Maksud
hati minta maafnya pas lebaran aja. Eeeee, belum sempet lebaran malah lebar-an.
Kagak nyambung yaa. 😂
Minta
maaf juga kagak mesti nunggu lebaran ya, 'kan. Tapi kalau setiap hari minta
maaf juga mau muntah dengarnya. 😂😲
Kapan
saja saat yang tepat untuk minta maaf? Hmm? Hmm? Hmm? Aish! Egepe la! Langsung
sazalah kita ke cerita, yuk. Malas banget bahas-bahas yang kagak perlu dibahas.
***
Seisi ruangan bergemuruh hebat.
Ranjang, meja toilet, kursi, lemari, buffet bahkan aku sendiri pun merasakan
amarahnya yang luar biasa. Namun, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku terus
meringkuk di sisi bawah ranjang sambil menutup telinga. Berharap pagi segera menyelimuti.
Aku terus menangis. Tidak ingin menyesal atas perbuatan yang kulakukan.
***
Ini
terjadi seminggu yang lalu, ketika aku bertemu dengan Ratih, kawan sebaya dari
kampung yang sama. Perawakannya sangat berubah total, baik dari bentuk tubuh dan segala
onderdil yang dia kenakan. Padahal kami sama-sama janda. Aku janda beranak dua,
sedangkan Ratih janda beranak tiga. Ratih ditinggal pergi suami, sedangkan aku
ditinggal mati suami.
Singkat
cerita, setelah Ratih ditinggal suaminya, dia perlahan bangkit dari
keterpurukkan dan membuka toko baju muslimah, sama sepertiku. Namun, bisnis tersebut
tidak berjalan lancar dan tiba-tiba saja Ratih bertemu dengan teman kuliahnya
dulu, Dini. Dini menawarkan hal yang tak terduga bagi Ratih. Akan tetapi, hal
yang tak terduga itulah yang membuatnya seperti sekarang ini. Ratih tahu
kondisiku, dia datang berkunjung dan menawarkan seperti yang dulu Dini
tawarkan.
Malamnya
aku gelisah. Bingung untuk keputusan yang akan kuambil besok. Ya, besok Ratih
datang lagi dan mengantarku ke tempat yang bisa membuat hidupku berubah seratus
delapan puluh derajat. Begitu kata Ratih semalam. Apalagi Ratih datang
jauh-jauh demi untuk perubahanku. Mengingat anak-anakku masih di sekolah
menengah, masih sangat butuh biaya. Terlebih lagi penghasilan toko sekarang
sedang tidak memadai, membuat aku galau tingkat dewa.
***
Akhirnya
setelah lima hari bersemedi menenangkan pikiran dan hati, di sinilah aku, duduk
manis di samping Pak Kusir, eh, bukan, di samping Ratih yang sedang mengemudi,
menelusuri jalan-jalan berkelok yang semakin jauh menuju bukit dan lembah.
Melihat perjalanan yang sedang ditempuh ini sempat membuat nyaliku ciut dan ada
rasa ingin pulang. Namun, Ratih melihat kecemasan yang kurasakan. Dia
menggenggam tanganku dan tersenyum.
"Semua
akan baik-baik saja. Aku juga dulu begitu."
Aku
tersenyum, aah, lebih tepatnya meringis. Miris.
Setelah
hampir tujuh jam menikmati pemandangan jalan yang berliku, akhirnya kami sampai
di sebuah rumah asri. Ternyata tidak berhenti sampai di situ, kami masih harus
berjalan kaki lagi melewati samping rumah menuju lembah di belakangnya. Asal
tahu saja, aku mulai merinding. Pepohonan yang rimbun membuat bulu kuduk
berdiri dan kakiku bergetar hebat. Belum lagi saat kami memasuki sebuah gua.
Jantungku berdesir. Aku sempat berhenti sejenak di depan gua. Ratih memeluk dan
mulai menuntunku memasukinya.
Tidak
sampai lima belas menit, aku sudah duduk di sini, di depan juru kunci dan saksi
sambil menatap calon suami yang sedang mengucap ijab kabul dan segala janji.
Jantungku
berdebar tidak karuan ketika tangannya menyentuh tanganku dan bibirnya mengecup
kening ini usai ijab kabul. Sebelum pergi, dia berbisik di telingaku.
"Tunggu aku dua hari lagi."
Makjang!
😭
***
Di
hari yang dijanjikan, aku melakukan yang diperintahkan oleh juru kunci, tepat
tengah malam, pintu rumah jangan dikunci, di atas ranjang taburi kelopak mawar
merah, kalau bisa ada meja di samping ranjang dan letakkan di atasnya baki
kosong yang terbuat dari kuningan. Sunnah mandi bersih dan lumuri badan dengan
wangi-wangian. Sedikit saran dari Ratih, berpakaianlah seseksi mungkin. Jantungku
berdebar hebat.
Hari
ini, anak-anak kuminta menginap di rumah neneknya. Aku tidak ingin mereka tahu
yang sedang kukerjakan. Pikirku, nanti saja kuberitahu setelah semua selesai.
Semudah itu? Entahlah. Aku mulai kikuk dengan mini dress sexy ini.
Telapak tanganku mulai berkeringat. Aku berjalan ke sana ke mari untuk
menghilangkan rasa gugup di hati. Aku merasa perbuatanku sudah menyalah.
Detik-detik
terakhir ketika suamiku tiba, aku berlari menuju pintu dan menguncinya.
Kengerian dan ketakutan menguasaiku. Tadi sore Ratih menghubungiku untuk
menanyakan kesiapanku. Ratih katakan, nanti saat suami ghaibku tiba dan meminta
'jatah', dia datang dalam wujud aslinya.
***
Aku
tersadar dari lamunan, menangis dan meringkuk di balik pintu. Suara itu berat
dan menggema, marah. Aku masih menutup telinga. Sudah malam ke tiga dan aku
tidak pernah sekali pun membuka kunci pintunya. Telepon dan kedatangan Ratih
pun tidak kugubris. Aku benar-benar membuat diri ini nelangsa.
Ini
bukan mencari nafkah dengan cara yang halal. Ini salah. Aku terlalu takut
memberikan tubuhku untuk dicumbui oleh 'suami ghaib' ini. Bila kuturuti, baki
kuningan itu akan berisi uang keperluan belanja dan segala yang kubutuhkan.
Memang seperti itulah seorang suami memberikan nafkah kepada istrinya. Tetapi
ini berbeda dan aku merasa ini bukan jalannya.
"Buka
pintunya, sayaaang."
Suara
beratnya kembali terdengar. Ruangan kembali bergetar setiap tidak ada respon
yang kuberikan.
"Bukaaa...."
Aku
terus menutup telinga. Berharap suara itu pergi dan pagi datang menjelang.
Namun, suara itu tidak pergi, dan pagi masih juga lama berganti.
View by:
Pinterest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar