Jumat, 12 Juni 2020

Apakah kau dengar?

Apakah kau dengar?


    Dengar apa? Suara-suara sumbang? Mungkin suara hati? Itu mah judul lagu Letto aah... Atau jangan-jangan suara bisikan? Bisikan tetangga. Duuhh, jangan. Ghibah itu. Ntar dosa, pas meninggal kena siksa. Jangan yaa.
    Tapi dengar apa? Dengar-dengar katanya kalau kita lewat jalan potong menuju stasiun, ada simpang yang konon katanya angker. Angker? Ya, di sana pas di sudut jalannya ada pohon... Stoooop! Sampai di situ aja, oke? Oh, jantung, tolong santai sedikit iramamu. Kalau begitu bagusnya kita dengar yang lain aja. Oke laa, cekidot yuuuukk...

***

    Suaranya nyaring, tapi tidak membahana. Dibilang pelan, tidak juga. Namun suara itu terdengar tidak beraturan. Sekilas seperti sayup-sayup suara panggilan orang. Ditambah dengan suara tetesan air dari ruangan di sebelahnya, semakin membuat bulu kuduk merinding.
    Dari kejauhan malah terdengar suara lolongan. Malam ini tidak seperti biasa. Dan suara detak jarum jam pun bisa senyaring ini. Hening. Suara-suara itu terdengar lagi. Tidakkah kau dengar? Ssstt!!
    Seorang pemuda terbaring kaku di atas ranjangnya. Pendengarannya semakin dipertajamnya. Suaranya merintih. Perih. Dia membuka mata. Membiasakan pandangan di kegelapan ruangannya tempat dia terbaring.
    Hanya sedikit cahaya dari sela-sela lampu teras. Nampak sekelebat binatang malam yang berseliwiran di sekitar lampunya. Keheningan ini begitu sepi.

***

    Di sisi lain ruas jalan menuju rumah tua, nampak seorang pemuda berjalan santai sambil sesekali bersenandung. Langkahnya ringan tanpa beban. Tas ransel di punggungnya ikut bergoyang setiap kali dia melangkah. Sepatu kets putihnya nampak agak memudar dimakan usia. Tubuhnya yang jangkung semakin membuat beda kharismanya. Jaket hoodie yang dikenakannya pun sangat pas di tubuhnya dan menampilkan betapa sempurna dia sebagai seorang pemuda.
    Belum terbilang tengah malam saat itu. Masih sekitar jam sebelasan. Namun suasana sangat hening. Tidak seperti biasanya. Suara jangkrik di sisi-sisi jalan pun tak terdengar. Tiba-tiba terdengar suara lolongan dari kejauhan. Suaranya membahana dan sedikit menggema. Si pemuda mempercepat ayunan langkahnya. Dia merasa ada yang memperhatikannya. Tinggal tiga rumah lagi untuk sampai ke rumah tua tempat ternyamannya selama ini. Hanya saja semakin dia percepat langkahnya, rumah yang akan ditujunya semakin menjauh. Serta merta mulutnya komat kamit melantunkan ayat-ayat yang dihapalnya. Langkahnya terhenti sebentar. Matanya terpejam. Ada hembusan angin dingin menerpa wajahnya.

***

    Kembali ke pemuda di atas ranjang. Kini dia terduduk di tepi ranjangnya. Mengamati seputaran ruangnya. Cermin di samping lemari bajunya yang panjang agak sedikit mengganggu. Di sisi satunya, ada deretan topi-topi dan tas ransel tergantung rapi. Sekilas nampak menyeramkan dengan minimnya cahaya.
    Dari luar terdengar suara 'bluk' yang kasar dan seperti langkah buru-buru. Dia belum beranjak dari tepi ranjangnya. Ada yang aneh. Tangannya meraih ponsel yang terletak di samping bantal. 23.20. Belum cukup lama dia tertidur setelah isya tadi. Tangannya sibuk memeriksa isi ponsel.
    Kembali suara-suara itu terdengar. Kali ini ada suara langkah kaki di atas seng tetangga. Langkahnya cepat, kemudian hilang. Sesaat kemudian suara itu datang lagi. Lirih. Terdengar perih merintih. Pemuda itu masih terduduk. Lama mengamati sekitar. Suara tetesan air dan detak jarum jam terdengar berirama. Sampai kemudian suara rintihan itu datang lagi. Dan lagi.

***

    Pemuda itu masih terdiam tak bergerak ketika angin dingin berhembus di wajahnya. Matanya masih terpejam. Lantunan ayat-ayat masih dibacanya dalam hati. Bulu kuduk sebelah kirinya meremang.
     Sekarang!
    Dia melangkahkan kakinya dengan kecepatan tinggi. Tak ingin membuka pintu pagar rumah tua itu karena bunyi deriknya yang memilukan. Satu demi satu jeruji besi pagar dia lewati. Sayangnya pendaratannya tidak semulus harapan. Tubuh jangkungnya terjatuh menimpa pot bunga kesayangan mama.
    Bodoh amat! Apa yang dialaminya malam ini lebih mengerikan dari omelan mama. Jejeran supplier mama di setiap anak tangga yang menuju kamarnya kelihatan seperti kepala-kepala yang lepas. Tanpa pikir panjang dan entah kekuatan dari mana dia lewati dua sampai tiga anak tangga sekaligus demi sampai di kamarnya. Kunci kamar sudah dalam genggaman. Lima. Empat. Tiga. Dua. Satu. Dan entah bagaimana tiba-tiba pintu terbuka lebar. Dan dia pun terhempas ke dalam dengan bunyi 'bletak' yang sangat keras.

***

    Pemuda itu pun berdiri dan berjalan ke dapur. Tubuh jangkungnya terlihat letih. Dia menguap. Ternyata asal suara rintihan itu dari perutnya yang lapar.
😂😂😂
    Tudung saji dibukanya. Dipandangi sebentar. Setelah ditutupnya, dia pun beranjak membuka pintu kulkas. Belum sempat dia melihat isinya, terdengar suara gaduh di tangga samping teras depan. Penasaran dan kepikiran ada maling yang masuk rumah dari lantai atas, dia pun setengah berlari menuju ke sana.
    Pelan dipegangnya handle pintu. Sedikit kaget. Ternyata pintu tidak terkunci. Kamar itu kosong. Suara gaduh itu terdengar dari arah balkon. Digenggamnya handle pintu menuju balkon. Lho? Tidak terkunci juga. Dan pintu dibukanya dengan lebar.

***

    Kedua pemuda itu saling berpandangan. Lalu pemuda yang terhempas tadi berteriak. "Tutuuuupp!" Reflek tangan pemuda yang berdiri itu, masih mode bloon, menghempas daun pintu itu dengan keras.
    Pemuda yang terhempas tadi buru-buru berdiri dan segera mengunci pintu kamarnya. Dilihatnya wajah pemuda di sampingnya. Dipegangnya bahunya. Ditepuk-tepuknya. "Nice, bro, nice," sambil terus menepuk-nepuk pundak pemuda itu. Tubuhnya masih gemetar.
    Sementara dari ekor matanya, dapat dia rasakan pandangan tajam dari wajah putih pucat yang berdiri di ujung tangga balkon kamarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

(FLASHBACK) DARI TANAH TANDUS

  Blurb: “Kak Ineee. Kepala Rubi pusing, Kak.” “Bertahanlah, Rubi! Bukan sekarang saatnya!” Ine dan Rubi, dua gadis kecil yang ter...