua dan hendak pulang ketika seseorang mencegatnya di depan pintu gerbang gedung mesin.

 

***

 

Frans terjaga setelah setengah jam ketiduran di pos. Uda Ujang pergi sebentar guna bersemedi mencari wangsit ke samping gedung. Sesekali pemuda itu menguap. Mengatur duduk dan posisi badannya. Mulutnya langsung mengatup ketika seseorang berdiri menatap tajam dari balik jendela kaca. Wanita itu tersenyum.

Frans melangkah keluar. "Kok malam-malam, Neng?"

Wanita itu masih tersenyum. "Beli makanan, Bang. Nungguin teman." Dia menunjuk warung nasi di seberang jalan di depan pintu gerbang tempat Frans berjaga. Tangannya melambai ke arah seorang wanita yang berdiri di depan warung.

Frans melihat ke arah seberang dan membalas senyum teman wanita itu. Pemuda itu agak gugup. Harapannya menjadi kenyataan. Wanita yang tiap senin pagi selalu berpapasan dengan dia, saat ini sedang berbincang-bincang ramah dengannya.

Frans ingin memulai percakapan ketika dari kejauhan terdengar sirine ambulance dan diikuti tiga mobil polisi. Mereka memperhatikan kebisingan itu sampai suaranya menghilang.

"Kamu tinggal di dekat sini ya, Neng?"

"Iya, Bang. Saya indekos dengan teman di belakang pabrik tekstil di sebelah sana." Wanita itu menunjuk ke arah barat gedung bank swasta yang berada di depan pabrik surat kabar.

"Jadi, Neng, tiap senin pagi...."

"Dewina. Nama saya Dewina, Bang."

Frans tertegun dan menatap lekat wajah Dewina. Lesung pipinya manis sekali. Memang seorang dewi. Irama jantungnya mulai tidak karuan.

Dewina melambaikan tangan ke arah seberang jalan dan mulai beranjak. Frans melihat cincin di jari manis wanita itu.

"Terima kasih, Bang, sudah temani saya ngobrol."

Frans cuma mengangguk dan tersenyum.

 

***

 

Malam semakin larut. Frans melongo berpangku tangan di depan televisi yang terus menyala. Pikirannya melanglang buana. Hanya karena melihat cincin di jari Dewina, membuat hati pemuda itu menjadi hampa. Inginnya terlalu berlebihan, terlalu tinggi sehingga dia lupa dasar pijakan.

"Woi! Woiiii! Fransisko Zaelani!" Uda Ujang menepuk bahu Frans.

Pemuda itu malas menoleh. "Hmm?"

"Surat dari siapa tuh?" Tanya Uda Ujang, dagu dan mulutnya mengarah ke saku jaket yang tergantung di samping pintu pos.

Frans melihat surat itu. Dia hampir lupa dengan surat yang tadi sore disampaikan Dino. Kata Dino, wanita berlesung pipi itu memintanya untuk menyampaikan surat ini kepada Frans.

Keningnya berkerut sejenak, merasa ada kejanggalan yang membuat pemuda itu malas berpikir. Kemudian Frans berdiri dan mengambil surat itu dari saku jaketnya. Ada sesuatu di dalam amplop selain surat. Frans penasaran dan mulai merobek sisi atas amplop.

"Ya ampun. Kejadiannya di sekitar sini. Bagaimana bisa?" Suara heboh Uda Ujang mengalihkan pikiran Frans. Uda Ujang memaksimalkan volume televisi. Frans menatap layar kaca sambil tangannya merobek sisi atas amplop.

 

...tahui tubuh korban yang membusuk berusia dua puluh dua tahun dan bernama Dewina Sari. Polisi sedang mengusut pelaku dengan meminta setiap keterangan dari teman-teman korban, baik yang berada di rumah kost maupun di tempat korban bekerja. Demikian breaking news kali ini. Kita akan kembali lagi di breaking news selanjutnya.

 

Frans tertegun menatap layar kaca. Rahangnya mengeras dan buku jarinya terkepal menggenggam cincin milik Dewina.

6 komentar:

  1. Semangat untuk terus berkarya kak!
    Jadi itu yang dilihat Frans hantu ya? 😣

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tengkayu, mba zakia, udh mampir, 😄
      Klo bkn arwah yg diliat kagak asik, mba 😂

      Hapus
  2. Kirain si dewina manusia, sayang si frans gak kebalas cintanya

    BalasHapus
  3. Semangat yaaak kak atas buku Antologi nya! :))

    BalasHapus

(FLASHBACK) DARI TANAH TANDUS

  Blurb: “Kak Ineee. Kepala Rubi pusing, Kak.” “Bertahanlah, Rubi! Bukan sekarang saatnya!” Ine dan Rubi, dua gadis kecil yang ter...