Sabtu, 14 November 2020

Para Lajangku

Hening. Sepi di sekelilingku. Hanya terdengar nyanyian angin malam. Betapa damai tinggal di dusun ini. Mengalirlah segala cinta kasih. Sesekali ingin kuajak engkau datang menikmati rembulan bersinar.

Bening. Polos bola matamu membasuh segala luka di dalam jiwa. Engkau yang hadir bersama kesegaran seperti salju yang turun di musim dingin. Segera engkau dapat dengar nyanyian alam. Di dusun ini semua indah, tenteram.

 

Maukah kalian mendengar sepenggal ceritaku? Ceritaku ada liku terselip sembilu. Tapi ini bukan tentangku, ini tentang hartaku yang paling berharga, para lajangku. Rasanya baru kemarin aku timang. Dan cerita ini terkhusus buat dua lanang.

Yap! Kanak-kanak mereka berirama. Pasang surut yang kadang sering singgah menggoda. Bagiku biasa. Memang masanya bermain dan bercengkerama. Kadang terbawa ke dimensiku. Mengajak ke masa yang telah jauh lebih dulu kutempuh. Kening mereka berkerut ingin tahu. Salah satu sisi yang kusuka selalu.

Yap! Remaja mereka banyak luka. Sering kubawa ke arah yang tidak pernah terduga. Mengarungi bukit-bukit kecil serta pantai berombak agar sejenak terlupa. Kami sama. Bertahan dan berusaha menjaga. Menjaga perasaan yang lain tanpa kami tahu perasaan kami pun terluka. Ingin mereka begini. Inginku begitu. Tetap saja, tujuan kami sama. Dan itu semua bukan kemauan diri. Keadaan yang memaksa.

 

Kisah yang ingin kulupa. Saat di mana luka mereka menganga. Entah aku bisa apa. Mereka bernaung di bawah kediktatoran. Hanya bertahan dan tertahan, tanpa mampu melawan. Saat itu mereka tawanan yang jika melawan segera mendapat kepalan tangan.

Iyap! Kini usia mereka mulai beranjak. Namun, bagiku sosok mereka tetap kanak. Hingga mereka berhasil melewati segala onak. Berdiri bersama mereka saat ini dengan rasa haru sampai dagu mendongak. Dan mereka sadari bersama, saatnya bersorak. Karena telah melewati liku yang berserak.

Hhhh! Kali ini aku bagikan bahagia karena Allah yang berperan. Walau masih jauh perjalanan. Dan mungkin bukan berharap happy ending. Namun, insyaa Allah buat mereka bisa menjadi awal yang happier beginning.

Dan di sinilah kami bertiga. Menjalani hidup dengan segala versi yang kami punya. Menuju arah legawa. Karena memang begitulah seharusnya.

 

Senyap bagai dibasuh embun, musik pepohonan mengiringi istirah. Marilah bersamaku pecahkan makna. Memgembara hanya sekedar pertimbangan. Kembali dan peluklah tanah pusakamu. Di dusun ini mestinya bersemi cintamu.

Cintaku terhadap negeri ini 'kan kuturunkan padamu. Semburat sinar merah keemasan, gugusan senja di batas cakrawala. Marilah kutunjukkan agung tanah leluhur, Anakku.

Untuk anakku tercinta!

(EGA) 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

(FLASHBACK) DARI TANAH TANDUS

  Blurb: “Kak Ineee. Kepala Rubi pusing, Kak.” “Bertahanlah, Rubi! Bukan sekarang saatnya!” Ine dan Rubi, dua gadis kecil yang ter...